Masjid Sultan

مسجد سلطان
Masjid Sulṭan
苏丹回教堂
Sū Dān Huí Jiào Táng
Masjid Sulṭan
PetaKoordinat: 1°18′7.70″N 103°51′32.40″E / 1.3021389°N 103.8590000°E / 1.3021389; 103.8590000
Agama
AfiliasiIslam
Lokasi
Lokasi3 Muscaṭ Street
Singapura 198833
Arsitektur
TipeMasjid

Masjid Sultan adalah sebuah masjid yang terletak di Kampong Glam, Distrik Rochor, Singapura. Posisi bangunan masjid berada di antara Muscat Street dan North Bridge Road. Modal yang digunakan untuk pembangunan Masjid Sultan berasal dari bantuan Thomas Stamford Raffles yang juga memberikan izin kepada penduduk muslim untuk bermukim di wilayah Kampong Glam. Pembangunan Masjid Sultan berlangsung selama masa pemerintahan Sultan Hussain Syah dari Kesultanan Johor. Pelaksana pembangunannya ialah Temanggung Abdul Rahman selaku kepala Pulau Singapura. Masjid Sultan mulai dibangun sejak tahun 1824 dan selesai pada tahun 1826. Pengelolaan Masjid Sultan diserahkan kepada cucu Sultan Hussain Syah yang bernama Alauddin Syah hingga tahun 1879. Bangunan masjid diperluas pada tahun 1924 setelah Singapura mengalami perkembangan pesat di bidang perdagangan, budaya dan seni rupa Islam pada awal tahun 1900-an.[1]

Masjid Sultan merupakan masjid pertama yang dibangun di Singapura. Masjid Sultan telah menjadi salah satu objek pariwisata di Singapura. Struktur awal masjid ini dibangun sekitar 1826 oleh masyarakat Jawa yang kebanyakan bekerja sebagai pedagang awal di Singapura. Mereka menjalankan aktivitas perdagangan dengan masyarakat Arab, Boyan dan Bugis sebelum kedatangan saudagar Tionghoa. Bangunan masjid itu menjadi tempat tinggal atau kawasan permukiman awal beberapa etnik masyarakat Indonesia.

Kemudian pada 1920-an ia dibangun kembali seperti sekarang. Dan kini ia telah direnovasi dan ditetapkan sebagai produk pariwisata Singapura. Nama aṣli jalan-jalan berdekatan masjid tersebut seperti Kandahar Street, Baghdad Street, Arab Street dan Buṣṣorah Street masih dipertahankan penggunaannya.

Sejarah Masjid Sulṭan Singapura

Ketika singapura diserahkan ke Inggris pada tahun 1819, Temenggong Abdul Rahman, penguasa di Pulau Singapura kala itu dan Sultan Hussain Shah dari Johor yang merupakan pemilik pulau Singapura kala, mendapatkan sedikiti keistimewaan dari Inggris sebagai ganti dari penyerahan kekuasaan mereka atas Singapura kepada Inggris ketika Thomas Stanford Rafles mendirikan negara Singapura.

Sir Stamford Raffles memberi Tumenggung dan Sultan tunjangan hidup tahunan dan hak atas Kampong Glam bagi tempat tinggal mereka. Daerah Kampung Glam juga di alokasikan bagi orang orang melayu dan muslim. Sultan Husein membangun sebuah istana disana dan membawa semua keluarga dan semua pengikutnya dari kepulauan Riau. Banyak pengikut sultan dan temenggung yang memang berasal dari Riau, Malaka dan Sumatra yang kemudian datang dan menetap di Kampung Glam.

Sultan Hussain yang kemudian memutuskan untuk membangun masjid untuk menyelaraskan jawabatannya sebagai Sultan. Masjid tersebut dibangun tak jauh dari Istananya dimulai pada 1824 hingga 1826. bangunan masjid yang pertama dibangun berbentuk masjid tradisional nusantara dengan atap limas bersusun tiga. Dana pembangunan masjid tersebut berasal dari sumbangan East India Company sebesar S$3,000 dolar dan donasi dari jemaah muslim setempat.[2]

Masjid ini dibangun ketika Nort Bridge road belum dibangun melewati wilayah yang kini disebut arab street. Dan selesai dibangun tahun 1826 pada saat letnant Jackson menyelesaikan pembangunan jalan yang sempat menimbulkan ketegangan saat ruas jalan tersebut ternyata melewati areal masjid.

Pengelolaan masjid dikepalai oleh Alauddin Shah, cucu Sultan Hussain hingga tahun 1879. ketika Alaudin Shan Wafat kepengurusan masjid di lanjutkan oleh lima pimpinan komunitas muslim disana. Tahum 1914 hak guna lahan masjid diperpanjang lagi oleh pemerintah Inggris di Singapura untuk masa 999 tahun dimulai dari tahun 1914.

Saat itu juga dibentuk kepengurusan masjid yang baru atau disebut trustees dengan dua perwakilan dari masing masing faksi komunitas muslim di Singapura yang terdiri dari Melayu, Jawa, Bugis, Arab, Tamil dan India Utara untuk merepresentasikan keberagaman komunitas muslim di Singapura.

Anggota trustee saat itu terdiri dari Syed Abrulrahman b Shaik Alkaff and Shaik Abu Baker b Taha Mattar (Arab); Inche Amboo' Haji Kamaruddin dan Saim b Abdul Malek (Bugis); Hj Wan Abdullah b Omar and A Jalil bin Hj Haroon (Melayu); Hj Mohamed Amin b Abdullah and Hj Mohamed Eusofe Hj Mohamed Noor (Jawa); Mahmood bin Hadjee Dawood and Mohamed b Mahmood Sahab (India Utara) dan Mohamed Kassim Marican dan Yavena Sultan Abdulcader (Tamil).

Pada tahun 1900an Singapura sudah menjadi pusat perdagangan Islam, Masjid Sultan kemudian sudah tak mampu lagi menampung jemaah yang terus berkembang pesat. Pada tahun 1924, memperingati seratus tahun berdirinya masjid tersebut. Pengurus masjid atau trustees menyetujui sebuah rencana untuk mendirikan masjid baru yang lebih besar menggantikan bangunan masjid lama di lokasi yang sama.

Arsitek Denis Santry dari Swan and Maclaren yang merancang masjid baru tersebut untuk dibangun di atas lahan masjid lama dan lahan tambahan dari keluarga kerajaan. Seluruh pembiayaan juga di tanggung keluarga Sultan denga kontribusi dari komunitas muslim Singapura kala itu termasuk sumbangan botol kaca hijau hijau dari kaum miskin ketika itu. botol botol yang kemudian di jadikan ornamen bawah kubah masjid. Arsitek Denis Santry mengadopsi gaya Sarasenik atau gaya Gotik Mughal lengkap dengan menara menggantikan masjid lama yang berarsitektur Indonesia pada masjid sebelumnya. Pembangunan masjid baru tersebut selesai dikerjakan tahun 1928. Perbaikan dilakukan tahun 1960 untuk memperbaikan ruang utama masjid dan tahun 1993 masjid Sultan Singapura dilengkapi dengan Auditorium dan aula serbaguna.

Hingga kini masjid sultan Singapura masid berdiri kokoh di tempat dimana dia pertama kali didirikan, menjadi salah satu masjid tetua dan terbesar di Singapura dengan daya tampung mencapai 5,000 jemaah. Masjid Sultan Singpaura kemudian mendapatkan pengakuan dari pemerintah Republik Singapura para tanggal 14 Maret 1975 sebagai national monument. Dan statusnya pun kini dimiliki dan dikelola oleh Majlis Ugama Islam Singapura (MUIS).

Catatan Kaki

  1. ^ Nurbaiti (2019). Pendidikan Islam pada Awal Islamisasi di Asia Tenggara (PDF). Depok: Rajawali Pers. hlm. 13–14. 
  2. ^ "Masjid Sultan Singapura". 31 March 2012. 

Pranala luar

Referensi



Kembali kehalaman sebelumnya