Gendhing penghormatan Yogyakarta
Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat memiliki empat musik kehormatan yang digunakan untuk menghormati kedatangan dan keberangkatan Sultan yang sedang bertakhta. Musik kehormatan tersebut dimainkan dengan gamelan dan dalam bahasa Jawa, istilah tersebut dikenal sebagai gendhing kurmat dalem (bahasa Jawa: ꦒꦼꦟ꧀ꦝꦶꦁꦏꦸꦂꦩꦠ꧀ꦢꦊꦩ꧀, har. 'lagu penghormatan Sultan'). Empat musik kehormatan tersebut diberi judul Gendhing Raja Manggala, Gendhing Prabu Mataram, Gendhing Tedhak saking, dan Gendhing Sri Kondur. Dua gendhing (Prabu Mataram dan Sri Kondur) diciptakan oleh ahli karawitan Jawa abad modern awal, K.R.T. Wiroguno, yang hidup pada masa Hamengkubuwana VII dan VIII; dua sisanya masih belum diketahui siapa pencipta sesungguhnya. Semua gendhing penghormatan tersebut menggunakan kendangan ladrang, kendang kalih.[1] Gendhing Raja Manggala dan Tedhak sakingGendhing Raja Manggala, laras pelog pathet 6,[2] merupakan gendhing yang diperdengarkan ketika Sultan menerima tamu agung dalam sebuah pertemuan atau acara resmi.[3][4] Apabila Sultan tengah berjalan menuju tempat yang telah ditentukan, bagian ikonik dari gendhing ini, yaitu irama I, dibunyikan hingga Sultan duduk. Begitu Sultan duduk pada tempatnya, irama II dan ngelik dibunyikan hingga gendhing selesai. Apabila Sultan akan meninggalkan tempat acara, Gendhing Tedhak saking, laras pelog pathet barang, diperdengarkan.[1][5] Jika seorang abdi dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat melihat Sultan tengah berjalan menuju tempat yang telah disiapkan, maka ia segera berteriak, "Rauss!", yang berarti "Beliau muncul!", untuk memerintahkan para wiyaga segera menabuh gamelan.[1] Gendhing Prabu Mataram dan Sri KondurGendhing Prabu Mataram, laras slendro pathet 9,[6] merupakan gendhing yang diperdengarkan ketika Sultan tidak didampingi siapa pun dalam sebuah pertemuan atau acara resmi. Apabila Sultan tengah berjalan menuju tempat yang telah ditentukan, bagian ikonik dari gendhing ini, yaitu irama I, dibunyikan hingga Sultan duduk. Begitu Sultan duduk pada tempatnya, irama II dan ngelik dibunyikan hingga gendhing selesai. Apabila Sultan akan meninggalkan tempat acara, Gendhing Sri Kondur, laras slendro pathet manyura, diperdengarkan.[1][5] Sama seperti Gendhing Raja Manggala, jika seorang abdi dalem melihat Sultan tengah berjalan menuju tempat yang telah disiapkan, ia segera berteriak, "Rauss!", yang berarti "Beliau muncul!", untuk memerintahkan para wiyaga segera menabuh gamelan.[1] PenggunaanDi luar penggunaannya untuk menyambut Sultan yang akan menghadiri acara, gendhing ini juga dijadikan gendhing pembuka dan penutup dalam acara uyon-uyon hadiluhung setiap 35 hari sekali yang diselenggarakan oleh salah satu organ Keraton Ngayogyakarta di bidang pelestarian seni pertunjukan, Kawedanan Kridhamardawa. Penggunaan Gendhing Raja Manggala atau Prabu Mataram bergantung pada laras gamelan yang digunakan; jika gamelan yang digunakan slendro maka Prabu Mataram digunakan, sedangkan jika gamelan yang digunakan pelog maka Raja Manggala digunakan.[5] Gendhing Prabu Mataram merupakan komposisi gamelan yang sangat terkenal karena sering disiarkan di radio sejak dekade 1950-an hingga sekarang.[7] Terdapat versi gendhing yang telah direkam sebagai album studio, seperti dalam album Robert E. Brown, Java: Court Gamelan Volume III yang dirilis di label rekaman Nonesuch Records pada tahun 2003.[8] Sejumlah penggunaan gendhing penghormatan ini di luar Keraton juga telah didokumentasikan. Pada tanggal 20 Februari 2024, Presiden Joko Widodo menghadiri pembukaan Sidang Istimewa Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Pada saat Jokowi tiba di lokasi, Assembly Hall Jakarta Convention Center, Senayan, Jokowi disambut dengan gendhing Raja Manggala.[4] Referensi
Daftar pustaka
|