Fatima Jinnah
Fatima Jinnah (bahasa Urdu: فاطمہ جناح; 30 Juli 1893 – 9 Juli 1967)[1] adalah seorang dokter bedah gigi, biografer, negarawati dan salah satu pendiri Pakistan.[2] Setelah meraih gelar kedokteran gigi dari Universitas Kalkuta pada 1914, ia menjadi orang terdekat dan penasehat dari kakaknya Muhammad Ali Jinnah yang kemudian menjadi Gubernur Jenderal Pakistan pertama. Sebagai seorang kritikus kuat terhadap Kemaharajaan Britania, ia merupakan penyuara lantang dari teori dua negara dan anggota utama Liga Muslim Seluruh India.[1] Setelah kemerdekaan Pakistan, Jinnah menjadi salah satu pendiri Asosiasi Wanita Pakistan yang memainkan peran dalam negeri dalam memukimkan migran-migran wanita di negara yang baru berdiri tersebut. Ia masih menjadi orang terdekat saudaranya sampai ia meninggal. Setelah kakaknya meninggal, Fatima dilarang terlibat dalam negara tersebut sampai 1951; penyampaian pesannya melalui radio pada 1951 sangat disensor oleh pemerintahan Liaquat.[3] Ia menulis buku My Brother, pada 1955 namun baru diterbitkan 32 tahun kemudian, pada 1987, karena penyensoran dari pemerintah, yang menuduh Fatima 'bahan anti-nasionalis'. Saat diterbitkan, beberapa halaman dari manuskrip buku tersebut dihilangkan.[4] Jinnah keluar dari masa pensiun politiknya pada 1965 untuk berpartisipasi dalam pemilihan presiden melawan diktator militer Ayub Khan. Ia didukung oleh konsortium partai-partai politik, dan disamping gangguan politik yang diakibatkan oleh militer, ia menang di dua kota terbesar Pakistan, Karachi dan Dhaka, meskipun ia kalah di secara nasional.[5] Majalah AS, Time, saat mengabarkan kampanye pemilihan 1965, menyatakan bahwa Jinnah menghadapi serangan terhadap kepatriotikannya dari Ayub Khan dan sekutu-sekutunya.[6][7] Setelah kekalahannya, ia kembali pensiun dari politik, atas nasihat Zulfikar Ali Bhutto pada kampanye pemilihannya melawan Ayub.[8] Jinnah meninggal di Karachi pada 9 Juli 1967. Kematiannya menjadi bahan kontroversi, karena beberapa laporan menuduh bahwa ia meninggal karena 'sebab tak alami'.[9][10] Keluarganya menuntut postmortem, tetapi pemerintah menolak permintaan mereka.[11] Ia masih menjadi salah satu pemimpin paling dihormati di pakistan, sehingga hampir setengah juta orang menghadiri pemakamannya di Karachi.[12] Warisannya dikaitkan dengan dukungannya terhadap hak sipil, perjuangan dalam Gerakan Pakistan dan kesetiaannya terhadap kakaknya. Disebut sebagai Māder-e Millat ("Ibu Bangsa") dan Khātūn-e Pākistān (Urdu: — "Nyonya Pakistan"), beberapa lembaga dan tempat umum dinamai dengan namanya.[13] Timeline
Lihat pulaReferensi
Bacaan tambahan
|