Ipik Gandamana
Ipik Gandamana (Aksara Sunda: ᮄᮕᮤᮊ᮪ ᮌᮔ᮪ᮓᮙᮔ; 30 November 1906 – 6 Agustus 1979) adalah gubernur Jawa Barat periode 1956–1960. Ipik dibesarkan di Banten. Perjalanan karier kedinasannya berawal sebagai CA (candidate ambtenar) pada zaman pendudukan Jepang dan ditempatkan di Bogor selama dua tahun, Kemudian menjadi Mantri Polisi di Cikijing, menjadi Mantri Kabupaten Jakarta tahun 1931. Patih Bogor tahun 1946, Bupati Bogor 1948–1949 merangkap Bupati Lebak serta menjadi Gubernur Jawa Barat (1956–1960).[1] Ia juga termasuk salah satu tokoh yang ikut mengusulkan pendirian Universitas Padjadjaran.[2] Selain itu, ia adalah kakek dari mantan Panglima Komando Daerah Militer III/Siliwangi Iwan Sulandjana[2] dan mantan Rektor Universitas Kebangsaan, Boyke Setiawan. Riwayat hidupMeskipun lahir di Purwakarta, Ipik Gandamana menjalani masa kecil hingga dewasa di Banten. Pendidikan yang pernah ditempuhnya mulai dari ELS, MULO, OSVIA A & B dan setelah menyelesaikan studinya, Ia kemudian aktif di lingkungan kepamongprajaan. Perjalanan kariernya dimulai saat menjadi Candidat Ambtenar (AB) pada zaman Jepang serta ditempatkan di Bogor selama kurang lebih 2 tahun. Kemudian, dirinya diangkat menjadi Mantri Polisi Cikijing, serta pada tahun 1931 menjadi Mantri Kabupaten Jakarta. Pada tahun 1938 diangkat menjadi Sekretariat II Kabupaten Ciamis. Kemudian, pada tahun 1942 Ia menjadi Camat Cibeureum, Tasikmalaya dan menjadi wedana di Ujungberung, Bandung sampai akhirnya diangkat menjadi Patih Bogor pada tahun 1946. Kemerdekaan IndonesiaPada masa revolusi, Ipik berdiri di pihak republik. Dia ikut mengungsi bersama keluarganya sewaktu terjadi peristiwa Bandung Lautan Api. Dia berpindah-pindah menghindari Belanda dalam menjalankan pemerintahan sebagai patih Bogor hingga akhirnya ditawan ke dalam penjara. Karena menolak bergabung dengan pemerintahan Belanda/Recomba, pada tanggal 14 Agustus 1947 keluar besluit dari Presiden HTB Bogor Nomor 305 yang memerintahkan Ipik Gandamana dibuang ke pengasingan ke wilayah Jasinga, Bogor. Informasi dan pesan rahasia yang beliau sampaikan kepada para pejuang dan kaum Republik di wilayah Bogor melalui kurirnya yaitu Hj.Nani Karmawan (adik kandung Jenderal Ibrahim Adjie), namun kegiatannya itu akhirnya diketahui oleh pihak Belanda, dan Hj.Nani Karmawan ditangkap Belanda dan diinterogasi dengan berbagai tekanan dan siksaan. Saat dalam pengasingan tersebut, Ipik menerima tugas dari Pemerintah RI untuk menyusun pemerintah Kabupaten Bogor Darurat yang berpusat di Jasinga hingga selanjutnya Ipik ditetapkan menjadi Bupati Bogor. Kemudian diangkat oleh Wakil Gubernur Jawa Barat untuk merangkap sebagai Bupati Lebak. Setelah pembentukan Kabupaten Bogor Darurat, berdasarkan keputusan Gubernur Militer Jawa Barat, Ipik diperbantukan di KMD IV/DJ.B selaku Kepala Staf Sipil Kepresidenan Bogor yang selanjutnya ditetapkan menjadi Residen Bogor. Setelah perang usai, pada tahun1950 Ipik menjadi Bupati Bogor dan kemudian menjadi Residen Priangan. Residen PrianganKetika menjadi Residen Priangan pada tahun 1953, Ia menjadi salah satu anggota delegasi yang ditugaskan pemerintah Indonesia untuk studi banding ke Amerika Serikat. Tujuannya, mempelajari “ketatanegaraan dan tata-usaha pemerintahan pada umumnya dan beberapa objek lain pada khususnya.” Setelah studi banding selama tiga bulan, menyadari perlunya mempertanggungjawabkan kepada publik, Ipik membuat laporan yang kemudian jadi buku berjudul Melawat Ke Negara Dollar yang terbit tahun 1956. “Laporan yang dibuat dengan maksud memberikan gambaran sejelas-jelasnya, bagaimana sesungguhnya di USA dipraktikannya pemerintahan dan paham demokrasi, telah disampaikan pada yang wajib,” tulis Ipik. Buku tersebut disusun dalam dua bagian. Pertama mengenai ketatanegaraan dan tata-usaha pemerintahan. Kedua, kesan-kesan pribadi Ipik selama perjalanan di Amerika, yang ditulis bak catatan harian. Dari hasil peninjauannya, Ipik menekankan masalah pelaksanaan demokrasi dalam berbagai bidang di Amerika Serikat yang dapat dijadikan bahan perbandingan bagi Indonesia. “Sudah terang bahwa Amerika mempunyai problem, yang bukan problem kita, yang asing malah bagi kita. Sungguhpun demikian, jelas kiranya bahwa dalam persoalan yang pernah dan sedang dihadapinya tidak kurang pula sejalan dengan perjuangan kita dalam menegakkan demokrasi,” tulis Ipik. Gubernur Jawa Barat R. Moh. Sanoesi Hardjadinata, dalam pengantar buku tersebut, menyatakan pemerintah telah mengirimkan banyak pejabat ke luar negeri untuk mempelajari sesuatu yang berguna bagi pembangunan di tanah air. Itulah sebabnya pengiriman pejabat ke luar negeri dari berbagai bidang merupakan salah satu rencana penting di setiap kementerian. “Walaupun demikian tiap kali ada seseorang kembali di tanah air dari perlawatan ke luar negeri selalu diharapkan oleh teman-teman sejawatnya atau mereka yang mempunyai kepentingan di lapangan pekerjaannya, agar ia menceritakan yang dilihat atau ditinjau selama ada di luar negeri,” tulis Sanoesi. “Tiap-tiap pejabat yang kembali di tanah air itu sudah barang tentu mempunyai pandangan masing-masing soal yang dilihatnya, sesuai dengan tugasnya dan kepentingan jawatan di mana ia bekerja.” Sanoesi meyakini, Melawat ke Negara Dollar buah pena Ipik Gandamana bermanfaat bagi para pejabat, tokoh masyarakat, mahasiswa, dan siswa sekolah yang menaruh minat pada masalah pemerintahan dan kemasyarakatan. Karier Ipik sendiri kemudian merangkak naik. Dia kemudian menjadi anggota DPR dari Partai IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia) dan Gubernur Jawa Barat pada tahun 1957 hingga 1959.[3][4][5][6] Anggota DPR dan Konstituante RIKetika Oevaang Oeray mengusulkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara dalam Sidang Konstituante tahun 1958. Usulan J.C. Oevaang Oeray ini didukung anggota Konstituante lainnya, yakni Tjilik Riwut dari Partai Nasional Indonesia (PNI) Kalimantan Tengah. Dukungan mengalir pula dari R. Atmodarminto (Ayah dari Wiyogo Atmodarminto)[7] dari Gerakan Pembela Pancasila / Grindo Yogyakarta, Hadisoebeno Sosrowerdojo dari PNI Jawa Tengah, Arnold Mononutu dari PNI Sulawesi Utara, Hardi dari PNI Jawa Tengah, Ipik Gandamana dari Ikatan Pendukung Kemerdekaan (IPKI) Jawa Barat. Anggota lainnya ikut mendukung adalah A. W. Niuwenhuyn (perwakilan Timur Asing yang kebetulan bermukim di Kalimantan Barat), dan Ratu Aminah Hidayat (pencetus Persit Kartika Chandra Kirana) dari IPKI Jawa Barat.[4] Menteri Dalam NegeriDi dalam buku karangan Rosihan Anwar, ketika menjadi Menteri Dalam Negeri pada akhir tahun 1959, ia bersama dengan Roeslan Abdulgani (PNI) (saat itu menjabat sebagai Menteri Pembina Jiwa Revolusi) dan Jenderal A.H. Nasution (Menteri Keamanan Nasional sekaligus Kepala Staf Angkatan Darat) membentuk Panitia Tiga Menteri yang berfungsi sebagai salah satu screening kepartaian setelah terjadi Peristiwa PRRI Permesta.[8] Laporan Panitia Tiga Menteri dirangkum dalam laporan final Perpres 7/1959 mengenai kepartaian. Ketika ditanyakan oleh pers apakah ke-14 partai yang telah mendaftarkan dalam rangka pelaksanaan Penpres No. 7 itu memenuhi syarat, Menteri Dalam Negeri Ipik Gandamana tidak bersedia memberikan jawaban.[9][10] Pada saat itu, Panitia Tiga Menteri telah mengadakan empat macam kategori mengenai partai-partai politik. Yang secara teknis dan ideologis lulus dari ujian ialah PNI, NU, Parkindo dan Murba. Yang secara teknis lulus, tetapi secara ideologis belum adalah PSII-Arudji dan PKI. Yang pertama karena ia masih mempunyai tujuan negara Islam sedangkan PKI karena ia tidak mencantumkan penerimaan Pancasila dalam anggaran dasarnya. PKI hanya menyatakan persetujuannya terhadap Pancasila dalam suatu statement yang terpisah sedangkan hal itu rupanya belum dianggap cukup.[8][9][10] Selain itu, pada tahun 1963, Ia sempat mengajukan RUU mengenai Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan Desa Praja (pejabat desa) ke hadapan DPR-GR (DPR Gotong Royong).[11] Ketika terjadi kericuhan pasca Gerakan 30 September, ia termasuk salah satu menteri yang terkena reshuffle oleh Presiden Soekarno pada saat itu bersama dengan A.H. Nasution dan R.E. Martadinata karena dianggap anti komunisme (dalam hal ini PKI) (Crouch, 2019).[12] Karier
Galeri
Referensi
Pranala luar
|