Zōē Porphyrogénnētē
Zōē (di dalam Bahasa Yunani: Ζωή, Zōē, berarti "Hidup") (tahun 978 – Juni 1050) merupakan seorang Maharani Bizantium bersama dengan saudarinya Theodōra dari tanggal 19 April sampai 11 Juni, 1042. Dia juga dinobatkan sebagai Ratu ke serangkaian rekan-pemimpin dimulai dengan Rōmanos III Argyros pada tahun 1028 sampai kematiannya pada tahun 1050 ketika ia menikah dengan Kōnstantinos IX Monomakhos. Karena dia tidak memiliki putra, Kōnstantinos berharap untuk melanjutkan dinasti dengan menikahkan salah satu putrinya. Jadi Zoe menikah dengan Romanos Argyros, yang tiga hari kemudian menjadi seorang kaisar atas kematian ayahandanya. Pernikahan itu tidak bahagia dan setelah kurang dari lima tahun, Romanos tenggelam di pemandiannya oleh kekasih remaja Zoe. Ia menikahi Zoe dan dinobatkan sebagai kaisar yang bernama Mikhaēl IV. Tujuh tahun kemudian, dengan suaminya yang jelas telah tewas, Zoe dibujuk untuk mengadopsi keponakannya, yang juga disebut Mikhaēl. Mikhaēl IV meninggal tak lama setelahnya, dan Mikhaēl V naik takhta. Dia segera diasingkan Zoe, memicu dan pemberontakan populer yang mencopotnya dan menempatkan Zoe dan Theodora sebagai permaisuri bersama. Zoe menikah untuk yang ketiga kalinya; Setelah dua kali gagal dalam pernikahan, ia menetap dengan mantan kekasih Kōnstantinos Monomakhos, yang ditempatkan sebagai Kōnstantinos IX. Setelah delapan tahun tanpa peristiwa, Zoe meninggal pada usia 72 tahun. Kehidupan awal: 978 – 1028Zōē merupakan salah satu dari beberapa Maharani Bizantium yang merupakan Porphyrogennetos,[1] atau "lahir ungu" (yang artinya, ia dilahirkan dari kaisar yang memerintah). Ia merupakan putri kedua Kōnstantinos VIII dan Eleni.[2] Ayahandanya telah menjadi rekan-kaisar pada tahun 962, dan Kaisar tunggal pada tahun 1025.[3] Pemerintahannya sebagai kaisar tunggal berlangsung hanya selama tiga tahun, dari tanggal 15 Desember, 1025 hingga 15 November 1028.[2] Sebagai putri kekaisaran yang memenuhi syarat dia dianggap sebagai calon mempelai untuk Kaisar Romawi Suci, Otto III, Kaisar Romawi Suci pada tahun 996.[4] Utusan kedua dikirim pada tahun 1001, dipimpin oleh Arnolfo, Uskup Agung Milan[5] ditugaskan untuk memilih mempelai Otto dari antara tiga putri Kōnstantinos. Yang sulung, Eudocia, cacat oleh cacar, sementara yang bungsu, Theodōra, merupakan gadis yang sangat sederhana. Arnolfo kemudian memilih Zōē yang berusia dua puluh tiga tahun dan menarik, yang mana pamandanya, Basileios II menyetujuinya.[1] Pada bulan Januari 1002 dia menemani Arnolfo kembali ke Italia, hanya untuk menemukan ketika kapal mencapai Bari bahwa Otto III telah meninggal, memaksanya untuk kembali ke rumah.[1] Kesempatan lain muncul pada tahun 1028, ketika seorang utusan dari Kerajaan Barat tiba di Konstantinopel dengan proposal untuk pernikahan kekaisaran. Kōnstantinos VIII dan Zōē yang berusia lima puluh tahun menolak gagasan itu ketika terungkap bahwa calon mempelai Heinrich, putra Konrad II hanya berusia sepuluh tahun.[6] Khawatir dengan prospek mengasosiasikan pria lain dengan wangsa kekaisaran, Basileios II mencegah keponakan-keponakannya untuk menikah dengan bangsawan Bizantium.[7] Akibatnya, Zōē hidup dalam ketidakjelasan virtual di kekaisaran gynaikeion (tempat perempuan).[6] Pamandanya, Basileios II meninggal tanpa keturunan pada tahun 1025 dan ayahandanya menjadi kaisar tunggal pada usia enam puluh lima tahun. Karena ia tidak memiliki putra, Zoe dan saudara perempuannya yang masih hidup, Theodora, dipaksa masuk ke pusat politik kekaisaran.[8] Pasangan potensial pertama untuk Zōē adalah seorang bangsawan terkemuka Kōnstantinos Dalassenos, mantan Dux dari Antiokhia.[9] Ia akhirnya diabaikan untuk Rōmanos III Argyros, seorang (praefectus urbanus) yang sempurna dari Konstantinopel .[7] Meskipun mereka sepupu ketiga,[10] keduanya menikah pada tanggal 10 November, 1028 di kapel istana kekaisaran, dan pada tanggal 12 November, keduanya duduk di atas takhta kekaisaran.[11] Dari Rōmanos III ke Mikhaēl V: 1028 – 1042Menghabiskan waktu bertahun-tahun di tempat yang sama dengan saudarinya Theodōra, Zōē sekarang membenci Theodōra.[6] Dia tidak pernah memaafkannya karena menjadi pilihan pertama ayahanda mereka untuk menikah dengan Rōmanos,[12] Jadi, Zoë meyakinkan Romanos untuk mengangkat salah seorang anak buahnya sendiri sebagai kepala keluarga Theodora, dengan perintah untuk memata-matai dirinya.[13] Tak lama setelah itu, Theodora dituduh merencanakan untuk merebut takhta, pertama dengan Pressian dari Bulgaria, diikuti oleh Kōnstantinos Diogenes, Archon dari Sirmium pada tahun 1031.[14] Zoë menuduhnya menjadi bagian dari konspirasi, dan Theodora secara paksa dikurung di biara Petrion. Zoë kemudian mengunjungi saudara perempuannya dan memaksanya untuk mengambil sumpah agama.[15] Zōē sama terobsesi dengan melanjutkan wangsa Makedonia.[7] Hampir segera setelah menikah dengan Rōmanos, Zōē yang berusia lima puluh tahun mencoba mati-matian untuk bisa hamil. Dia menggunakan sihir, jimat, dan ramuan, semua tanpa efek.[16] Kegagalan untuk hamil ini membantu mengasingkan pasangan, dan segera Romanos menolak untuk berbagi tempat tidur dengannya.[17] Romanos membangkitkan permusuhan istrinya dengan memberikan sedikit perhatian padanya dan membatasi pengeluarannya,[18] sementara ia mentolerir berbagai urusan dan mengambil seorang gundik.[19] Pada tahun 1033, Zoë menjadi terpikat dari seorang pelayan remaja yang lahir rendah yang disebut Mikhaēl. Dia memamerkan kekasihnya secara terbuka dan berbicara tentang membuatnya menjadi kaisar. Mendengar desas-desus itu, Romanos khawatir dan menghadapi Mikhael, tetapi dia menyangkal tuduhan itu.[18] Kemudian pada tanggal 11 April 1034, Rōmanos III ditemukan tewas di pemandiannya, dan dispekulasikan bahwa Zōē dan Mikhaēl bersekongkol untuk meracuninya, yang kemudian mencekik atau menenggelamkannya.[19][20] Zōē kemudian menikah dengan Mikhaēl pada hari yang sama saat Romanos III tewas,[21] dan Mikhael kemudian memerintah sebagai Mikhaēl IV sampai kematiannya pada tahun 1041. Meskipun Zōē percaya Mikhaēl akan membuktikan bahwa ia adalah suami yang lebih setia daripada mantan suaminya Rōmanos, tetapi ia keliru. Mikhaēl IV khawatir jikalau Zōē akan membuatnya bernasib sama seperti Rōmanos,[22] sehingga ia mengesampingkan Zōē dari politik dengan menempatkan seluruh kekuasaan di tangan saudaranya Mikhaēl Ioánnis Orfanotrófos.[23] Zoe lagi-lagi dikurung di istana gynaikeion, dan dijaga dibawah pengawasan ketat,[22] ketika kunjungan Mikhaēl menjadi semakin berkurang.[8] Dengan demikian, permaisuri yang tidak puas akan perlakuan tersebut berkomplot melawan Iōannēs pada tahun 1037 atau 1038.[7] Pada tahun 1041 Mikhaēl IV sekarat.[24] Ioánnis Orfanotrófos, ingin memastikan bahwa kekuasaan berada di tangannya, memaksa Zōē untuk mengadopsi Mikhael V Kalafatis, putra saudari Mikhaēl IV.[19] Pada tanggal 10 Desember, 1041, Mikhaēl IV meninggal, ia menolak permintaan istrinya yang meminta izin agar diperkenankan untuk menemuinya sebelum ia menutup mata untuk selamanya.[25] Dengan kematian Mikhaēl IV, Mikhaēl V dimahkotai pada bulan Desember 1041.[26] Meskipun ia berjanji untuk menghormati Zōē, ia segera mengurungnya di sebuah biara di Principus atas tuduhan mencoba merebut takhta.[27] Perlakuan dari pewaris sah kepada Wangsa Makedonia menyebabkan terjadinya suatu pemberontakan populer di Konstantinopel, dan pada tanggal 19 April, 1042, rakyat menggulingkan Mikhaēl V dengan dukungan tak hanya dari Zōē, tetapi juga dari Theodōra. Mikhaēl V, dengan putus asa ingin mempertahankan tahtanya, sengaja membawa Zōē kembali dari Kepulauan Pangeran dan mempertunjukkannya kepada rakyat,[28] namun permohonannya untuk tetap memerintah bersama dengan Zōē ditolak.[29] Para anggota kunci memutuskan bahwa Zōē memerlukan seorang rekan-pemimpin, dan Theodōra adalah pilihan tepat untuk posisi tersebut. Delegasi yang dipimpin oleh Patrician Kōnstantinos Cabasilas[30] pergi ke biara di Petrion untuk meyakinkan Theodora untuk menjadi rekan-pemimpin dengan kakak perempuannya.[29] Di dalam sebuah majelis di Hagia Sophia, rakyat mengawal Theodōra yang marah dari Petrion, dan mengumumkannya sebagai Maharani bersama dengan Zōē.[31] Setelah memahkotai Theodōra, massal menyerbu ke istana, mendesak Mikhaēl V untuk melarikan diri ke sebuah biara.[32] Memerintah bersama Theodōra dan Kōnstantinos IX: 1042 – 1050Zōē segera mendapatkan kekuasaan dan mencoba untuk memaksa Theodōra kembali ke biaranya, tetapi Senat dan rakyat meminta bahwa kedua kakak beradik itu dapat bersama-sama memerintah negara.[33] Dalam tindakan pertamanya, Theodōra dipanggil untuk melakukan apa yang tak dapat dilakukan oleh kakaknya – berurusan dengan Mikhaēl V. Zōē, lemah dan mudah dimanipulasi, ingin mengampuni dan membebaskan Mikhaēl. Theodōra memiliki jiwa yang keras; pertama-tama ia menjamin keselamatan Mikhaēl sebelum ia memerintahkan untuk membutakan Mikhaēl dan menghabiskan sisa hidupnya sebagai seorang biarawan.[34] Setelah selesai dengan urusan Mikhaēl V, Theodōra menolak untuk meninggalkan Hagia Sophia sampai ia mendapatkan perintah dari Zōē, 24 jam kemudian setelah Theodōra dimahkotai.[35] Secara resmi, ketika Theodōra menjadi Maharani junior, dan tahtanya berada sedikit di bawah Zōē dalam upacara-upacara publik, ia merupakan pendorong di belakang administrasi gabungan tersebut. Kedua kakak beradik itu kemudian memproses pengelolaan kerajaan, memfokuskan kepada pembatasan penjualan kantor-kantor umum dan administrasi hukum.[36] Meskipun Mikhaēl Psellos menyatakan bahwa pemerintahan gabungan itu adalah kegagalan total, Iōannēs Skylitzēs menyatakan bahwa mereka sangat rajin merapikan penyalahgunaaan dari pemerintahan sebelumnya.[37] Meskipun Theodōra dan Zōē muncul bersama-sama di dalam pertemuan Senat, atau ketika memberikan audiensi publik, segera terlihat bahwa pemerintahan gabungan mereka berada dibawah ketegangan.[38] Zōē masih merasa iri terhadap Theodōra, dan tidak berhasrat untuk mengelola kerajaan, tetapi tidak akan mengizinkan Theodōra untuk mengelola bisnis tersebut seorang diri. Istana segera terbagi menjadi dua, dengan fraksi-fraksi yang dibentuk di belakang masing-masing maharani.[38] Setelah dua bulan bersitegang di antara keduanya, Zōē memutuskan untuk mencari suami baru, suami ketiganya, dan yang terakhir yang diijinkan menurut peraturan Gereja Ortodoks,[7] kemudian menolak kesempatan Theodōra untuk meningkatkan pengaruhnya, mengekang bakat saudarinya untuk memerintah.[39] Pilihan pertamanya adalah Kōnstantinos Dalassenos, yang telah menjadi pilihan pertama ayahnya sebagai suaminya pada tahun 1028 yang lalu, tetapi setelah ia memperlihatkan penghinaan terhadap maharani tersebut, ia melemparkannya keluar dari kehadirannya.[38] Pilihan selanjutnya adalah menikahi Kōnstantinos Atroklines, seorang pejabat istana, dengan siapa ia digosipkan berselingkuh selama masa pemerintahan Rōmanos III.[19] Ia meninggal beberapa hari sebelum pernikahan dilangsungkan dengan kejadian misterius, kemungkinan diracuni oleh bekas istrinya.[38] Zōē kemudian ingat akan Kōnstantinos IX Monomakhos yang tampan dan sopan. Bekas kekasih lainnya,[19] pasangan tersebut menikah pada tanggal 11 Juni, 1042, tanpa partisipasi Patriark Aléxios Stoudítis, yang menolak untuk meresmikan pernikahan ketiga tersebut (dari sepasang suami istri itu).[40] Keesokan harinya Kōnstantinos secara resmi diumumkan sebagai kaisar bersama dengan Zōē dan adindanya Theodōra. Zōē mendapatkan lebih dari yang ia tawarkan ketika Kōnstantinos memutuskan untuk membawa serta gundiknya yang telah lama bersamanya, Maria Skleraina.[41] Tidak hanya puas dengan membawanya ke istana, ia bersikeras untuk diijinkan mengumumkan berbagi kehidupan dengannya dan lebih jauh lagi, bahwa ia mendapat beberapa pengakuan resmi.[42] Terkejut, Zōē yang berusia 64 tahun tidak menolak membagi tempat tidurnya dan tahtanya dengan Skleraina. Kedua kakak beradik itu memberikan Skleraina gelar Augustae dan ia mendapat ranking setelah Zōē dan Theodōra, yang disebut despoina, nyonya atau maharani, seperti mereka dan mengambil tempatnya di belakang mereka di dalam proses dan upacara-upacara resmi.[7] Namun dimata publik, perbuatan Kōnstantinos IX terhadap gundiknya merupakan suatu skandal, dan akhirnya rumor mulai menyebar bahwa Skleraina berencana untuk membunuh Zōē dan Theodōra.[43] Hal ini menimbulkan suatu pemberontakan populer dari rakyat Konstantinopel pada tahun 1044, yang hampir membahayakan Kōnstantinos yang berpartisipasi di dalam proses keagamaan di jalan Konstantinopel.[44] Massal baru mereda setelah Zōē dan Theodōra muncul di atas teras, yang meyakinkan rakyat bahwa mereka tidak dibunuh.[44] Selama masa pemerintahan Kōnstantinos, Zōē dengan senang hati menyerahkan seluruh kekuasaan beserta tanggung jawab kekaisaran kepada suaminya. Sampai kematiannya pada tahun 1050,[45] ia menikmati berbagai hiburan, dengan kamar-kamarnya di dalam istana yang dipenuhi dengan panci dan wajan, untuk pembuatan salep dan parfum.[7] Meskipun Zōē berusia 50 tahun ketika ia pertama kali menikah, ia masih menikah sebanyak dua kali lagi. Ironisnya orang yang paling cakap di antara suami-suaminya adalah orang yang setidaknya siap untuk menjadi kaisar adalah Mikhaēl IV.[46] Konon ia berparas cantik, dan Mikhaēl Psellos di dalam Chronographia berkomentar bahwa, seperti ayam yang terpanggang matang, "setiap bagian tubuhnya keras dan dalam kondisi baik."[47] Ia sadar akan karismanya dan bermaksud untuk menjaga dan menggunakannya selama mungkin. Dengan kecerdikan khas Bizantium, ia membuat banyak kamar di kediamannya yang berubah menjadi laboratorium untuk mempersiapkan salep rahasia, dan ia mampu menjaga parasnya bebas keriput sampai ia berusia 60 tahun.[7] SumberSumber kunoMichael Psellos, Chronographia. Sumber modern
Referensi
|