Kepresidenan Bacharuddin Jusuf Habibie
Kepresidenan Bacharuddin Jusuf Habibie dimulai pada 21 Mei 1998, ketika ia dilantik di Istana Merdeka, setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya hingga 20 Oktober 1999. Masa kepresidenan B. J. Habibie sebagai Presiden Indonesia ini merupakan masa kepresidenan yang paling singkat di Indonesia. Ia merupakan Presiden ke-3 Republik Indonesia. Kebijakan dalam negeriPolitik dan hukumB. J. Habibie memulai masa kepresidenannya dengan membebaskan sejumlah tahanan politik dan narapidana politik yang dipenjarakan karena menentang pemerintah pada masa kepresidenan Soeharto. Di antara mereka yang dibebaskan adalah :
Presiden Habibie tidak sepakat penahanan terhadap sejumlah tokoh politik disebabkan perbedaan sikap politik mereka terhadap penguasa. Jelas karena alasan yang digunakan hanya berdasarkan penilaian penguasa masa lalu terhadap mereka yang dipandang bersikap kritis terhadap Presiden Soeharto, maka menurutnya mereka tidak sepatutnya ditahan.[1] Tekadnya untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara dengan nafas demokrasi ditunjukkan B. J. Habibie bukan saja dengan membebaskan tapol-napol serta memperhatikan pemikiran dari para tokoh oposisi. Habibie juga mengadakan kunjungan dan berdialog dengan tokoh-tokoh kritis lainnya, seperti K.H. Abdurrahman Wahid dari NU. Sejak menjabat sebagai presiden, Habibie memang giat melakukan kunjungan dan dialog dengan berbagai pihak, termasuk para tokoh reformis.[2] Sebagai bagian tak terpisahkan dari langkah reformasi di bidang hak asasi manusia, B. J. Habibie telah mengambil keputusan untuk meratifikasi berbagai instrumen HAM PBB. Tekad pemerintahan B. J. Habibie tersebut ditegaskan ketika ia mencanangkan Rencana Aksi Nasional HAM di Istana Negara pada 25 Juni 1998. Memisahkan kepolisian dari ABRIDalam rangka upaya redefinisi, reposisi, dan reaktualisasi peran ABRI, B. J. Habibie juga menyambut gembira gagasan pimpinan ABRI untuk melakukan reposisi kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang terpisah dari ABRI. Sejak ini istilah ABRI pun tidak digunakan lagi. Sebagai gantinya, digunakan istilah TNI agar Kepolisian Negara Republik Indonesia lebih mampu meningkatkan perannya dengan lebih baik sebagai salah satu aparat penegak hukum, pemelihara ketertiban masyarakat, dan perlindungan hak-hak asasi manusia. Jasa dan kontribusi B. J. Habibie terhadap langkah-langkah konsolidasi dan reformasi ABRI adalah determinasinya yang sungguh-sungguh untuk mendorong serta memberikan semangat dan dukungan moral yang amat dirasakan oleh ABRI. Ketika menyampaikan amanat pada HUT ke-53 ABRI (5 Oktober 1998), Habibie menegaskan "Upaya dan langkah konkret ABRI untuk melaksanakan konsolidasi dan reformasi internal dewasa ini guna meningkatkan postur dan kinerjanya patut dihargai. Demikian pula komitmen dan partisipasi ABRI dalam upaya mengatasi krisis serta menciptakan suasana kondusif bagi terlaksananya reformasi juga sangat membantu keseluruhan upaya pemerintah dan bangsa Indonesia. Dengan semangat, komitmen, serta langkah-langkah baru ABRI dalam mengemban tugasnya mengawal kehidupan dan pembangunan bangsa yang semakin tentram dan meningkat kualitasnya. ABRI harus menjadi lebih profesional, efisien, dan produktif di masa depan." EkonomiB. J. Habibie memberikan perhatian besar pada nasib rakyat. Hal ini terbukti dengan diinstruksikannya Kabinet Reformasi Pembangunan yang baru disusunnya untuk segera membentuk Tim Ekuin dengan misi utama memulihkan kondisi perekonomian. Program jangka pendek tim ini adalah memulihkan kepercayaan pada mata uang rupiah dan mengendalikan laju inflasi. Selain itu, perhatian juga diberikan pada golongan masyarakat yang paling terkena dampak krisis moneter, memprioritaskan program padat karya, penyediaan kebutuhan bahan pokok, dan dukungan untuk usaha kecil dan koperasi. Tim ini bertekad menghapuskan pemberian fasilitas dan perlakuan istimewa bagi usaha tertentu seperti yang sebelumnya terjadi. Sesuai dengan amanat reformasi yang dititipkan rakyat, B. J. Habibie melalui kebijakan Menperindag memberikan prioritas utama pada penyelesaian undang-undang antimonopoli untuk menghapus pemusatan kekuasaan bisnis pada kelompok tertentu dan menciptakan persaingan yang sehat dan adil. Selain itu, dalam suasana krisis seperti sekarang ini, bidang ekspor berpeluang untuk ditingkatkan. Untuk itu, semua hambatan ekspor di semua sektor, seperti yang pernah ada selama ini, secepatnya dipangkas oleh pemerintah.[3] PendidikanKrisis moneter ternyata telah menimbulkan dampak yang begitu menyedihkan bagi kebanyakan masyarakat sehingga banyak orang tua tidak dapat lagi membiayai pendidikan anaknya. Tidak sedikit siswa dan mahasiswa yang tidak dapat melanjutkan program pendidikannya. Untuk menyelamatkan dunia pendidikan dan menjamin kelangsungan pendidikan nasional, pemerintahan B. J. Habibie mulai tahun 1999 membebaskan SPP untuk SD hingga SMTA. Selain itu, pemerintah juga memberikan beasiswa untuk SD kepada 1,16 juta siswa dan 1,56 juta siswa SLTP. Untuk SMTA dan perguruan tinggi, jumlahnya akan ditentukan kemudian.[3] Pemerintah juga memberikan dana biaya operasional untuk SD sebanyak 69.300 buah, untuk SLTP 12.200 buah, untuk SMTA dan perguruan tinggi akan ditentukan kemudian. Pemerintah juga menyediakan buku-buku pelajaran sekolah. Kebebasan persDi bidang informasi, Kabinet Reformasi Pembangunan menginginkan adanya kebebasan pers. Selaras dengan itu, B. J. Habibie lewat Menteri Penerangan mencabut ketentuan pembatalan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers, seperti tercantum pada Permenpen No. 01/1984, yang selama ini menghantui wartawan dan telah memberedel banyak majalah dan surat kabar di Indonesia. Pencabutan ini ditetapkan dengan Permenpen No. 01/1998. Dengan ketetapan Menpen yang baru tersebut, majalah dan tabloid yang pernah dibredel bisa mengajukan SIUPP kembali. Sampai pada Juni 1999, oleh pemerintah telah dikeluarkan tidak kurang dari 400 SIUPP. Kini pers bebas bersuara apa saja. Kebebasan pers ini merupakan kebijakan yang paling dramatis, yang telah membuat kehidupan pers di Indonesia mungkin yang paling bebas di seluruh dunia.[4] Untuk menyegarkan iklim politik nasional, B. J. Habibie mengadakan dialog dengan para pemimpin redaksi media massa. Dialog ini mendapat tanggapan positif dari budayawan, politisi, dan akademisi. Diharapkan dialog yang sangat manusiawi dan sesuai dengan semangat reformasi itu dapat dipertahankan. "Sosok Habibie sebagai Kepala Negara ternyata jauh dari kesan feodalistik, tidak mengedepankan hal-hal yang bersifat kosmetik, melainkan substansi. Terlepas orang setuju atau tidak terhadap substansi yang disampaikan Presiden Habibie, hal itu sudah merupakan langkah terobosan yang bagus sekali." ujar intelektual Kristen, Dr. Th. Sumarthana.[5] Dalam pertemuan yang terjadi pada 7 Juni 1998, sekitar tiga jam di Wisma Negara itu, B. J. Habibie menjawab semua pertanyaan pemimpin redaksi. Berbagai pertanyaan kritis yang dijawabnya secara lugas, antara lain, mengenai demokrasi, ekonomi, dan etnis Cina. Dialog ini disiarkan oleh seluruh stasiun televisi sehingga masyarakat dapat melihat dan menilai sendiri pikiran-pikiran B. J. Habibie. "Selama 32 tahun, baru sekarang ini bangsa Indonesia memiliki presiden yang mudah berkomunikasi dalam arti yang sebenarnya, tidak satu arah, tidak main instruksi, atau dialog yang sudah dirancang sebelumnya." kata Sumarthana. "Penampilan Habibie yang sederhana, blak-blakan, dan melegakan dapat memberikan angin segar bagi dunia politik dan akademik di Indonesia. Tradisi keterbukaan, dialog, dan kritik betul-betul mendapatkan tempat yang semestinya." ujarnya menambahkan. Memisahkan Bank Indonesia dari campur tangan pemerintahPada masa pemerintahan Soekarno dan Soeharto, Bank Indonesia selalu masuk dalam kabinet dan pemerintah memiliki wewenang untuk mengintervensi Bank Indonesia. Searah dengan pemikirannya untuk keluar dari krisis ekonomi dan mewujudkan perekonomian yang sehat, langkah yang dilakukan B. J. Habibie adalah memutuskan pemisahan Bank Indonesia dari campur tangan pemerintah. Hal ini tidak pernah dilakukan sebelumnya sepanjang sejarah republik. Ia menghendaki kemandirian Bank Indonesia dan tidak menghendaki presiden, menteri, atau siapapun ikut campur tangan dalam urusan Bank Indonesia.[4][6] Kemandirian Bank Indonesia yang telah diputuskan B. J. Habibie ini dinilai banyak pihak dapat membuat efektif pengelolaan ekonomi makro. Artinya, dengan status bank sentral yang independen dan memiliki tugas serta tanggung jawab yang jelas tanpa intervensi pihak manapun, maka kebijakan ekonomi makro yang diterapkan akan tepat sasaran. Karena itu, Bank Indonesia yang mandiri bakal lebih membantu pencapaian sasaran ekonomi secara efektif.[7] Kemandirian Bank Indonesia sangat diperlukan agar kebijakan moneter dan fiskal dapat berjalan efektif dan tidak dicampuri kepentingan sesaat. Kebijakan moneter dan fiskal harus mengarah pada stabilnya nilai rupiah. Nilai rupiah yang stabil juga diperlukan dalam rangka mengembangkan ekonomi nasional yang efisien dan dinamis. Alhasil, dengan independensi Bank Indonesia yang terus dijunjung tinggi sampai sekarang. B. J. Habibie merasa bangga dan hal itu harus terus diterapkan karena tugas Bank Indonesia adalah menyediakan mata uang di republik Indonesia ini dengan kualitas yang top. Sejak awal pemerintahannya, B. J. Habibie menganggap bahwa mata uang yang stabil adalah satu pilar utama perekonomian yang sehat. Pandangan ini membawanya kepada pandangan bahwa Bank Sentral harus independen dengan satu-satunya tugas menjaga kestabilan mata uang, tugas-tugas lainnya harus dilepas. Dengan stabilnya mata uang, energi para pelaku ekonomi akan lebih banyak dicurahkan untuk berlomba meningkatkan produktivitas dan inovasi, bukan untuk berspekulasi, Sesuai dengan Undang-Undang Bank Indonesia yang baru, B. J. Habibie membentuk Dewan Gubernur Bank Sentral. Presiden akan selalu mengadakan konsultasi dengan Dewan Gubernur tersebut yang wajib memberikan pendapat kepada pemerintah atas setiap masalah yang berkaitan dengan kebijakan moneter, termasuk Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, sampai masalah penerbitan obligasi. Menurut B. J. Habibie, langkah ini merupakan bagian tak terpisahkan dari rangkaian agenda kebijakan reformasi ekonomi dan keuangan.[8] Kebijakan Timor TimurMenyelesaikan permasalahan Timor TimurPada 15 Agustus 1998, B. J. Habibie menyampaikan pidato kenegaraan dalam rangka HUT ke-53 Kemerdekaan Indonesia di depan DPR. Dalam pidato lebih dari dua jam, Habibie mengatakan bahwa ia menyadari berbagai perubahan tuntutan dan aspirasi masyarakat. Ia secara resmi menyampaikan permohonan maaf pemerintah atas praktek kekerasan terhadap hak asasi manusia oleh aparat negara di masa lalu dan ia menyatakan bahwa pemerintahannya bertekad untuk mengatasi pelanggaran-pelanggaran itu. Paradigma lama harus diganti karena tidak hanya telah menimbulkan luka-luka sejarah, tetapi juga pemerintah belum sanggup merespons tuntutan dan aspirasi masyarakat yang terus berubah. B. J. Habibie mengemukakan paradigma baru yang menekankan pendekatan lebih demokratis dengan tujuan memajukan kesejahteraan umum. Pendekatan ini akan memproyeksikan transparansi yang lebih besar dan mekanisme atas-bawah dalam kehidupan bangsa dan negara. Ia tahu bahwa perubahan semacam itu sesuai dengan watak masyarakat sipil, yaitu masyarakat yang adil, terbuka, dan demokratis. Selama masa pemerintahannya, B. J. Habibie menegaskan bahwa keadilan akan menjadi nilai yang transendental.[9] Sejalan dengan isi pidatonya tersebut, dalam membicarakan berbagai masalah, termasuk masalah Timor Timur, dengan pemuka masyarakat Katolik Timor Timur, Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo, B. J. Habibie menunjukkan sikap yang adil dan lebih terbuka. Dalam pertemuan ini dibicarakan banyak hal, termasuk masukan mengenai status Timtim dalam NKRI. Pertemuan ini memiliki nilai politis yang sangat tinggi di kala sekelompok pemuda dan mahasiswa di Dili meneriakkan referendum dan pemisahan dari Indonesia. Dalam masalah Timtim ini, akhirnya pemerintahan B. J. Habibie memutuskan memberikan rencana otonomi luas dengan status khusus dengan tetap mempertahankan integrasi Timtim ke dalam NKRI.[10] Termasuk yang dibicarakan dalam pertemuan ini adalah soal penarikan pasukan TNI dari Timtim.[11] Seusai pertemuan, Uskup Belo menyatakan bahwa masukan-masukannya banyak diterima oleh B. J. Habibie. Ia puas dan bangga bahwa Indonesia kini mempunyai seorang presiden yang luar biasa dari segi kemanusiaan, kearifan, simpati, dan sangat terbuka.[12] Sejak pertemuan dengan Uskup Belo ini, pemerintah mengubah sikap terhadap masalah Timtim dan memberikan perhatian khusus. Timtim menjadi masalah internasional sejak wilayah itu mengakhiri masa kekosongan setelah ditinggalkan penjajah Portugis sebagai wilayah yang tak berpemerintahan dengan menyatakan tekadnya untuk berintegrasi dengan Indonesia sebagaimana dinyatakan pada Deklarasi Balibo 30 November 1975. Berdasarkan deklarasi tersebut, Indonesia diminta rakyat Timtim untuk menerima integrasi setelah mengalami sekian lama perang saudara yang tak henti-hentinya. Permintaan tersebut diterima Indonesia karena alasan keamanan dan kemanusiaan. Selama Timtim berada dalam masa integrasi, Indonesia memberikan sangat banyak jasa baiknya, baik dalam membantu proses dekolonisasi yang kacau akibat ulah Portugal yang meninggalkan daerah jajahannya begitu saja, mengakhiri perang saudara, maupun dalam melaksanakan pembangunan wilayah dengan pesat. Kendati berbagai upaya diplomasi telah ditempuh selama 24 tahun, tetapi tidak diperoleh kepastian penyelesaian atas masalah ini. Oleh karena itu, setelah menempuh berbagai upaya diplomatik untuk menyelesaikan masalah Timtim tanpa menghasilkan sesuatu yang berarti, bahkan selalu mendapat berbagai tekanan internasional, maka wajar pemerintahan B. J. Habibie kemudian menyerahkan masalah tersebut kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa.[13] Sejalan dengan langkah proaktif yang diambilnya dalam mencari penyelesaian berbagai masalah bangsa. B. J. Habibie pun bersikap proaktif dalam mencari penyelesaian masalah Timtim. Jika sebelumnya Indonesia berada dalam posisi defensif dalam mengupayakan penyelesaian internasional tentang masalah Timtim, kini pemerintah B. J. Habibie mengambil sikap proaktif dan inisiatif yang gencar dalam melakukan pendekatan diplomatik ke berbagai pihak yang berkaitan dengan masalah Timtim, khususnya pihak Portugal dan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dengan perubahan sikap Indonesia ini, upaya penyelesaian masalah Timtim memasuki babak baru. B. J. Habibie memberikan kebebasan kepada rakyat Timtim untuk menentukan nasibnya sendiri, apakah tetap bergabung dengan Indonesia atau memisahkan diri. Bagi B. J. Habibie masa depan Timtim tidak boleh hanya ditentukan oleh Jakarta, tetapi juga oleh seluruh rakyat di tanah Lorosae itu. Karena itu, diberinya dua opsi tersebut, dan ini merupakan suatu pemikiran yang tak terbayangkan dilontarkan oleh seorang Presiden Indonesia. Usulan B. J. Habibie pada waktu itu mengenai penyelesaian masalah Timtim secara adil dan menyeluruh dinilai sangat besar kemungkinan dapat diterima oleh masyarakat internasional dan ini adalah inisiatif B. J. Habibie yang sangat positif. Langkah politik luar negeri B. J. Habibie terkait dengan status Timtim ini adalah langkah reformasi yang sangat menonjol. Dalam hal ini, kepada rakyat di Timtim akan diberikan "status khusus dengan otonomi luas" sebagai penyelesaian akhir. Dengan demikian, Timtim memperoleh status self governing dengan kewenangan luas di berbagai bidang politik, ekonomi, kebudayaan, dan sebagainya, dengan catatan pemerintah pusat memegang tiga kewenangan tertentu: politik luar negeri, keamanan eksternal, serta moneter dan fiskal. Pengajuan usulan status khusus dengan otonomi luas ini merupakan diplomatik ofensif Indonesia yang telah menggerakkan momentum baru ke arah penyelesaian bagi masalah Timtim. Ketika usulan tersebut sedang dibicarakan dalam pertemuan Dialog Segitiga antara Indonesia, Portugal dan Perserikatan Bangsa-Bangsa atas petunjuk B. J. Habibie, Pemerintah Indonesia mengadakan pengkajian lebih mendalam tentang suatu alternatif lain bagi penyelesaian Timtim seandainya mayoritas rakyat Timtim menolak usulan otonomi khusus sebagai penyelesaian akhir. Pada waktu itu, di Jakarta berlangsung sidang Kabinet Paripurna bidang Polkam pada 27 Januari 1999 yang mengumumkan alternatif penyelesaian, yaitu apabila usulan status khusus dengan otonomi luas ditolak, wajar dan bijaksana bahkan demokratis dan konstitusional jika diusulkan kepada wakil-wakil rakyat hasil Pemilu 1999 agar Timtim secara terhormat, baik-baik dan damai berpisah dengan NKRI. Reformasi diplomasi mengenai status Timtim serta-merta telah mengubah posisi Indonesia yang selama ini terkesan sangat defensif menjadi ofensif. Banyak yang tidak percaya dan banyak juga yang tidak siap menerimanya. Gagasan pemerintah tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya pemerintah tidak keberatan untuk melepas wilayah Timtim, jika memang itu yang dikehendaki rakyat Timtim. Pemerintah tidak sependapat pada anggapan bahwa melepas Timtim akan memicu perang saudara, sebab sejarah panjang Timtim memang sarat dengan konflik bersenjata. Tanpa menunggu pelepasan wilayah, sejak dulu selalu terjadi kekacauan di provinsi termuda itu. Pemerintah mensinyalir ada pihak yang menginginkan otonomi khusus untuk memperoleh dana besar dan kemudian akan disusul dengan permintaan referendum.[14] Sehubungan dengan masa depan Timtim, pemerintah secara tegas hanya memberi dua opsi: otonomi luas dengan status khusus atau melepasnya dari wilayah Republik Indonesia. Dengan demikian, pemerintah berprinsip tidak setuju dengan keinginan dilakukannya referendum di Timtim. Sebagaimana dijelaskan pemerintah, apabila rakyat Timtim menolak otonomi luas dan memilih memisahkan diri, maka Indonesia akan mengembalikan status Timtim sebagai daerah non self-governing territory (daerah yang tidak berpemerintahan) kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Portugal. Namun, yang menentukan lepas atau tidak adalah rakyat Timtim sendiri. Indonesia juga tidak berkewajiban menyiapkan kemerdekaan buat Timtim karena Indonesia bukan negara penjajah atas wilayah Timtim. Indonesia adalah negara yang diminta untuk menerima integrasi setelah terjadi perang saudara 1975 di Timtim. Jika kemudian Timtim menghendaki kemerdekaan, yang menyiapkan proses kemerdekaan adalah Portugal sebagai penjajah Timtim dan Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai pengawas. Indonesia juga menolak tuntutan referendum karena akan memunculkan pertentangan antar kelompok yang menghendaki kemerdekaan dan yang tetap menginginkan integrasi.[15] Menindaklanjuti rencana penyelesaian Timtim, pada 16 Februari 1999 diadakan pertemuan segitiga antara Republik Indonesia-Portugal-PBB di markas Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York. Dalam pertemuan ini ketiga pihak sepakat menyerahkan naskah mengenai status Timtim kepada rakyat Timtim sendiri.[16] Kemudian pada 12 Maret 1999, di tempat yang sama terjadi lagi perundingan yang menghasilkan naskah kesepakatan Indonesia dan Portugal untuk mengadakan pemungutan suara langsung atau jajak pendapat dengan sponsor Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengetahui keinginan rakyat Timtim. Kesepakatan ini diumumkan Sekjen PBB Kofi Annan di markas Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York. Pemungutan suara langsung seperti ini sama demokratisnya dengan referendum.[17] Dalam hubungan ini, B. J. Habibie menyatakan, "Jika rakyat Timor Timur memilih alternatif otonomi, maka rakyat Timor Timur tidak punya hak untuk memaksa pemerintah Indonesia menyiapkan kemerdekaan. Juga pemerintah tidak akan menggunakan istilah referendum untuk mencapai penyelesaian karena referendum hanya akan menimbulkan distorsi. Jika wilayah Timor Timur lepas dari Indonesia, pemerintah tidak akan dibebani lagi oleh segala persoalan Timtim, dan untuk memasuki milenium baru yang tinggal hanya 11 bulan pemerintah akan berkonsentrasi pada pertumbuhan ekonomi untuk semua."[18] B. J. Habibie lebih memilih Timtim diberi kemerdekaan dan lepas dari Indonesia. Selain itu, Habibie berharap mulai 1 Januari 2000 Pemerintah Indonesia hanya akan memusatkan perhatian pada 26 provinsi dan tidak diganggu lagi dengan masalah Timtim. "Kalau rakyat Timtim terus tidak bersabar untuk lepas dari Indonesia, mereka tidak perlu menunggu lama. Kalau ditanya apa saran pemerintah, saran saya, berikan kemerdekaan dan kita konsentrasi pada 26 provinsi yang sudah cukup banyak masalah. Kan wajar dan fair", kata Habibie di depan peserta Munas Kadin di Istana Merdeka.[19][20] Berbicara tanpa teks, Habibie mengatakan bahwa mengenai Timtim, "Insya Allah, mulai 1 Januari 2000 kita tidak mengenal masalah Timtim lagi. Kita tidak mau dipersukar oleh masalah yang sebenarnya tidak perlu ada." Presiden mengatakan apabila rakyat Timtim tidak menerima tawaran otonomi luas, maka lebih baik wilayah itu berpisah sebagai kawan. "Jadi, selamat jalan. You tentukan sendiri, saya tidak mau ikut campur. Saya minta saudara-saudara kita di Indonesia pun tidak turut campur." ujarnya.[19] Namun, untuk menentukan tetap berintegrasi atau lepas dari NKRI, pemerintahan B. J. Habibie tidak setuju jika harus ditempuh melalui referendum. "Kita tidak menentukan harus referendum, karena itu hanya suatu cara memilih. Bagi saya, otonomi atau berpisah secara terhormat. Yang mana dipilih, anda tentukan, silakan pilih sendiri." ujar B. J. Habibie di depan 100 pimpinan MUI Daerah Tingkat I seluruh Indonesia, para zu'ama, dan cendekiawan Muslim di Istana Merdeka. B. J. Habibie mengatakan tidak mau menyebut referendum untuk Timtim karena itu berarti Pemerintah Indonesia ikut campur menentukan cara memilihnya atau ikut bertanggung jawab. "Kalau kita menentukan caranya, ributlah. Karena itu, silakan. Boleh berbicara dengan diri sendiri, boleh bicara dengan bekas penjajah, boleh dengan PBB. Mau bicara dengan Australia silakan, tetapi tentukan sebelum pemilu." ujarnya. Habibie juga menyatakan bersyukur apabila rakyat Timtim menyatakan berpisah sekarang. Ia berharap masalah Timtim segera selesai dengan tuntas dan tidak dipersoalkan lagi oleh dunia. "Biar kita tidak dihina." tuturnya.[21] Sebagai ganti referendum, digunakan istilah jajak pendapat. B. J. Habibie pada waktu itu menjelaskan bahwa jajak pendapat ini diawasi oleh tim penasehat kepolisian dari enam negara: Amerika Serikat, Jepang, Filipina, Jerman, Inggris, dan Australia, yang tergabung dalam misi PBB untuk Timor Timur (UNAMET) mulai 10 Mei 1999.[22][23] "Kami sangat menghargai keinginan masyarakat Timtim dan menyerahkan sepenuhnya masa depan Timtim di tangan mereka sendiri. Pemerintah sangat menghormati apapun hasil jajak pendapat itu." kata Habibie.[22] Pada 5 Mei 1999 di New York diadakan pertemuan Dialog Segitiga Tingkat Menteri yang membahas rancangan naskah Persetujuan Pokok (dengan pengertian opsi 1 tentang status khusus dengan otonomi luas menjadi annex opsi 2 tentang pelepasan Timor Timur) dan dua naskah persetujuan tambahan lainnya, yaitu Persetujuan tentang Modalitas Penentuan Pendapat melalui Pemungutan Suara Secara Langsung dan Persetujuan tentang Pengaturan Keamanan. Semua naskah persetujuan tersebut akhirnya disetujui dan ditandatangani oleh Menlu RI dan Menlu Portugal dengan disaksikan Sekjen PBB. Penandatanganan persetujuan ini merupakan tonggak sejarah dalam upaya penyelesaian masalah Timtim dan sekaligus merupakan kulminasi upaya Pemerintahan B. J. Habibie melalui diplomasi untuk mencapai penyelesaian yang adil, menyeluruh, dan dapat diterima secara internasional. Setelah berselisih dalam penyelesaian masalah Timtim selama 15 tahun, Indonesia dan Portugal akhirnya mencapai kata sepakat. Tiga naskah paket otonomi yang diusulkan Indonesia akhirnya ditandatangani oleh Menlu Ali Alatas dan Jaime Gama serta Sekjen PBB Kofi Annan di markas besar PBB di New York pada 5 Mei 1999. Menurut Annan, peristiwa ini tergolong bersejarah sejak Timtim bergabung dengan RI pada tahun 1976 silam, karena baru kali ini terjadi kata sepakat. Kesepakatan ini akan memberikan pilihan kepada rakyat Timtim untuk menerima paket otonomi atau menentukan masa depannya sendiri melalui jajak pendapat,[24] dan pengaturan keamanan di Timtim.[23] Pada 11 Juni 1999, Dewan Keamanan PBB telah menerima secara bulat Resolusi No. 1246 yang merupakan mandat legislatif bagi Sekjen PBB untuk membentuk dan menggelar misi PBB di Timtim (UNAMET) yang bekerja hingga 31 Agustus 1999 guna mengatur dan melaksanakan penentuan pendapat yang dilaksanakan pada 8 Agustus 1999, sesuai dengan Persetujuan New York tanggal 5 Mei 1999. Penentuan pendapat rakyat Timtim mengalami sedikit penundaan, dari tanggal 8 Agustus 1999 menjadi tanggal 30 Agustus 1999 karena menurut Sekjen PBB terdapat kelambatan penggelaran perangkat UNAMET dan juga karena situasi keamanan belum memadai. Untuk meningkatkan kelancaran tugas UNAMET, pemerintah menyetujui pengiriman United Nations Civilian Police Advisers (UNCPA) dan United Nations Military Liason Officers (UNMLO) walaupun tidak tercantum dalam perjanjian New York. Dari sisi kebijakan, pemerintah telah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1999 pada 18 Mei 1999 tentang Tim Pengamanan Pelaksanaan Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Portugal mengenai masalah Timor Timur. Sebagai tindak lanjut Keppres tersebut, Menko Polkam telah membentuk Satgas Pelaksanaan Penentuan Pendapat di Timtim dengan tujuan operasional menciptakan suasana kondusif dan melaksanakan operasi kemanusiaan oleh seluruh jajaran Departemen/Lembaga Pemerintah Non-Departemen terhadap seluruh rakyat Timtim tanpa memandang mereka berpihak kepada pro atau anti-integrasi. Pemda Timtim dengan seluruh jajarannya secara maksimum melaksanakan pembinaan secara aktif kepada seluruh masyarakat Timtim di manapun mereka berada. Begitu pula selama masa pendaftaran jajak pendapat.[25] Agar jajak pendapat terlaksana dengan baik khususnya berkaitan dengan tanggung jawab keamanan untuk menjaga wilayah Timtim sebelum, selama, dan sesudah jajak pendapat maka pemerintah telah melakukan upaya untuk mendamaikan kedua kelompok yang sudah bertikai selama lebih dari dua dekade. Selain itu, juga telah diupayakan agar kedua kelompok yang bertikai tersebut menyerahkan senjatanya kepada aparat keamanan. Meskipun sulit, pemerintah telah memprakarsai penandatanganan Kesepakatan Damai antara kelompok bertikai pada tanggal 21 April 1999 di Dili, serta pembentukan Komisi Perdamaian dan Stabilitas, yang kemudian diberi kepercayaan dan dirujuk dalam Perjanjian Tripartit antara PBB, Indonesia, dan Portugal sebagai lembaga yang diberi mandat untuk menciptakan perdamaian dan stabilitas di Timtim.[25] Berdasarkan Persetujuan New York, keamanan Timtim dalam proses penentuan pendapat tetap berada di bawah kewenangan dan tanggung jawab Indonesia, khususnya Kepolisian RI, sedangkan Polisi Internasional yang juga akan digelar dari berbagai negara bertindak sebagai penasehat Kepolisian RI. Menjelang penentuan pendapat itu, pimpinan pihak-pihak yang bertikai di Timtim menandatangani kesepakatan untuk menciptakan perdamaian. Mereka sepakat menyerukan kepada pendukung masing-masing untuk menyerahkan segala macam senjata kepada aparat yang berwenang. Kesepakatan ditandatangani oleh Presiden Conselo da Nacional Resistencia Timorense (CNRT) Kay Rala Xanana Gusmao dan anggotanya Lenadro Isaac. Sedangkan pihak pro integrasi diwakili Ketua Forum Perdamaian Demokrasi dan Keadilan (FPDK) Domingos Soares dan Panglima Pasukan Pro-Integrasi Joao da Silva Tavares. "Kesepakatan ini sesuai dengan persetujuan mengenai pengaturan keamanan yang ditandatangani Indonesia, Portugal, dan PBB pada 5 Mei 1999." bunyi kesepakatan tersebut. Selain itu, mereka juga sepakat menghentikan segala bentuk permusuhan dan tindak kekerasan, menyerukan berpartisipasi aktif dalam setiap tahap penentuan pendapat dan menyerahkan pelanggaran atas kesepakatan tersebut kepada Komisi Perdamaian dan Stabilitas (KPS) untuk diteruskan kepada pihak yang berwenang.[26] Untuk mewujudkan kesepakatan tersebut, pada 29-30 Juni 1999, para tokoh anti integrasi itu mengadakan dialog perdamaian dan rekonsiliasi (DARE II) dengan para tokoh pro-integrasi di Cengkareng, Jakarta.[27] Tokoh masyarakat Timtim yang hadir pada acara tersebut dari kelompok pro-kemerdekaan, antara lain, adalah Ramos Horta dan Xanana Gusmao. Selain dapat diterima oleh masyarakat internasional, langkah jajak pendapat untuk menentukan masa depan Timtim ini juga dapat diterima oleh rakyat Timtim sendiri. Jika dari hasil penentuan pendapat ini rakyat Timtim memutuskan tetap bersama Indonesia dengan status otonomi, B. J. Habibie berniat akan datang ke Timtim untuk menyambut niat baik tersebut sambil menyampaikan ucapan selamat. Akan tetapi jika terjadi sebaliknya, ia pun akan menghormati kehendak tersebut. Sebelum jejak pendapat dilaksanakan, UNAMET telah menentukan delapan kota sebagai pusat pendaftaran peserta jajak pendapat: Dili, Baucau, Lospalos, Suai, Oecusse, Maliana, Ermera, dan Viqueque. Adapun syarat-syarat yang ditentukan bagi peserta adalah: berusia minimum 17 tahun, lahir di Timtim. salah satu dari kedua orangtua berasal dari Timtim, dan orang dari luar Timtim yang menikah dengan orang Timtim.[28] Referendum kemerdekaan Timor TimurTanggal 30 Agustus 1999 merupakan hari yang bersejarah bagi rakyat Timor Timur. Pada hari itu, dalam suasana damai dan tertib, mereka memberikan suara dalam jajak pendapat untuk menentukan kepastian status wilayah mereka apakah akan berpisah atau tetap bergabung dengan Indonesia. Menyongsong proses jajak pendapat itu, B. J. Habibie menyampaikan pidato yang mengajak seluruh rakyat Timtim untuk menjatuhkan pilihan dengan tepat, sadar, dan bijaksana sesuai dengan hati nurani masing-masing. B. J. Habibie mengajak rakyat Timtim menengok sejarah perjalanannya secara jernih, seperti ketika rakyat Timtim mengeluarkan Deklarasi Balibo pada 30 November 1975 untuk bergabung dengan RI, dan rakyat serta Pemerintah RI menyambut baik pernyataan itu.[29] Sekjen PBB Kofi Annan pun menyampaikan salam hangat kepada rakyat Timtim atas pelaksanaan jajak pendapat ini. Sementara itu, utusan khusus PBB untuk Timtim, Jamsheed Marker, menilai jajak pendapat yang diikuti 450 ribu rakyat Timtim itu berlangsung dengan baik dan dilakukan secara bebas, jujur, dan rahasia. "Hasil jajak pendapat ini akan diserahkan kepada PBB, Indonesia, dan Portugal." katanya.[30] Ternyata dari jajak pendapat tersebut diketahui bahwa rakyat Timtim menjatuhkan pilihan untuk menolak usulan otonomi luas dengan status khusus yang ditawarkan Pemerintah Indonesia. Hal itu tercermin dari hasil jajak pendapat dengan 344.580 suara (78,2%) memilih merdeka dan 94.388 suara (21,8%) memilih tetap berintegrasi dengan Indonesia. Hasil jajak pendapat ini disiarkan secara serentak di Dili dan New York. Kendati demikian, disinyalir kemenangan pihak pro-kemerdekaan ini disebabkan UNAMET sebagai wasit dalam pelaksanaan jajak pendapat tersebut ikut bermain, berpihak kepada kelompok pro-kemerdekaan. Direktur Penerangan Luar Negeri Deplu, Sulaiman Abdulrahman, mengatakan bahwa sebagian besar staf lokal yang terlibat dalam UNAMET tidak netral. Ketidaknetralan ini antara lain, terlihat dari kegiatan mereka dalam memasyarakatkan pengertian otonomi serta upaya mereka untuk mendorong warga menolak otonomi. Front Bersama untuk Timor Timur (UNIF) mengatakan memiliki 37 bukti kecurangan dalam pelaksanaan jajak pendapat. Dengan adanya dugaan kecurangan yang dilakukan oleh UNAMET, Pemerintah Indonesia telah mengajukan keberatan, baik melalui Satgas P3T2 di Dili maupun oleh Menteri Luar Negeri, serta secara langsung kepada Sekjen PBB untuk menjelaskan kepada masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Timtim. Laporan-laporan kejanggalan tersebut diperiksa dan diteliti oleh suatu Komisi Elektoral Internasional yang independen dengan anggota dari tiga komisioner terkemuka yang dipilih oleh Sekjen PBB, yakni dari Korea Selatan, Irlandia, dan Afrika Selatan. Komisi ini telah mengesahkan hasil jajak pendapat tersebut dan menyatakan bahwa kecurangan dan kejanggalan yang diterima baik secara individu maupun secara kolektif setelah diteliti disimpulkan bahwa kecurangan dan kejanggalan yang ada tidak memengaruhi hasil jajak pendapat. Berdasarkan pengesahan Komisi Elektoral Internasional, pemerintah telah menyatakan menghormati dan dapat menerima hasil jajak pendapat tersebut. Karena itu, pemerintah tidak lagi mempersoalkan hasil jajak pendapat, tetapi lebih menitikberatkan pada upaya untuk menempuh langkah-langkah lebih lanjut sesuai dengan Pasal 6 Perjanjian New York, yaitu menempuh langkah konstitusional untuk melaporkan hasil jajak pendapat pada Sidang Umum MPR.[25] Hasil jajak pendapat itu dapat membawa bangsa Indonesia pada suatu posisi yang jelas dalam melihat dan memahami suatu realitas. "Sekian lama kita secara sadar atau tidak telah menawarkan kepada bangsa kita sebuah kenyataan yang belum teruji validitasnya. Bahwa hasil jajak pendapat akhirnya mengukuhkan posisi mereka yang tidak ingin melanjutkan integrasi. Paling tidak dengan hasil itu kita memperoleh peluang untuk menyelesaikan masalah Timor Timur secara final dengan cara yang terhormat." kata B. J. Habibie ketika memberikan penjelasan mengenai masalah Timor Timur pada Sidang Paripurna DPR tanggal 21 September 1999. Sehubungan dengan hasil jajak pendapat yang menghendaki Timtim merdeka, Pemerintah Indonesia menghormati pilihan rakyat Timtim tersebut. Seusai pengumuman hasil jajak pendapat tersebut, B. J. Habibie menyampaikan pidato yang disiarkan oleh seluruh stasiun televisi di Indonesia. B. J. Habibie menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia menghormati pilihan rakyat Timtim untuk merdeka meski pilihan itu pahit rasanya. Akan tetapi, seluruh rakyat Indonesia diminta dapat menerima kenyataan ini dengan hati yang ikhlas, sabar, dan lapang. Rakyat Timtim juga diminta agar tetap tenang serta menjaga kedamaian.[31] Dengan lepasnya Timtim dari Indonesia, Indonesia akan terbebas dari beban nasional dan internasional yang sudah berkepanjangan dan telah menguras banyak energi, pemikiran, dan bahkan pengorbanan jiwa dan raga. "Untuk selanjutnya, kita bisa berkonsentrasi menghadapi abad ke-21 tanpa gangguan masalah internasional yang selama lebih dari dua dekade telah memojokkan posisi kita di mata dunia internasional." kata B. J. Habibie ketika memberikan penjelasan mengenai masalah Timor Timur pada Sidang Paripurna DPR tanggal 21 September 1999. Kebijakan pemerintah menyelenggarakan jajak pendapat tersebut merupakan pencerminan sikap politik internasional Indonesia yang menunjukkan kesungguhan dalam menegakkan demokrasi dan penghargaan terhadap hak asasi manusia. Lebih dari itu, sikap politik ini sesuai dengan amanat UUD 1945, utamanya dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pembukaannya, yaitu menegakkan perikemanusiaan dan perikeadilan. Kedua nilai inilah yang menjadi dasar para pendiri bangsa memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dua nilai dasar inilah yang menjadi semangat bangsa Indonesia dalam memelopori gerakan bangsa-bangsa Asia-Afrika untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan, serta telah menjadi acuan dan pegangan dalam membantu rakyat Timtim untuk merdeka dari penjajahan Portugal.[25] "Karena rakyat Timtim sesuai dengan hati nuraninya telah menyatakan pendapat untuk hidup dengan menolak tawaran otonomi luas dengan status khusus, maka kita sebagai bangsa harus menghormati dan menerima pilihan mereka. Hal itu sesuai dengan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam UUD 1945. Atas dasar itu, maka diharapkan MPR yang akan melakukan Sidang Umum dapat kiranya menampung aspirasi rakyat Timor Timur tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam konstitusi kita." harap B. J. Habibie di depan Sidang Paripurna DPR tanggal 21 September 1999. Menanggapi hasil jajak pendapat tersebut, Sekjen PBB Kofi Annan menyatakan bahwa tidak ada yang menang dan tak ada yang kalah dalam jajak pendapat ini. Ini adalah kesempatan yang tepat bagi seluruh rakyat Timtim untuk bersama-sama membangun masa depan dan menjadi Timtim yang merdeka. Sementara itu, Perdana Menteri Portugal Antonio Guterres, menilai bahwa hasil jajak pendapat ini adalah kemenangan demokrasi bagi seluruh rakyat Timtim. Diharapkan semua proses dapat berlangsung damai atas jaminan PBB. Ada beberapa hikmah yang dapat diambil dari lepasnya Timor Timur, antara lain, beban anggaran pemerintah akan berkurang. Sebelumnya pemerintah harus menyediakan dana sebesar 97% dari seluruh biaya pembangunan Timor Timur. Sisanya yang 3% berasal dari pendapatan asli daerah Timor Timur untuk melaksanakan pembangunan Timtim. Selain itu, pemerintah juga harus menyediakan anggaran yang cukup besar untuk agenda diplomasi Indonesia di berbagai forum internasional. Memasuki tahap kedua setelah jajak pendapat ini, sesuai Kesepakatan New York, masalah keamanan di Timtim merupakan tanggung jawab Indonesia. Namun, tampaknya keamanan pasca jajak pendapat menjadi masalah tersendiri. Bentrokan senjata antara kelompok pro dan kontra kemerdekaan, Pemerintah Indonesia menetapkan darurat militer dengan tujuan untuk menghentikan aksi kekerasan dan permusuhan kedua kelompok tersebut. Langkah Pemerintah Indonesia ini mendapat dukungan dari PBB dan beberapa negara besar, tetapi Sekjen PBB Kofi Annan mendesak Pemerintah Indonesia untuk menerima kehadiran pasukan internasional dengan pimpinan Amerika Serikat di Timor Timur, meskipun kehadiran pasukan penjaga perdamaian Timtim itu sebenarnya tidak disyaratkan oleh Perjanjian New York. Setelah B. J. Habibie berkonsultasi dengan pimpinan DPR dan pimpinan fraksi, para pimpinan tersebut dapat memahami langkah-langkah yang diambil pemerintahan B. J. Habibie. Akhirnya kehadiran pasukan multinasional dapat diterima dengan kondisi yang disyaratkan Indonesia.[32] Meskipun demikian, kehadiran pasukan tersebut tetap dalam kerangka kerja sama keamanan untuk mewujudkan stabilitas keamanan di Timtim guna menciptakan kedamaian, melindungi rakyat yang terkena musibah, dan melaksanakan hasil-hasil jajak pendapat. Sebelum melakukan konsultasi ini, B. J. Habibie sebelumnya telah memperhatikan laporan dari Sekjen PBB dan utusan DK PBB yang telah berkunjung ke Timtim serta laporan dari Menlu Ali Alatas dan Dubes RI di PBB. "Sejak terjadinya gangguan keamanan dan kerusuhan di Timtim, telah banyak jatuh korban dan kerugian karena kehilangan tempat tinggal, yang apabila dibiarkan lebih lama akan menjadi lebih parah. Oleh karena itu, penderitaan dan kesedihan rakyat Timtim harus segera dihentikan. Untuk itu, saya memutuskan untuk segera memanfaatkan tawaran bantuan Pasukan Pemelihara Perdamaian dari negara-negara sahabat melalui PBB." ujar B. J. Habibie saat mengumumkan keputusan menerima pasukan PBB di Istana Merdeka. Pengumuman ini disiarkan langsung oleh TVRI dan RRI, diliput sekitar 100 wartawan dari dalam dan luar negeri. B. J. Habibie membacakan keputusannya dalam dua bahasa: pertama dalam bahasa Indonesia, kemudian dalam bahasa Inggris.[33] Mengenai pengiriman pasukan perdamaian PBB yang dipimpin Australia, pemerintah sebelumnya telah berkonsultasi dengan berbagai pihak dan mendengarkan laporan Menhankam/Panglima TNI bersama Kapolri yang telah mengunjungi Timtim pada 11 September 1999. Pemerintah berkesimpulan bahwa walaupun telah diberlakukan keadaan darurat militer untuk menciptakan keamanan dan ketertiban di Timtim terdapat kendala psikologis aparat keamanan dalam menciptakan keamanan dan ketertiban di lapangan. Atas dasar itu, Presiden Republik Indonesia pada tanggal 12 September 1999 memutuskan menerima tawaran PBB mengenai pengiriman Pasukan Pemelihara Perdamaian PBB untuk berpartisipasi dalam memulihkan keamanan dan ketertiban sampai keluarnya keputusan MPR tentang hasil jajak pendapat di Timtim pada masa Sidang Umum MPR Oktober 1999. Berkaitan dengan itu, B. J. Habibie telah pula mengutus Menteri Luar Negeri pada 12 September 1999 untuk menghadiri Sidang DK PBB. Dari pembicaraan dalam Sidang DK PBB, ternyata pengiriman Pasukan Pemelihara Perdamaian PBB memerlukan persiapan sekitar tiga bulan. Mengingat keadaan mendesak, maka untuk sementara dikirim Pasukan Multinasional PBB ke Timtim yang dapat dipersiapkan sekitar satu minggu. Hal itu dilakukan sambil menunggu proses persiapan Pasukan Pemelihara Perdamaian PBB. Negara yang paling siap dalam pengiriman Pasukan Multinasional adalah Australia, yang ternyata juga merupakan negara penyumbang kontingen terbesar. Karena lazimnya Komandan Pasukan Keamanan diberikan kepada negara pengirim kontingen pasukan terbesar, maka PBB menunjuk Australia sebagai pemimpin Pasukan Multinasional.[25] Begitulah adanya fakta nyata yang ditunjukkan melalui jajak pendapat. "Betapapun menyakitkan kenyataan yang dihadapi baik bagi bangsa Indonesia maupun warga Timtim yang telah memilih untuk tetap berintegrasi dengan Republik Indonesia, serta bagi keluarga prajurit TNI, Polri, dan pegawai negeri yang dengan penuh dedikasi telah mengorbankan jiwa dan raganya dalam membangun Timtim, saya berharap agar kita menerima kenyataan itu apa adanya, dengan sikap realistis dan ikhlas. Harapan ini saya kemukakan agar kita dapat menutup halaman sejarah masa lampau pada detik-detik akhir milenium ini, dan membuka lembaran baru sejarah memasuki abad pertama milenium ketiga, yang akan kita isi dengan kerja keras demi tercapainya masa depan yang lebih cerah." kata B. J. Habibie. "Niat saya hanya satu, yaitu agar penyelesaian masalah Timor Timur tidak menjadi berlarut-larut sehingga dalam menyelesaikan krisis dan memasuki milenium ketiga bangsa Indonesia sudah berada dalam keadaan bebas dari tekanan internasional. Seperti kebijakan-kebijakan saya dalam penyelesaian konflik lainnya, pegangan yang selalu saya gunakan adalah nilai-nilai dasar yang menjiwai Pembukaan UUD 1945, yaitu dalam kerangka menegakkan nilai-nilai perikemanusiaan dan perikeadilan yang berdasarkan nilai-nilai hak asasi manusia secara bertahap di Tanah Air tercinta." Demikian B. J. Habibie mengakhiri penjelasannya mengenai masalah Timor Timur pada Sidang Paripurna DPR. Masalah Timor Timur dalam waktu singkat telah menguji kenegarawanan B. J. Habibie di mata dunia. Masalah ini telah menjadi perhatian dan opini dunia. Timor Timur telah menjadi bahan perdebatan yang tak henti-hentinya di PBB selama 24 tahun, dan akhirnya kini berakhir oleh sebuah ofensif diplomasi seorang negarawan. Referensi
|