Johannes Warneck
Dr. (H.C.) Johannes Warneck (disingkat J. Warneck; 4 Maret 1867 – 1 September 1944) adalah seorang pendeta, misionaris, dan Ephorus HKBP ke-2.[a] Ia ditahbiskan sebagai pendeta pada 1892 dan diutus sebagai misionaris ke Tanah Batak oleh RMG.[1] Pada tahun 1893, Warneck memulai karya misinya di Nainggolan, Samosir. Ia memperlebar karya misinya hingga ke Balige, Toba pada 1895. Kemudian, ia dipanggil sebagai pengajar untuk membantu Pdt. Peter Hinrich Johannsen di Seminari Pansur Napitu pada 1896. Warneck mengisi posisi yang ditinggalkan Pdt. Jacobus Henricus Meerwaldt pulang ke Belanda. Warneck datang bersama istrinya, Gertrud Winkler, dan kedua putrinya, Elisabeth dan Kaitie.[2] PerananSeminari dan gerejaWarneck mengajar di Seminari Pansur Napitu sejak tahun 1896. Pada 11 Januari 1898, P. H. Johansen meninggal dunia, sehingga seminari dikelola oleh Warneck sendirian. Seminari ini kemudian dipindahkan oleh Warneck ke tempat yang lebih besar di Sipoholon pada 1901. Ia mengajar di sana hingga tahun 1908. Seusai mengajar di Sipoholon, Warneck sempat kembali ke Jerman dan memimpin misi RMG untuk Afrika pada 1911. Setelah itu, Warneck mengajar sebagai dosen ilmu misiologi di Jerman mulai tahun 1912 hingga 1918. Pada tahun 1919, ia kembali ke Tanah Batak untuk menggantikan posisi Nommensen sebagai ephorus. Di seminari dan gereja, Warneck menggunakan kitab Perjanjian Lama berbahasa Batak terjemahan Nommensen dan kitab Perjanjian Baru berbahasa Batak terjemahan Johansson. Selain itu, Warneck juga menggunakan Katekismus Marthin Luther berbahasa Batak terjemahan Nommensen. MajalahSelain mengelola seminari, Warneck juga pernah memimpin majalah Surat Parsaoran Immanuel. Majalah ini merupakan sarana bagi jemaat-jemaat Kristen Batak untuk memberi kesaksian tentang perkembangan mereka masing-masing. Buku rohaniUntuk melengkapi kebutuhan gereja yang sedang berkembang, Warneck mengarang beberapa buku rohani, di antaranya Jamita Huria dan Surat ni Markus (tafsir Injil Markus) pada 1893. Budaya BatakSetelah banyak orang Batak yang menjadi Kristen, beberapa di antara artefak Batak ada yang dibuang dan dibakar. Untuk meminimalisasinya, Warneck mendirikan museum pribadi khusus menyimpan artefak-artefak Batak. Ia juga menuliskan buku tentang kebudayaan Batak seperti Studien Ueber die Literatur der Tobabatak (1899), Umpama Batak (1902), Ilmu Bumi Asia (1905), dan Tobabataksch-deutsches Woerterbuch (1906). PenghargaanAtas jasa besarnya bagi Tanah Batak, nama Johannes Warneck diabadikan sebagai nama salah satu ruas jalan di Nainggolan, Samosir.[3] Catatan
Referensi
|