Sulalatus SalatinSulalatu'l-Salatin atau Sulalatus Salatin (Jawi: سلالة السلاطين, secara harfiah bermaksud Penurunan segala raja-raja)[1] merupakan karya dalam Bahasa Melayu dan menggunakan Abjad Jawi. Karya tulis ini memiliki sekurang-kurangnya 29 versi atau manuskrip yang tersebar di antara lain di Inggris (10 di London, 1 di Manchester), Belanda (11 di Leiden, 1 di Amsterdam), Indonesia (5 di Jakarta), dan 1 di Rusia (di Leningrad). Sulalatu'l-Salatin bergaya penulisan seperti babad, di sana-sini terdapat penggambaran hiperbolik untuk membesarkan raja dan keluarganya. Namun, naskah ini dianggap penting karena ia menggambarkan Adat dan istiadat Budaya kerajaan, silsilah raja dan sejarah Kerajaan Melayu dan boleh dikatakan menyerupai konsep Sejarah Sahih (Veritable History), yang mencatat sejarah dinasti sebelumnya.[2] Versi naskahDari semua versi naskah yang ada, isinya bervariasi, baik pada fragmen, ada yang panjang dan ada yang pendek, tata letak cerita berbeda, transliterasi yang berbeda, bahkan ada versi salinan dari versi sebelumnya. Namun secara garis besarnya, naskah-naskah tersebut dapat dikelompokan atas:[3]
Perbandingan naskahSulalatu'l-Salatin versi Raffles maupun Shellabear pada dasarnya berisikan tentang klaim kekuasaan dan kompetisi dari para penguasa di Bumi Malayu,[4] menceritakan sejarah mengenai kebangkitan, kegemilangan dan kejatuhan zaman pemerintahan Melayu yang ditulis oleh beberapa orang pengarang Melayu.[5] Namun uraian teks pada naskah ini belum dapat memberikan penjelasan yang tepat dan benar, karena masih terdapat pertentangan dengan beberapa sumber primer sejarah lainnya seperti catatan yang dibuat oleh Portugal dan Belanda. Hal ini tidak lepas dari bahwa Sulalatu'l-Salatin telah mengalami perubahan yang dilakukan oleh beberapa pengarang berikutnya yang kemungkinan ada menambah dan mengurangkan isi teks pada naskah.[6] Sulalatu'l-Salatin memiliki beberapa variasi versi, kemungkinan versi pendek, versi yang belum diselesaikan penulisnya atau sebaliknya versi panjang merupakan tambahan yang dibuat oleh penulis berikutnya.[3] Namun secara keseluruhan Sulalatu'l-Salatin merupakan sebuah karya besar yang merangkumi beberapa cerita atau kisah lain yang berkaitan dengan Dunia Melayu, sebagaimana cerita yang terdapat pada Hikayat Raja-raja Pasai, Hikayat Hang Tuah, Hikayat Siak dan sebagainya. Judul naskahSalah satu versi yang berkode Raffles 18, dianggap versi yang pertama diterjemahkan (terjemahan bebas) ke dalam Bahasa Inggris dan diberi judul Malay Annals.[7] Walau versi yang pertama kali dicetak adalah hasil suntingan Abdullah bin Abdulkadir Munsyi di Singapura tahun 1831, kemudian disusul versi William Shellabear,[8] Namun dari dari versi-versi yang berbahasa Inggris inilah kembali diterjemahkan, dan lebih dikenal dengan judul Sejarah Melayu. Sementara naskah yang diterjemahkan ke Bahasa Belanda masih tetap menggunakan judul sebagaimana yang terdapat pada naskah. Kemudian sekitar tahun 1979, judul Sulalatus Salatin kembali digunakan oleh Abdul Samad Ahmad pada versi kompilasinya, yang kemudian diikuti oleh beberapa peneliti berikutnya.[9] Mukadimah naskahPada mukadimah naskah beberapa versi Sulalatu'l-Salatin terdapat perbedaan penafsiran untuk nama pengarang atau penyunting naskah ini, di mana nama Tun Bambang dianggap sama dengan Tun Sri Lanang.[10] Belakangan muncul versi yang dianggap mendekati versi aslinya namun tidak menyebutkan siapa pengarang atau pun penyuntingnya. Versi ini berisikan beberapa potongan cerita sebagaimana yang secara garis besar terdapat pada semua naskah Sulalatu'l-Salatin, perbedaan versi ini terdapat pada bab tertentu yang telah memberikan penanggalan dalam Hijriah pada alur ceritanya,[3] walau jika dikonfrontasi dengan sumber lainnya masih menimbulkan keraguan akan ketepatan penanggalan tersebut. Namun dari semua versi yang ada, perintah penyusunan naskah sama, menyebutkan atas titah Yang Dipertuan di Hilir. Dari uraian mukadimah naskah pada versi Raffles 18 disebutkan penyusunan Sulalatu'l-Salatin ini adalah pada tahun 1612 oleh Bendahara. Kemudian juga diketahui bahwa setelah penaklukan Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda atas Johor tahun 1613, Sultan Johor kemudian ditawan dan dibawa ke Aceh. Pada salah satu bab dari Bustanus Salatin, Nuruddin al-Raniri menyebutkan bahwa Bendahara Paduka Raja yang mengarang Sulalatu'l-Salatin merupakan salah satu sumber rujukankannya. Isi naskahSulalatu'l Salatin menguraikan silsilah dari para raja di kawasan Melayu, bermula dari kedatangan Sang Sapurba keturunan Iskandar Zulkarnain di bukit Siguntang, Palembang. Kemudian Sang Sapurba diminta untuk menjadi Maharajadiraja di Minangkabau, dan dari tokoh ini raja-raja di kawasan Melayu diturunkan. Selanjutnya terdapat kisah salah seorang putra Sang Sapurba dari perkawinannya dengan Wan Sundaria, putri Demang Lebar Daun, penguasa Palembang, yang bernama Sang Nila Utama bergelar Sri Tri Buana mendirikan Singapura dan putranya yang lain, Sang Mutiara disebutkan menjadi raja di Tanjungpura. Sementara gelar Sang Nila Utama tersebut mirip dengan gelar Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa dalam Prasasti Padang Roco yang bertarikh 1286, merupakan Maharaja di Bumi Melayu yang mendapat kiriman hadiah Arca Amoghapasa dari Kertanagara Maharajadiraja Singhasari.[11] Kemudian pada tahun 1347, Adityawarman menambah pahatan aksara pada bagian belakang Arca Amoghapasa tersebut, dan menyebutkan memulihkan kerajaan sebelumnya kemudian dinamainya Malayapura, serta ia sendiri menyandang gelar maharajadiraja.[12] Sulalatu'l Salatin juga menceritakan tentang sepeninggal Raja Majapahit, kemudian kedudukannya digantikan oleh anak perempuannya atas sokongan patihnya. Ratu Majapahit ini disebutkan menikah dengan putra Raja Tanjungpura. Hal ini jika dibandingkan dengan naskah Jawa Desawarnana dan Pararaton,[13][14] yang menceritakan tentang pergantian Raja Majapahit Jayanagara kepada saudara perempuannya Tribhuwana Wijayatunggadewi yang disokong oleh Gajah Mada. Ratu Majapahit ini kemudian menikah dengan Cakradhara bergelar Kertawardhana Bhre Tumapel, dan nantinya melahirkan Hayam Wuruk. Berdasarkan Prasasti Wingun Pitu terdapat Bhre Tanjungpura sebagai salah satu batara yang memerintah di salah satu daerah bawahan pemerintahan Majapahit. Prasasti ini bertarikh 1447, kemungkinan pada akhir pemerintahan Ratu Suhita, dalam Pararaton Ratu Majapahit ini disebutkan menikah dengan Bhra Hyang Parameswara. Secara rinci Sulalatu'l Salatin memberikan urutan nama-nama raja di Malaka, kemudian terdapat berita kedatangan Afonso de Albuquerque dari Goa atas perintah Raja Portugal untuk menaklukan Malaka tahun 1511 pada masa Sultan Mahmud Syah. Perang melawan penaklukan Portugal ini membuat Sultan Malaka terpaksa berpindah pindah, mulai dari Bintan terus ke Kampar, kemudian ke Johor. Berdasarkan kronik Tiongkok masa Dinasti Ming disebutkan pendiri Malaka adalah Pai-li-mi-su-la (Parameswara) yang mengunjungi Kaisar Tiongkok tahun 1405 dan 1409, tetapi nama tersebut tidak dijumpai pada semua versi Sulalatu'l-Salatin, tetapi nama ini kemudian dirujuk kepada Raja Iskandar Syah.[15] Kontroversi identifikasi tokoh ini masih diperdebatkan sampai sekarang. Penyampaian alur cerita pada Sulalatu'l-Salatin tidak lepas dari pengaruh politik yang berkuasa pada setiap masa penulisannya, karena ada alur cerita yang tidak semua versi menyebutnya. Sisipan cerita tambahan tersebut mungkin sebagai legitimasi bagi penguasa-penguasa berikutnya di kawasan Melayu. Hal ini terlihat pada Bustanus Salatin, pada salah satu pasalnya terdapat silsilah keturunan Sultan Aceh yang nasabnya dirujuk sampai kepada raja Melayu dari Bukit Siguntang. Kemudian ada pula sisipan cerita pengiriman utusan ke Makassar, yang kemudian pulang bersama seorang bangsawan Bugis yang hebat dan kemudian dikenal dengan nama Hang Tuah. Sementara dari versi lain Hang Tuah disebutkan hanyalah seorang nelayan dari Bintan namun memiliki kemahiran dalam silat, kemudian diangkat menjadi laksamana dan berperan dalam menjaga Malaka dari ancaman luar. Sementara kisah kunjungan utusan Raja Malaka kepada Raja Goa di Sulawesi tidak dijumpai pada versi Raffles, Abdullah, Dulaurier, Shellabear, Winstedt, Madjoindo dan lainnya. Kisah tersebut hanya terdapat pada naskah yang disebut ada di Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia saja.[10] Kemungkinan munculnya kisah ini sangat berkaitan dengan cerita sebagaimana yang terdapat pada Tuhfat al-Nafis. Sulalatu'l Salatin mengambarkan keterkaitan masing masing kawasan di nusantara. Kisah kedatangan Islam di Pasai memberikan gambaran tentang awal dakwah Islam di kawasan Melayu. Kemudian dilanjutkan dengan cerita hubungan perkawinan antara putri Raja Pasai dengan Raja Malaka, yang menandakan Islam juga telah tersebar ke Malaka. Hubungan Pasai dan Malaka ini terus berlanjut dimana pada masa berikutnya Sultan Malaka disebutkan turut membantu memadamkan pemberontakan yang terjadi di Pasai. Laporan Ma Huan pembantu Cheng Ho menyebutkan bahwa adat istiadat seperti bahasa, maupun tradisi pada upacara kelahiran, perkawinan dan kematian yang digunakan masyarakat Pasai dan Malaka adalah sama.[16] Bab penutupDari semua variasi naskah Sulalatu'l-Salatin, umumnya diakhiri oleh bab yang berisikan tentang kematian Tun Ali Hati. Namun ada juga yang diakhiri oleh cerita serangan Jambi ke Johor (1673), kemudian ada juga sebagaimana yang terdapat pada Hikayat Raja Akil (Sultan Sukadana) yang diakhiri oleh Perang Palembang (1819-1821). Penulisan naskahSulalatu'l Salatin merupakan naskah tulis tangan yang ditulis pada kertas menggunakan Abjad Jawi. Karya ini kemungkinan pertama kali ditulis sekitar abad ke-16.[6] Dalam Sulalatu'l Salatin diceritakan bingkisan kiriman Batara Majapahit digambarkan nipisnya seperti kertas. Kemudian disebutkan juga kisah Hang Nadim berkunjung ke India dan memesan kain sebagaimana sketsa yang telah ditulis sebelumnya pada kertas. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat pada kawasan Melayu telah mengenal pengunaan kertas sebagai alat tulis dalam kehidupannya. Rujukan
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Sejarah Melayu. Wikisumber memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini:
|