Ismail Al-Khalidi Al-Minangkabawi
Syekh Ismail al-Khalidi al-Minangkabawi (lahir pada tahun 1712 di Teluk Belanga, Simabur, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat - meninggal pada tahun 1840 di Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat pada umur 132 tahun) adalah seorang ulama penyebar Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah pada abad ke-19.[1][2] Ia dianggap sebagai pelopor ajaran Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Minangkabau khususnya dan di Indonesia pada umumnya.[2][3] Selain itu, ia juga dikenal sebagai ulama ahli ilmu fikih, kalam (teologi), dan tasawuf.[1] Kehidupan awal dan pendidikanSyekh Ismail lahir di lingkungan keluarga yang taat beragama.[1] Ia telah mendapat pendidikan agama sejak kanak-kanak.[1] Setelah mengaji al-Qur'an di beberapa surau di kampungnya, kemudian ia mempelajari dasar-dasar ilmu keislaman melalui kitab-kitab berbahasa Melayu dan kitab kuning berbahasa Arab.[1] Berbagai bidang keilmuan Islam yang ia pelajari meliputi ilmu fikih, tauhid, tafsir, hadits, dan ilmu alat (bahasa Arab, nahwu, sharaf, balaghah).[1] Selanjutnya, ia pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus untuk memperdalam ilmu-ilmu keislaman yang sebelumnya ia dapatkan.[1] Di samping itu, ia juga sempat belajar di Madinah selama lima tahun.[4] Di Mekah, Syekh Ismail berguru kepada beberapa ulama besar yang memiliki keahlian pada masing-masing bidangnya.[1] Ia mempelajari ilmu kalam kepada Syekh Muhammad Ibnu 'Ali Assyanwani,seorang ulama besar ahli ilmu kalam.[1] Di bidang ilmu fikih, ia belajar kepada Syekh al-Azhar dan Syekh Abdullah asy-Syarqawi, keduanya terkenal sebagai ulama ahli fikih dari mazhab Syafi'i.[1] Syekh Ismail juga mempelajari ilmu tasawuf kepada dua orang sufi besar bernama Syekh 'Abdullah Afandi dan Syekh Khalid al-Utsmani al-Kurdi (Syekh Dhiyauddin Khalid).[1] Keduanya merupakan mursyid (guru pembimbing rohani) tarekat Naqsyabandiyah.[1] Setelah belajar dari Mekah selama 30 tahun, ia pulang dan memulai penyebaran ajaran tarekat ini dari kampung halamannya, Simabur, Tanah Datar, Minangkabau.[4] Ajaran Tarekat Syekh Ismail kemudian menyebar dan berkembang ke luar Minangkabau, seperti Riau, Kerajaan Langkat serta Deli, dan berlanjut sampai ke Kesultanan Johor.[4][5] Mengembangkan Tarekat Naqsyabandiyah KhalidiyahSetiba di kampung halamannya, Syekh Ismail mulai mendidik, mengajar dan membina masyarakat Minangkabau.[1] Ia mengajarkan ilmu tauhid berdasarkan paham As'ariyah atau Ahlussunah wal Jama'ah dan mengajarkan ilmu fikih berdasarkan mahzab Syafi'i.[1] Sedangkan dalam mengajar ilmu tasaawuf, Syekh Ismail mengikuti tasawuf Sunni dari Syekh Juneid Imam Abu Hamid al-Ghazali.[1] Syekh Ismail mulai menyebarkan Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah setelah dibai'at oleh Syekh Khalid al-Kurdi, salah seorang gurunya di Mekah.[1] Ketika Syekh Ismail menyebarkan tarekatnya, di Minangkabau sendiri telah berkembang Tarekat Shatariyah yang dikembangkan oleh Syekh Burhanuddin Ulakan sebelumnya.[1] Syekh Burhanuddin telah mengembangkan tarekatnya tersebut pertama kali di Nusantara pada abad ke-17.[1] Namun tarekat tersebut tidak menghalangi usaha Syekh Ismail dalam mengembangkan Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah.[1] Keduanya dapat berkembang di masyarakat Minangkabau.[1] Karya-karyaSelain mengajar dan mengembangkan tarekat, Syekh Ismail juga menulis beberapa kitab dan risalah.[6] Di antara kitab dan risalah karya Syekh Ismail yaitu:
Referensi
|