Presbiter YohanesPresbiter Yohanes (bahasa Latin: Presbyter Ioannes) adalah tokoh batrik, presbiter (penatua), dan raja Kristen legendaris yang populer dalam tawarikh-tawarikh dan tradisi Eropa semenjak abad ke-12 sampai abad ke-17. Konon Presbiter Yohanes merajai sebuah bangsa Kristen Nestorian (Kristen Suryani Timur), nun jauh di antara negara-negara khilafah dan negeri-negeri pagan di belahan Dunia Timur, tempat batrik Kristen Santo Tomas bermastautin. Keterangan-keterangan mengenai Presbiter Yohanes adalah kumpulan aneka cerita fantasi populer dari Abad Pertengahan yang menggambarkannya sebagai keturunan tiga orang Majus, dan memerintah sebuah kerajaan yang kaya akan harta, keajaiban, maupun makhluk-makhluk aneh. Mulanya Presbiter Yohanes dibayangkan bermastautin di India. Bibit-bibit pertama legenda Presbiter Yohanes mungkin sekali berasal dari kabar tentang keberhasilan para penginjil Kristen Nestorian di India maupun kisah yatra Rasul Tomas di tanah Jambudwipa dalam karya-karya tulis semacam Kisah Rasul Tomas. Sesudah bangsa Mongol merambah belahan Dunia Barat, muncul keterangan bahwa Presbiter Yohanes bermastautin di Asia Tengah. Para penjelajah Portugis kemudian hari merasa yakin telah mendapati jejak keberadaannya di Etiopia. SumberMeskipun tidak jelas sumbernya, legenda Presbiter Yohanes mengandung banyak sekali informasi yang diserap dari karya-karya tulis sebelumnya tentang Dunia Timur dan catatan-catatan perjalanan para musafir Barat ke negeri-negeri Timur, teristimewa kisah kiprah Rasul Tomas dalam menyebarkan agama Kristen di India, yang dibukukan pada abad ke-3 dengan judul Kisah Rasul Tomas. Buku inilah yang menyemai citra India sebagai negeri aneh bin ajaib dalam benak orang-orang Barat, selain menyajikan keterangan tertua mengenai seluk-beluk pembentukan jemaat Kristen di India. Citra India sebagai negeri aneh bin ajaib dan ihwal keberadaan umat Kristen di India merupakan motif-motif menonjol dalam keterangan-keterangan terkemudian mengenai Presbiter Yohanes.[1] Legenda Presbiter Yohanes juga menyerap informasi dari laporan-laporan yang sudah terdistorsi mengenai kiprah Gereja Suryani Timur di daratan Asia. Gereja ini juga dikenal dengan sebutan "Gereja Nestorian" dan berpusat di Persia. Dalam imajinasi orang-orang Barat, umat Kristen Suryani Timur, yang tersebar di berbagai negeri Timur, adalah segolongan umat Kristen yang eksotis (dari segi kebudayaan) sekaligus tidak asing (dari segi agama).[2] Yang membuat orang-orang Barat terkesan adalah keberhasilan para misionaris Kristen Nestorian dalam mewartakan Injil kepada bangsa Mongol dan bangsa Turk di Asia Tengah. Sejarawan Prancis, René Grousset, menduga bahwa salah satu pencetus munculnya legenda Presbiter Yohanes adalah berita mengenai suku Kerait. Tak lama selepas tahun 1000, ribuan warga suku Kerait masuk agama Kristen Nestorian. Pada abad ke-12, pemimpin-pemimpin Kerait masih mengamalkan kebiasaan memakai nama Kristen, dan mungkin kebiasaan inilah yang memantik legenda Presbiter Yohanes.[3] Selain itu, tradisi seputar Presbiter Yohanes mungkin juga berpangkal pada sosok Yohanes Presbiter, tokoh Kristen purba asal Suriah. Jati diri Yohanes Presbiter tidak jelas, dan ihwal keberadaannya pertama kali muncul dalam karya tulis Eusebius, Uskup Kaisarea yang menyusun uraian sejarah Gereja berdasarkan keterangan-keterangan tertulis peninggalan bapa-bapa Gereja terdahulu.[4] Dalam sebuah dokumen, Yohanes Presbiter disebut sebagai penulis dua dari tiga Surat Yohanes dalam Kitab Suci Perjanjian Baru,[5] dan diyakini sebagai guru dari Papias, Uskup Hierapolis yang mati syahid. Papias sendiri adalah guru dari Ireneus, dan Ireneus adalah guru dari Eusebius. Meskipun demikian, hanya segelintir orang yang menghubung-hubungkan tokoh Yohanes Presbiter dengan legenda Presbiter Yohanes di luar ihwal kemiripan nama.[6] Arti harfiah "presbiter" (bahasa Yunani: presbiteros, bahasa Latin: presbyter) adalah "sesepuh", tetapi digunakan pula sebagai gelar bagi imam Kristen.[7][8] Keterangan-keterangan terkemudian mengenai Presbiter Yohanes memuat banyak sekali informasi yang dipetik dari karya-karya tulis mengenai Dunia Timur, termasuk sekumpulan besar karya tulis geografi dan catatan perjalanan, baik yang ditulis pada Abad Kuno maupun pada Abad Pertengahan. Perincian-perinciannya acap kali diambil dari tulisan-tulisan sastra dan sejarah semu, misalnya cerita Sinbad Si Pelaut.[9] Dalam hal ini, Roman Aleksander, kumpulan hikayat kepahlawanan Aleksander Agung, besar sekali pengaruhnya.[10] Legenda Presbiter Yohanes mengemuka pada permulaan abad ke-12, berpangkal pada laporan-laporan mengenai kunjungan seorang uskup agung dari India ke Konstantinopel, dan kunjungan seorang batrik dari India ke Roma pada masa jabatan Paus Kalistus II.[11] Agaknya kedua tokoh tersebut adalah pemimpin umat Kristen Santo Tomas di India. Keterangan perihal kunjungan mereka tidak dapat dipastikan kebenarannya, karena bukti-bukti yang ada hanyalah laporan-laporan pihak kedua. Yang pasti, penulis tawarikh berkebangsaan Jerman, Otto dari Freising, dalam Chronica sive Historia de duabus civitatibus yang ia tulis pada tahun 1145, melaporkan perjumpaannya dengan Hugo, Uskup Jablah, dalam sidang majelis istana Paus Eugenius III di Viterbo pada tahun 1144.[12][13][14] Hugo hadir selaku duta Pangeran Raymond, kepala negara Kepangeranan Antiokhia, dengan misi mencari bantuan dari Dunia Barat dalam rangka menghadapi kaum Sarasen pascaperistiwa pengepungan kota Urfa. Imbauan Hugo membuat Sri Paus tergugah untuk memprakarsai Perang Salib II. Di hadapan Sri Paus, Hugo menyampaikan kepada Otto bahwa Presbiter Yohanes, seorang tokoh Kristen Nestorian yang mengemban jabatan rangkap selaku imam sekaligus raja, sudah berhasil merebut kembali kota Hamedan dari adik-beradik Samiardi, Raja Media dan Raja Persia, dalam perang besar yang berlangsung "beberapa tahun yang lalu". Susai perang, Presbiter Yohanes dikabarkan bertolak menuju Yerusalem untuk menyelamatkan Tanah Suci, tetapi banjir bengawan Tigris memaksanya pulang ke negerinya. Semarak kekayaannya tampak pada tongkat kerajaannya yang terbuat dari zamrud, dan keluhuran fitrahnya tersirat pada asal-usulnya selaku keturunan tiga orang Majus.[15] Robert Silverberg menghubung-hubungkan keterangan ini dengan peristiwa bersejarah yang berlangsung pada tahun 1141, yakni kemenangan angkatan perang Kara Khitai di bawah pimpinan Yelu Dasyi atas angkatan perang Turk Seljuk dalam pertempuran di padang Qatwan, tak jauh dari Samarkand. Bangsa Turk Seljuk yang berdaulat atas Persia ketika itu adalah kaum terkuat di Dunia Islam. Kekalahan di Samarkand benar-benar menguras kekuatan mereka. Bangsa Kara Khitai ketika itu memeluk agama Buddha, bukan agama Kristen, sehingga tidak ada dasar untuk menduga bahwa Yelu Dasyi pernah disebut "Presbiter Yohanes".[16] Meskipun demikian, beberapa suku jajahan Kara Khitai memeluk agama Kristen Nestorian, sehingga mungkin saja ada andilnya dalam kemunculan legenda Presbiter Yohanes. Mungkin pula bangsa Eropa, yang kala itu belum mengenal agama Buddha, berasumsi bahwa jika bukan Muslim, si pemimpin tentu beragama Kristen.[17][18] Kekalahan bangsa Turk Seljuk mengobarkan kembali semangat juang Laskar Salib, dan memunculkan gagasan akan datangnya kelepasan dari Timur. Otto mungkin sengaja mencatat laporan Hugo yang membingungkan itu agar para penggalang Laskar Salib di Eropa tidak berpuas diri dan duduk diam berpangku tangan, karena catatan tersebut mengisyaratkan bahwa sang raja dari Timur yang perkasa itu tidak dapat diharapkan bantuannya.[19] Surat Presbiter YohanesSesudah lama tak terdengar beritanya, legenda Presbiter Yohanes kembali mengemuka pada tahun 1165, ketika salinan-salinan Surat Presbiter Yohanes mulai beredar ke seluruh Eropa.[16] Kemiripan kisah-kisah ajaib dalam Surat Presbiter Yohanes dengan cerita-cerita Roman Aleksander dan Kisah Rasul Tomas menyiratkan bahwa penulisnya mengenal karya-karya tulis tersebut. Konon surat ini dikirimkan kepada Manuel Comnenus, Kaisar Romawi Timur, oleh Presbiter Yohanes, Raja India, keturunan salah satu dari ketiga orang Majus.[20][21] Uraian-uraian menakjubkan mengenai kekayaan dan keajaiban dalam surat ini memukau imajinasi orang-orang Eropa, dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Ibrani. Selama berabad-abad, Surat Presbiter Yohanes beredar lewat naskah-naskah dalam bentuk yang sudah banyak ditambahi bumbu-bumbu cerita. Beberapa naskah semacam itu masih ada sampai sekarang. Penemuan mesin cetak melanggengkan popularitas Surat Presbiter Yohanes, sehingga masih menjadi topik hangat dalam budaya populer pada Abad Penjelajahan. Salah satu pokok pikiran surat ini adalah bahwasanya kerajaan Kristen Nestorian yang disangka hilang itu ternyata masih eksis di belantara Asia Tengah. Keaslian surat ini sempat dipercaya, karena ada laporan bahwa Paus Aleksander III pernah mengirim sepucuk surat kepada Presbiter Yohanes, diantar langsung oleh tabibnya yang bernama Filipus pada tanggal 27 September 1177. Tidak ada keterangan lebih lanjut mengenai Filipus, tetapi mungkin sekali ia pulang tanpa kabar apa-apa dari Presbiter Yohanes.[22] Surat Presbiter Yohanes terus beredar. Semakin banyak disalin, semakin sarat pula dengan bumbu-bumbu cerita. Pada zaman modern, hasil analisis tekstual atas berbagai versi Ibraninya menyiratkan bahwa Surat Presbiter Yohanes berasal dari umat Yahudi Italia Utara atau Languedoc, karena masih ada beberapa patah kata Italia yang dipertahankan dalam versi Ibrani.[23] Bagaimanapun juga, penulis Surat Presbiter Yohanes mungkin sekali adalah orang Barat. Kekaisaran MongolPada tahun 1221, Jacques de Vitry, Uskup Akko, kembali ke Eropa dari Perang Salib V dengan membawa berita baik. Konon katanya Raja Daud, penguasa India, anak atau cucu Presbiter Yohanes, sudah menurunkan angkatan perang untuk melawan kaum Sarasen. Ia sudah berhasil menundukkan wangsa Khawarizmi di Persia, dan sedang bergerak menuju Bagdad. Keturunan raja besar yang sudah mengalahkan bangsa Turk Seljuk pada tahun 1141 ini berencana menaklukkan dan membangun kembali Yerusalem.[24][25] Sejarawan dan etnolog Soviet yang kontroversial, Lev Gumilev, berspekulasi bahwa Kerajaan Yerusalem, negara Laskar Salib di Negeri Syam yang sedang menghadapi masalah penyusutan wilayah, sengaja menciptakan legenda ini demi membangkitkan harapan umat Kristen dan menggugah raja-raja Eropa yang kala itu sudah kehilangan minat untuk melibatkan diri dalam Perang Salib, kampanye militer yang menghabiskan begitu banyak ongkos dan berlangsung di tempat yang begitu jauh dari negara maupun kesibukan mereka.[26] Uskup Akko memang tidak salah ketika mengabarkan bahwa seorang raja besar sudah menaklukkan Persia, tetapi bukan "Raja Daud" melainkan Jenghis Khan, pemimpin Mongol penyembah Tengri. Pada masa pemerintahan Jenghis Khan, legenda Presbiter Yohanes mengalami perubahan alur cerita. Mula-mula Jenghis Khan dipandang sebagai cambuk pelecut musuh-musuh iman Kristen, tetapi belakangan diketahui bahwa ia menoleransi agama apa saja asalkan pemeluknya rela dijajah bangsa Mongol. Jenghis Khan adalah penguasa Asia Timur pertama yang mengundang para pemuka tiga agama besar (Kristen, Islam, Buddha) untuk hadir dalam sebuah simposium yang ia manfaatkan sebagai ajang untuk mempelajari keyakinan mereka.[27] Konon salah seorang selir kesayangan Jenghis Khan adalah pemeluk agama Kristen Nestorian. Dalam imajinasi bangsa Eropa, selir Kristen ini punya andil besar dalam aksi penjarahan besar-besaran atas kota Bagdad yang dilancarkan bangsa Mongol.[27] Bangkitnya kekaisaran bangsa Mongol membuka peluang bagi umat Kristen Barat untuk berkunjung ke negeri-negeri yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Mereka berbondong-bondong bertualang ke negeri-negeri Timur lewat lebuh-lebuh yang aman ditempuh karena dijaga angkatan bersenjata kekaisaran bangsa Mongol. Keyakinan bahwa kerajaan Kristen Nestorian yang hilang masih eksis di Timur, atau keyakinan bahwa keselamatan negara-negara Laskar Salib bergantung pada persekutuan dengan seorang raja Timur, merupakan salah satu alasan diutusnya sejumlah besar duta dan misionaris Kristen kepada bangsa Mongol, antara lain kedua frater penjelajah dari tarekat Fransiskan, Giovanni da Pian del Carpine (diutus tahun 1245) dan Willem van Ruysbroeck (diutus pada tahun 1253).[28] Uraian terperinci mengenai kaitan antara Presbiter Yohanes dan Jenghis Khan muncul pada kurun waktu ini. Presbiter Yohanes diidentikkan dengan bapak angkat Jenghis, yakni Togrul, raja orang Kerait yang mendapatkan gelar "Wang Khan" dari kekaisaran wangsa Jin di Tiongkok. Para penulis tawarikh dan penjelajah yang cukup dapat dipercaya seperti Marco Polo,[29] pejuang Laskar Salib sekaligus sejarawan Jean de Joinville,[30] dan musafir Fransiskan Odorico da Pordenone[31] menghilangkan banyak citra adikodrati yang menyelubungi pribadi Presbiter Yohanes, dan menampilkannya sebagai sosok raja duniawi yang lebih realistis. Menurut keterangan Odorico da Pordenone, negeri Presbiter Yohanes terletak di sebelah barat Kathai, di jalan menuju Eropa, dan ibu kotanya bernama Kasan, yang mungkin ada kaitannya dengan Kazan, ibu kota bangsa Tatar di dekat Moskwa. Dalam tawarikhnya, Jean de Joinville menggambarkan Jenghis Khan sebagai "orang bijak" yang mempersatukan seluruh suku Tartar dan memimpin mereka meraih kemenangan atas musuh mereka yang paling tangguh, yakni Presbiter Yohanes.[30] Willem van Ruysbroeck melaporkan bahwa "Vut", yang dipertuan orang Kerait, saudara Yohanes, raja Kristen Nestorian itu, dikalahkan orang Mongol di bawah pimpinan Jenghis Khan. Anak gadis Vut dilarikan Jenghis Khan, lalu dikawinkan dengan putranya. Dari perkawinan ini lahirlah Möngke, khan yang berkuasa ketika Willem menulis laporannya.[32] Menurut Kisah Petualangan Marco Polo, perang antara Presbiter Yohanes dan Jenghis Khan bermula ketika Jenghis, selaku pemimpin baru kaum pembangkang Tartar, meminang anak gadis Presbiter Yohanes. Raja Kristen itu murka melihat bawahannya yang hina berani meminang putrinya. Pinangan Jenghis ditolak mentah-mentah. Perang yang meletus akibat penolakan ini berakhir dengan kemenangan bagi Jenghis Khan dan kebinasaan bagi Presbiter Yohanes.[33] Togrul, tokoh nyata di balik keterangan-keterangan tersebut, memang adalah seorang raja beragama Kristen Nestorian yang dikalahkan Jenghis Khan. Togrul menampung Jenghis ketika ditinggal mati ayahnya, Yesugei, dan merupakan salah seorang sekutu pertama Jenghis, sebelum hubungan baik mereka meretak. Sesudah Togrul menolak permintaan untuk mengawinkan putra-putrinya dengan anak-anak Jenghis, timbul keretakan yang lambat laun melebar dan memicu terjadinya perang pada tahun 1203. Sorgagtani Beki, anak perempuan Jaka Gambu, adik Togrul, ditawan Jenghis dan dikawinkan dengan Tolui, putra bungsunya. Perkawinan mereka dianugerahi beberapa orang anak, antara lain Möngke, Kublai, Hulagu, dan Ariq Böke. Keterangan-keterangan yang berasal dari kurun waktu ini tidak menggambarkan Presbiter Yohanes sebagai pahlawan tak terkalahkan, tetapi hanya sebagai salah satu dari sekian banyak lawan yang ditumbangkan bangsa Mongol. Meskipun demikian, ketika kekaisaran bangsa Mongol runtuh, bangsa Eropa meninggalkan gagasan bahwa Presbiter Yohanes adalah seorang raja di Asia Tengah.[34] Bagi bangsa Eropa ketika itu, melacak keberadaan Presbiter Yohanes di Asia Tengah adalah hal yang muskil, karena perjalan ke kawasan itu kian berisiko dengan hilangnya jaminan keamanan yang dulu diberikan kekaisaran bangsa Mongol. Dalam karya-karya tulis seperti Kisah Petualangan Sir John Mandeville[35][36] dan Historia Trium Regum yang ditulis Yohanes dari Hildesheim,[37] negeri Presbiter Yohanes cenderung mendapatkan kembali unsur-unsur fantastisnya dan tidak lagi berada di padang-padang stepa Asia Tengah, melainkan kembali berada di India atau lokasi eksotis lainnya. Wolfram von Eschenbach mengaitkan sejarah Presbiter Yohanes dengan legenda Piala Suci di dalam puisi gubahannya, Parzival. Dalam puisi ini, Presbiter Yohanes adalah anak dari Gadis Penjaga Piala Suci dan Feirefiz, sang kesatria Sarasen.[38] Pada tahun 1876, Profesor Filip Bruun dari Rusia mengemukakan teori bahwa Presbiter Yohanes mungkin adalah salah seorang raja Georgia, negara yang mengalami kebangkitan militer pada masa Perang Salib sehingga berani menentang kekuatan Muslim. Meskipun dianggap tidak bermasalah oleh Henry Yule dan sejumlah sejarawan Georgia modern, teori ini serta-merta ditolak Friedrich Zarncke.[39] Mustahil Presbiter Yohanes ada sangkut-pautnya dengan Georgia, mengingat Georgia adalah sebuah negara Kristen Ortodoks alih-alih Kristen Nestorian, dan mengacu pada fakta bahwa negara ini maupun negara-negara yang menjadi cikal bakalnya, yakni Kerajaan Kolkis (negeri Lazica) dan Kerajaan Iberia, sudah dikenal luas dan terdokumentasi dengan baik pada masa itu, terbukti dari hubungan surat-menyurat yang berjalan secara teratur antara episkop-episkop Kartli dan uskup-uskup Roma. EtiopiaPresbiter Yohanes sudah dianggap sebagai penguasa India sedari awal kemunculan legendanya, tetapi "India" adalah konsep yang kabur bagi bangsa Eropa. Para penulis kerap menyebut-nyebut keberadaan "tiga Negeri India", dan karena tidak memiliki pengetahuan tentang seluk-beluk Samudra Hindia, kadang-kadang mereka menganggap Etiopia sebagai salah satu dari ketiga "Negeri India" tersebut. Orang-orang Barat tahu bahwa Etiopia adalah negara Kristen yang kuat, tetapi kontak dengan negara itu menjadi sporadis sesudah kemunculan Islam. Presbiter Yohanes tidak ditemukan di Asia Tengah, oleh karena itu imaginasi bangsa Eropa menggeser lokasi kerajaannya ke sekitar pelosok "Negeri-Negeri India" yang tidak jelas itu sampai mendapatkan sebuah kerajaan kuat yang cocok baginya di Etiopia.[40] Bukti-bukti menyiratkan bahwa gagasan mengenai Etiopia sebagai lokasi kerajaan Presbiter Yohanes mulai menjadi bagian dari kesadaran kolektif sekitar tahun 1250.[41] Marco Polo menyebut Etiopia sebagai negara Kristen yang mengagumkan,[42] dan ada legenda umat Kristen Ortodoks yang mengatakan bahwa bangsa Etiopia kelak akan menginvasi Semenanjung Arab,[43] tetapi baik Marco Polo maupun legenda Kristen Ortodoks tersebut tidak menyebut Etiopia sebagai lokasi keberadaan Presbiter Yohanes. Pada tahun 1306, 30 orang duta yang diutus Kaisar Wedem Arad tiba di Eropa. Dalam salah satu laporan mengenai kunjungan mereka, Presbiter Yohanes disebut sebagai Batrik Gereja Etiopia.[44] Uraian lain mengenai Presbiter Yohanes asal Afrika tercantum dalam Mirabilia Descripta yang ditulis Iordanus Catalanus, seorang misionaris dari tarekat Dominikan, sekitar tahun 1329.[45] Dalam uraian mengenai "Negeri India Ketiga", Iordanus memaparkan sejumlah cerita ajaib mengenai negeri Etiopia dan rajanya, yang ia katakan "disebut Presbiter Yohanes oleh bangsa Eropa". Pada kurun waktu inilah, gagasan bahwa kerajaan Presbiter Yohanes terletak di Afrika mulai mengemuka. Kenyataan ini mungkin muncul sebagai dampak dari meningkatnya perhubungan antara Eropa dan Afrika, mengingat pada tahun 1428, Raja Aragon dan Kaisar Etiopia secara aktif merundingkan peluang mempererat hubungan antarnegara melalui ikatan perkawinan.[41] Pada tanggal 7 Mei 1487, dua orang duta Portugis, Pêro da Covilhã dan Afonso de Paiva, diam-diam diutus menempuh jalan darat untuk menghimpun informasi mengenai jalur laut yang dapat dilayari menuju India, sekaligus menyelisik hal-ihwal Presbiter Yohanes. Pêro da Covilhã berhasil sampai ke Etiopia. Meskipun disambut baik, ia dilarang meninggalkan negeri itu. Lebih banyak lagi duta yang diutus ke Etiopia pada tahun 1507, sesudah Sokotra direbut bangsa Portugis. Menanggapi misi diplomatik Portugis tersebut, dan dalam rangka menghadapi ekpansi kaum Muslim, Ibu Suri Eleni selaku pemangku takhta Kekaisaran Etiopia mengutus dutanya yang bernama Mateus untuk menghadap Raja Manuel I dan Sri Paus dengan misi mengupayakan pembentukan koalisi. Mateus berhasil sampai ke Portugal melalui Goa, dan pulang bersama seorang duta Portugis serta padri Francisco Álvares pada tahun 1520. Verdadeira Informação das Terras do Preste João das Indias (Keterangan yang Benar Mengenai Wilayah-Wilayah Presbiter Yohanes dari Negeri-Negeri India), buku Francisco Álvares, yang memuat kesaksian Pêro da Covilhã, adalah keterangan langsung pertama mengenai Etiopia. Buku ini benar-benar memperkaya wawasan bangsa Eropa ketika itu, karena dipersembahkan kepada Sri Paus, serta diterbitkan dan dikutip isinya oleh Giovanni Battista Ramusio.[46] Ketika Kaisar Lebna Denggel dan orang-orang Portugis menjalin hubungan diplomatik pada tahun 1520, bangsa Eropa beranggapan bahwa Presbiter Yohanes adalah nama Kaisar Etiopia.[47] Meskipun demikian, bangsa Etiopia tidak pernah menyebut kaisar mereka demikian. Ketika duta-duta Kaisar Zara Yaqob menghadiri sidang Konsili Firenze pada tahun 1441, mereka bingung mendengar para prelatus menyebut kaisar mereka dengan nama Presbiter Yohanes. Mereka berusaha menjelaskan bahwa nama itu tidak pernah tercantum dalam daftar nama kebesaran Kaisar Zara Yaqob. Meskipun demikian, penjelasan mereka tidak mampu menghilangkan kebiasaan keliru bangsa Eropa untuk menyebut raja mereka dengan nama Presbiter Yohanes.[48] Sejumlah penulis yang menjadikan "Presbiter Yohanes" sebagai gelar Kaisar Etiopia sesungguhnya paham bahwa istilah tersebut bukanlah gelar asli Etiopia. Sebagai contoh, Iordanus Catalanus agaknya menggunakan istilah "Presbiter Yohanes" karena sudah tidak asing bagi sidang pembacanya, bukan karena ia mengira bahwa "Presbiter Yohanes" benar-benar adalah gelar Kaisar Etiopia.[49] Bertahun-tahun lamanya Etiopia diklaim sebagai sumber kemunculan legenda Presbiter Yohanes, tetapi sebagian besar pakar modern meyakini bahwa legenda itu hanya dicocok-cocokkan dengan negara Etiopia, sama halnya dengan Wang Khan dan Asia Tengah pada abad ke-13.[50] Ahli-ahli modern tidak menemukan keterangan apa-apa mengenai Presbiter Yohanes maupun negerinya dalam sumber-sumber terdahulu yang dapat membuat Etiopia lebih sesuai menjadi lokasi Presbiter Yohanes daripada tempat-tempat lain. Selain itu, para spesialis sejarah Etiopia sudah menunjukan secara efektif bahwa legenda Presbiter Yohanes tidak dikenal bangsa Etiopia sampai dengan terjalinnya kontak dengan bangsa Eropa. Pada tahun 1751, frater Fransiskan asal Ceko, Remedius Prutky, menanyakan ihwal pengidentikan Etiopia dengan negeri Presbiter Yohanes kepada Kaisar Iyasu II. Remedius Prutky melaporkan bahwa sang kaisar "terheran-heran, dan mengatakan bahwa raja-raja Abisinia tidak pernah punya kebiasaan menyebut diri dengan nama itu."[51] Dalam catatan kaki terkait uraian mengenai laporan tersebut, Richard Pankhurst menegaskan bahwa tampaknya laporan Remedius Prutky adalah pernyataan tercatat pertama dari seorang kepala negara Etiopia berkenaan dengan legenda Presbiter Yohanes, dan sepertinya mereka tidak pernah tahu-menahu akan gelar itu sampai Remedius Prutky mengajukan pertanyaannya.[52] Tamatnya legenda dan warisan sejarahPara akademisi abad ke-17 seperti orientalis Jerman, Hiob Ludolf, membeberkan bahwa bangsa Etiopia tidak pernah mengait-ngaitkan tokoh Presbiter Yohanes dengan raja-raja mereka,[53] dan minat orang untuk menemukan jejak keberadaan raja legendaris itu pun akhirnya memudar. Meskipun demikian, legenda Presbiter Yohanes telah mempengaruhi sejarah Eropa maupun sejarah dunia selama beberapa ratus tahun, baik secara langsung maupun secara tidak langsung, dengan menjadi faktor pendorong bagi para penjelajah, misionaris, cendekiawan, dan pemburu harta asal Eropa. Meskipun prospek menemukan jejak keberadaan Presbiter Yohanes sudah lama padam, kisahnya masih terus menjadi sumber ilham sampai abad ke-20. Naskah sandiwara Much Ado About Nothing yang ditulis William Shakespeare pada tahun 1600 merupakan salah satu karya tulis terbitan awal zaman modern yang memuat rujukan kepada sosok Presbiter Yohanes,[54] sama halnya dengan El Burlador de Sevilla karangan Tirso de Molina.[55] Pada tahun 1910, novelis dan politikus berdarah Skot, John Buchan, dalam Prester John, bukunya yang keenam, memakai legenda Presbiter Yohanes untuk memperkaya alur kisah pemberontakan suku Zulu di Afrika Selatan. Buku ini adalah salah satu contoh arketipe novel petualangan awal abad ke-20, dan terbukti sangat populer pada masanya. Sepanjang abad ke-20, Presbiter Yohanes muncul secara sporadis dalam cerita-cerita fiksi picisan dan buku-buku komik. Sebagai contoh, Marvel Comics menampilkan tokoh "Prester John" dalam komik Fantastic Four dan Thor. Presbiter Yohanes tampil sebagai tokoh pendukung yang penting dalam beberapa buku komik seri fantasi Arak: Son of Thunder, keluaran DC Comics. Charles Williams, salah seorang anggota kelompok Inklings, menjadikan Presbiter Yohanes sebagai tokoh mesianis penjaga Piala Suci dalam novelnya, War in Heaven, yang terbit pada tahun 1930. Presbiter Yohanes dan kerajaannya juga mengemuka dalam Baudolino, novel karangan Umberto Eco yang terbit pada tahun 2000. Dalam novel ini dikisahkan bahwa Baudolino, si tokoh utama, dengan bantuan kawan-kawannya, merekayasa Surat Presbiter Yohanes yang dialamatkan kepada ayah angkatnya, Fredericus Barbarossa, tetapi surat itu hilang dicuri orang sebelum sempat dikirim. HeraldikAda banyak lambang kebesaran yang direka untuk Presbiter Yohanes. Lambang "Biru, Juru Selamat pada Salib Emas" adalah lambang kebesaran hasil rekaan Thomas Willement yang termuat dalam Heraldic Notices of Canterbury Cathedral, 1827.[56] Peta Benua Afrika yang dikerjakan Abraham Ortelius pada abad ke-16 memuat salah satu lambang kebesaran rekaan untuk Presbiter Yohanes, yakni lambang "Singa Menerkam Hadap Kiri, Cakar-Cakarnya Mencengkeram Salib Tinggi Serupa Tau.[57] Baca jugaKutipan
Rujukan
Bacaan lanjutan
Fiksi
Pranala luar
|