Garuda Indonesia Penerbangan 892
Garuda Indonesian Airways Penerbangan 892 adalah penerbangan penumpang internasional terjadwal Garuda Indonesian Airways (sekarang Garuda Indonesia) dari Jakarta menuju Amsterdam dengan perhentian di Singapura, Bangkok, Bombay (sekarang Mumbai), Karachi, Kairo, dan Roma. Pada 28 Mei 1968, pesawat jet Convair 990A yang mengoperasikan penerbangan tersebut jatuh setelah lepas landas dari Bandar Udara Santacruz (sekarang Bandar Udara Internasional Chhatrapati Shivaji Maharaj) dalam segmen penerbangan dari Bombay menuju Karachi. Pesawat jatuh di Desa Bilalpada di dekat kota Nala Sopara dan menewaskan seluruh 29 orang di pesawat dan satu orang di darat. Riwayat penerbanganPenerbangan 892 tiba di Bandar Udara Santacruz di Bombay pada pukul 01.45 waktu setempat (20.15 UTC 27 Mei).[1] Penerbangan tersebut berangkat dari Jakarta pada pukul 18.00 waktu setempat (11.00 UTC) sore hari sebelumnya dengan perhentian di Singapura dan Bangkok, dan merupakan bagian dari penerbangan rute Jakarta tujuan Amsterdam Garuda Indonesian Airways dengan perhentian di Singapura, Bangkok, Bombay, Karachi, Kairo, dan Roma.[2] Penerbangan tersebut melakukan perhentian di Bombay untuk menaikturunkan penumpang, mengganti awak pesawat yang bertugas, dan mengisi ulang bahan bakar pesawat sebelum bertolak melanjutkan penerbangan menuju Karachi, dan seterusnya sampai tiba di Amsterdam. Sebelas orang penumpang seharusnya naik ke penerbangan tersebut di Bombay, tetapi pembatalan oleh lima orang calon penumpang di saat-saat terakhir membuat jumlah penumpang yang naik berkurang menjadi enam orang. Kondisi cuaca di Bandar Udara Santacruz normal ketika pesawat berangkat dari Bombay dengan membawa 15 orang penumpang dan 14 orang awak.[1] KecelakaanPesawat lepas landas dari Bandar Udara Santacruz pada pukul 02.32 waktu setempat (21.02 UTC 27 Mei). Tujuh menit kemudian, pemandu lalu lintas udara di Bandar Udara Santacruz kehilangan kontak dengan pesawat.[1] Pusat kendali wilayah di Karachi, yang telah melakukan kontak saat pesawat tersebut meninggalkan Bombay, juga melaporkan kehilangan kontak dengan pesawat.[2] Tidak ada panggilan darurat yang diterima dari pesawat sebelum pesawat tersebut hilang kontak.[3] Pesawat kemudian dilaporkan telah jatuh sekitar lima menit setelah hilang kontak, dengan perkiraan lokasi kecelakaan berada di sebelah timur Stasiun kereta api Nalla Sopara, yakni di Desa Bilalpada. Ledakan yang timbul ketika pesawat jatuh menghunjam daratan membuat sedikitnya sebuah puing berukuran besar dari pesawat tersebut membentuk kawah sedalam 20 kaki (6,1 m) di lokasi kecelakaan, sedangkan sebagian besar puing-puing lainnya berserakan di area seluas hampir tiga mil persegi (7,8 km2).[1] Seluruh 29 orang di pesawat tewas dalam kecelakaan fatal pertama yang melibatkan jenis pesawat Convair 990.[4] Tujuh belas orang di Desa Bilalpada mengalami cedera, di mana dua orang di antaranya dalam kondisi serius. Tiga orang penduduk desa harus dirawat di rumah sakit, dan salah seorang di antaranya kemudian meninggal dunia.[5] Di samping menelan korban manusia, kecelakaan tersebut menghancurkan sejumlah rumah pondok penduduk desa dan satu rumah gudang sebuah sekolah. Selain itu, sejumlah puing-puing pesawat yang terbakar menghantam dan membakar sebuah istal yang kemudian menewaskan 19 ekor kerbau.[1] PesawatPesawat yang mengalami kecelakaan adalah pesawat jet Convair 990A registrasi PK-GJA yang ditenagai oleh empat mesin turbofan General Electric CJ805-23B. Pesawat buatan tahun 1960 tersebut memiliki nomor seri 30-10-3 dan semula ditujukan untuk American Airlines. Pesawat tersebut awalnya digunakan sebagai pesawat eksperimental statis untuk mensertifikasi jenis pesawat Convair 990 sebelum dikonversi ke varian Convair 990A.[6] Garuda Indonesian Airways menerima pengiriman pesawat tersebut pada 24 Januari 1964 sebagai pesawat terakhir dari tiga pesawat yang dipesan, berikut sertifikat kelaikudaraan yang berlaku hingga 30 Januari 1969.[2][7] Pesawat berkapasitas hingga 99 orang penumpang tersebut memiliki nama Pajajaran yang berasal dari nama ibu kota Kerajaan Sunda.[8][9] Pada 17 September 1966, pesawat mengalami insiden yang mengakibatkan hidung pesawat rusak saat berada di Bandar Udara Schiphol Amsterdam.[10] Pesawat kemudian diperbaiki dan kembali beroperasi hingga terakhir mencatatkan sekitar 8.900 jam terbang.[2] Pesawat tersebut juga diasuransikan melalui Lloyd's of London senilai US$5.000.000 (setara dengan US$43.808.612 pada tahun 2023).[11] Awak pesawatSebanyak 14 orang awak pesawat berada di dalam penerbangan tersebut; semuanya berasal dari Indonesia. Sepuluh orang merupakan awak yang bertugas, yang terdiri dari empat orang awak kokpit dan enam orang awak kabin, sedangkan empat orang lainnya merupakan awak deadheading. Anggota awak kokpit terdiri dari Kapten pilot Abdul Rochim, Kapten kopilot Rudy Suhardono Harsono, Juru navigasi R. Henk Kusumo Asmoro, dan Insinyur penerbangan Slamet Djumadi.[12] Kapten pilot pesawat mulai bekerja di Garuda Indonesian Airways pada tahun 1954 dan memiliki 11.392 jam terbang.[13] Dari segi awak kabin, kepala purser dalam penerbangan tersebut adalah adik bungsu dari Lena dan juga A.Y. Mokoginta yang saat itu merupakan Duta Besar Republik Indonesia untuk Republik Arab Bersatu (sekarang Mesir).[14][15] Kesepuluh awak pesawat yang bertugas berada di Bombay setelah bertugas dalam penerbangan yang tiba di sana beberapa hari sebelumnya. Mereka selanjutnya akan bertugas dalam penerbangan yang akan kembali ke Jakarta pada 27 Mei. Namun, keterlambatan penerbangan ke Jakarta yang berkepanjangan membuat mereka dipindahtugaskan ke Penerbangan 892 dalam segmen antara Bombay dan Kairo.[2][13] Sementara itu, empat orang awak deadheading yang berangkat dari Jakarta tetap berada di dalam penerbangan tersebut sampai pesawat nantinya tiba di Karachi.[14][16] PenumpangPenerbangan 892 membawa 15 orang penumpang dalam segmen penerbangan dari Bombay menuju Karachi. Dari segi kota keberangkatan, enam orang penumpang berangkat dari Jakarta, tiga dari Bangkok, dan enam dari Bombay. Dari segi kota tujuan, enam orang penumpang akan turun di Karachi, masing-masing dua orang di Kairo dan Roma, dan lima orang di Amsterdam. Sebanyak enam orang penumpang berasal dari Indonesia, empat dari Pakistan, dua dari Yunani, dan masing-masing satu orang berasal dari Belanda, India, dan Jepang.[1][14] Salah seorang di antara enam orang penumpang asal Indonesia adalah pejabat Badan Tenaga Atom Nasional yang juga istri dari G.A. Siwabessy, Menteri Kesehatan Republik Indonesia saat itu.[17] Seorang perwira Angkatan Laut Republik Indonesia yang juga bertugas sebagai ajudan untuk R. Soebijakto, Deputi I Departemen Pertahanan dan Keamanan, juga menaiki penerbangan tersebut.[16] Satu-satunya penumpang asal Belanda adalah seorang pimpinan Moral Re-Armament Belanda, sedangkan satu-satunya penumpang asal India adalah presiden Persatuan Insinyur India yang juga menjabat sebagai wakil presiden Federasi Beton Prategang Internasional.[1][18] Selain itu, satu-satunya penumpang asal Jepang adalah seorang kepala seksi di perusahaan Dai-ichi Life Insurance.[19] Pasca-kecelakaanSatu hari setelah kecelakaan tersebut, Garuda Indonesian Airways menghentikan sementara operasional penerbangan rute Jakarta tujuan Amsterdam dan sebaliknya berikut dua pesawat Convair 990A yang tersisa.[3] Penerbangan rute tersebut kemudian kembali dilanjutkan dengan menggunakan pesawat Douglas DC-8 sewaan dari KLM. Garuda Indonesian Airways mengalihkan operasional pesawat Convair 990A ke penerbangan rute domestik di Indonesia dan internasional di Asia hingga akhirnya jenis pesawat tersebut dipensiunkan pada tahun 1973.[9] Pemerintah Indonesia membantu proses pemulangan seluruh jenazah korban yang berasal dari Indonesia. Di dalam setiap peti jenazah korban asal Indonesia, batu-batu yang dikumpulkan dari lokasi kecelakaan pesawat turut dimasukkan di dalamnya.[17] Sebagian besar korban dimakamkan di perkuburan umum, sedangkan istri menteri kesehatan, perwira Angkatan Laut, dan sembilan dari 14 awak pesawat dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.[12] Garuda Indonesian Airways menyatakan bahwa kerabat dekat penumpang asal Indonesia yang membeli tiket untuk penerbangan tersebut di Indonesia berhak mendapat ganti rugi sesuai dengan ketetapan Konvensi Warsawa, yaitu US$8.300 (setara dengan US$72.722 pada tahun 2023) per penumpang, berikut asuransi Jasa Raharja sebesar Rp50.000 (setara dengan Rp4.492.747 pada tahun 2007).[11] Untuk kerabat dekat penumpang asal India, sebuah laporan Pengadilan Tinggi Bombay menyebut Garuda Indonesian Airways juga membayar ₹50.000 (setara dengan ₹438.086 pada tahun 2023).[20] Pada tahun 1969, Persatuan Insinyur India mendirikan sebuah penghargaan makalah teknik dengan nama mendiang sang presiden.[21] Pada tahun berikutnya, seorang pemulia anggrek asal Indonesia mendaftarkan sebuah Dendrobium baru hasil penyilangannya dengan nama mendiang istri menteri kesehatan.[17] PenyelidikanBeberapa jam setelah kecelakaan tersebut, perwakilan dari Direktorat Jenderal Penerbangan Sipil India mendatangi lokasi kecelakaan pesawat dan melakukan penyelidikan awal.[1] Sebuah tim gabungan dari Indonesia, yang meliputi perwakilan dari Direktorat Penerbangan Sipil dan Garuda Indonesian Airways, juga dikerahkan ke Bombay untuk bergabung ke dalam penyelidikan.[11] Tim pimpinan Karno Barkah tersebut tiba di Bombay pada keesokan harinya.[3] Penyebab kecelakaan belum diketahui secara pasti hingga saat ini, meskipun terdapat penyelidikan resmi oleh pengadilan di India terhadap kecelakaan tersebut. Penyelidikan dipimpin oleh seorang mantan ketua Pengadilan Tinggi Bombay dengan melibatkan perwakilan dari Pemerintah Amerika Serikat, India, dan Indonesia, dan laporan akhir kecelakaan tersebut dilaporkan akan selesai pada bulan Januari 1970.[22] Kotak hitam pesawat, yang pencariannya berlangsung selama 19 hari, juga belum pernah ditemukan.[23][24] Namun, sebuah sumber yang mengutip penyelidikan kecelakaan tersebut menyebut bahwa ketika melakukan perhentian di Bombay, pesawat jet tersebut diduga diisi ulang dengan bahan bakar avgas alih-alih dengan avtur. Kesalahan pengisian bahan bakar tersebut diduga menyebabkan keempat mesin pesawat mengalami kegagalan, yang kemudian mengakibatkan pilot kehilangan kendali atas pesawat. Pesawat lalu menukik turun hingga akhirnya jatuh dalam posisi hampir vertikal.[4][25] Lihat pulaReferensi
|