Arsyad Thalib Lubis
Tuan Syech Arsjad Thalib Lubis (EYD:Arsyad Thalib Lubis) (08 Oktober 1908 – 06 Juli 1972) adalah seorang Politikus Indonesia, Penulis, Ulama, dan tokoh pendiri Al Washliyah. Ia adalah anak ke lima dari delapan bersaudara, ayahanda ia bernama H. Lebai Thalib Lubis bin Haji Ibrahim Lubis. Perkataan Lebai menunjukkan ia seorang ulama di daerahnya. Ibunya bernama Markoyom binti Abdullah, kakek Muhammad Arsyad Thalib Lubis bernama Ibrahim Lubis yang berasal dari Kabupaten Tapanuli Selatan. Riwayat HidupLatar belakangIa adalah putra Mandailing kelahiran tanah Melayu, lahir di Stabat, Sumatera Utara, tahun 1908 dan meninggal 6 Juli 1972 di Medan. la dilahirkan sebagai putra kelima dari pasangan Lebai Thalib bin Ibrahim Lubis dan Markoyum Nasution. Ayahnya berasal dari kampung Pastap, Kotanopan, Tapanuli Selatan yang migrasi dan menetap di Stabat. Berprofesi sebagai petani yang agamais sehingga mendapat panggilan "Lebai". Abangnya Syekh H. Baharuddin Thalib Lubis (1905-1965) juga seorang ulama dan pernah belajar di Kedah, Malaysia (1927-1930) dan di Mekah (1930-1935).[1] PendidikanMuhammad Arsyad Thalib Lubis menjalani pendidikannya di berbagai daerah di Sumatera Utara. la menjalani sekolah umum di Sekolah Rakyat Stabat. Sedang Pendidikan agama la peroleh di Madrasah Islam di Stabat (1917-1920), Madrasah Islam di Binjai (1921-1922), Madrasah Ulumil Arabiyah di Tanjung Balai, Asahan (1923-1924), dan Madrasah Hasaniyah Medan (1925-1930). Kemudian ia mempelajari Ilmu Tafsir Hadis, Usul Fikih, dan Fikih kepada Syeikh Hasan Maksum (1884-1937) seorang ulama terkemuka di Medan. la adalah seorang murid yang cerdas dan rajin sehingga ketika belajar di Madrasah Binjai, ia mendapat pekerjaan dari gurunya, H. Mahmud Ismail Lubis, untuk menyalin karangan yang akan dimuat di surat kabar. Pekerjaan ini sekaligus menjadi latihan baginya dalam hal tulis-menulis yang menjadi salah satu profesinya di masa dewasa.[2] Pada awalnya Tuan Syekh H. Muhammad Arsyad Thalib Lubis mendapat pendidikan dari ayahnya yang sebagai ulama Stabat. Pendidikan Formal di dapat ia di sekolah rendah (Vervolg School) di Stabat. Setelah tamat tahun 1917 Tuan Arsyad melanjutkan pelajaran di Madrasah Islam Stabat bersama abangnya H. Baharuddin Thalib Lubis. Madrasah tersebut dipimpin oleh H. Zainuddin Bilah yang mendapatkan pendidikan di Mekkah (Arab Saudi). Pada Tahun 1923-1924 Tuan Arsyad dan abangnya Baharuddin Thalib Lubis merantau ke Tanjung Balai Asahan untuk melanjutkan pelajaran mereka di Madrasa Ulum Arabiah dan Balaghah. Syekh Abdul Hamid Muhammad adalah alumni dari Mekkah tahun 1916. Syekh Abdul Hamid inilah yang membuat reformasi kurikulum Madrasah dan Madrasah mulai belajar dibangku tidak lagi duduk bersilah. Setelah tamat dari Madrasah Ulumul Al Arabiyah, Tuan Arsyad melanjutkan ke Makhtab yang di pimpinan oleh Syekh Hasan Maksum di Medan. Dari Hasan Maksum inilah Tuan Arsyad banyak mendapat ilmu tambahan dalam bidang agama dan perbandingan agama. AL WASHLIYAHAl Jamiyatul Washliyah di lahirkan pada tanggal 30 November 1930 di Medan Provinsi Sumatera Utara. Organisasi ini adalah penggembangan dari Debating Club para siswa di Maktab Islamiyah Tapanuli. Pimpinan Debating Club itu adalah H. Aburrahman Syihab. Abdurrahman memperhatikan kecerdasan Tuan Syekh H. Arsyad dan akhirnya mereka berdua dan H. Udin Syamsudin melahirkan organisasi Al Washliyah. Disamping mereka bertiga ada seorang tokoh lagi dalam Al Washliyah yang sangat penting yaitu H. Ismail Banda yang wafat di Iran. Jabatan Syekh H. Muhammad Arsyad diinternal Al Washliyah :
Menjadi GuruMulai Tahun 1926 Arsyad muda sudah menjadi guru yang berilmu. Dari itu tidak heran bila masyarakat Aceh memohon kepada ia untuk menjadi guru di Meulaboh Aceh Barat pada tahun 1931. Pada tahun 1932, ia kembali kembali lagi ke Medan untuk mengabdi di lembaga Pendidikan Al Washliyah. Pada zaman penjajahan sebelum merdeka dari penjajahan (1945-1949) ia sekeluarga tinggal di daerah kongsi dan berpindahan-pindah ke daerah Tebing Tinggi dan Rantau Prapat. Kehidupan mereka masih belum damai namun ia masih aktif mengajar. Mulai Tahun 1954 ia dilantik menjadi Staff pengajar di Universitas Islam Sumatera Utara (UISU). Setahun kemudian diangkat menjadi Guru Besar di UISU dalam bidang Fiqih dan Ushul Fiqih di Universitas yang sama. Dan pada tahun 1959 ia ditetapkan menjadi Guru Besar Bidang Syari’ah di Universitas Al Washliyah Medan. PernikahanPada tahun 1930 ia menikah dengan seorang gadis dari suku Melayu Deli bernama Siti Yamaah binti Kamil bin Sampurna. Hasil dari pernikahan ini ia di karunia 8 orang anak. Mereka adalah:
KaryaSejak tahun 1928 pada usia 20 tahun, Arsyad Thalib Lubis sudah aktif menulis di majalah. Pada tahun 1928-1931 ia menjadi penulis majalah Fajar Islam. Kemudian ia menjadi pemimpin redaksi majalah Medan Islam (1934-1942), pemimpin redaksi majalah Dewan Islam (1945), dan anggota redaksi al-Islam (1955-1957). Pada usia 28 tahun, menulis buku pertamanya, ia menulis buku di berbagai bidang ilmu agama. Pada bidang akidah, ia antara lain menulis buku; Imam Mahdi, Pokok-Pokok Kepercayaan dalam Islam, Pelajaran Iman, Pelajaran Tauhid, dan Akidah Imaniyah. Pada bidang Fikih, Usul Fikih, dan Akidah, ia menulis Ilmu Fikih, Fatwa Mengenai sebelas Masalah Agama, Ilmu Pembagian Pusaka, Jaminan Kemerdekaan Beragama dalam Hukum Islam, al-Usul fi 'ilma al-Usul (pokok- pokok dalam Ilmu Usul Fikih), dan al-Qawa'id al-Fiqhiah (Kaidah-Kaidah Fikih, dua jilid). Pada bidang ibadah ia menulis Pemimpin Haji Mabrur, Pelajaran Ibadah, dan Himpunan Doa Nabi-Nabi. Pada bidang perbandingan agama, ia menulis Ruh Islam, Islam di Polandia, Istilahat al-Muhaddis (Istilah-istilah Ahli Hadis), Pembahasan di Sekitar Nuzulul Qur'an, Kisah Isr'a Mi'raj, dan Pedoman Mati. Buku-buku tersebut pada umumnya telah tersebar luas di masyarakat. Sebahagian dari buku karyanya dijadikan buku wajib di perguruan-perguruan Al Washliyah. Hampir sepanjang hayatnya ia gunakan untuk mengajar di antaranya di Madrasah Al Irsyadiyah Medan sejak tahun 1926-1930, di Madrasah Al Washliyah Meulaboh, Aceh 1931-1932, Madrasah Al Washliyah Medan 1933-1945, Madrasah Al Qismul Ali Al Washliyah Tebing Tinggi 1946-1947 dan Madrasah Al Qismul Ali Al Washliyah Medan 1953-1957. Kemudian ia menjadi lektor pada Sekolah Persiapan Perguruan Tinggi Islam Indonesia di Medan 1953-1954, guru besar Ilmu Fikih dan Ushul Fikih pada Universitas Islam Sumatera Utara (1954), dan dosen tetap pada Universitas Al Washliyah sampai akhir hayatnya.[3] Karya TulisSebagai seorang ulama, ilmuwan, alim, cendikiawan, akademisi, Da'i, H. Muhammad Arsyad Thalib Lubis juga seorang penulis yang sangat produktif. Selama hidupnya Tuan Arsyad telah menulis lebih dari 50 buku dalam berbagai displin ilmu disamping puluhan artikel-artikel yang dimuat diberbagai majalah Medan. Karya ia dapat dibagi kepada 3 kategori :
Berikut nama-nama buku karya Syekh H. Muhmmad Arsyad Thalib Lubis : A. Jawaban ia terhadap isu kontemporer
B. Pendidikan dan Syariah Islamiyah meliputi :
Kegiatan Jurnalistik Muhammad Arsyad Thalib Lubis sebagai penulis dan Pimpinan Majalah di Medan adalah :
Disamping majalah Bahasa Indonesia Tuan Arsyad pada tahun 1939 menerbitkan majalah yang berbahasa Arab yang diberi nama dengan Majalah Ulum Al Islamiyah. Yang menjadi ciri khas majalah ini adalah adanya artikel-artikel yang ditulis oleh ulama Al Azhar Mesir seperti Syekh Mustafa Al Maraghi, Syekh Rasyid Ridha dan Syekh Abdul Quddus (Ulama dari Madinah). Pola pemikiran Muhammad Arsyad Thalib Lubis banyak dipengaruhi oleh ulama-ulama Timur Tangah dari kelompok Salaf seperti Ibnu Taimiyah (Abad 12 M) dan Ibnu Al Qayim Al Jauziyah (571 H). Pemikiran Tuan Arsyad dalam perbandingan agama sudah mendapat titik temu antara agama yang ada di Indonesia yang akhirnya muslim harus mengatakan bagimu agama mu dan bagiku agamaku. Ulama Indonesia yang banyak mempengaruhi pemikiran Muhammad Arsyad Thalib Lubis adalah Syekh H. Hasan Maksum. KARYA MONUMENTAL Semua bangunan milik Al Washliyah yang didirikan sebelum tahun 1972 adalah konstribusi almarhum Syekh H. Muhammad Arsyad Thalib Lubis. Sesungguhnya tulisan, ukiran, bangunan dan rumusan-rumusan pembangunan, karya monumental yang ada dalam organisasi Al Washliyah adalah karya yang tidak terpisahkan dari Almarhum H. Muhammad Arsyad Thalib Lubis. Almarhum tetap masih hidup di alam ini terutama di hati masyarakat Islam Sumatera Utara walaupun jasadnya telah di dalam kubur. Tulisan-tulisan anak-anak murid ia telah mewarnai kehidupan masyarakat muslim Provinsi Sumatera Utara khususnya warga Al Washliyah dan UISU di Indonesia. Pada Tahun 1971 H. Muhammad Arsyad Thalib Lubis berfikir untuk melahirkan satu yayasan yang bertujuan mengirim para da’i dan muballigh ke daerah-daerah terpencil untuk mendakwah Islam kepada masyarakat yang belum beragama. Cita-cita tersebut akhirnya berhasil setelah Almarhum dr. H. Irma Gading Hakim bersedia menjadi Ketua Umum Yayasan tersebut. Yayasan itu diberi nama Yayasan Baitul Makmur. Sumber dana untuk kegiatan tersebut adalah sumbangan, wakaf, sedekah bahkan ada yang berasal dari zakat sekeluarga dokter-dokter yang bertugas di Fakultas Kedokteran USU. Dana yang terkumpul itulah yang digunakan oleh Yayasan Baitul Makmur untuk mengirim para da’i dan muballigh ke Karo dan Dairi bahkan ke daerah Mentawai serta ke daerah-daerah terpencil lainnya, yang honor bulanan mereka dibayar Yayasan Baitul Makmur. Setelah Almarhum dr. Gading Hakim wafat, para ulama dan Pengurus Baitul Makmur sepakat mengangkat Prof. dr. H. Chairuddin P. Lubis Sp.A(k) sebagai Ketua Umum Yayasan dengan didampingi beberapa Guru Besar Fakultas Kedokteran USU Medan. Sungguh mereka sebenarnya telah melanjutkan misi para ulama terdahulu. Sayang sampai sekarang Baitul Makmur belum memiliki kantor yang tetap, karena itu buku-buku dan kitab-kitab yang dibeli Baitul Makmur dari H. Hammad Hasan Lubis (Alumni Universitas Kairo) dititipkan di Kantor Majelis Ulama Indonesia Provinsi Sumatera Utara. Kami berdoa kiranya Allah SWT., memberkati usia Prof. dr. Chairuddin P. Lubis Sp.A (K), karena lebih 50% dana kegiatan Yayasan Baitul Makmur berasal dari zakat, sadakah dan wakaf ia . Banyak yang berharap kiranya setelah siap masjid dakwah USU yang kembar di Jl. Sumarsono Kampus USU ada satu ruangan yang dapat dijadikan sebagai kantor yayasan Baitul Makmur sehingga masjid Dakwah USU akan menjadi Islamic Center di tengah-tengah masyarakat intelektual kampus. POKOK - POKOK PERJUANGAN BERUPA GAGASAN, IDE DAN AKSI:
PekerjaanSejak 1946 hingga 1957 ia memegang berbagai jabatan struktural di Departemen Agama, di antaranya Kepala Mahkamah Syariah Keresidenan Sumatra Timur, Kepala Jawatan Agama Keresidenan Sumatra Timur (Kantor Wilayah Kementerian Agama Propinsi Sumatera Utara), Kepala Bahagian Kepenghuluan Kantor Urusan Agama Propinsi Sumatera Utara, dan Pejabat Kepala Kantor Urusan Agama Propinsi Sumatera Utara.[2] Dalam kegiatan organisasi, ia aktif sebagai anggota Pengurus Besar organisasi Al Washliyah (1930-1956). Meskipun kemudian ia tidak duduk dalam kepengurusan, ia tetap aktif memberikan sumbangan pikiran dan tenaga dalam kegiatan Al Washliyah yang bergerak di bidang pendidikan, dakwah, dan sosial. Sejak Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) di lebur ke dalam Masyumi tahun 1945, ia berulang-ulang menjadi pimpinan wilayah dan anggota Majelis Syuro Wilayah. Kemudian, ia menjadi anggota Masyumi Pusat 1953- 1954 dan Anggota Konstituante dari fraksi Masyumi sejak tahun 1956 sampai dibubarkan pada tahun 1960.[2] Ketika paham Ahmadiah Qadian menimbulkan gejolak di Sumatra Timur, ia menfatwakan kekafiran Ahmadiah Qadian dan larangan menguburkan penganutnya di pekuburan muslim. la juga memfatwakan bahwa Komunis harus diharamkan hidup di Indonesia pada Muktamar Ulama Seluruh Indonesia di Medan tahun 1953, dan fatwanya itu dipertegas lagi pada Muktamar Ulama se-Sumatra di Bukit Tinggi dan Muktamar Ulama di Palembang.[4] Ia juga selalu diminta untuk memberikan kuliah umum pada HUT UNIVA, seperti pada awal tahun 1960-an, pada saat itu terjadi polemik tentang kemungkinan manusia sampai ke angkasa luar (bulan) sedang hangat dibicarakan berbagai kalangan masyarakat. Maka Arsyad Thalib Lubis memberikan kuliah umum pada acara HUT ke II UNIVA yang jatuh pada tanggal 18 Mei 1960 dengan judul: ”Agama Islam dan Penghuni Angkasa Luar”. Dalam kuliah ini ia menyimpulkan bahwa dalil-dalil yang disebutkan al-Qur'an memungkinkan manusia untuk sampai ke angkasa luar.[5] Selain itu pada HUT yang ke X, ia menyampaikan kuliah umumnya dengan judul:“Keesaan Tuhan Menurut Ajaran Kristen dan Islam”. Riwayat PekerjaanPada tahun 1949 - 1957 ia diberi amanah oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk mengurus berbagai jabatan penting dalam-dalam Kementerian Agama diantaranya :
Pada tanggal 12 Oktober-28 November 1959 Pemerintah Republik Indonesia mengutus H. Muhammad Arsyad Thalib dan H. Nasrudin Latif ke Uni Soviet dan negara-negara Uni Soviet dalam rangka menguatkan hubungan persahabatan antara Indonesia dan Uni Soviet. Diantara ke daerah Taskhent, Samarkand, Stalingrad, Moskow, Leningrad, dan kembali Melalui Peking, Rangoon dan Bangkok. PerjuanganPada masa perjuangan kemerdekaan, ia turut memberikan andil sesuai dengan bidangnya, berpidato untuk membangkitkan semangat jihad melawan penjajahan. Tuan Syekh H. Muhammad Arsyad Thalib Lubis adalah seorang Ulama Pejuang Kemerdekaan RI dan penjaga kedaulatan NKRI dari rongrongan pihak luar maupun dari dalam terutama pemberontakan PKI. Ia aktif dalam upaya mencerdaskan anak bangsa melalui organisasi Al Jam’iyatul Washliyah dan menyalurkan aspirasi politiknya bersama Partai Masyumi. Ia adalah Anggota Konsituante RI (MPR) yang menyuarakan aspirasi rakyat di Parlemen tingkat Pusat. Syekh H. Muhammad Arsyad Thalib Lubis muda dikenal sebagai pejuang kemerdekaan Republik Indonesia menentang sekutu Belanda dan Jepang sehingga ia ditangkap pada tanggal 23 Maret 1949 dan dipenjarakan sebagai tahanan politik di Penjara Suka Mulia Medan. Buku ia Penuntun Perang Sabil pada November 1945 menjadi panduan untuk melawan Belanda dan sekutu. Gerak-gerak Tuan Arsyad terus diperhatikan Belanda dan ia dianggap sebagai ulama yang berpengaruh dikalangan kaum muslim dan sangat berpengaruh bagi penjajah. Setelah Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, Arsyad mengeluarkan fatwa wajib atas setiap muslim menolak kedatangan Belanda kembali yang berkeinginan menjajah Indonesia kembali. Orang-orang muslim yang wafat dalam pertempuran melawan Belanda disebut dengan Syahid Fisabillilah, mayatnya tidak wajib dimandikan dan dikafankan, hanya disholatkan saja. Ketika proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan, ia memfatwakan bahwa pahlawan Islam yang gugur di medan pertempuran melawan kolonial mati syahid hukumnya dan ia menganjurkan agar kaum Muslim memberikan dana jihad sebesar-besarnya tanpa tawar-menawar.[6] Selain itu Tuan Arsyad menjadi Wakil Ketua Hizbullah Daerah Sumatera Timur dan Wakil Ketua PB. Al Jam’iyatul Washliyah pada masa pertempuran Agresi Militer II Tahun 1947. Akibat dari kepintaran ia di Hizbullah, ia ditangkap oleh polisi (serdadu) Negara Sumatera Timur yang masih dikuasai oleh Belanda dan tentara NICA. Dalam situasi seperti ini musibah yang paling berat dihadapi oleh H. Muhammad Arsyad Thalib Lubis yaitu istrinya yang sangat dicintainya kembali kehadirat Allah SWT. Dengan pengawalan yang sangat ketat ia datang melihat jenazah istrinya dan mendoakannya. Setelah itu ia dipaksa, dibawa kembali ke Penjara Suka Mulia. Setalah istrinya wafat ia tidak menikah lagi sampai akhir hayatnya. Hidupnya diwakafkan untuk mengabdi kepada agama dan negara. Setalah Konferensi Meja Bundar (KMB) tanggal 27 Desember 1949 semua tahanan politik dibebaskan termasuk didalamnya H. Muhammad Arsyad Thalib Lubis. Pada waktu Agresi Belanda ke II yaitu,1947-1949 ketika Sumatra Timur jatuh ke tangan Belanda dan meresmikan berdirinya Negara Sumatra Timur(NST), ia sangat menentang dan untuk mempertahankan negara kesatuan RI, Arsyad Thalib Lubis mengungsi ke pedalaman dan berkeras tidak mau bekerjasama dengan penjajah. Pada waktu itu, ia adalah anggota Dewan Pertahanan Daerah Sumatra Timur-Selatan danwakil ketua Markas Besar Kelaskaran Al Washliyah.[2] Ketika serangan bom Belanda menghujani kota Tebing Tinggi dan mulai memasuki perbatasan kota, ia bersama beberapa guru dan anggota Al Washliyah berusaha bertahan di Markas Besar Kelaskaran Al Washliyah di kota itu. Setelah pertempuran semakin sengit dan keadaan tidak mungkin di pertahankan, ia meninggalkan kota untuk menyatukan kekuatan di daerah Tanjung Balai, Asahan. Beberapa hari kemudian ia bergerak menuju Rantau Prapat. Di daerah ini ia meneruskan perjuangan bersama dengan pemimpin-pemimpin lainnya. Karena kegigihan perjuangannya, pada tanggal 29 Maret 1949 ia ditangkap oleh pihak Negara Sumatra Timur (NST) yang bertindak sebagai perpanjangan tangan Belanda. la ditahan sebagai tawanan politik di penjara Sukamulia, Medan, sampai tanggal 23 Desember 1949. Ketika ia di dalam penjara, istrinya meninggal dunia dan setelah mengurus surat izin yang cukup rumit barulah ia mendapat izin keluar penjara dan dalam keadaan tangan diborgol dia melihat istrinya yang terakhir kali saat proses pemakaman.[7] Ketika Negara Sumatra Timur berhasil dibubarkan dan Panitia Persiapan Negara Kesatuan untuk Sumatra Timur didirikan tahun 1950-1951, ia diangkat menjadi anggota panitia penempatan pegawai. Pada tahun 1956, pemerintah mengutusnya bersama H. Nasaruddin Latif ke Uni Soviet untuk meninjau Tashkent, Mereka kembali ke Indonesia melalui Peking (Beijing), Rangoon (Yangon), dan Bangkok. Sebagai hasil dari lawatannya ini, ia menulis sebuah buku tentang keadaan umat Islam di sana agar menjadi cermin bagi umat Islam di Indonesia. Menurutnya, umat Islam di bawah kekuasaan Komunis merupakan kelompok kecil yang senantiasa diawasi dan tidak bebas dalam menjalankan ibadah. Namun naskah buku ini hilang sebelum sempat dicetak. WafatPada tanggal 6 Juli 1972 hari Kamis bersamaan dengan 23 Jumadil Awal 1392 H Syekh H. Muhammad Arsyad Thalib Lubis kembali kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa setelah menderita sakit beberapa hari dan sempat dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Pringadi Medan. Seluruh Institusi, Perguruan Tinggi dan Universitas Islam serta Masyarakat Muslim secara luas berkabung, sedih karena wafat almarhum diusia ke 63 tahun. Kediaman ia yang sangat sederhana di Jalan Sei Kera Gang Sehat No. 6 penuh sesak dikunjungi oleh berbagai lapisan masyarakat yang datang bertakziah kepada keluarga almarhum. Tidak ada air mata yang pernah mendapat belaian kasih dari almarhum berduka. Jenazahnya dimakamkan hari itu juga dengan iringan doa oleh ribuan para hadirin terdiri dari ulama, rakyat dan pejabat di Provinsi Sumatera Utara. Dengan Mengucapkan Inalilahi Wa inna ilaihi rojiun. . Referensi
Bibliografi
Pranala luar
|