Suwoto Adiwibowo
Kolonel Art. (Purn.) H. Soewoto Adiwibowo (EYD: Suwoto Adiwibowo; lahir 20 Desember 1944) adalah Bupati Jombang yang menjabat pada periode 1993-1998. Kehidupan awalSoewoto lahir pada saat Jepang menjajah Indonesia. Ia lahir di Bojonegoro 20 Desember 1944, tepatnya di Desa Kadipaten, Kecamatan kota. Soewoto merupakan anak ke-3 dari 11 bersaudara dari pasangan Samudi Kartodihardjo dan Rukmi. Masa kecilnya tidak jauh berbeda dengan anak desa pada umumnya. Bermain beragam permainan seperti perang-perangan, bermain kasti, hingga bermain sepak bola bersama teman sebayanya. Dari kedua orangtuanya itulah Soewoto kecil selalu diajarkan kesederhanaan. Maklum saja, kehidupan keluarganya bisa dikatakan pas-pasan. Bahkan ia mengakui, bisa makan enak hanya setahun sekali, yakni pada saat lebaran. Riwayat pendidikanSaat usianya menginjak tujuh tahun, ia didaftarkan oleh ayahnya bersekolah SR (Sekolah Rakyat) di Desa Kadipaten. Meski dari keluarga kurang mampu, tetapi soal pelajaran Soewoto kecil terbilang moncer. Ia tidak pernah sekalipun tinggal kelas. Hasilnya, pada tahun 1958 ia lulus SR (setingkat SD). Soewoto kemudian melanjutkan sekolah ke SMP (Sekolah Menengah Pertama) Bojonegoro yang notabene satu-satunya. Ia lulus SMP Negeri Bojonegoro pada tahun 1961. Selanjutnya, ia meneruskan pendidikan di SMA Negeri Bojonegoro. Di sekolah itu, jurusan B (ilmu pasti) yang menjadi pilihannya. Tepat tahun 1964, Soewoto menyelesaikan masa SMA nya. Selepas SMA, ia berniat untuk bekerja.Namun, ia lebih tertarik untuk menjadi seorang taruna ABRI (sekarang TNI). Semua itu berawal ketika keponakannya yang notabene terlebih dulu lulus dari AMN di Magelang cuti kedinasan. Ia akhirnya diterima dan menjalani pendidikan militer selama tiga tahun, yakni mulai tahun 1964 hingga lulus pada 1967. Ia lulus AMN dengan pangkat Letnan Dua. Karier militerPada tahun 1968, tugas pertamanya di Batalyon Artileri Medan (Yon Armed) VIII di Jember. Setelah itu, tahun 1975 ia dipindahkan tugas ke Pusat Pendidikan (Pusdik) Armed Cimahi, Jawa Barat. Di pusat pendidikan tersebut, Soewoto bertugas selama enam tahun. Selanjutnya, pada 1981, ia menjabat sebagai Komandan Batalyon Armed XII di Ngawi. Tiga tahun menjabat sebagai Komandan Batalyon, ia kemudian dipindah jabatan sebagai staf Markas Besar (Mabes) ABRI di Jakarta, yakni mulai tahun 1984. Baru pada tahun 1990, ia kembali bertugas di Jawa Timur, saat itu ia dipercaya sebagai Komandan Resimen Armed 1/Kostrad yang bermarkas di Singosari, Malang. Di tempat tersebut, bapak empat anak ini hanya bertugas selama dua tahun. Karena pada 1992, ia dipindah lagi ke Kodam V/Brawijaya sebagai Asisten Perencana dengan pangkat Kolonel. Menjadi Bupati23 Agustus 1993, Soewoto mendapatkan tugas karya dari pemerintah pusat untuk menjabat sebagai Bupati Jombang menggantikan Tarmin Hariadi. Ia dilantik oleh Gubernur Soelarso, yang mana pelantikannya ini dihadiri oleh ratusan orang. Pendekatan terhadap masyarakatSoewoto menyadari, Jombang merupakan basis pondok pesantren. Oleh karenanya, membangun hubungan yang sinergis antara pemerintah dengan pondok pesantren adalah suatu keniscayaan. Nah, sehari setelah pelantikan, pria kelahiran Bojonegoro ini mengumpulkan seluruh ulama kota santri di Pendopo Kabupaten setempat. Hari itu, ia memperkenalkan diri sekaligus mengajak seluruh ulama untuk bergandeng tangan demi kemajuan Jombang. Setelah itu, ia mulai melakukan pendekatan ke masyarakat Jombang. Karena Soewoto berprinsip, sebaik apapun program yang ia gulirkan, tanpa dukungan dari masyarakat luas tentunya hasilnya akan sia-sia. Maka tidak heran, selama lima tahun menjabat sebagai bupati, sebanyak 306 desa di Kabupaten Jombang pernah dikunjunginya beserta istri. Langkah itu juga ia wujudkan dengan membuat media untuk membangun komunikasi dengan masyarakatnya. Salah satunya membuat tabloid ”Gema Desa” yang disingkat Masa. Tabloid itu didistribusikan ke seluruh desa yang ada di Jombang. Harapannya, akan terbangun komunikasi dua arah antara pemerintah dan masyarakat. Dengan begitu pembangunan yang ia gulirkan senapas dengan keinginan masyarakat. AdipuraPeran Soewoto yang pertama dilakukan adalah memunculkan ikon Kabupaten Jombang lewat piala Adipura. Ia tak pernah lelah mengajak masyarakat untuk senantiasa menjaga kebersihan lingkungan. Hasilnya tidak sia-sia, pada tahun pertama kepemimpinannya, Kabupaten Jombang berhasil menyabet piala bergengsi dari Presiden Soeharto kala itu. Dengan diraihnya penghargaan tersebut, ia berharap rasa memiliki yang ada di hati masyarakat terhadap daerahnya semakin meningkat. Selanjutnya, jika rasa memiliki sudah muncul, maka akan lebih mudah mengajak masyarakat untuk bergerak membangun daerah. Alhasil, selama dipimpin oleh Bupati Soewoto, Kabupaten Jombang menjadi langganan piala Adipura. Yakni sebanyak empat kali, mulai tahun 1994 hingga tahun 1997. Sebenarnya pada 1998 Jombang bertekad merebut piala Adipura ke lima atau yang biasa disebut dengan Adipura Kencana. Hanya saja, memanasnya situasi politik yang ditandai dengan gerakan refomasi, mengakibatkan anugerah piala tersebut ditiadakan. Pembangunan ekonomiTidak cukup sampai di situ. Awal memimpin Kabupaten Jombang, bapak empat anak ini mulai melirik sektor pertanian yang akan di jadikan primadona dalam pembangunan. Hal itu didasari oleh peta Jombang yang membujur dengan membentuk garis linear. Selanjutnya, untuk memaksimalkan potensi itu, Bupati Soewoto membuatpeta wilayah pertanian. Dalam arti, mana wilayah yang dikhususkan untuk tanaman pangan dan mana wilayah yang dikonsentrasikan untuk non pangan dibuat pembagian secara jelas. Hasilnya tidak sia-sia, pada tahun kedua kepemimpinannya Kabupaten Jombang menjadi percontohan penggunaan pupuk pril atau yang biasa dikenal dengan urea tablet tingkat nasional. Selain itu, Jombang juga dijadikan sebagai salah satu lumbung pangan nasional. Bergeraknya roda pembangunan yang digagas oleh Soewoto berbuah manis. Hal itu bisa dilihat dari meningkatnya jumlah PAD (Pendapatan Asli Daerah) saat itu. Ia mencatat, kala pertama menjabat sebagai bupati, jumlah PAD Kabupaten Jombang hanya sebesar Rp 2,1 miliar per tahun. Akan tetapi jumlah itu meningkat tajam pada akhir masa jabatannya, yakni tembus Rp 11,6 miliar atau ada peningkatan sekitar Rp 9 miliar. Masalah jamaah hajiTerobosan-terobosan selanjutnya terus dilakukan oleh Bupati Soewoto, semisal masalah pelaksanakan ibadah haji. Saat itu pelaksanaan haji di Jombang cenderung semrawut. Tidak jarang masyarakat bawah yang sudah telanjur menjual sawah untuk ibadah haji gagal berangkat hanya karena terganjal kuota. Kondisi itu diperparah dengan maraknya rekomendasi dari oknum pejabat. Praktis, seseorang yang punya kedekatan dengan pejabat bisa dengan mudah mendapatkan kuota. Sedangkan bagi masyarakat bawah, harus rela antre dengan ketidakpastian kapan bisa berangkat. Atas dasar itu, pada tahun 1997 pelaksanaan haji di Jombang menggunakan sistem undian alias nomor urut. Teknisnya, seluruh yang mendaftar haji dicatat. Pada hari yang sudah ditentukan, para pendaftar dikumpulkan di alun-alun setempat. Kemudian mereka mengambil nomor undian yang sudah dimasukkan dalam kotak. Dari situlah para jamaah haji mendapatkan nomor urut dan mengetahui apakah dirinya berangkat ke tanah suci atau tidak. Semisal, jumlah kuota haji pada saat itu 100 orang, padahal jamaah yang mendaftar ada 150 orang. Setelah mengambil nomor urut, maka akan diketahui siapa saja yang mendapatkan nomor 1 hingga 100. Merekalah yang dipastikan berangkat ibadah haji, selebihnya harus menunggu tahun berikutnya. Dengan metode itu, asas keadilan lebih dikedepankan. Menariknya lagi, waktu itu Jombang merupakan satu-satunya daerah yang menggunakan sistem undian. Tak heran, terobosan itu sanggup membuat ”iri” Departemen Agama (Depag) Provinsi Jawa Timur. Selanjutnya mereka melakukan studi banding tentang metode pemberangkatan haji yang digagas oleh Bupati Soewoto. Gayungpun bersambut. Pemerintah pusat juga melirik metode baru tersebut. Hal itu ditandai dengan datangnya 12 orang dari Kementrian Agama untuk melihat secara langsung pemberangkatan haji dengan sistem undian itu. Rencananya, apa yang telah dilakukan oleh Kabupaten Jombang akan diadopsi oleh pemerintah pusat. Namun belum sempat rencana terwujud, gerakan Reformasi 1998 bergulir. Musabaqah Tilawatil Qur’an 1996Suksesnya pelaksanaan MTQ (Musabaqah Tilawatil Quran) tingkat Jawa Timur di Jombang pada tahun 1996. Selain sukses sebagai tuan rumah, kota santri Jombang juga sukses sebagai juara umum. Padahal persiapan untuk menggelar momen akbar itu cukup singkat, yakni hanya dua bulan. Sebenarnya, ada dua daerah yang terpilih menjadi tuan rumah dalam pelaksanaan MTQ waktu itu, yaitu Madura dan Bojonegoro. Hanya saja, saat pelaksanaan MTQ kurang tiga bulan, dua daerah tersebut menyatakan tidak sanggup. Akhirnya Gubernur Jawa Timur saat itu, H. Basofi Soedirman, memanggil Bupati Soewoto. Dalam pertemuan itu, gubernur meminta agar Jombang menjadi tuan rumah. Kesempatan itu tidak disia-siakan begitu saja. Bupati segera bekerja keras dan membentuk kepanitiaan MTQ. Alun-alun yang terletak di depan Pendopo Kabupaten disulap menjadi masjid raksasa. Di setiap sudutnya dipasang menara yang lengkap dengan kubah. Ternyata mepetnya persiapan justru menjadikan semangat tersendiri bagi Kabupaten Jombang. Terbukti, Jombang berhasil meraih sukses ganda. Pertama, pelaksanaan MTQ berjalan cukup baik. Kedua, Jombang berhasil menyabet gelar juara umum. Hingga kini, menara di setiap sudut alun-alun Jombang itu masih terawat dengan baik. Pembangunan kotaPada era kepemimpinan Soewoto pula, sejumlah gapura masuk Kota Jombang dibangun. Gapura itu hingga kini masih ada, yakni berada di Desa Temuwulan, Kecamatan Perak, dan gapura masuk kota yang ada di wilayah Kecamatan Peterongan. Kedua gapura ini dibangun tahun 1997. Pembangunan batas kota itu bukan tanpa sebab. Salah satunya adalah untuk membedakan mana wilayah kota dan mana kawasan non kota. Buah tangan Soewoto lainnya adalah gedung DPRD yang berada di Jalan Wahid Hasyim saat ini. Sebelumnya, gedung wakil rakyat Kabupaten Jombang itu berada di sebelah selatan kantor Pemkab lama (sekarang kantor Badan kesatuan bangsa, politik dan perlindungan masyarakat). Karena tempat tersebut dirasa kurang layak, akhirnya dibangunlah gedung DPRD baru yang sebelumnya merupakan gedung pertemuan. Keluarga dan kehidupan kiniSoewoto melepas masa lajangnya pada 9 Maret 1969. Ia menyunting gadis kelahiran 24 September 1951, Ninik Darmini, yang juga masih tetangganya satu kampung di Bojonegoro. Dari perkawinan itu, pasangan Soewoto Adiwibowo dan Ninik Darmini dikarunia empat orang anak yang semuanya perempuan. Mereka adalah:
Kini anak dari mantan bupati ini semuanya sudah berkeluarga. Namun, salah satu dari mereka ada yang masih tinggal di Jombang. Sehingga mantan bupati ini meski tinggal di Malang (Perumahan Pondok Blimbing Indah Araya Blok B-8 No 8.), dalam sekali waktu masih menyempatkan waktu untuk mengunjungi kabupaten yang pernah ia pimpin selama lima tahun. Referensi
|