Jingi Tiu

Jingi Tiu atau Jingi ti au merupakan agama asli dari suku Sabu yang juga dikenal sebagai Savu, Sawu, atau Hawu yang berasal dari Rai Hawu,[1] Kabupaten Sabu Raijua, Pulau Sabu di provinsi Nusa Tenggara Timur. Kepercayaan Jingitiu meyakini bahwa segala sesuatu yang ada di Rai Wawa atau dunia bawah ini yaitu berupa manusia, langit, tumbuh-tumbuhan, laut, hewan, bumi secara tidak langsung berasal dari tuhan yang mereka sebut sebagai Deo Ama yang berarti Dewata/Elohim/Allah Bapa. Deo Ama adalah Sang Pencipta yang berada jauh dari kehidupan sehari-hari. Deo Ama merupakan entitas tertinggi dan dihormati bagi Suku Sabu. Oleh karena itu, tidak ada aturan sesaji yang dipersembahkan kepada Deo Ama dan namanya tidak boleh disebut bagi Suku Sabu. Adapun Deo Ama memiliki nama lain seperti Deo Woro Deo Penynyi yang artinya ELOHIM/ALLAH/DEWATA Mengumpulkan dan Menciptakan, dan kata TUHAN dalam li Hawu yakni MURI artinya "HIDUP" / YANG HIDUP.[2]

Asal mula kepercayaan

Awalnya kepercayaan Jingi Tiu sama sekali tidak memiliki nama sampai datangnya para penginjil dan pendeta dari Portugis ke kampung suku Sabu pada tahun 1625 menamai kepercayaan tersebut dengan nama Gentios yang artinya kafir atau tidak bertuhan. Jingi Tiu sendiri berasal dari cara pelafalan suku Sabu terhadap kata Gentios tersebut. Jingi berarti menolak, Ti artinya dari, Au atau U artinya Tuhan sehingga dapat diartikan Jingi Tiu berarti "menolak perintah Tuhan" menurut ajaran agama Kristen.[3]

Para orang Sabu dan para Mone Ama atau pemuka agama awalnya tidak menyadari arti kata Jingi Tiu tersebut sehingga mereka tidak membantah dan dianggap menerima saja istilah Jingi Tiu dari para penginjil dan pendeta Portugis tersebut. Setelah menyadari bahwa Jingi Tiu memiliki konotasi negatif, para orang Sabu dan para Mone Ama atau pemuka agama awalny ingin mengubah nama tersebut namun sudah terlambat. Alasannya karena nama Jingi Tiu sudah terlanjur melekat sebagai identitas kepercayaan mereka dan orang-orang sudah terbiasa dengan nama Jingi Tiu sehingga para orang Sabu dan para Mone Ama atau pemuka agama tetap sepakat menyandang Jingi Tiu sebagai nama ajaran mereka sampai sekarang.[4]

Konsep dasar kepercayaan Jingi Tiu tidak mengenal istilah khusus yang mewakili keprcayaan mereka. Bagi orang Suku Sabu Jingi Tiu adalah penerapan keprcayaan terhadap kehidupan sehari-hari dibawah aturan Uku yang artinya Aturan Adat agar terjadi keseimbangan antara manusia dan alam. Penyimpangan dari Uku tersebut dapat mengganggu keseimbangan tersebut yang timbul berupa krisis dalam kehidupan mereka seperti terjadi kematian yang tidak wajar ditengah-tengah mereka, kemarau yang berkepanjangan, timbulnya serangan hama yang menyerang hasil pertanian mereka, dan bencana lainnya.[4]

Selain itu Suku Sabu juga percaya adanya berbagai dewa yang tingkatannya lebih rendah dari Deo Ama. Dewa tersebut terdiri dari 3 oknum yaitu (Rai Balla) dewa yang menjaga bumi, (Dahi Balla) dewa yang menjaga laut, dan (Riru Balla) dewa yang menjaga langit. Dewa- dewa tersebut mengatur berbagai aspek kehidupan manusia terutama Suku Sabu seperti mengatur musim hujan oleh Bani Ae yang artinya Puteri Agung, mengatur nira, mengatur musim kemarau, melindungi dan mengembangbiakkan berbagai hewan ternak terutama Kambing, menjaga keseuburan tanah, serta menumbuhkan tanaman oleh Riru Balla.[2]

Selain untuk mengatur kehidupan manusia, ada makhluk halus lain yang bertugas untuk melindungi kampung penduduk Suku Sabu. Makhluk halus tersebut terdiri dari Uli Rae dan Maki Rae yang artinya Pengendali Kampung. Uli Rae berjaga disebelah kanan gerbang timur kampung sementara Maki Rae berjaga disebelah kiri gerbang timur kampung. Selain itu ada Tiba Rae yang artinya Penangkis Kampung serta Aji Rae yang artinya Penahan Kampung. Mereka semua berjaga agar menjadi Ngita manno Ngita Adu yang artinya Agar Dapat Diandalkan Dapat Keras serta Ngita Kemaki Ri Ngallu Apa yang artinya Tahan Terhadap Serangan Angin Buruk.[2]

Hubungan dan kesatuan antara alam dengan Suku Sabu diterapkan dalam berbagai upacara adat tradisional seperti perlunya mengadakan upacara adat dan sesajen terhadap Rai Balla setelah menggarap usaha tani guna memulihkan tanah yang luka serta agar Rai Balla tidak murka, bukan untuk persembahan kepada Deo Ama. Upacara adat tersebut juga berfungsi sebagai pemelihara keseimbangan antara Suku Sabu sebagai manusia, alam, serta dengan kekuatan gaib dari ketiga dewa tersebut yang mereka percayai.[5] Salah satu keseimbangan yang lain adalah keseimbangan peran gender antara laki-laki dan perempuan dalam melaksanan tugas dan kewajibannya masing-masing dalam suatu rumah tangga. Keseimbangan lainnya adalah mendatangkan Meringgi dan Menggeru serta dijauhi dari Pana. Meringgi yang artinya Dingin memiliki maksud keadaan damai dan sentosa. Menggeru yang artinya Hijau atau Subur memiliki maksud kesuburan pada hasil pertanian dan peternakan. Pana yang artinya Panas memiliki maksud malapetaka atau bencana yang datang.[4]

Saat ini jumlah penghayat kepercayaan Jingi Tiu menurun seiring perkembangan zaman. Mayoritas penduduk Suku Sabu pindah memeluk salah satu agama resmi di Indonesia yaitu Kristen Protestan yang pada tahun 2016 tercatat sekitar 89.86% dibandingkan dengan penghayat Jingi Tiu sebanyak 7.24%.[6] Agama Kristen Katolik dan Kristen Protestan masuk ke daerah Suku Sabu sekitar tahun 1970an. Walaupun menganut agama Kristen Protestan beberapa norma dan upacara dari kepercayaan Jingi Tiu masih dipertahankan.[1]

Dewan Mone Ama sebagai majelis adat dan agama

Dewan Mone Ama merupakan dewan adat Suku Sabu yang memimpin jalannya sebagian besar upacara adat serta menetapkan Uku atau peraturan adat yang berlaku di Suku Sabu. Seluruh anggota Mone Ama adalah tokoh adat yang merepresentasikan berbagai makhluk halus yang mengatur kehidupan kampung Suku Sabu yang dilantik secara Dou Pehami yang artinya Orang Yang Diolesi atau Diurapi. Berikut adalah anggota dari Dewan Mone Ama:[5][2]

Deo Rai

Deo Rai merupakan kepala adat dan memegang peranan tertinggi di Mone Ama. Deo Rai bertanggung jawab untuk memimpin seluruh upacara adat. Selain itu Deo Rai secara gaib juga bertanggung jawab dalam kegiatan pada musim hujan.[2]

Mau Kia

Mau Kia merupakan panglima perang yang bertanggung jawab mengenai kegiatan perang dalam adat Suku Sabu.

Pulodo Wadu

Pulodo Wadu merupakan pemelihara adat yang bertanggung jawab dalam menjaga Uku atau peraturan adat Suku Sabu.[5] Selain itu, Pulodo Wadu secara gaib juga bertanggung jawab dalam kegiatan pada musim kemarau serta memelihara kesuburan tanah pertanian.[2]

Do Heleo

Do Heleo merupakan pengawas kampung yang bertanggung jawab dalam mengawasi segala sesuatu di kampung Suku Sabu.[5]

Rue

Rue merupakan tokoh yang bertanggung jawab untuk menyucikan atau membersihkan kembali setelah terjadinya penyimpangan dalam kehidupan Suku Sabu.[2]

Rumah ibadah

Rumah ibadah para penghayat kepercayaan Jingi Tiu digunakan untuk melaksanakan berbagai upacara adat Suku Sabu dan juga digunakan sebagai tempat ibadah keyakinan Jingi Tiu. Ada tempat lain yang dikenal sebagai Nada berupa lapangan luas yang khusus digunakan untuk meletakkan persembahan kepada makhluk halus diatas Wadu atau Wowadu yang artinya batu untuk meminta berbagai hajat.[7] Rumah ibadah Suku Sabu memiliki berbagai nama yang mewakili fungsinya masing-masing:[2]

  • Ammu Deo yang artinya rumah tuhan tempat berlangsungnya upacara dan pemujaan yang dipimpin oleh Deo Rai
  • Ammu Kepue atau Ammu Ada atau Ammu Ngaa Kewahhu yang artinya rumah asal bagi satu keturunan untuk berkumpul kembali (Pe Ada) untuk melaksanakan upacara (Ngaa Kewahhu) pada waktu-waktu tertentu. Ammu Kepue juga disebut sebagai Ammu Ae (Rumah Besar) yang artinya rumah besar yang dapat menampung banyak orang ketika melaksanakan upacara adat yang dipimpin oleh Bangngu Udu yang artinya Kepala Marga.
  • Ammu Maja yang artinya rumah untuk menghormati tokoh bernama Maja Pai Jawa dengan melaksanakan upacara yang disebut Mone Ama.
  • Ammu Rue yang artinya rumah untuk melaksanakan upacara penyucian setelah melakukan pelanggaran, terutama Perzinahan. Upacara dilangsungkan oleh pemangku adat yang mereka sebut sebagai Rue.[2]

Adapun bentuk bangunan rumah ibadah berbentuk persegi panjang dengan bagian samping melebar yang berbentuk setengah lingkaran membentuk elips. Bagian atap rumah ibadah ini sendiri berbentu perahu terbalik dan dilapisi dengan dedaunan lebat yang mereka sebut sebagai Roukoko yang artinya bulu leher. Ukuran Roukoko sendiri mengikuti panjang balok bubungan yang disebut Bangngu.[2]

Dari panjangnya balok Bangngu dapat pula ditentukan jumlah kasau (balai-balai pada atap rumah) yang disebut sebagai Worena. Jumlah Worena wajib berjumlah ganjil dengan sisa 1 (satu) Worena terletak di belakang rumah. Penyebutan Ammu atau rumah sendiri mengikuti banyaknya jumlah Worena seperti Wo Tallu yang artinya 3 (tiga), Wo Lammi yang artinya 5 (lima), Wo Pidu yang artinya 7 (tujuh), Wo Heo yang artinya 9 (sembilan), dan seterusnya. Bentuk tiang rumah ibadah berbentuk bulat karena menurut mereka bulat artinya kuat, utuh dan mampu menolak bala. Salah satu keunikan rumah ibadah ini adalah ketiadaannya dinding karena menurut Suku Sabu menandakan keterbukaan eskistensi manusia terhadap Tuhan terutama dalam hubungan penyucian dan pelanggaran sehingga tidak ada penghalang lagi diantara mereka. Bagi mereka yang telah melakukan pelanggaran diwajibkan untuk mengitari Ammu Rue sebanyak 3 (tiga) kali sembari diasapi oleh pemangku adat yang disebut sebagai Rue. Proses upacara penstabilan tersebut dinamai Alle Pe Kehao Rowi Rue yang artinya telah disucikan atau telah dibasuh oleh Rue.[2]

Upacara adat kepercayaan

Upacara Dabba Ana

Upacara Dabba Ana merupakan upacara pemandian bayi setelah dilahirkan. Upacara tersebut seperti halnya upacara Basuh Lantai di Daik Lingga, provinsi Kepulauan Riau tetapi berbeda tatacara dan maknanya. Upacara yang dilaksanakan pada bulan Dabba Aki ini bertujuan agar sang bayi diterima oleh Deo Ama dan dibaptis agar diakui menjadi Jingi Tiu. Proses upacara Dabba Ana diawali dari prosesi pemandian bayi dalam suatu wadah penampungan air hingga diakhiri dengan prosesi mencukur rambut. Jika bayi yang dilahirkan meninggal sebelum upacara Dabba Ana maka bayi tersebut disebut sebagai Anak Domehari sehingga tidak perlu melaksanakan ritual Dabba Ana.[8]

Upacara Tali Manu Dabba

Upacara Tali Manu Dabba merupakan upacara adat berupa Sabung ayam yang dilakukan selama 2 (dua) hari dalam setahun kalender adat Suku Sabu di sebuah arena yang disebut Dara Nada. Adanya upacara Tali Manu Dabba merupakan respon dari Suku Sabu atas pentingnya Hak Asasi Manusi karena punahnya generasi penerus jika peperangan antar suku terus dilanjutkan. Oleh karena itu para leluhur mengganti peperangan antar manusia menjadi peperangan antar hewan yaitu ayam. Upacara adat Tali Manu Dabba dibentuk menjadi 2 (dua) kubu yaitu kubu atas yang disponsori oleh Hari Djuda dan kubu bawah yang disponsori oleh Nagngi Lay. Kedua kubu tersebut terdiri dari beberapa kelompok yang disebut sebagai Ada. Pada Ada atas terdiri dari Ada Gopo, Ada Rae Kewore, Ada Dabba, dan Kota Hawu. Sementara untuk Ada bawah terdiri dari Ada Hului, Ada Eiko, Ada Raja Mara, Ada Ei Tede, dan Ada Rae Wiu.[9]

Upacara Heko Nyale Dabba atau Hibu Nyale Dabba

Upacara Heko Nyale Dabba atau Hibu Nyale Dabba merupakan upacara adat dalam menangkap Nyale atau biasa disebut sebagai cacinng laut yang hidup di lubang-lubang karang yang terletak dibawah permukaan laut. Menurut legenda Suku Sabu, Nyale tersebut merupakaan jelmaan dari seorang putri yang terkena penyakit kulit dan berubah menjadi cacing laut ketika mencari ikan bersama ibunya di laut. Ketika berubah menjadi Nyale putri tersebut berkata pada ibunya akan muncul pada waktu tertentu dan tidak akan menampakkan diri jika terdapat perempuan hamil, perempuan menyusui, perempuan yang tegah datang bulan, serta orang tua yang anaknya belum dimandikan dalam upacara Dabba Ana. Berdasarkan legenda tersebut, perempuan hamil, perempuan menyusui, perempuan yang tegah datang bulan, serta orang tua yang anaknya belum dimandikan dalam upacara Dabba Ana dilarang untuk mengikuti upacara Heko Nyale Dabba atau Hibu Nyale Dabba tersebut.[10]

Upacara Pemau Do Made

Upacara Pemau Do Made merupakan upacara penyucian arwah orang yang sudah meninggal sebelum berangkat menuju nirwana atau surga. Upacara adat Pemau Do Made dilaksanakan selama 3 (tiga) hari secara berturut-turut. Pada hari pertama keluarga dari orang yang telah meninggal saling berkumpul. Dari pihak laki-laki bertugas membawa hewan ternak seperti kamping atau babi beserta pangan lain seperti Padi, Kacang hijau, dan Sorgum sementara pihak perempuan mengumpulkan bahan-bahan tersebut. Pada hari kedua keluarga tersebut akan berpakaian berwarna putih kemudian keluar berkeliling kampung sembari menyanyi nyanyian adat diiringi tangisan ratapan menuju tempat pembuangan. Setelah sampai di tempat pembuangan tersebut, mereka semua nantinya disucikan kembali menggunakan asap dupa dan air. Pada hari ketiga dimulailah penyembelihan seluruh hewan ternak yang telah disediakan pada hari pertama. Seluruh hewan ternak tersebut disembelih sebagai persembahan disebuah tempat yang disebut Pai. Nantinya sisa dari hewan ternak yang belum disembelih akan disembelih untuk dibagikan ke seluruh masyarakat Suku Sabu.[11]

Upacara Bui Ihi Hole

Upacara Bui Ihi Hole merupakan upacara yang dilaksanakan dalam rangka mengungkapkan rasa syukur terhadap hasil panen yang telah dipeorleh. Upacara ini dilaksanakan bertujuan untuk menyucikan kembali ladang yang telah mereka panen serta dijauhi dari malapetaka seperti hal-hal jahat dan penyakit dan wabah. Upacara Bui Ihi Hole ini diselenggarakan dengan nyanyian adat dengan sebuah tarian dengan gerakan sederhana yang disebut tarian Padoa[12][3]

Kalender adat suku Sabu

Menurut kefettoran (distrik) Seba terdapat pembagian waktu selama 1 (satu) tahun sebanyak 12 (dua belas) bulan yang tiap bulan terdapat almanak kerja permanen yang dipelopori dan dikerjakan oleh Mone Ama. Pekerjaan tersebut terdiri dari pekerjaan sehari-hari maupun upacara-upcara keagamaan Jingi Tiu. Kalender adat Suku Sabu yang disebut sebagai Kewehu Rai ini menghitung hari ritualnya berdasarkan perhitungan bulan komariah.[13] Kedua belas bulan tersebut terdiri dari:[4]

Helila Wadu atau Kelila Wadu

Bulan Helila Wadu atau Kelila Wadu jatuh pada bulan Juli sampai Agustus. Pada bulan ini Suku Sabu diselenggarakannya salah satu amanat dari Dewan Mone Ama yaitu Puru Hogo berupa iris tuak dan masak gula untuk pertama kali. Gula dan Tuak yang merupakan salah satu bahan makanan pokok Suku Sabu.

Tunu Manu

Bulan Tunu Manu jatuh pada bulan Agustus sampai September. Pada bulan ini waktunya untuk menyelenggarakan upacara persembahan berupa penyembelihan seekor ayam dan seekor babi diatas batu persembahan bernama Wowadu Tunu Manu yang terletak di desa Rai Nyale.

Bagaraé

Bulan Bagaraé jatuh pada bulan September sampai Oktober. Pada bulan ini diselenggarakannya salah satu amanat dari Dewan Mone Ama yaitu Baga Rae sebagai tanda berakhirnya kegiatan masak gula dan iris tuak. Penyelenggaraan upacara Baga Rae selain untuk memeriksa curah hujan pada musim penghujan yang akan datang juga sebagai antisipasi tidak terjadi malapetaka seperti terhindar dari musuh dan adanya korban jiwa. Dari sisi sosial, penyelenggaraan upacara Baga Rae agar tali persaudaraan antara warga udu dan kerongo makin erat.

Koöma

Bulan Koöma jatuh pada bulan Oktober sampai November. Pada bulan ini diselenggarakannya salah satu amanat dari Dewan Mone Ama yaitu Djelli Ma sebagai tanda untuk membersihkan kebun. Penyelenggaraan upacara Djelli Ma untuk persiapan terakhir sebelum memasuki musim tanam di sawah atau di ladang.

Naiki Kebui

Bulan Naiki Kebui jatuh pada bulan November sampai Desember. Pada bulan ini tidak ada penyelenggaraan upacara sehingga Suku Sabu melakukan aktivitas lain seperti menyiangi sawah dari hama rumput. Jika tidak terjadi hujan, orang Suku Sabu dibawah pimpinan Deo Rai menyelenggarakan upacara meminta hujan kepada Deo Ama.

Wila Kolo

Bulan Wila Kolo jatuh pada bulan Desember sampai Januari. Pada bulan ini Suku Sabu menyelenggarakan upacara untuk meminta kepada Deo Ama agar hasil pangan baik dari kebun maupun sawah terhindar dari berbagai malapetaka seperti angin topan, angin badai, serta gelombang air laut. Selain itu, mereka juga meminta agar hasil panen nanti kian melimpah.

Hanga Dimu

Bulan Hanga Dimu jatuh pada bulan Januari sampai Februri. Pada bulan ini dilaksanakannya upacara sebelum memulai panen kacang hijau. Pelaksanaan upacara tersebut dalam rangka syukur kepada Deo Ama yang telah telah mengabulkan doa mereka saat pelaksanaan upacara di bulan Wila Kolo sebelumnya.

Dabba Akki

Bulan Daba Akki jatuh pada bulan Februari sampai Maret. Pada bulan ini diselenggarakannya 2 (dua) amanat dari Dewan Mone Ama yaitu Dabba dan sebagai tanda pembatisan bayi yang baru lahir serta Hapo sebagai pengesahan anak dalam daur hidup Suku Sabu. Adapun daur hidup Suku Sabu terdiri dari:

  • Metana yang artinya Lahir
  • Pe Wie Ngara yang artinya Pemberian Nama
  • Hapo yang artinya Pengakuan atau Pengesahan Anak
  • Dabba yang artinya Baptis
  • Leko Wue yang artinya Belajar Mengenakan Pakaian
  • Bagga yang artinya Sunat
  • Peloko Nga'a yang artinya Potong Gigi dan Perkawinan
  • Made yang artinya Kematian.

Dabba Aé

Bulan Dabba Aé jatuh pada bulan Maret sampai April. Pada bulan ini tidak ada penyelenggaraan upacara adat melainkan penyelenggaraan pesta dalam rangka menyambut hari ketiga setelah panen sorgum dan pesta Pado'a

Banga Liwu

Bulan Banga Liwu jatuh pada bulan April sampai Mei. Pada bulan ini diselenggarakannya 2 (dua) amanat dari Dewan Mone Ama yaitu Banga Liwu dan Hole. Upacara Banga Liu diadakan bertujuan untuk mendinginkan berbagai objek benda yang umumnya berkaitan dengan pertanian seperti kebun kelapa, kebun kapas, pinang, serta hewan ternak. Sementara itu pada bulan yang sama juga diadakan Upacara Pe-do'a Bui Ihi Hole dengan membawa sirih pinang ke kuburan leluhur untuk menghormati arwah para leluhur.

Werru Aa atau

Bulan Werru Aa atau jatuh pada bulan Mei sampai Juni. Pada bulan ini diselenggarakan upacara persembahan berupa pembenaman seekor ayam jantan kedalam sungai dalam keadaan hidup-hidup. Penyelenggaran upacara tersebut untuk menutup mulut sungai agar segala hasil pertanian Suku Sabu tidak keluar dari kampung mereka sehingga mereka tidak terkena kelaparan karena kekurangan pangan.

Ari

Bulan Ari jatuh pada bulan Juni sampai Juli. Pada bulan ini tidak ada penyelenggaraan upacara adat.[4][7]

Penyusunan 12 (dua belas) bulan tersebut berdasarkan atas 9 (sembilan) amanat dari Dewan Mone Ama disusun oleh Deo Ama yang terdiri dari:

  • Puru Hogo
  • Baga Rae
  • Djelli Ma
  • Hanga Dimu
  • Daba
  • Banga Liu
  • Holle
  • Hapo
  • Made[7]

Tokoh kemerdekaan berkeyakinan Jingi Tiu

  • Julian Hendrik atau dikenal sebagai Ludji He oleh masyarakat sekitar yang diangkat sebagai perintis kemerdekaan oleh Menteri Sosial Sapardjo pada tahun 1980 di masa pemerintahan Soeharto. Julian Hendrik tatkala berumur 24 tahun pada 3 Februari 1933 mengajak kru marine untuk mengambil alih kapal perang De Zeven Provincien (Kapal Tujuh Provinsi) dari pihak Kolonial Belanda yang dikenal sebagai Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi.[14]
  • Riwu Ga yang dijuluki sebagai terompet kemerdekaan oleh Soekarno. Tepat setelah proklamasi pada hari Jumat tanggal 17 Agustus 1945, Riwu Ga berani dan nekat mengumumkan berita mengenai proklamasi kemerdekaan Indonesia atas izin Laksamana Maeda. Riwu Ga kala itu mengumumkan sambil mengibarkan bendera merah putih mengitari kota Jakarta dengan mobil Jip yang dikendarai oleh Sarwoko.[15] Riwu Ga juga berjasa menggagalkan aksi pelarian Soekarno ke Australia oleh pihak Kolonial Belanda karena Soekarno bersikeras membawa Riwu Ga tetapi dilarang oleh pihak kolonial Belanda.[16] Riwu Ga diasuh oleh pihak keluarga Soekarno semasa pernikahannya dengan Inggit Garnasih pada tahun 1934 saat berusia 18 (delapan belas) tahun ketika Ia ditahan di Ende dan akhirnya dilepas oleh keluarganya dengan upacara adat Jingi Tiu.[17]

Referensi

  1. ^ a b Ndolu, Erni Frida. "Kampung Adat Namata, Sejarah Penganut Jingitiu". NTT – Terkini. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-04-12. Diakses tanggal 2019-04-12. 
  2. ^ a b c d e f g h i j k Arsitektur Tradisional Daerah Nusa Tenggara Timur. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. 1986. hlm. 15 sampai 32. 
  3. ^ a b "Hole ("Suatu Tinjauan Sosio-Antrpologi Terhadap Makna Hole dalam Kekristenan Jemaat Gmit Ebenheazer-Lederabba Sabu Mesara")". Program Studi Teologi FTEO-UKSW: 34 sampai 42. 2013. 
  4. ^ a b c d e "Pebale Rau Kattu Do Made: narasi tempat dan identitas kultural dalam ritual kematian orang Sabu Diaspora". Magister Sosiologi Agama Program Pascasarjana FTEO-UKSW: 75 sampai 78. 2016. 
  5. ^ a b c d Melalatoa, M. Junus (1995). Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia Jilid L-Z. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan. hlm. 723. 
  6. ^ "Agama penduduk di Sabu Raijua". Situs Resmi Pemerintah Kab. Sabu Raijua. Diakses tanggal 2019-04-12. 
  7. ^ a b c Detaq, Yakob Y. (1973). Memperkenalkan Kebudayaan Suku Bangsa Sawu. Ende, Flores: Nusa Indah. hlm. 24 sampai 26. ISBN 9798793862. 
  8. ^ "Asal Muasal Upacara Adat Dabba Ana". Situs Resmi Pemerintah Kab. Sabu Raijua. Diakses tanggal 2019-04-12. 
  9. ^ "SEJARAH LAHIRNYA RITUAL ADAT TALI MANU DAB'BA". Situs Resmi Pemerintah Kab. Sabu Raijua. Diakses tanggal 2019-04-12. 
  10. ^ "RITUAL NGA'A NYALE dan HEKO NYALE DI KABUPATEN SABU RAIJUA". Star News NTT.COM. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-04-12. Diakses tanggal 2019-04-12. 
  11. ^ "Ritual Pemau Do made, Cara Jingitiu Meretas Jalan Menuju Nirwana | Seputar NTT" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-04-12. 
  12. ^ Bandung, Perpustakaan ISBI. "Perpustakaan ISBI Bandung". perpustakaan.isbi.ac.id. Diakses tanggal 2019-04-12. 
  13. ^ "Savuraijua Tourism | Agama Suku : Agama Suku". savuraijuatourism.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-04-12. Diakses tanggal 2019-04-12. 
  14. ^ 53788620694 (2015-12-04). "JPNN". www.jpnn.com. Diakses tanggal 2019-04-12. 
  15. ^ Agu 2017, Ola Keda17; Wib, 03:09. "Mengenal Sosok Riwu Ga, Sang Terompet Proklamasi". liputan6.com. Diakses tanggal 2019-04-12. 
  16. ^ Nov 2016, Ola Keda02; Wib, 07:33. "Bung Karno Janji Jaga Riwu Ga dengan Nyawanya". liputan6.com. Diakses tanggal 2019-04-12. 
  17. ^ Bung Karno di antara saksi dan peristiwa. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 2009. hlm. 27. ISBN 9789797094096. 
Kembali kehalaman sebelumnya