Seminari Tinggi Santo Yohanes Paulus II
Seminari Tinggi Santo Yohanes Paulus II (Latin: Seminarium Maius St. Ioannis Pauli II) adalah lembaga pendidikan bagi para calon imam diosesan di lingkungan Keuskupan Agung Jakarta. Karena berdomisili di Keuskupan Agung Jakarta, seminari ini juga bisa disingkat STKAJ. Wisma utama seminari ini berada di Jl. Cempaka Putih Timur XXV, no. 7-8, Cempaka Putih Timur, Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Wisma Tahun Orientasi Rohani berada di Wisma Puruhita, Klender. SejarahPada awal kehadiran Gereja Katolik di Jakarta, pendidikan imam pribumi atau imam diosesan di wilayah Jakarta tidak mendapat perhatian secara serius dan konkret. Hal pertama yang mendasarinya, yakni umat Katolik di wilayah Batavia yang pada saat itu umumnya orang berkulit putih asal Belanda, sehinga tenaga imam yang diperlukan juga cenderung berasal dari Belanda. Jumlah orang Belanda yang menjadi mayoritas pemeluk Katolik di Batavia tetap bertahan hingga masa kepemimpinan Mgr. Adrianus Djajasepoetra, S.J., yang merupakan seorang pribumi. 65,5% (18.269 orang) dari total 27.896 orang Katolik di Jakarta adalah keturunan Belanda, dan selebihnya merupakan umat Tionghoa yang bermukim sekitar daerah Kota. Kedua: Batavia adalah kota transit untuk banyak misionaris Eropa, khususnya para Yesuit Belanda yang dari sini lalu pergi berkarya ke daerah-daerah pelosok Indonesia. Maka agak sukar dibayangkan bahwa mereka mempunyai konsentrasi dan tenaga untuk mengembangkan imam pribumi di Batavia ini, hal yang sebaliknya justru harus mereka pikirkan di daerah-daerah misi di luar Jakarta, agar pelayanan umat di sana yang jauh dari pusat itu, bisa mandiri dan berkelanjutan. Maka tidak mengherankan bahwa Seminari Menengah dan Seminari Tinggi dibangun di luar Jakarta, yakni Mertoyudan dan Yogyakarta (sebelumnya: di Muntilan), yang berada di Vikariat Semarang. Kemudian situasi berubah mulai tahun 1960-an. Akibat konfrontasi sengit antara Indonesia dan Belanda menyangkut Irian Barat (1956-1958), terjadi eksodus orang Belanda besar-besaran dari Indonesia dan bersama mereka banyak umat Katolik juga, sementara “jembatan misi Belanda-Indonesia” terblokir. Selanjutnya, salah satu fakta 1970-an, yakni bahwa banyaknya umat Katolik pendatang dari daerah (Batak, Minahasa, Flores, Jawa, dll) dan “pertobatan pasca G30S” terutama di kalangan warga Tionghoa, ditambah dengan babtisan baru hasil proses katekisasi di sekolah-sekolah Katolik baru yang banyak bermunculan waktu itu, memerlukan strategi tersendiri untuk pelayanannya. Untuk itu Mgr. Leo Soekoto, SJ., Uskup Agung Jakarta (1970-1995) yang menggantikan Mgr A. Djajasepoetra, SJ., mulai mendirikan Seminari Tinggi yang memulai keseluruhan prosesnya di Jakarta, yakni dari masa studi di STF Driyarkara (berdiri sejak 1969). Sampai pada saat itu mereka yang mau menjadi imam diosesan Jakarta ditugaskan untuk menempuh seluruh studi filsafat dan teologi pada Institut Filsafat dan Teologi (Fakultas Teologi Wedabhakti), Yogyakarta, dan tinggal pada Seminari Tinggi St. Paulus Keuskupan Agung Semarang, St. Paulus di Kentungan, Yogyakarta, yang sampai pada tahun 2017 dijalani oleh para Teologan saja. Seiring dengan kebutuhan dan arah gerak Keuskupan Agung Jakarta, sejak tahun 2018 sampai dengan buku ini dibuat, para frater Teologan melanjutkan studinya di S2 Filsafat Keilahian STF Driyarkara Jakarta. Pada awalnya Seminari Tinggi Keuskupan Agung Jakarta tidak memiliki nama pelindung sepreti sekarang ini, Yohanes Paulus II. Tempat wisma di mana para frater tinggal dinamakan seturut nama jalan, yaitu, Wisma Murdai, Wisma Cempaka Timur dan Wisma Cempaka Raya. Satu-satunya kekecualian adalah rumah Tahun Orientasi Rohani (TOR) di Klender yang mulai dipakai 1 Agustus 1987 dan diberi nama “Wisma Puruhita”, rumah untuk para pouruhita (bhs. Sansekerta), yakni: mereka yang mendalami bidang spiritual, ya rohaniwan,[1] sebuah nama yang sangat cocok untuk menggambarkan tekad para frater mengasah ketajaman daya rohaninya di sana. Semua rumah ini memang diperuntukkan secara khusus bagi pembinaan para calon imam diosesan KAJ. Sebelum ada rumah-rumah ini, para frater sempat “mondok” berturut-turut a.l pada salah satu ruang amat sederhana di bagian belakang Kolese Kanisius tanpa Romo pembimbing khusus (pimpinan rumah dirangkap oleh rektor Kolese Kanisius saat itu, P. Kester SJ lalu P. J. Drost, SJ), juga pernah pada salah satu rumah yang bertetangga dengan STF Driyarkara, lalu di Wisma Samadi Klender, bahkan pernah sebentar di Gedung KUPERDA (Kursus Pertanian Dasar), Bogor. Kekecualian berlaku untuk beberapa frater yang dari semula memang sudah mulai studi dan tinggal di Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan, Yogyakarta. Wisma Murdai didirikan pada tahun 1980 di Jl. Murdai 1 No. 1 RT 08/013, Cempaka Putih, Jakara Pusat. Wisma ini semula diperuntukkan bagi frater filosofan yang menjalani kuliah pada STF Driyarkara (1980-1982), lalu dialihfungsikan menjadi rumah Tahun Rohani (1982-1986), untuk kemudian menjadi rumah para filosofan lagi hingga 1995. Dalam perkembangan selanjutnya, mulai 1996 hingga saat buku ini ditulis, wisma ini menjadi panti sosial milik sebuah yayasan swasta yang menampung anak-anak yang dianggap membutuhkan fasilitas tersebut. Pada waktu Tahun Rohani untuk para calon imam mulai diintroduksikan di Keuskupan Agung Jakarta (1982), Wisma Murdai dijadikan tempat untuk tujuan itu, dan para filosofan pindah ke rumah studi baru, yaitu Wisma Cempaka Putih Timur (CPT) di Jl. Cempaka Putih Timur XXV No 7-8 yang diberkati oleh Mgr. Leo Soekoto pada hari Rabu, 19 Januari 1982. Seiring berjalannya waktu, ternyata Wisma Murdai dirasa lebih dibutuhkan sebagai rumah para filosofan yang belajar pada STF Driyarkara di dekat situ, lantaran Wisma CPT saja tidak dapat menampung para filosofan yang jumlahnya meningkat setiap tahun. Maka, sebagai tempat TOR yang baru, pada tahun 1987 didirikanlah Wisma Puruhita (di belakang Wisma Samadi) di Jl. Balai Pustakan RT 007/02, Klender – sekarang Jl. K.H Maisin No. 84, Klender, Jakarta Timur. Dengan demikian terdapat dua wisma Seminari Tinggi yang diperlukan untuk para mahasiswa fraternya. Oleh karena dalam perkembangan selanjutnya jumlah frater baik pada jenjang TOR maupun filosofan semakin meningkat juga, sedangkan Wisma Cempaka Putih Timur memerlukan renovasi maka pihak Keuskupan membeli sebuah rumah di Jl. Cempaka Putih Raya No. B. 32. Rumah itulah yang kemudian dikenal sebagai Wisma Cempaka Raya (Cera). Dalam perkembangannya, Wisma Cera yang mulai dihuni Agustus 2001 digunakan untuk menampung para teologan dari kalangan “panggilan dewasa” yang menempuh tahap akhir dari studi teologi STF Driyarkara, jakarta – sementara para teologan asal Seminari Menengah menempuh studi ini pada Fakultas Wedabhakti di Kentungan, Yogyakarta. Mulai 2008 Wisma Cempaka Putih Raya sudah tidak ditinggali lagi oleh para frater dan mau dijual, lantaran lingkungannya telah berubah menjadi tidak kondusif lagi sebagai rumah mahasiswa, apalagi jumlah frater yang belajar teologi pada STF Driyarkara, Jakarta, yakni mereka dari kalangan “panggilan dewasa” tadi, semakin sedikit, begitu pula jumlah frater filosofan di CPT. Para fraternya lalu dipindahkan menjadi satu komunitas di Wisma CPT. Jadi mulai 2008, ST KAJ hanya mempunyai satu rumah studi saja, yakni Wisma Cempaka Putih Timur itu, setelah pada masa-masa sebelumnya sempat tersebar dan terpencar sana sini. Terkait renovasi yang sempat disinggung di atas, Wisma CPT sebelumnya mengalami peremajaan dan perluasan bangunan pada tahun 2004. Untuk itu Wisma CPT disatukan dengan bangunan baru di sampingnya, setelah mereobohkan rumah tetangga yang sudah beberapa tahun sebelumnya dibeli oleh pihak Keuskupan dan ditinggali oleh para frater selama tiga tahun (2001-2004). Selama renovasi tersebut, para frater filosofan tingkat I-III bertempat tinggal sementara di Wisma Samadi, Klender, sedangkat para frater filosofat tingkat IV menempati Wisma Puruhita. Lalu bagaimana dengan frater TOR? Para frater TOR angkatan 2004 (dan hanya angkatan ini) dipindahkan ke Wisma Cera dan tinggal bersama para frater teologan di sana sampai renovasi selesai. Pada masa-masa awal yang baru itu, bahkan sudah terlintas sebelum itu, ada permintaan untuk memberikan nama pelindung bagi Seminari Tinggi KAJ. Berkenaan dengan itu, banyak nama santo yang diusulkan. Pada proses pencarian nama tersebut, Paus Yohanes Paulus II masih hidup. Maka, ada sedikit keraguan untuk menjadikan namanya sebagai pelindung Seminari Tinggi KAJ walaupun ada perkembangan ke arah sana. Pada tanggal 2 April 2005 Paus Yohanes Paulus II meninggal dunia. Pada tahun yang sama, nama Yohanes Paulus II diputuskan untuk menjadi pelindung Seminari Tinggi KAJ. Pertimbangannya, beliau adalah seorang pimpinan umat Kristiani yang sangat berpengaruh dan dicintai oleh Gereja dan dunia pada abad ke-20, seorang imam diosesan yang dekat dengan semua orang, terkenal karena kesucian, keterbukaan dan kedalaman spiritualitasnya, serta kecerdasannya baik di bidang filsafat maupun teologi. Maka, bertepatan dengan pemberkatan Wisma Cempaka Putih hasil renovasi dalam bentuknya yang sekarang ini oleh Julius Kardinal Darmaatmadja SJ, Uskup KAJ (1995-2010) pada hari Senin, 19 September 2005 ( sepekan sebelumnya ada acara kenduren dengan para tetangga), Seminari Tinggi KAJ secara resmi menggunakan Yohanes Paulus II sebagai nama pelindung. EtimologiKata sansekerta pouruhita sebenarnya berarti seorang rohaniwan, maka juga seorang pandhita (pendeta) yang mendapat tugas dalam kepemimpinan seorang Raja. Dalam paham kekuasaan Hindu kuno, meskipun sistem pemerintahannya adalah monarki, namun seorang Raja tidak boleh bertindak semaunya, ia terikat pada undang-undang yang didasarkan atas Kitab-kitab suci. Adalah pouruhita yang mengingatkan, menasehati, menegur, dsb., agar para raja berpegang pada ketentuang Kitab-kitab Suci itu dalam pengambilan keputusannya. Berbeda dari apra resi pendeta yangbiasa menyepi di tempat-tempat sunyi, seorang pouruhita dicirikan secara khas dalam keterlibatan dan partisipasinya yang aktif pada tata kelola duniawi, dalam hal ini pemerintahan seorang Raja. Dalam Perjanjian Lama, kita mengenal para pegawai Raja-raja Israel yang juga berfungsi sebagai penasihat atau nabi, misalnya Natan, Daniel dan Hosea. Kalau diterapkan ke dalam struktur Gereja Katolik, seorang pouruhita kiranya bisa disejajarkan dengan seorang imam yang terlibat dalam tugas kepemimpinan atau kegembalaan Uskup setempat. Sebagai itu, ia merupakan anggota dari hirarki (=Pemerintahan Kudus, darik kata Yunani hieros yang berarti kudus” dan arkhos yang berarti pemerintahan). Bdk. Ida Bagus Gunadha, “Dari Arthasastra menuju Demokrasi Indonesia’ dalam: S.P. Lili Tjahjadi (ed), Agama dan Demokratisasi: Kasus Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), 29 dst. PimpinanMelihat sejarahnya, nama-nama dari para imam yang menjadi rektor di Seminari Tinggi KAJ yang kini bernama Yohanes Paulus II adalah sebagai berikut:
Bacaan Lebih Lanjut
Referensi
|