SundalandSundaland (bahasa Indonesia: Kawasan Sunda) adalah suatu wilayah biogeografis di Asia Tenggara yang juga mengacu kepada sebuah daratan yang lebih luas yang pernah ada selama 2,6 juta tahun ketika permukaan air laut lebih rendah. Wilayahnya mencakup Asia Tenggara di daratan seperti Semenanjung Malaka, Sumatra, Jawa, Kalimantan dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. EtimologiNama Sundaland (dalam bahasa Belanda: Soendaland) merupakan istilah yang diciptakan pada tahun 1919 oleh Gustaaf Adolf Frederik Molengraaff, seorang ahli geologi dari Hindia Belanda. Pada tahun 1921 Gustaaf Molengraaff, dalam penelitiannya mengemukakan bahwa kedalaman laut yang hampir seragam dari paparan ini menunjukkan terdapat peneplain atau dataran yang dibentuk oleh erosi berkepanjangan yang merupakan hasil dari peristiwa banjir besar saat lapisan es mencair, dengan setiap peristiwa banjir yang berturut-turut.[1] Nama Sundaland muncul kembali dalam historiografi biogeografis yang merujuk ke daratan Asia Tenggara dengan istilah yang sama dan digunakan kembali oleh Reinout Willem van Bemmelen pada tahun 1949 dalam bukunya yang berjudul Geography of Indonesia. Peta Sundaland yang dijelaskan oleh Molengraaff juga dipetakan kembali oleh Tjia pada tahun 1980[2] dan dijelaskan secara lengkap oleh Emmel dan Curray pada tahun 1982 dengan lebih terperinci.[3][4] DemografiSejarah mengenai Sundaland hingga sekarang masih belum sepenuhnya bisa dijelaskan. Penelitian awal menunjukkan bahwa penduduk kawasan Sunda secara genetis memiliki kesamaan dengan penduduk asli Asia Tenggara, terutama yang tinggal di wilayah kepulauan. Secara bahasa mereka juga sebagai bagian dari rumpun bahasa Austronesia.[5] Terdapat kajian linguistik yang menunjukkan suatu arus migrasi dengan istilah teori "Out of Sundaland". Teori ini diusulkan oleh Stephen Oppenheimer[5], ahli genetika lulusan Balliol College, Oxford. Ia tergolong sebagai tokoh kontroversial dalam studi sejarah manusia. Ia berpendapat bahwa Kawasan Sunda (Sundaland) sebagai benua cikal bakal migrasi manusia. Oppenheimer beranggapan bahwa orang-orang Asia Tenggara adalah leluhur bagi orang Asia. Pada 1999, ia menerbitkan buku yang berjudul "Eden in the East: The Drowned Continent of Southeast Asia".[5] Ia melakukan pendekatan multidisiplin dalam mengembangkan teorinya. Salah satunya ia menggunakan pendekatan mitologi, cerita banjir besar yang melegenda kemudian tersaji dalam cerita legenda dan mitos di tengah masyarakat secara beragam. Namun kesimpulan Oppenheimer masih sebatas teori yang tidak terbukti dan mendapat tentangan dari teori "Out of Taiwan".[6] Lembaga biologi molekuler Eijkman Institute yang melakukan penelitian tentang mtDNA dan kromosom Y dengan teori "Out of Taiwan". Hasilnya, leluhur orang Asia Tenggara berasal dari Asia Timur. Semakin ke wilayah timur, jejak mtDNA Taiwan semakin menipis karena percampuran dengan orang Melanesia. Eijkman mengungkapkan bahwa usulan teori "Out of Sundaland" secara arkeologis tidak terbukti. Teori tersebut tidak dapat menjelaskan bagaimana cara dan sebab manusia bermigrasi. Sedangkan data mtDNA, studi linguistik dan beberapa bukti arkeologi menjadi dasar teori "Out of Taiwan". Mereka meneliti data genom dari 31 populasi yang tinggal di Indonesia dan 25 populasi di berbagai negara Asia.[7][8] Studi ini lebih komprehensif yang mempertimbangkan data arkeologi dan menggunakan pendataan statistik perkawinan campur yang terjadi di Asia dan relasi lainnya. UkuranWilayah Sundaland meliputi Paparan Sunda, sebuah perpanjangan landas kontinen Asia Tenggara yang stabil secara tektonik dan pernah ada selama periode glasial 2 juta tahun yang lalu.[9][10] Ukuran Paparan Sunda diperkirakan sama dengan 120 meter isobath.[11] Selain Semenanjung Malaka dan pulau-pulau di Sumatra, Jawa, dan Kalimantan, termasuk Laut Jawa, Teluk Thailand, dan bagian-bagian Laut Tiongkok Selatan.[12] Secara total, luas wilayah Sundaland sekitar 1.800.000 km2,[13] Luas dari Sundaland hampir sama dengan luas negara Indonesia.[11] Luas daratan terbuka di Sundaland telah berfluktuasi selama 2 juta tahun terakhir; luas daratan modern sekitar setengah dari luas maksimumnya.[10] Batas barat dan selatan Sundaland ditandai dengan jelas oleh perairan yang lebih dalam dari Samudra Hindia.[11] Batas timur Sundaland adalah Garis Wallace, yang diidentifikasi oleh Alfred Russel Wallace sebagai batas timur jangkauan fauna mamalia daratan Asia, yang juga menjadi batas zona ekologi Indomalaya dan Australasia. Pulau-pulau di sebelah timur garis Wallace dikenal sebagai Wallacea, wilayah biogeografis terpisah yang dianggap bagian dari Australasia. Garis Wallace sesuai dengan kanal air dalam yang belum pernah dilalui oleh jembatan darat manapun.[11] Batas utara Sundaland lebih sulit ditentukan dalam istilah batimetris; suatu peralihan fitogeografis pada sekitar 9ºLU dianggap sebagai batas utaranya.[11] Sebagian besar Sundaland baru-baru saja terbentuk selama periode glasial terakhir dari sekitar 110.000 sampai 12.000 tahun yang lalu.[2][13] Saat permukaan laut menurun 30-40 meter atau lebih, jembatan darat menghubungkan pulau-pulau Kalimantan, Jawa, dan Sumatra ke Semenanjung Malaya dan daratan Asia.[9] Karena permukaan laut baru lebih rendah 30 meter (atau lebih) sepanjang 800.000 tahun terakhir, keadaan Kalimantan, Jawa, dan Sumatra sebagai sebuah pulau merupakan keadaan yang relatif jarang pada masa Pleistosen.[14] Sebaliknya, permukaan laut lebih tinggi pada Pliosen akhir, dan wilayah Sundaland lebih kecil daripada yang diamati saat ini.[11] Referensi
Pranala luar |