Hubungan Takhta Suci dengan Uni EropaTahta Suci (bahasa Latin: Sancta Sedes) merupakan sebuah entitas dengan luas wilayah 0.44 km2 dan berpenduduk sekitar 1,000 jiwa yang telah lama menjadi subyek hukum internasional disamping negara, Palang Merah International, Organisasi Internasional dan lain-lain.[1] Tahta Suci sering kali disalah artikan dengan Vatikan melalui penggunaan Metonimia atau ketika digunakan secara kolektif. SejarahBerdirinya negara Vatikan tidak lepas dari perjanjian antara Italia dan Tahta Suci atau dikenal dengan Perjanjian Lateran (Lateran Treaty) pada 11 Februari 1929 mengenai pengembalian sebidang tanah kepada Tahta Suci sehingga keberadaannya mulai diakui sebagai entitas atas nama Vatikan. Merujuk pada Perjanjian Lateran, pada rtikel 3 tertulis; Italia mengakui 'kepemilikan penuh, kekuasaan eksklusif, dan otoritas berdaulat dan yurisdiksi Tahta Suci atas Vatikan'[2]. Secara geografis, negara merdeka terkecil dan berdaulat di dunia ini terletak di dalam kota Roma dengan Paus Francis (Bishop of Rome) berperan sebagai pemimpin umat katholik dunia sejak tahun 2013.[1][3] Tahta Suci bahkan memiliki representasi resmi di negara lain yang diwakilkan oleh utusan diplomat dimana 183 negara berdaulat termasuk Palestina dan Spanyol sebagai negara-negara pertama yang melakukan hubungan bilateral di abad ke-15. Tahta Suci juga mengadakan sejumlah kerja sama dengan berbagai institusi pemerintah maupun non pemerintah diantaranya PBB dengan posisi sebagai pengamat (UN observer) termasuk hubungan diplomatik dengan Uni Eropa yang dibuka secara resmi sejak 13 Desember 2007. Hubungan bilateral antara Tahta Suci dengan Uni Eropa kemudian terbentuk pada tahun 1970 bersamaan dengan berdirinya European Coal and Steel Community (ECSC) yang digagas oleh empat tokoh yakni Jean Monnet, Alcide de Gasperi, Robert Schuman dan Konrad Adenauer dimana berdirinya ECSC didasarkan pada inspirasi dari nilai-nilai katholik yang mengkonstruksi pemikiran para tokoh.[4][5] Isu KeanggotaanTahta Suci berdiri dengan sistem teokrasi yang tidak memiliki sistem pasar bebas dan demokrasi sebagai salah satu syarat proses keanggotaan Uni Eropa (Enlargement of EU) yang terangkum dalam Kriteria Kopenhagen di Traktat Uni Eropa atau Perjanjian Maastricht pasal 49 yang diadopsi pada tahun 1993. Untuk itu, ekonomi Tahta Suci lebih bersifat non komersial yang sebagian besar didapatkan dari sumbangan lembaga, keuskupan, individu serta investasi, misi diplomatik pendapatan real estate, penjualan koin, perangko, souvenir dan lain-lain.[6][7] Seiring terbukanya Tahta Suci dengan berbagai negara dan sejumlah institusi termasuk Uni Eropa kemudian memunculkan banyaknya polemik ketimpangan identitas Tahta Suci sebagai negara Katholik yang harus berbaur dengan masyarakat plural dimana para petinggi Tahta Suci harus menghadapi budaya sekulerisme.[8]
Hubungan DiplomatikTahta Suci bukan merupakan anggota Uni Eropa namun hubungan diplomatik kedua entitas tersebut telah ada sejak tahun 1970 melalui diplomasi Nuncio yang sempat terhenti dan hanya terhubung melalui perwakilan Uni Eropa di Roma. Pada Juni 2006, Luis Ritto, kepala delegasi pertama di Uni Eropa berkunjung untuk menerima akreditasi oleh Tahta Suci setelah sebelumnya pada 5 Mei 2006, Presiden Komisi Eropa, Josè Manuel Barosso mengunjungi Paus Benediktus XVI untuk memperoleh akreditasi tersebut disamping pengutaraan untuk membangun mitra dalam hubungan diplomatik. Pada 6 Februari 2012, melalui diplomat Laurence Argimon-Pistre, Uni Eropa resmi menempatkan utusannya di Vatikan setelah pertemuan berulang kalinya dengan Paus Benediktus XVI serta telah mengatur sejumlah kerangka kerja sama dan dialog baik itu kelanjutan maupun sesuatu yang baru.[3] Perjanjian KeuanganTahta Suci terikat perjanjian dengan Italia pada tahun 1930 terkait aturan bea cukai dan pajak dimana arus ekspor Vatikan ke negara tersebut tidak dikenai tarif. Pada tahun 2000, Dewan Menteri Uni Eropa di Italia (EU Council of Ministers) merundingkan perjanjian keuangan baru terkait Euro dengan Tahta Suci dan telah disepakati pada waktu yang sama. Perjanjian tersebut terkait pembatasan pencetakan mata uang Euro oleh Tahta Suci dari €670.000 menjadi €1 juta pada tahun 2004 dengan kelonggaran tambahan sebesar €300.000 setiap tahun pada acara-acara khusus seperti hari kemerdekaan, hari kepausan dan lain-lain.[3] Dialog keagamaan dan isu politik internasionalHubungan Tahta Suci dan Uni Eropa lebih fokus pada dialog antar agama serta isu politik internasional termasuk di dalamnya masalah pengungsi, konflik Palestina-Israel, ketegangan di Republik Afrika Tengah dan Sudan Selatan, isu lingkungan, kemiskinan dan kelaparan.[3] Terkait konflik Palestina-Israel, Tahta Suci secara resmi mengakui Palestina sebagai negara secara de facto sejak tahun 2012 yang merupakan tahun dimana Majelis Umum PBB mengadopsi resolusi untuk menjadikan Palestina sebagai negara non anggota sebagai pengamat. Selain Tahta Suci dan Swedia yang menjadi negara pertama yang mengakui Negara Palestina, secara keseluruhan Uni Eropa tidak mengakui adanya negara Palestina melainkan hanya dukungan negosiasi Palestina-Israel bukan melalui proses unilateral. Namun kedua entitas sepakat untuk meredakan konflik berkepanjangan melalui jalan damai dan solusi dua negara (two-state solution).[12] Imigrasi dan Kebijakan SuakaTahta Suci sebagai pusat persatuan gereja Katholik Uni Eropa memiliki sebuah lembaga The Catholic Church in The European Union atau dikenal dengan nama COMECE. Sekretaris COMECE ini juga menjadi salah satu penggerak hak-hak para migran, pengungsi, dan masyarakat transnasional lain untuk dapat berbaur dengan nilai-nilai Uni Eropa dan ajaran Kristen dimana misi ini disokong oleh Working Group on Migration and Asylum.[13] Nilai-nilai politik yang mulai didasarkan pada pluralisme dan sekulerisme telah mendorong Tahta Suci untuk turut bertindak dalam menangani krisis Eropa terkait masalah pengungsi atas dasar HAM di tengah sentimen anti-migran yang bermunculan di negara-negara anggota Uni Eropa seiring dengan merebaknya aksi teror di Eropa oleh sebagian besar pengungsi yang berasal dari Timur Tengah.[8][14] Terlepas dari banyaknya sentimen anti-migran, Tahta Suci melalui Paus Francis menuturkan bahwasanya ‘menjadi seorang migran bukanlah tindakan kriminal’ yang disampaikan dihadapan Kanselir Jerman, Angela Markel selaku tokoh sentral Uni Eropa yang menangani krisis pengungsi terbesar sejak tahun 1945 termasuk pesannya untuk Dewan, Parlemen, Komisi dan Bank Sentral Eropa dengan menyinggung masalah kemanusiaan, demokrasi dan kebebasan.[15] Prospek Kerja Sama Saat iniPada tahun 2016, Duta Besar Polandia, Jan Tombinski ditunjuk sebagai delegasi Uni Eropa untuk Tahta Suci setelah memperoleh Letters of Credence dimana kerangka dialog pada tahun itu akan difokuskan mengenai keterkaitan antara institusi politik dan agama seperti moratorium hukuman mati, resolusi konflik bersenjata, imigrasi, pembangunan di negara-negara Afrika dan lain-lain sebagaimana pernyataan Tombinski bahwasannya Uni Eropa yang merupakan entitas dengan multi agama dan eklesi ingin mengambil bagian dalam dialog antar agama. Terkait dialog mengenai hukuman mati baik Tahta Suci maupun Uni Eropa menjunjung tinggi hak hidup sebagai hak fundamental setiap manusia. Mengenai resolusi konflik bersenjata, kedua entitas menegaskan perlunya pencegahan konflik untuk mewujudkan perdamaian yang diatur dalam undang-undang internasional. Sementara dialog antara delegasi Uni Eropa, Presiden Komisi Keadilan dan Perdamaian serta Sekretaris Negara Tahta Suci juga menyinggung konflik berkelanjutan di Venezuela, Republik Afrika Tengah serta Sudan dan Sudan Selatan. Masalah imigrasi juga masih menjadi pembicaraan hangat terkait konflik di negara-negara Afrika dan Asia yang mendorong perpindahan manusia terbesar sejak Perang Dunia II ke Eropa serta adanya isu perubahan iklim yang memunculkan pengungsi akibat pemanasan global (global warming refugee) yang mengkaitkan kerusakan lingkungan dan sumber daya alam dengan perilaku seluruh umat manusia.[16] Referensi
|