Sentimen anti-Malaysia di Indonesia

Sentimen anti-Malaysia di Indonesia merupakan rasa ketidaksenangan kolektif sejumlah masyarakat Indonesia terhadap beberapa hal yang berkaitan dengan Malaysia. Sentimen ini pertama kali muncul selama pembentukan Federasi Malaysia dan lebih disebabkan oleh perselisihan politik daripada perselisihan sosial atau budaya. Pada awal pembentukan Federasi Malaya atau dikenal sebagai Persekutuan Tanah Melayu pada tahun 1957, hubungan kedua negara masih berjalan dengan baik.[1]

Peta Indonesia (warna hijau) dan Malaysia (warna jingga)

Perselisihan baru timbul saat Federasi Malaysia hendak dibentuk [2] karena isu dekolonialisasi wilayah koloni Inggris di Sarawak dan Borneo Utara (sekarang dikenal sebagai Sabah) yang rencananya kedua wilayah tersebut akan digabungkan dengan Malaya yang akhirnya melahirkan Federasi Malaysia, ditentang oleh Soekarno yang dikenal sebagai seorang yang sangat anti-kolonialisme dan imperialisme.[3] Presiden Indonesia waktu itu menganggap Federasi Malaysia sebagai alat imperialisme Inggris yang tidak rela dalam melakukan dekolonialisasi sesuai dengan ketentuan PBB terhadap wilayah Malaya, Sarawak dan Borneo Utara. Setelah sempat mereda pada masa Orde Baru, sentimen ini kembali muncul pada awal abad ke-21, tetapi lebih didasari pada perselisihan politik budaya dan politik wilayah, sehingga tidak mengarah menjadi anti-Melayu sebagaimana yang terjadi di Singapura dan Thailand.

Konfrontasi Indonesia-Malaysia 1957-1968

Lihat artikel utama: Konfrontasi Indonesia-Malaysia
Komando Aksi Sukarelawan.

Konfrontasi Indonesia-Malaysia lebih bersifat politik dan dipicu oleh prasangka dari pihak Indonesia yang menganggap Federasi Malaysia hasil bentukan Inggris sebagai sebuah negara "boneka neo-kolonial". Inggris dituduh berusaha agar kedua koloninya di Kalimantan yakni Sarawak dan Sabah tidak merdeka dengan mengabungkan pada Semenanjung Malaya dengan gagasan membentuk negara yang dinamakan Federasi Malaysia[2] untuk mempermudah rencana kepentingan ekonomi Inggris atas wilayah tersebut dan sebagai alat memperluas pengaruh imperialisme negara-negara Barat di kawasan Asia dan memberikan celah kepada negara Inggris dan Australia untuk memengaruhi perpolitikan regional Asia, terutama Asia Tenggara.

Sebenarnya Filipina dan Indonesia secara resmi menyetujui untuk menerima pembentukan Federasi Malaysia apabila mayoritas di daerah tersebut dilakukan melalui pemilihan dalam sebuah referendum pilihan rakyat yang akan diorganisasi oleh PBB sebagaimana keputusan Dewan Keamanan PBB. Akan tetapi, pada 16 September 1963, secara sepihak sebelum hasil dari pemilihan rakyat dilaporkan, pihak pendukung Federasi Malaysia yang terdiri dari kalangan elit menganggap bahwa masalah pilihan rakyat Malaya, Sarawak dan Sabah dan pilihan pembentukan federasi termasuk di dalamnya Sarawak dan Sabah ini sebagai masalah dalam negeri, tanpa tempat untuk turut campur rakyat setempat atau orang luar. Pemimpin Indonesia melihat hal ini sebagai pelanggaran perjanjian internasional THE MACAPAGAL PLAN antara lain melalui perjanjian Manila Accord tanggal 31 Juli 1963, Manila Declaration tanggal 3 Agustus 1963, Joint Statement tanggal 5 Agustus 1963[4] mengenai dekolonialisasi yang harus mengikut sertakan rakyat mengikut sertakan rakyat Sarawak dan Sabah secara keseluruhan dalam proses dekolonialisasi, akan tetapi Inggris tetap ingin melakukan kolonialisasi terselubung terhadap wilayah Sarawak dan Sabah melalui rencana pembentukan Federasi Malaysia terbukti dengan adanya perjanjian antara Inggris dengan Federasi Malaya atau disebut pula sebagai Persekutuan Tanah Melayu dalam hal hak memakai basis militer di Sembawang,(01°28′0″N 103°50′0″E / 1.46667°N 103.83333°E / 1.46667; 103.83333)[2] dan kemudian ditambah lagi dengan adanya demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, ketika para demonstran menyerbu gedung KBRI dengan merobek-robek foto Soekarno serta membawa lambang Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul Rahman Perdana Menteri Malaysia saat itu dan memaksanya untuk menginjak lambang negara Garuda Pancasila, melihat hal ini makin menimbulkan kemarahan Soekarno dan rakyat Indonesia terhadap pembentukan Federasi Malaysia yang dianggap sebagai tidak mewakili kepentingan rakyat setempat.[5] berujung pada pembentukan Dwi Komando Rakyat disingkat sebagai Dwikora berisi: 1) Perhebat Pertahanan Revolusi Indonesia, dan 2) Bantu perjuangan revolusioner rakyat-rakyat Malaya, Singapura, Sabah, Sarawak, dan Brunei memerdekakan diri dan membubarkan Negara Malaysia.

Walaupun status wilayah Sarawak dan Sabah sampai sekarang masih tercatat pada daftar Dewan Keamanan PBB masih sebagai wilayah yang belum tuntas melakukan dekolonial .[6] semenjak kejatuhan rezim Soekarno, presiden pengganti Indonesia, Soeharto, segera menggantikan politik konfrontasi dengan politik pemberdayaan bagi rakyat Malaya yakni dengan mengirimkan tenaga-tenaga pelatihan bagi peningkatan sumber daya manusia di Malaya serta menjalin hubungan baik dengan Malaysia dan Singapura. Walaupun demikian, peristiwa pembentukan Federasi Malaysia tidak pernah hilang dalam ingatan kolektif bangsa Indonesia, akan tetapi oleh karena konfrontasi itu lebih pada wilayah politik maka hubungan sosial budaya antara rakyat kedua negara pada saat konfrontasi hingga sekarang tetap berjalan dengan baik.

Sentimen anti-Malaysia abad ke-21

Sentimen anti-Malaysia dalam hal ini mengenai pembentukan Federasi Malaysia di Indonesia kembali muncul di awal abad ke-21, terutama sebagai akibat banyaknya Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang umumnya bekerja sebagai buruh rendahan di Malaysia.[7] Selain itu, beberapa perselisihan perbatasan, klaim sepihak atas wilayah Indonesia, pengeboman di Jakarta dan Bali, pembiaran terhadap maraknya panggilan indon dianggap sebagai cerminan tindakan-tindakan dari pemerintahan Malaysia sebagai usaha "mencari masalah" hingga bila dahulu dikenal dengan jargon ganyang Malaysia saat sekarang berubah menjadi malingsia dan bertambah dengan malon.[8]

Latar belakang

Semenjak kebijakan pemerintahan Soeharto membantu Malaysia maka terjadi gelombang besar pengiriman orang Indonesia ke Malaysia guna membantu meningkatkan populasi warga Melayu yang di mulai sekitar tahun 1980-an yang kemudian pada tahun 2007 berubah menjadi 90% dari seluruh pekerja asing di negara tersebut,[9] atau mencapai 1,5 juta orang,[10] timbul pandangan di kalangan generasi baru Malaysia yang merendahkan orang Indonesia.[11] Salah satu penyebabnya adalah berbagai pemberitaan pers Malaysia dan pembiaran pemerintah Malaysia yang secara terbuka menyebutkan orang Indonesia sebagai "indon" sebagai pelaku berbagai tindakan kriminal. Akibatnya, tumbuh konotasi negatif atas penggunaan kata tersebut, yang dianggap sebagai penghinaan.[11] Di Malaysia kemudian tumbuh anggapan stereotipik bahwa orang Indonesia adalah sumber keonaran dan perilaku "kurang beradab", yang kemudian terekspresi dalam perlakuan orang Malaysia terhadap orang Indonesia. Masalah ini juga terkait dengan banyaknya pekerja ilegal dari Indonesia yang dipakai sebagai pekerja kasar di pabrik-pabrik dan berbagai perkebunan.

Keadaan tidak membaik dengan keluarnya keputusan Mahkamah Internasional yang memberikan kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan kepada Malaysia pada tanggal 17 Desember 2002. Hal ini menimbulkan kekecewaan di pihak Indonesia,[12] bahkan dinyatakan oleh beberapa anggota DPR. Rasa ketidaksukaan ini kemudian meningkat pesat setelah terjadi rentetan peristiwa yang dipandang Indonesia sebagai tindakan arogan sepihak oleh Malaysia, seperti kasus perselisihan di blok Ambalat yang memaksa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta TNI untuk "menjaga kedaulatan wilayah Indonesia" (2005),[13] penggunaan lagu "Rasa Sayange" pada kampanye promosi pariwisata Malaysia (2007), pemukulan atlet karate Indonesia oleh petugas keamanan Malaysia (Agustus 2007),[10] dan klaim reog Ponorogo (disebut sebagai "barongan") sebagai kesenian asli Malaysia (2008).

Serentetan aksi terorisme berupa rangkaian pengeboman sejumlah bangunan di Jakarta dan Bali, serta berbagai rencana pengeboman di beberapa tempat lainnnya yang dapat digagalkan, sejak tahun 2000 hingga 2005, serta tahun 2009, juga memunculkan isu teori konspirasi dari Malaysia.[14] Isu ini diangkat karena dalang pengeboman tersebut dilakukan oleh dua warga negara Malaysia, Azahari dan Noordin M. Top, yang adalah warga negara Malaysia.[15]

Pada kasus Ambalat, situasi yang relatif serius terjadi karena pada tanggal 7 Maret 2005 ditindaklanjuti oleh TNI dengan pengiriman delapan kapal tempur yang didukung oleh empat pesawat tempur jet F-16 oleh Armada Wilayah Timur di Balikpapan, sebagai tindakan preventif setelah sebelumnya sejumlah kapal militer Malaysia berpatroli di dalam blok ini.

Pada kasus-kasus yang lain, usaha-usaha klarifikasi dilakukan melalui komunikasi politik di antara pejabat kedua negara. Pada kasus "Rasa Sayange", protes muncul dari kalangan masyarakat Maluku (sebagai kelompok etnis yang mengklaimnya) dan anggota parlemen (DPR).

Pada pertengahan tahun 2009 situasi kembali memanas setelah terjadi pengeboman terhadap Hotel Marriott dan Ritz-Carlton, keduanya di Jakarta. Tudingan dialamatkan ke Malaysia karena dianggap sebagai pihak yang memiliki kepentingan, walaupun tidak ada bukti yang nyata. Di tengah sentimen ini, muncul kasus masuknya Tari Pendet ke dalam acara promosi Malaysia oleh Discovery Channel.[16] Kasus ini memunculkan sentimen yang emosional dari pihak Indonesia, bahkan dikemukakan oleh pejabat tinggi.[17] Kasus ini sempat memicu terjadinya sweeping terhadap warga Malaysia di Indonesia, yang berakibat dipanggilnya duta besar Indonesia di Kula Lumpur oleh Kementerian Luar Negeri Malaysia.[18] Serangan cracker terjadi pula terhadap berbagai laman Malaysia.[19] Belum reda rasa amarah akibat kasus ini, muncul pemberitaan di media Indonesia mengenai promosi yang dilakukan Malaysia atas "Pulau Jemor" yang dituliskan sebagai Pulau Jemur, padahal yang terakhir ini adalah pulau di bawah administrasi Provinsi Riau. Pemberitaan seolah-olah menunjukkan klaim atas pulau tersebut oleh Malaysia,[20] meskipun ternyata yang dipromosikan adalah Pulau Jemor, di lepas pantai Selangor.[21] Akibat eskalasi ini, Presiden Indonesia sempat mengeluarkan larangan untuk bertindak berlebihan.[22]

Ekspresi ketidaksukaan di Indonesia

Ekspresi ketidaksukaan dinyatakan dalam berbagai cara. Demonstrasi sempat terjadi di depan Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta, khususnya setelah kasus Ambalat terjadi. Akibat protes dari Indonesia mengenai lagu Rasa Sayange ditanggapi secara dingin, muncul berbagai tulisan kasar di berbagai forum internet. Beberapa blog juga menuliskan kekecewaannya. Bahkan, iklan suatu obat tradisional menyinggung masalah ini. Malaysia dicitrakan sebagai "pencuri" kebudayaan Indonesia. Dari sini kemudian muncul jargon sarkastik "Malingsia" untuk menegaskan bahwa orang Malaysia hanya bisa mencuri (maling) karya seni bangsa Indonesia. Istilah "Malon" (dengan konotasi negatif) juga diinvensi sebagai counterpart atas istilah 'Indon' yang dipakai di Malaysia. Kenyataan bahwa banyak terjadi kesamaan warisan budaya (seperti keris, berbagai jenis makanan, dan beberapa lagu daerah) dianggap sebagai "pencurian" yang dilakukan pihak Malaysia. Hal ini berdasarkan definisi Melayu yang diterapkan di Malaysia, yang memberi batasan "Melayu" adalah semua suku bangsa dengan ciri fisik dan agama yang sama dengan orang Melayu asli Malaysia, termasuk juga apabila sebenarnya seseorang berasal dari suku bangsa Jawa, Bugis, Aceh, atau Minangkabau, karena terdapat sebagian dari suku Melayu di Malaysia memiliki darah keturunan dari suku-suku tersebut.

Dalam dunia maya, berbagai forum dan blog menyinggung perlakuan Malaysia terhadap orang Indonesia. Beberapa hacker bahkan melakukan defacing terhadap beberapa halaman muka sejumlah laman lembaga-lembaga Malaysia.

Dari berbagai rentetan kasus yang melibatkan kedua negara, kasus Ambalat dapat dikatakan merupakan puncaknya. Dari berbagai aksi demo massa di Indonesia, aksi massa tak lagi mengangkat kasus Ambalat semata, namun telah bergeser menjadi sentimen anti-Malaysia. Berbagai kelompok pemuda di berbagai daerah di Indonesia bahkan mengaku siap menjadi relawan apabila terjadi perang antara Indonesia dan Malaysia, beberapa di antaranya malah melakukan aksi jempol darah sebagai simbol kesetiaan mereka terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Reaksi Malaysia

Karena terdapatnya Internal Security Act maka dalam kebanyakan kasus, masyarakat Malaysia umumnya tidak bisa bereaksi secara signifikan oleh karena itu hanya terjadi pada perdebatan terjadi di dalam forum-forum komunitas, seperti Kaskus atau Topix akan tetapi seperti pada kelaziman umum dalam hubungan internasional pihak pemerintah Malaysia selalu melakukan protes-protes diplomatik dan ketika saat kelompok-kelompok masyarakat di Indonesia menyatakan akan melakukan sweeping terhadap warga negara Malaysia dan melakukan demonstrasi disertai pembakaran bendera Malaysia, pemerintah Malaysia kembali melakukan pemanggilan terhadap duta besar Indonesia di Kuala Lumpur dan diikuti pula dengan pernyataan tertulis yang dikeluarkan oleh Ketua Pemuda UMNO sebagai organisasi kepemudaan dari partai UMNO yang berkuasa saat itu di Malaysia.[23]

Lihat pula

Catatan kaki

  1. ^ Lihat: Perjanjian Persahabatan antara Persekutuan Tanah Melayu dan Republik Indonesia
  2. ^ a b c "No.10760: Agreement relating to Malaysia" (pdf). United Nations Treaty Collection. United Nations. 1963. Diakses tanggal 2010-07-29. 
  3. ^ Lihat: Pidato Presiden Soekarno The Era of Confrontation (Era Konfrontasi) pada KTT Non Blok di Kairo (Mesir), Oktober 1964
  4. ^ United Nations — Treaty No. 8029 PHILIPPINES, FEDERATION OF MALAYA and INDONESIA (31 JULY 1963)
  5. ^ van der Kroef, Justus M. (Apr., 1963). "Indonesia, Malaya, and the North Borneo Crisis". Asian Survey. University of California Press. 3 (4): 173–181. 
  6. ^ United Nations list of Non-Self-Governing Territories, North Borneo and Sarawak
  7. ^ 'Indon' And 'Malingsia' Mysinchew. Edisi 11-01-2008
  8. ^ ANTARA News: Survei UI: Malaysia Ancaman Utama Keamanan Indonesia
  9. ^ Claudia Theophilus. Maids in a Malaysian dilemma. Al Jazeera Daring. Edisi 11-10-2007.
  10. ^ a b Hundreds in anti-M'sia protests in Indonesia Diarsipkan 2008-12-01 di Wayback Machine.. Asiaone.com
  11. ^ a b Antara Indon dan Malingsia[pranala nonaktif permanen]. Berita Indonesia daring. Edisi 26 Oktober 2007.
  12. ^ Schofield C dan Dr Ian Storey I. 2005. Energy Security and Southeast Asia: The Impact on Maritime Boundary and Territorial Disputes Harvard Asia Quarterly Vol. IX, No. 4. Fall 2005.
  13. ^ Eliswan Azly. Malaysian territorial violations in Ambalat draw strong criticism Diarsipkan 2008-12-02 di Wayback Machine. Antara daring. Edisi 24-10-2008.
  14. ^ Asing Terlibat Ngebom Marriot. JPNN. Edisi 20 Juli 2009.
  15. ^ Ada Malaysia Di Belakang Teror? Diarsipkan 2009-07-27 di Wayback Machine.. Opini di politikana.com. Edisi 24 Juli 2009.
  16. ^ Kinanti Pinta Karana & Putri Prameshwari. Outrage over Stolen Pendet Dance Ends Up as A Misstep Diarsipkan 2009-09-28 di Wayback Machine.. The Jakarta Globe. Edisi 24 Agustus 2009.
  17. ^ Menteri Larang WNI Wisata ke Malaysia. JPNN. Edisi 14 Septermber 2009.
  18. ^ Indah Setiawati. Anti-Malaysia activists launch raid on Malaysians. The Jakarta Post. Edisi 9 September 2009.
  19. ^ Indonesian hackers attack Malaysian websites Diarsipkan 2009-09-05 di Wayback Machine.. Malaysia Insiders. Edisi 2 September 2009.
  20. ^ Walah, Pulau Jemur Riau Diklaim Milik Malaysia. Kompas.com. Edisi 31 Agustus 2009.
  21. ^ Pulau yang Disengketakan Itu Jemor, Bukan Jemur Diarsipkan 2009-09-15 di Wayback Machine.. TempoInteraktif Edisi 5 September 2009
  22. ^ Multa Fidrus. Betawi group threatens to harass Malaysians Diarsipkan 2009-09-15 di Wayback Machine.. The Jakarta Post. Edisi 12 September 2009.
  23. ^ Khairy: Don’t test our patience. TheStar Online. Edisi 10 September 2009.
Kembali kehalaman sebelumnya