JaponismeJaponisme (pertama kali digunakan pada 1872[1]) adalah pengaruh seni, mode dan aestetis Jepang pada budaya Barat.[2][3] Istilah tersebut biasa digunakan untuk merujuk pada pengaruh Jepang pada seni Eropa, khususnya dalam impresionisme.[4] Setelah pelabuhan-pelabuhan di Jepang dibuka kembali untuk berniaga dengan dunia barat pada tahun 1853, ada gelombang besar impor besar-besaran yang membanjiri Eropa. Pada tahun 1872, istilah “japonisme” ini mulai dikenal, saat memberi pengaruh besar pada budaya Eropa – terutama pada aliran yang sudah lebih dulu ada: impresionisme. Berawal dari kehadiran benda-benda keramik asal Jepang yang diimpor dari Arita, rupanya keindahannya begitu memesona orang-orang Prancis ketika itu. Mereka mulai mengoleksi benda-benda seni asal Jepang, terutama ukiyo-e. Pada tahun 1856, seorang seniman Prancis, Felix Bracquemond, tanpa sengaja menemukan sebuah buku sketsa “Hokusai Manga” di tempat kerjanya. Tak lama setelah itu, karya Hiroshige, Utamaro, Hokusai juga sampai ke Eropa dan memberi pengaruh pada poster-poster karya Henri de Toulouse-Lautrec, juga Van Gogh. Nggak hanya dalam seni lukis, Japonisme ini juga masuk ke dalam seni sastra. Pierre Loti mempublikasikan novelnya “Madame Chrysanthème” pada tahun 1887, yang menceritakan kisah percintaan seorang tentara yang menikahi seorang geisha ketika dirinya ditempatkan di Nagasaki. Kisah ini kemudian menginspirasi Giacomo Puccini untuk menuliskan “Madame Butterfly”. Galeri
SumberCatatan
Referensi
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Japonism.
|