JakartasentrismeJakartasentrisme atau Jakartasentris (Jaktris) adalah istilah untuk menyebut dominasi budaya, ekonomi dan politik Jakarta terhadap wilayah-wilayah lain di Indonesia. Gagasan Jakartasentrisme mulanya muncul sebagai salah satu permasalahan jurnalisme di Indonesia. Media massa cenderung memberitakan dan menampilkan apa yang terjadi di Jakarta dan karakteristik demografi Jakarta sehingga permasalahan-permasalahan dan masyarakat dari luar kelompok itu tidak mendapatkan perhatian. Kawasan sosial dan budaya Jakartasentrisme tidak hanya meliputi Jakarta, melainkan meluas termasuk di dalamnya Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi atau dikenal dengan istilah Jabodetabek.[1][2] Walaupun pada awalnya digunakan dalam bidang media massa, istilah ini kemudian juga dipakai untuk menggambarkan dominasi yang sama di bidang lain. Dari kajian CIPG tahun 2013, lebih dari sepertiga konten penyiaran di Indonesia adalah mengenai Jakarta. Hal ini membuat warga di penjuru Indonesia lebih tahu peristiwa yang tengah terjadi di Jakarta daripada kejadian yang terjadi di daerahnya sendiri atau wilayah sekitarnya.[3] Riset lain yang dilakukan oleh Remotivi pada 2014 mengungkap angka yang lebih besar. Sebanyak 73% berita yang mendaku nasional di televisi berasal dari Jabodetabek.[1] PenyebabJakartasentrisme disebabkan banyak faktor, salah satunya industri periklanan yang tumbuh besar di Jakarta dan persentase penonton televisi di Indonesia yang didominasi warga Jabodetabek, yakni sebesar 60% dari total kesuluruhan penonton di Indonesia. Selain itu, konglomerasi media juga memainkan peran utama. Seluruh kantor pusat perusahaan media nasional berada di Jakarta dan oleh karenanya produksi berita diputuskan oleh orang-orang Jakarta yang secara langsung atau tidak langsung akan melancarkan kepentingan Jakarta untuk ditampilkan seolah-olah sebagai persoalan nasional. Pusat hiburan yang terkonsentrasi di Jakarta juga pada akhirnya menciptakan gambaran-gambaran yang Jakartasentris pada sinetron, film dan bahkan iklan-iklan yang ditayangkan.[1] Sulitnya mengembangkan televisi lokal juga menyumbang besarnya pengaruh Jakartasentrisme di media massa.[4] Di samping itu, kekuatan ekonomi Jakarta juga memberikan pengaruh besar. Sebanyak 70% dari arus perputaran uang nasional berkutat di Jakarta saja.[5]
DampakBudayaBudaya masyarakat Jakarta yang disiarkan melalui media massa mampu menguasai masyarakat Indonesia secara luas dan mendapatkan kedudukan sebagai budaya populer. Media massa Jakarta yang mengutamakan gambaran-gambaran kehidupan orang Jakarta membuat budaya Jakarta menjadi sebuah adibudaya (super-culture) yang secara perlahan mengesampingkan keberadaan kebudayaan daerah. Sebagai sebuah bentuk hegemoni, masyarakat Indonesia di berbagai daerah secara sukarela menerima paparan budaya Jakarta. Tayangan sinetron atau program hiburan lain yang Jakartasentris lalu dianggap penting dan menjadi bagian dari perbincangan sehari-hari. Lebih jauh lagi, hal ini kemudian menjadi semacam pedoman gaya hidup, gaya bicara, cara pandang ataupun gaya berbusana bagi masyarakat daerah.[4][6] Dalam hal kebahasaan, Jakartasentrisme melalui tayangan hiburan di televisi membuat sebagian masyarakat di daerah memilih berbicara dalam ragam bahasa Jakarta karena dianggap lebih keren atau lebih bergengsi (prestise).[7] Bahasa gaul Jakarta, yang berbeda dengan bahasa Betawi, disebut telah menggerus keberadaan bahasa Indonesia baku dan bahasa-bahasa daerah. Hal ini mengancam keanekaragaman bahasa di Indonesia, terlebih bahasa daerah diberi label buruk, seperti kampungan atau norak, oleh pengguna bahasa gaul Jakarta.[8] Saat ini, Jakartasentrisme sudah tidak hanya menjamur di televisi saja, namun sudah menjamur ke media sosial, terutama seperti TikTok, Twitter/X, Threads, YouTube, dan Instagram yang mayoritas konten kreatornya adalah kaum milenial dan generasi Z. Dan kebanyakan tren-tren di media sosial adalah kebanyakan berasal dari Jabodetabek. Contoh konten kreator Indonesia yang Jakartasentris adalah Raymond Chin[9], Timothy Ronald[10], Deddy Corbuzier[11], dan masih banyak lagi.[12] Kurikulum pendidikan di Indonesia juga disebut Jakartasentris karena tidak mewadahi semangat anak untuk mengenali lingkungan alam dan adat-istiadat. Model pendidikan seperti itu dianggap membuat anak pergi, bukan mengabdi pada lingkungannya.[13][14] Sudut pandang Jakarta dalam mengelola pendidikan di Indonesia juga disebut tidak memberikan sarana bagi keberagaman budaya di daerah. Pada musim-musim tertentu misalnya, kehadiran siswa rendah karena peserta didik harus membantu panen raya. Kebijakan hantam rata pendidikan nasional juga tidak memberikan ruang bagi perbedaan kebutuhan, budaya dan lingkungan hidup di daerah.[15] Kelengkapan sarana sekolah di daerah juga tidak selalu mampu mengakomodasi kurikulum nasional yang rumit yang dibuat dengan sudut pandang Jakarta yang menganggap setiap sekolah telah memiliki sarana penunjang yang lengkap.[16][17] Penulisan sejarah akulturasi Tionghoa-Indonesia juga dikritik karena terlalu Jakartasentris, seakan-akan hal itu bermula di Jakarta.[18] EkonomiEkonomi Indonesia terkonsentrasi di pulau Jawa, khususnya di Jakarta. Hal ini membuat ketimpangan yang begitu nyata antara Jakarta dan daerah-daerah, khususnya di luar pulau Jawa.[19] Sebagai gambaran, pendapatan per kapita Jakarta tiga belas kali lebih banyak daripada provinsi berpendapatan per kapita paling rendah, yaitu Nusa Tenggara Timur. Dari 34 provinsi, 27 provinsi di Indonesia memiliki pendapatan per kapita lebih rendah daripada rata-rata pendapatan per kapita nasional.[20] Sebanyak 70% dari arus perputaran uang nasional juga berkutat di Jakarta saja.[5] Hal ini tercermin dari banyaknya bidang perekonomian yang masih berpusat dI Jakarta saja, seperti sektor properti, media massa dan otomotif.[21][22][23] Sebanyak 45% dari investasi asing pun masih berpusat di Jakarta saja.[24] Pertumbuhan perusahaan rintisan di Indonesia juga didominasi Jakarta, tepatnya sebanyak 52% perusahaan rintisan Indonesia berkedudukan di Jabodetabek.[25] Indonesia dianggap terlalu lamban dalam menjalankan pemerataan ekonomi ke daerah-daerah.[26] Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga menilai bahwa kegiatan pasar modal di Indonesia masih Jakartasentris.[27] OJK menyarankan untuk mengadakan pialang-pialang saham di daerah sehingga sebaran investor di Indonesia lebih meluas.[28] PolitikMedia massa dianggap terlalu fokus menyoroti pilkada di Jakarta, dan tidak memberikan pemberitaan setara untuk proses demokrasi daerah.[29] Komnas HAM juga mengatakan bahwa debat cawapres yang ditayangkan di televisi terlalu Jakartasentris, tidak menyentuh persoalan-persoalan di daerah-daerah tetinggal di Indonesia.[30] Terkait kebijakan pemerintah, sebagian masyarakat daerah juga merasa kurang mendapatkan sosialisasi tentang program, produk hukum atau kebijakan baru yang telah disahkan atau sedang dalam tahap perencanaan.[31] Menurut data KPU tahun 2013, mayoritas calon anggota DPR yang mendaftar adalah mereka yang berkedudukan di Jabodetabek. Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia mengkhawatirkan orientasi partai politik yang masih sangat Jakartasentris dan jarang mempromosikan diri ke daerah-daerah untuk menarik putra daerah ke DPR.[32] Hal tersebut terulang kembali pada pemilu 2019, terdapat 3393 dari 7751 pendaftar dalam Daftar Calon Sementara (DCS) atau 49% yang berasal dari Jabodetabek. Kedekatan dengan pusat kekuasaan di Jakarta menjadi faktor penting partai politik dalam mencalonkan para calegnya.[33] Perempuan dalam DPR juga disebut Jakartasentris karena kebanyakan anggotanya adalah warga Jabodetabek, minim mewakili daerah.[34] PencegahanPada 1990-an di televisi Indonesia ditayangkan seri Anak Seribu Pulau yang dikatakan untuk mengimbangi penggambaran anak-anak ketika itu yang sangat Jakartasentris. Namun, acara ini mendapatkan sanggahan sebab terlampau menggambarkan masyarakat luar Jakarta bebas konflik dan permasalahan. Acara televisi Anak Seribu Pulau ini lantas menjadi contoh arustama seri dokumenter televisi, sehingga lahirlah acara serupa seperti Kampoeng Halaman dan Anganku (produksi Studio Samuan), dan seri Bocah Petualang di Trans7. Untuk itu, dibuatlah seri Indonesia Biru yang salah satunya untuk menggambarkan permasalahan di luar Jakarta.[35] Industri film Indonesia juga mulai berkembang menghindari Jakartasentrisme dengan menghadirkan film-film berlatar daerah-daerah lain di Indonesia.[36] KPI mendorong penayangan konten lokal di jaringan televisi dan radio dengan menerbitkan aturan persentase minimun konten lokal yakni sebanyak 10% dari keseluruhan program. KPI mengancam tidak akan memperpanjang izin siaran jika tidak memenuhi persentase minimal tersebut.[37] Televisi swasta diharapkan dapat menerapkan sistem stasiun jaringan yang memungkinkan lebih banyak produksi konten lokal dari berbagai daerah di Indonesia. Tantangan dari penerapan kebijakan ini adalah bagaimana daerah dapat mencapai mutu tayangan seperti yang diproduksi di Jakarta dan bagaimana mengemas program dengan kearifan lokal sehingga diminati pasar.[38][39] Pemindahan ibu kota ke luar pulau Jawa juga disebut sebagai salah satu upaya pemerintah untuk mengurangi kecenderungan Jakartasentris dalam pembangunan Indonesia.[40] Dalam bidang ekonomi, khususnya ekonomi digital, pemerintah berharap agar perusahaan rintisan tidak hanya tumbuh di Jakarta, melainkan juga di daerah-daerah lain di Indonesia. Para pemuda berpotensi di daerah diharapkan dapat membuat perusahaan rintisan juga.[41][42] Lihat juga
Catatan kaki
|