Pertempuran Manado

Pertempuran Manado
Bagian dari Perang Dunia II, Perang Pasifik

Pasukan terjun payung Jepang diterjunkan diatas Lanud Langoan
Tanggal11–12 Januari 1942
(Grup gerilya terakhir ditangkap 9 Agustus 1942)
LokasiManado, bagian utara semenanjung Minahasa di pulau Sulawesi
Hasil Kemenangan Jepang
Pihak terlibat
 Belanda Jepang
Tokoh dan pemimpin
Belanda B.F.A. Schilmöller  Menyerah (menyerah 23 Maret) Kekaisaran Jepang Raizō Tanaka
Kekaisaran Jepang Kunizō Mori
Kekaisaran Jepang Toyoaki Horiuchi
Kekuatan
1.500 infanteri
3,200 infanteri laut[1]
507 pasukan terjun payung[2]
Korban
140 tewas
48 ditangkap
44 tewas[3]
ca. 244 terluka[3][4]

Pertempuran Manado terjadi di daerah sekitar kota Manado (juga dieja Menado) di Semenanjung Minahasa di bagian utara Pulau Celebes (Sulawesi, Indonesia), dari tanggal 11-12 Januari 1942. Sebagai bagian dari serangan Jepang untuk merebut Hindia Belanda, pertempuran ini dicatat sebagai pertama kalinya dalam sejarah Jepang dimana mereka mengerahkan pasukan terjun payung dalam operasi militer.

Latar Belakang

Nilai Strategis Minahasa

Meskipun Semenanjung Minahasa tidak mengandung bahan baku atau instalasi teknis strategis, nilai militernya tetap penting. Teluk Manado dan Danau Tondano menyediakan pangkalan yang bagus untuk pesawat amfibi; Pasukan Belanda mendirikan Pangkalan Angkatan Laut di sisi tenggara Danau Tondano, dekat Tasoeka (Tasuka). Pangkalan pesawat amfibi juga didirikan di bagian selatan Danau, dekat Kakas.[5]

Selain itu, pasukan Belanda juga membangun dua landasan udara (lanud) di dekatnya. Di desa Kalawiran dekat Langoan, Lanud Menado II / Langoan didirikan. Ketika perang pecah, Lanud Manado I, yang terletak di sebelah timur Kota Manado di Mapanget masih dalam pembangunan.[5]

Rencana Invasi Jepang

Sebagai bagian dari rencana Jepang untuk menaklukkan Hindia Belanda, khususnya pulau Jawa, mereka memerlukan dukungan udara dari selatan pulau Sumatra, Kuching, Banjarmasin, Makassar dan Kendari (keduanya di Sulawesi selatan).[6] Namun, sebelumnya, untuk mendapatkan dukungan udara yang disebutkan di atas (khususnya di daerah selatan Sulawesi dan Banjarmasin), Basis Belanda di Manado, Tarakan dan Balikpapan harus ditaklukkan juga.[6]

Perebutan Manado digariskan sebagai bagian dari cabang Serangan Timur Jepang untuk menangkap Hindia Belanda. Tanggung jawab untuk melakukan serangan pada cabang ini jatuh ke Angkatan Laut Kekaisaran Jepang.[7]

Susunan Pasukan

Jepang

Pasukan Darat

Pasukan Pendaratan Khusus Gabungan Sasebo

(Komandan: Kapt. Kunizō Mori):[1]

Pasukan Pendaratan Angkatan Laut Khusus Yokosuka Ke-1 (Komandan: Toyoaki Horiuchi):[2]
- Pasukan Pendaratan Khusus Gabungan Sasebo Ke-1, terdiri dari of 1,800 infanteri laut dibawah Kapt. Kunizō Mori

- Pasukan Pendaratan Khusus Gabungan Sasebo Ke-2, terdiri dari of 1,400 infanteri laut dibawah Komandan Hashimoto Uroku

- Grup Terjun Pertama (334 pasukan terjun payung)

- Grup Terjun Kedua (173 pasukan terjun payung)

- Grup Pendaratan Kema (169 serdadu)

- Grup Pendaratan Danau Tondano Lake (22 serdadu)

- Grup Pendaratan Manado (64 serdadu)

Unit Angkatan Laut

Komandan Toyoaki Horiuchi.
Unit Serang Timur

(Komandan: Laks. Muda Takeo Takagi — mendelegasikan komando selama pertempuran ke Laks. Muda Raizō Tanaka):[1]

Armada Penghancur Ke-2

(Commander: Rear. Adm. Takeo Takagi):

Grup Udara (Unit Udara Ke-2)

(Komandan: Ruitarō Fujita):

Pasukan Pangkalan

(Unit Pangkalan Ke-1)

(Komandan: Laks. Muda Kyūji Kubo):

- Unit Pendukung:

- Unit Pengawal Ke-2:

- Unit Transportasi:

  • Eselon Ke-1: Oha Maru, Shinko Maru, Shoka Maru, Koshin Maru, Chowa Maru
  • Eselon Ke-2: Nankai Maru, Kinai Maru, Hokuroku Maru, Amagisan Maru, Katsuragi Maru
- Divisi Pesawat Terbang Amfibi Ke-2 (Chitose, Mizuho)

- Kapal Patroli No. 39

- Pasukan Pangkalan Ke-1 (Nagara)

- Kapal Patroli P-1, P-2, P-34

- Divisi Penyapu Ranjau Ke-21

(W-7, W-8, W-9, W-11, W-12)

- Divisi Pemburu Kapal Selam Ke-1

(CH-1, CH-2, CH-3)

Belanda

Mayor B.F.A. "Ben" Schillmöller. Foto ini diambil di Sydney tahun 1946, setelah ia dibebaskan dari tahanan.

Pasukan Darat

Troepencommando Menado

(Komandan: Mayor B.F.A. "Ben" Schillmöller dengan staf dibawah komando Letnan Satu M. Siegmund):[8][9]

Infanteri Artileri
- Compagnie Menado, terdiri dari 188 tentara Manado (dengan satu senapan mesin 12.7 mm dan senapan mesin Madsen) dibawah komando Kapten W.F.J. Kroon.

- Mobiele Colonne, terdiri dari 3 brigade (45 tentara) dibawah komando Sersan-Mayor A.J. ter Voert. Mereka ditugaskan untuk melawan pasukan terjun payung Jepang.

- Reserve Korps Oud Militairen (RK), terdiri dari 500 tentara di bawah Kapten W.C. van den Berg. Unit ini terdiri dari lima kompi dengan 8 brigade (15-18 personil KNIL pensiunan) masing-masing:

  • Kompi A (8 brigade) dibawah komando Letnan Satu A.O. Radema
  • Kompi B (8 brigade) dibawah komando Letnan Satu W.G. van de Laar
  • Kompi C (8 brigade) dibawah komando Letnan Satu H. Fuchter
  • Kompi D (8 brigade) dibawah komando Letnan Satu J.B. Wielinga
  • Detasemen E (3 brigade) dibawah komando Sersan Meliëzer

- Kort Verband Compagnie (KV), terdiri dari 9 brigade dibawah komando Kapt. J.D.W.T. Abbink.

- Europese Militie en Landstorm Compagnie (Milisi Eropa), terdiri dari sekitar 100 tentara dibawah komando Letnan Satu F. Masselink.

- Menadonese Militie Compagnie (Milisi Manado); sekitar 400 milisi Manado dibawah komando Kapten J.H.A.L.C. de Swert.

- Stadswacht Menado (Tentara Lokal), terdiri dari 100 tentara (dipersenjatai oleh senapan berburu tua) dibawah komando Letnan Satu M.A. Nolthenius de Man.

- Satu atau dua meriam lapangan 75 mm (L.35 Model 1902)

- Tiga meriam 37 mm yang dipasang diatas truk untuk mempertahankan Pangkalan Laut Tasoeka di Danau Tondano

Rencana Belanda

Rencana pertahanan Belanda untuk Manado terdiri dari:[8]

  • Bertahan dari coup de main (serangan mendadak) oleh pasukan Jepang
  • Memberikan pertahanan kuat terhadap pendaratan musuh; Jika sebagian besar pasukan hancur selama pertempuran, pasukan yang tersisa akan berperng secara gerilya
  • Mempertahankan Pangkalan Laut Tasoeka dan Lanud Langoan
  • Memonitor area pendaratan di sisi barat jalan antara Ajermadidih (Airmadidi) -Tateloe (Tatelu)

Antara Mei 1940 dan Desember 1941, pasukan Belanda di Manado memepersiapkan pertahanan yang diperlukan. Persiapan ini terdiri dari membangun beberapa layanan pemantauan (penjaga pantai, pengawasan bandara, serta instalasi vital lainnya), yang ditugaskan ke 2 kompi RK.[10] Selain itu, pasukan Belanda juga membangun beberapa posisi pertahanan. Namun, karena dana yang terbatas, hanya beberapa posisi ini yang terselesaikan pada saat perang Pasifik pecah.[10]

Pangkalan Pesawat Amfibi Kakas tahun 1945, ketika Manado dibebaskan dari pendudukan Jepang oleh Menado Force.

Tanggal 8 Desember 1941, Schillmöller mengatur pasukannya untuk ditempatkan di posisi berikut:[11]

  • Pasukan Gabungan (Compagnie Menado, Stadswacht Menado dan Landstorm Compagnie), didukung oleh satu grup senapan mesin dan satu meriam lapangan 75 mm, dan berbasis di Manado. Jika Pasukan ini gagal bertahan pendaratan di pantai, mereka harus menunda gerak maju musuh dari Manado ke Tomohon melalui posisi pertahanan di Tinoör dan Kakaskasen
  • Satu brigade Kompi A ditempatkan di Ajermadidih; dua brigade lainnya ditempatkan di Kema.
  • Mobile Colonne (6 truk yang membawa tiga meriam 37 mm dan 4 brigade RK ) ditempatkan di Poso untuk mempertahankan Danau Tondano
  • Satu Brigade RK di Pangkalan Laut Tasoeka
  • Satu Brigade RK, Komando pertahanan Danau Tondano dan Lanud Langoan ditempatkan di Pangkalan Pesawat Amfibi Kakas
  • 3 brigade RK dan satu mobil lapis baja overvalwagen di Lanud Langoan
  • Satu Grup dari Kompi KV ditempatkan di Kakas sebagai cadangan
  • Kompi KV (minus Satu Grup) ditempatkan di Langoan sebagai cadangan
  • Staf Komando Mayor Schillmöller dengan Satu Kompi RK, berbasis di Pos Komando di Tomohon

Untuk mempertahankan Lanud Langoan dan Pangkalan Pesawat Amfibi Kakas, Schillmöller mendirikan Komando Taktis Kakas, di bawah komando Kapten W.C. van den Berg. Van den Berg mengkomandoi pasukan beikut untuk tugasnya:[12][13]

  • Pos Komando di Kakas
  • Pertahanan Lanud oleh Kompi D RK dibawah komando Letnan Satu J.B. Wielinga:
    • 1,5 brigade Kompi D sebagai cadangan dikomandoi Wielinga, yang menempatkan pos komandonya di desa Langoan
    • 3,5 brigade Kompi D dan satu overvalwagen ditempatkan di Lanud Langoan di bawah komando Sersan Mayor H.J. Robbemond
  • Pertahanan pangkalan pesawat amfibi oleh enam brigade Kompi C RK (sekitar 150 tentara) dibawah komando Letnan Satu H. Fuchter, didukung oleh Mobile Colonne
  • Dua overvalwagen di bawah Sersan Mayor. A.J. ter Voert ditempatkan sebagai cadangan di Kakas

Akhirnya, untuk mengakomodasi rencana gerilya, sembilan gudang bawah tanah dibangun untuk menyimpan persediaan.[14] Pasukan Belanda yang tersisa akan dibagi menjadi enam grup, di mana masing-masing grup akan melancarkan gerilya di area sekitar gudang mereka. Grup-grupnya adalah:[15]

  1. Compagnie Menado dengan Milisi Eropa
  2. Kompi KV dengan Detasemen E RK
  3. Kompi A RK
  4. Kompi B RK
  5. Kompi C RK
  6. Kompi D RK

Rencana Jepang

Unit Serang Timur ditugaskan sebagai armada Jepang yang akan merebut Manado. Meskipun Laksda Takeo Takagi adalah pemimpin pasukan ini, dia mendelegasikan pelaksanaan operasi di Manado ke Laksda Raizo Tanaka.[1] Rencana pertempuran menugaskan Pasukan Pendaratan Khusus Gabungan Sasebo dan Pasukan Pendaratan Angkatan Laut Khusus Yokosuka Ke-1 dalam misi ini.[16]

Pasukan Pendaratan Khusus Gabungan Sasebo

Misi Pasukan Pendaratan Khusus Gabungan Sasebo untuk pertempuran yang akan datang terdiri dari:[17]

  • Mendarat dipantai di utara dan selatan Manado, mengepung pasukan Belanda di dalam kota dan menghancurkan mereka, setelah itu mereka akan bergerak menuju Pangkalan Kakas melalui Tomohon
  • Mendarat di Kema dan maju menuju Danau Tondano dan Pangkalan Kakas melalui Ajermadidih
  • Bersama-sama dengan Pasukan Pendaratan Angkatan Laut Khusus Yokosuka Ke-1 yang akan terjun di Lanud Langoan, menjepit pasukan Belanda di Lanud dari timur dan barat.
  • Setelah menghancurkan pasukan Belanda di daerah-daerah ini, mereka akan berkumpul kembali di Manado, dan bersiap untuk operasi perebutan Kendari

Pasukan Sasebo akan meninggalkan Davao, Filipina tanggal 9 Januari, dan mendarat pada dini hari tanggal 11.

Pasukan Pendaratan Angkatan Laut Khusus Yokosuka Ke-1

Pasukan Pendaratan Angkatan Laut Khusus Yokosuka Ke-1 (dibawah Komandan Toyoaki Horiuchi), bersama dengan Pasukan Sasebo, akan melakukan operasi terjun payung di Lanud Langoan pada pukul 09:30 pagi tanggal 11 Januari dengan dukungan dari para pesawat tempur Unit Serangan Udara Ke-1. Tujuan mereka adalah untuk merebut Lanud dan Pangkalan Pesawat Amfibi Kakas, dua fasilitas yang akan mendukung operasi Jepang selanjutnya dalam serangan ke Hindia Belanda.[18]

Distribusi tugas dan tindakan masing-masing unit, adalah:[2]

Distribusi Jumlah personil Misi
Grup Terjun Pertama 334 pasukan terjun payung

(termasuk 58 staf Markas Besar and anggota Unit Sinyal)

Melakukan terjun payung di Lanud Langoan pada 11 Januari. Setelah itu, grup akan dibagi menjadi dua pasukan:

1. Kompi Ke-1 (139 pasukan) akan merebut lanud.

2. Kompi Ke-2 dan sisa Grup Terjun akan merebut Pangkalan Pesawat Amfibi Kakas

Grup Terjun Kedua 173 pasukan terjun payung Melakukan terjun payung di Lanud Langoan pada 12 Januari.
Unit Kema 169 serdadu Berangkat dari Davao dengan kapal Katsuragi Maru pada 6 Januari.

Setelah mendarat di Kema, mereka akan mengangkut persediaan perang, sebelum bergabung dengan unit utama.

Unit Danau Tondano 22 serdadu

(termasuk 10 anggota unit meriam Anti-tank)

Berangkat dari Davao pada 11 Januari dengan pesawat amfibi Kawanishi H6K "Mavis"

Setelah mendarat di Danau Tondano, mereka akan bergabung dengan unit utama dan menerima instruksi.

Unit Menado 64 serdadu Berangkat dari Davao secara terpisah, dan mengangkut persediaan perang.

Setelah itu, mereka akan bergabung dengan unit utama dan menerima instruksi.

Pesawat angkut Mitsubishi G3M dari Pasukan Pendaratan Angkatan Laut Khusus Yokosuka Ke-1 akan terbang dengan interval 1.500 m (4.900 kaki) antara masing-masing kompi. Sambil mengangkut 12 pasukan dan tujuh kontainer kargo masing-masing, 10 pesawat akan membawa Grup Terjun Pertama, sementara 8 akan membawa Grup Terjun Kedua. Titik terjun akan dilakukan pada ketinggian 500 kaki (150 m) dan pada kecepatan 100 knot (190 km / jam).[2]

Pertempuran

Pendaratan di Manado (Pasukan Ke-1)

Setelah melihat kapal-kapal pengangkut Jepang pada 10 Januari, Schillmöller segera menybarkan pasukannya di posisi sesuai rencana. Dia juga memerintahkan Pasukan Gabungan Kapten Kroon (total sekitar 400 tentara) untuk menduduki garis pantai Manado dan menjaganya dari kemungkinan pendaratan.[1] Di sisi kiri Kroon, di Distrik Sario, ia menempatkan Milisi Eropa Masselink, sedangkan pasukan Stadswacht Letnan de Man berada di sisi kanan. Zeni juga bersiaga, menunggu perintah untuk menghancurkan instalasi vital; NCO dan anggota pemerintah daerah juga diberitahu tentang pendaratan Jepang yang sudah mendekat.[19][20]

Kapten Mori dan Pasukan Sasebo Ke-1 mendarat di pantai utara dan selatan Manado pada pukul 04:00 pagi tanggal 11 Januari. Setelah mendapat laporan tentang pendaratan ini, Compagnie Menado segera mundur ke posisi di Pineleng dan Tinoör, tanpa mengetahui apa yang terjadi di pantai, ketika pasukan Mori merebut meriam 75 mm yang menembaki kapal-kapal pendarat Jepang. Namun mereka juga menghadapi pertahanan keras dari Masselink dan milisinya, yang memaksa Mori menggunakan semua senapan mesin yang ada. Tekanan ini memaksa Masselink untuk mundur ke Pineleng, hanya untuk menemukan bahwa Pasukan Ke-1 telah melewati mereka dan merebut kota itu pukul 05:00, sehingga Milisi Eropa harus bergerak lebih jauh ke selatan.[20]

Ketika pasukan Kroon tiba di Pineleng setengah jam kemudian, kehadiran pasukan Mori memaksanya untuk mundur ke selatan di sepanjang jalan Manado-Tomohon ke Roeroekan (Rurukan). Sementara itu, Masselink melaporkan posisinya ke Schillmöller, yang kemudian memerintahkannya untuk mempertahankan jembatan di Pineleng, meskipun pasukan Jepang sudah mendudukinya. Masselink akhirnya melanjutkan gerakan mundurnya dan mencapai Tinoör pada pukul 07:00. Setelah memukul mundur Pasukan Gabungan, Pasukan Ke-1 menduduki Manado pada pukul 08:30. Ketika laporan tentang pendaratan Jepang mulai masuk sebelumnya, Schillmöller mengirim 5 brigade RK di bawah Letnan van de Laar di Tomohon ke Tinoör untuk mendukung sisa Pasukan Gabungan disana. Segera setelah merebut Manado, Mori bergerak ke selatan menuju Tomohon pada pukul 09:45, sambil menyalip pasukan Belanda yang sedang mundur.[1][21]

Segera setelah ia menugaskan mereka pergi, Schillmöller menarik lagi tiga brigade dari pasukan van de Laar kembali ke Tomohon untuk memperkuat pertahanan kota karena intelijen palsu tentang pendaratan Jepang di Tanahwangko, di barat Manado. Meskipun pasukannya berkurang, van de Laar diperkuat oleh pasukan Compagnie Menado yang baru tiba dan satu mobil overvalwagen serta pasukan Stadswacht di bawah Letnan de Man. Untuk bertahan dari serangan tank Jepang, pasukan Belanda dengan cepat menebang sebuah pohon besar yang akan tumbang begitu tank-tank itu datang. Ketika garda depan pasukan Mori, yaitu empat tank Tipe 95 mendekati Tinoör pada pukul 10:30, gabungan dari pohon yang tumbang dan tembakan senapan mesin intens menghancurkan tiga tank dan memukul mundur pasukan Mori. van de Laar bertahan di Tinoör sampai sekitar tengah hari, ketika amunisi yang menipis memaksa mereka mundur ke Kakaskasen.[22]

Setelah satu mobil overvalwagen datang lagi untuk mendukungnya, pasukan van de Laar membuat posisi defensif baru di utara Kakaskasen. Pasukan Ke-1 menyerang posisi ini pukul 16:00, tetapi pasukan Belanda berhasil membendung serangan mereka dan menyebabkan banyak korban Jepang, sebelum akhirnya harus mundur lagi. Namun, karena Mori terus menyalip mereka, begitu van de Laar tiba di Tomohon, pasukannya langsung diserang lagi oleh Mori. Pasukan Gabungan terus bertahan melawan gerak maju Jepang, tetapi akhirnya Pasukan Ke-1 merebut Tomohon pada 19:30. Pasukan van de Laar lalu bergerak ke timur ke Roeroekan dan tiba disana pukul 22.00. Keesokan harinya, Mori bergerak ke Lapangan Terbang Langoan melalui Tomohon ke Kawangkoan. Pada pukul 12:30, pasukannya bertemu dengan Horiuchi dan pasukan terjun payungnya, sebelum akhirnya tiba di Langoan dan Kakas pada pukul 14:00. Pada saat itu, pasukan Belanda telah mundur ke Amoerang (Amurang) di barat, sambil meledakkan jembatan dan gudang dan tidak melakukan serangan balik.[1][3]

Pendaratan di Kema (Pasukan Ke-2)

Kompi A dibawah Letnan Radema yang bertugas mempertahankan pantai timur, tersebar di jalan antara Kema dan Ajermadidih. Selain menempatkan brigade di kedua kota tersebut, tiga brigade ditempatkan di Lanud Mapanget, dan satu brigade masing-masing ditempatkan di Likoepang dan Bitoeng, lebih jauh ke utara dari Kema. Radema juga membangun gardu pertahanan dan barikade tank di sepanjang jalan dari Kema ke Ajermadidih.[23]

Pada saat yang sama dengan pendaratan Pasukan Sasebo Ke-1, Pasukan Sasebo ke-2 dibawah Hashimoto Uroku mendarat di Kema pada pukul 04:20 pagi dan langsung menyerang dua brigade Radema disitu. Ketika ia diberitahu tentang Pendaratan, Radema memerintahkan Kompi A yang tersebar untuk berkumpul di Ajermadidih, tetapi hanya brigade dari Likoepang yang akhirnya datang. Sementara itu di Kema, dua brigade di bawah Sersan Soenda harus mundur setelah menghancurkan jembatan kota; Uroku tidak berhenti dan langsung maju ke Ajermadidih. Di dekat Kasar, pasukan Sersan Soenda bertempur kembali dengan Pasukan ke-2 dan harus mundur lagi setelah menimbulkan korban ringan dipihak Jepang.[1][24]

Pada pukul 09:00, Angkatan ke-2, didukung oleh tiga tank Tipe 95, mencapai sisi timur Ajermadidih dan menyerang Kompi A, sekarang diperkuat dengan brigade yang tersisa (sekitar 300 tentara). Meskipun pasukan Radema berhasil menyebabkan banyak korban, tank-tank Uroku akhirnya berhasil menerobos masuk dan akan segera mengepung posisi Belanda. Kompi A akhirnya harus mundur pada pukul 14:00. Untuk menutupi pergerakan mundur mereka, Sersan Roemambi dan Tamtama Iniray dan Poesoeng terus menembak dari gardu pertahanan mereka sampai sebuah tank menghancurkannya.[1]

Satu brigade di bawah Sersan Sigar juga menahan Pasukan Ke-2 di Sawangan untuk memungkinkan Radema mundur terus ke Tondano. Setelah memukul mundur brigade Sigar melalui force majeure dan serangan pesawat, sebagian dari Pasukan ke-2 mencapai Tondano pada pukul 18:00, dan ketika pukul 22:00 tiba, seluruh pasukan Uroku telah mencapai kota dan bermalam disana. Keesokan harinya, Uroku menyusuri jalan pantai timur dan barat Danau Tondano, dan bertemu dengan Pasukan Terjun Payung Yokosuka Ke-1 pukul 11:00 dan Pasukan Sasebo Ke-1 pada pukul 12:30. Pada malam sebelumnya, Mayor Schillmöller telah memutuskan untuk mundur ke barat dan memulai peperangan gerilya.[3][21]

Radema pergi dengan sekitar 12 serdadu ke gudang yang dialokasikan untuk kompinya, tetapi tentaranya mulai desersi di sepanjang jalan. Ketika dia tiba di gudang itu, penduduk setempat sudah menjarahnya, dan ia akhinrya mencoba menyusup ke Ajermadidih untuk mengumpulkan apa yang tersisa dari pasukannya. Sisa pasukannya akhirnya meninggalkan dia juga selama perjalanan. Tingginya tingkat desersi ini diperburuk oleh fakta bahwa Jepang telah menguasai semua kota besar dan kecil - dan perempuan dan anak-anak besertanya - dalam waktu 24 jam. Selain itu, pasukan Jepang juga menyebarkan pamflet ke penduduk lokal yang bertuliskan: "Kami tidak berperang melawan anda, hanya melawan Belanda. Jadi berpikirlah secara masuk akal, jangan ikut campur dan pulang ke rumahmu." [25]

Serangan Pasukan Terjun Payung

Pasukan terjun payung Jepang terjun diatas Lanud Langoan.

Pada malam 10-11 Januari, Pos Komando Kakas disiagakan oleh Tomohon, dan van den Berg segera mengirim kurir sepeda motor untuk menyiagakan pasukannya. Ketika Tomohon memberitahunya lagi pada pukul 05:00 tentang pendaratan Jepang di Manado dan Kema, satu brigade KV cadangan di Kakas bergerak ke Papakelan untuk menutup jalan menuju Tondano.[26]

Bersamaan, pada 06:30 pagi. pada 11 Januari, 28 pembom Mitsubishi G3M "Nell" yang sudah dimodifikasi lepas landas dari Davao, sambil membawa Grup Terjun Pertama.[1][27] Saat penerbangan ini mendekati utara Sulawesi, sekelompok Mitsubishi F1M "Pete" yang melindungi armada invasi angkatan laut secara keliru menyerang mereka. Satu G3M ditembak jatuh, menewaskan semua 12 pasukan didalam pesawat.[27] Untuk mencegah penembakan dari pihak sendiri lebih lanjut, pesawat tempur Mitsubishi Zero dari kapal induk Zuiho mengawal penerbangan ini hingga mencapai zona terjun.[13] Ketika mereka sampai diatas Lanud Langoan, pasukan Grup Terjun Pertama mulai terjun pada pukul 09:52 dan menyelesaikan penerjunannya pada pukul 10:20.[1] Van den Berg segera memerintahkan sisa grup KV cadangan untuk mengambil posisi dibarat Kakas untuk bertahan dari kemungkinan penerjunan lain. Dia juga ingin menggunakan grup KV cadangan di Langoan juga, tetapi Schillmöller sudah menugaskan mereka terlebih dahulu.

Meskipun pasukan Sersan Robbemond di lanud kekurangan senjata anti-pesawat, mereka menembaki Horiuchi dan para penerjunnya dengan senapan mesin Vickers dan Madsen untuk bertahan terhadap serangan yang akan datang.[28] Beberapa pasukan terjun mendarat di dekat gardu pertahanan Belanda, dan mereka harus menghancurkannya dengan pistol dan granat tangan, sambil memberi waktu bagi anggota pasukan terjun lainnya untuk mengumpulkan senjata dari kotak kargo.[29] Setelah mengambil senjata mereka, Horiuchi memfokuskan serangan terhadap pasukan Robbemond yang berada di utara lanud.[1] Pada 10:50, pasukan terjun payung telah merebut sisi utara dan menangkap satu mobil overvalwagen.[1]

Sekarang Schillmöller memasukkan grup Kompi KV cadangan di Kakas ke dalam pertempuran. Ia memerintahkan kompi ini untuk maju ke Toelian dan memperkuat pasukan Van den Berg di lanud. Namun perintah itu tidak dilaksanakan, karena unit tersebut menghilang tanpa pemberitahuan.[30] Van den Berg kemudian memerintahkan dua overvalwagen cadangan di bawah Sersan Mayor ter Voert untuk menyerang lanud.[29] Ketika kedua mobil itu masuk ke pinggiran Langoan, tembakan kuat dari pasukan terjun Jepang ini mematikan mesin salah satu overvalwagen. Penembaknya, Tamtama Tauran dan Toemoedi terus menembakkan senapan mesin mereka untuk memberikan perlindungan bagi sisa kru mobil, sebelum mundur dari pasukan terjun payung yang bergerak kearah mereka. Mobil kedua yang dikomandoi Sersan Bojoh memasuki lanud Langoan dan ikut dalam pertempuran, sebelum akhirnya mundur.[31]

Berkas:Japanese Paras Drop Zones in Manado, 11 January 1942.jpg
Zona Terjun Pasukan Terjun Payung Jepang di Manado, 11 Januari 1942. Angka-angka di petamenunjukkan: 1. Penyerangan oleh Sersan ter Voert yang gagal 2. Penyerangan oleh brigade Kompi KV yang gagal 3. Posisi pertahanan satu grup Kompi KV, yang kemudian didukung oleh Kompi Militia-Landstorm 4. Posisi pertahanan brigade KV

Meskipun pasukan Belanda memberikan perlawanan yang keras, Grup Terjun Pertama berhasil merebut Lanud Langoan pukul 11:25.[1] Saat pertempuran berlangsung, Van den Berg memanggil Kompi Letnan Fuchter, bersama dengan Mobile Colonne untuk menyerang Horiuchi dari arah barat, melalui Panasen. Namun Fuchter hanya baru sampai di Kakas pukul 11:30, di mana pada saat itu lanud sudah diduduki, dan secara otomatis membatalkan rencana serangan.[30] Van den Berg kemudian memerintahkan Kompi Fuchter dan Mobile Colonne untuk mengambil posisi di selatan dan barat Kakas dan membebastugaskan Kompi Militia-Landstorm yang ditempatkan di sana. Setelah memperhitungkan jumlah korban dan sangat sisa pasukan yang masih bisa bertempur, pasukan van den Berg menghancurkan Pangkalan Laut Tasoeka dan mempersiapkan diri untuk pindah ke wilayah gerilya yang ditugaskan kepada mereka.[21]

Pukul 12.35 van den Berg memberi tahu Pos Komando di Tomohon bahwa dia akan pergi ke wilayah timur Tasoeka. Dia mengirim Militia-Landstorm Company — yang dianggap tidak layak untuk perang gerilya — ke Kotamobagoe (Kotamobagu) di barat untuk bergabung dengan Kompi Milisi Manado. Letnan Wielinga, komandan keseluruhan pertahanan Lanud Langoan, tidak memerintahkan brigadenya untuk mendukung pasukan yang lain, dan sudah mundur terlebih dahulu saat pertempuran berlangsung.[4]

Setelah merebut lanud, Horiuchi mengirim tim pengintai ke daerah Kakas pukul 13.00 untuk mengintai pergerakan Belanda.[32] Ter Voert, Tauran dan Toemoedi yang baru saja mencapai Kakas dengan berjalan kaki segera melaporkan pergerakan ini. Meskipun demikian, tim pengintai bertempur dan menangkap satu mobil overvalwagen sebelum sampai di Kakas, di mana mereka menyerang satu overvalwagen lain dan memukulnya mundur. Kompi Ke-1 dan Ke-2 sekarang maju menuju Kakas dan menyerang Kompi Fuchter, yang juga didukung oleh mobil overvalwagen. Setelah bertempur secara singkat, Horiuchi mengalahkan Kompi Fuchter dan merebut Kakas pada pukul 14:50. Pada pukul 15.50 Horiuchi menyerang pangkalan pesawat amfibi dan mendudukinya pada pukul 18:00. Serangan ini didukung oleh Unit Danau Tondano, yang mendarat dengan dua kapal terbang Mavis di danau pada pukul 14:57.[31] Saat tiba, unit ini ditembaki meriam 37 mm milik Mobile Colonne, tetapi itu tidak cukup untuk menghentikan proses pendaratan.[30]

Hari berikutnya, Grup Terjun Kedua terjun diatas Lanud Langoan pukul 09:52 pagi dan bertemu dengan Grup Terjun Pertama.[3] Pasukan Horiuchi, sekarang dalam kapasitas penuh, melancarkan serangan terhadap kota Langoan dan Tompaso yang berdekatan. Namun malam sebelumnya, Mayor Schillmöller telah mundur ke arah barat menuju Amoerang (Amurang), meninggalkan sejumlah besar senjata dan amunisi. Langoan direbut pukul 11:25, dan Tompaso diduduki pada 12:30. Sebagian dari pasukan Horiuchi maju ke Paso dan merebut kota itu jam 10:35. Pada pukul 14:00, Horiuchi berhasil terhubung dengan Pasukan Sasebo Ke-1 dan Ke-2.

Pasca Pertempuran

Pasukan terjun payung Jepang mendarat di Lanud Langoan.

Dari 13 Januari, Pasukan Khusus Pendaratan Gabungan Sasebo melakukan operasi pembersihan di Manado dan sekitarnya. Mereka menyelesaikan operasi pada tanggal 16, dan berkumpul di Menado untuk memulai persiapan untuk menangkap Kendari.[3] Sebaliknya, Pasukan Pendaratan Angkatan Laut Khusus Yokosuka Ke-1 terus ditempatkan di Lanud Langoan hingga 24 April, saat mereka dibagi dalam kelompok-kelompok kecil untuk menyerang pulau-pulau terdekat dengan perahu pendarat. Pasukan ini berkumpul kembali di Makassar bulan November 1942 dan dibawa kembali ke Jepang.[33]

Korban

Korban Jepang dari pertempuran adalah sebagai berikut:[3][34]

  • Pasukan Pendaratan Angkatan Laut Khusus Yokosuka Ke-1: 32 tewas, sekitar 90 terluka
  • Pasukan Pendaratan Khusus Gabungan Sasebo: 12 tewas, 154 terluka

140 tentara Belanda terbunuh dalam pertempuran ini, dan 48 lainnya ditangkap.[3] Jepang juga menangkap sepuluh meriam lapangan 8-mm dan sejumlah besar senapan mesin, senapan, dan perlengkapan lainnya.[3]

Pembalasan

Sebagai balasan atas tingginya jumlah korban, pasukan Horiuchi mengeksekusi tahanan Belanda yang mempertahankan lanud. Letnan Wielinga ditangkap di Gorontalo dan dibawa ke Langoan, di mana ia dipenggal tanggal 1 Maret. Selain itu, pasukan terjun payung Jepang memenggal atau menusuki dengan bayonet: Sersan Robbemond, Sersan B. Visscher, Tamtama Toemedi dan sembilan tentara Manado. Dua tentara Menado lainnya meninggal karena disiksa selama penahanan.[34][35]

Perang Gerilya

Pada malam 11 Januari di Roeroekan, ketika Belanda memutuskan untuk memulai perang gerilya mereka, Schilmöller memberikan uang kepada tiga komandannya — kapten Kroon dan Abbink dan letnan Van de Laar — dan memerintahkan mereka untuk memulai perang gerilya di wilayah masing-masing. Namun, geografi dataran terbuka Minahasa membuat pertempuran gerilya hampir mustahil. Selain itu, beberapa gudang persediaan sudah dijarah oleh penduduk setempat, yang membuat tugas memasok pasukan lebih sulit.[36]

Grup Schilmoller

Schilmöller berencana untuk mendirikan markasnya di Danau Tondano dan menjalin kontak dengan unit-unit yang masih menghilang. Dengan tiga brigade dari Kompi B RK, ia pindah ke daerah antara Danau Tondano dan Pegunungan Lembean. Namun ketika radio satu-satunya rusak, Schilmöller menggerakan grupnya ke Kotamobagoe/Kotamobagu di barat (di mana Kompi Milisi Manado berada) untuk menjalin komunikasi dengan Markas Besar KNIL yang berbasis di Jawa. Pada 20 Januari, grupnya bertemu grup Kapten van den Berg di tenggara Danau Tondano. Ia menyarankan agar Schilmöller meninggalkan Kompi B dan membawa anggota yang tua dan lemah ke Kotamobagoe. Sebaliknya, Schilmöller mempertahankan kompi B dan memperkuatnya dengan pasukan Van den Berg yang terbaik.[35]

Keesokan harinya, grup Schilmöller berangkat ke Pasolo di pantai timur, di mana dari sana mereka akan berlayar ke selatan sejauh mungkin. Namun, ketika grup itu mencapai Pasolo, jumlah transportasi air yang tidak memadai tidak memungkinkan mereka untuk berangkat dalam sekali jalan. Setengah dari kelompok, termasuk Sersan Kepala Staf J.F. Flips, ditinggalkan di bawah komando Letnan Satu Siegmund dan akan dijemput nanti. Tetapi sebelum itu bisa terjadi, pasukan Jepang menyerbu dan menangkap kelompok itu. Setelah mengalami penyiksaan yang lama, Siegmund dan Flips dieksekusi di Langoan pada tanggal 27 Januari.[35]

Schillmöller tiba di Kotamobagoe pada 26 Januari, membangun kembali komunikasi radio dan segera melaporkan kondisinya ke Markas Besar Belanda di Jawa (Bandoeng). Pada tanggal 31 Januari, Markas Besar memerintahkan Schillmöller untuk pergi ke Makassar, di mana ia akan diangkut ke Jawa. Di bawah tekanan dari propaganda Jepang yang dapat memicu pemberontakan lokal, Schillmöller memutuskan untuk membawa grupnya ke Poso, di Sulawesi Tengah. Namun, mereka tidak dapat memperoleh transportasi laut sampai 26 Februari. Pada waktu itu, Makassar telah jatuh ke tangan Jepang selama lebih dari dua minggu (sejak 9 Februari).[37]

Dengan beberapa pilihan yang tersisa, Schillmöller memutuskan untuk terus mengobarkan perang gerilya di Sulawesi Tengah dan memperkuat grupnya dengan detasemen Belanda dari Poso, Paloe (Palu) dan Kolonedale (Kolonodale). Yang pertama bergabung adalah Letnan Willem van Daalen dan 60 tentaranya; dua detasemen lain bergabung dari Poso, salah satunya di bawah komando Letnan Johannes de Jong.[14] Meskipun jumlah grupnya meningkat, sebagian besar pasukan yang ada bersenjata ringan, dan beberapa dari mereka (milisi lokal) tidak mendapatkan pelatihan sama sekali. Selain itu, ada juga pertimbangan bahwa penduduk lokal tidak dapat diharapkan untuk mendukung lanjutnya pertempuran. Akhirnya, ketika dia mendengar berita tentang kapitulasi pasukan Belanda di Jawa pada 8 Maret, Schillmöller memutuskan untuk menyerah.[37]

Grup Kroon

Pada tanggal 12 Januari, Kapten Kroon dan 50 serdadu kompinya yang tersisa meninggalkan Roeroekan dan bergerak ke Kembes di utara. Tingkat desersi yang tinggi oleh tentara Manado sepanjang perjalanan menyisakan Kroon dengan hanya sembilan orang, ketika pasukan Jepang menangkap kelompoknya dan membawa mereka ke Kembes, sebelum akhirnya mengangkut mereka ke Manado. Pada 26 Januari, sehari setelah mereka tiba, semua tentara Eropa — kecuali Kapten Kroon — dieksekusi. Mereka yang dieksekusi termasuk empat bintara dan dua tamtama Milisi-Landstorm.[38]

Grup Kapten Abbink menuju barat daya untuk memulai gerilya mereka di daerah Amoerang, namun gelombang desersi yang sama meninggalkannya dengan hanya empat prajurit. Agar ia bisa terhubung dengan pasukan gerilya lainnya, Abbink melakukan perjalanan dari 17 Januari hingga 1 Februari, ketika grupnya bertemu dengan 8 tentara RK di bawah Letnan Masselink di timur laut Amoerang. Setelah pertempuran di Tinoör, Masselink dan Sersan Siwy tiba di Kakaskasen dan berusaha mencapai Pos Komando di Tomohon. Namun ketika mereka mendengar bahwa pasukan Jepang telah menduduki kota itu, perang gerilya mereka sudah dimulai.[38]

Tanggal 13 atau 14 Januari, grup Masselink bertemu dengan 27 mantan tentara yang telah mundur dari Tanahwangko. Ketika mereka mulai bersiap untuk pertempuran gerilya, desersi yang tinggi telah menyusutkan kelompok Masselink menjadi lima prajurit. Kelompok Abbink / Masselink ini lalu mendengar berita penyerahan pasukan Belanda di Manado dan kehilangan kontak dengan grup Schillmöller. Faktor-faktor ini membuat mereka pergi berlindung ke Kotamobagoe. Disana mereka merebut persediaan dan senjata dari polisi setempat dan bermalam di barak Kompi Milisi Manado pada 9 Februari, sebelum akhirnya berangkat ke Poso di Sulawesi Tengah.[39]

Grup Meliëzer

Pada 11 Januari, Detasemen E dibawah Sersan Johan Meliëzer ditempatkan di Amoerang ketika mereka ditembaki oleh kapal-kapal Jepang yang menewaskan satu orang dan melukai tiga lainnya. Setelah kehilangan kontak dengan Tomohon, Meliëzer mengirim utusan sepeda motor ke Mayor Schilmöller, yang memerintahkan Detasemennya untuk mendukung pasukan di Lanud Langoan. Setelah maju dibawah ketakutan akan serangan udara yang konstan, 20 tentara Detasemen E tiba di lanud pada 12 Januari, tetapi mereka menemukan bahwa tentara Jepang sudah mendudukinya. Pasukan Meliëzer segera tercerai berai dan kembali ke rumah masing-masing. Banyak dari mereka akhirnya terlalu takut untuk mengangkat senjata lagi dan bergerilya.[39]

Namun demikian, Maliëzer menolak untuk menyerah dan mulai mengorganisir kelompok gerilya yang beranggotakan sekitar 15 prajurit pada paruh kedua Januari. Grup ini juga dibantu oleh warga sipil, di antaranya Ny. Hoffman (lahir dari kel. Paratasis), pasangan seorang pensiunan Ksatria MWO (Militaire Willems-Orde) yang dieksekusi karena membantu pasukan gerilya Belanda. Pada 8 Februari, kelompok Maliëzer memukul mundur pasukan Jepang yang menyerang mereka selama sehari penuh di Kanejan, sisi timur Toempaän (Tumpaan). Sebagai balasan atas kekalahan mereka di Kanejan, pasukan Jepang membakar sebuah kampung dan memenggal lima warga sipil, termasuk dua wanita. Dalam pertempuran berikutnya empat hari kemudian, pasukan Jepang akhirnya menangkap grup Meliëzer dan membawa mereka ke Langoan. Setelah beberapa waktu dalam penahanan, Meliëzer dipenggal di Langoan pada 20 Februari, bersama dengan 12 anggota grupnya, di antaranya Ny. Hoffman.[39]

Grup van den Berg

Dari Tasoeka, kelompok Kapten van den Berg membangun basis mereka di lereng pegunungan Lembean pada malam 11 Januari. Tambahan pasukan yang bergabung memperbesar kelompoknya menjadi 101 tentara hanya tiga hari kemudian. van den Berg membagi mereka menjadi empat brigade yang masing-masing terdiri dari 22 prajurit, bersama dengan sekelompok staf yang terdiri dari 13 tentara dan perawat. Dua brigade dikomandoi oleh Fuchter, sementara Sersan Mayor Ranti memimpin dua lainnya dan Ter Voert membawahi kelompok staf.[40]

Pada 17 Januari di Karor, personil angkatan laut dari Kema, di bawah komando Letnan Dua W.A. de Ruiter, bergabung dengan kelompok itu. Tiga hari kemudian, mereka bertemu dengan kelompok Schilmöller, di utara Kajoe Watoe (Kayuwatu). Seperti disebutkan diatas, Schilmöller mengambil sebagian besar pasukannya dan meninggalkan van den Berg dengan hanya 23 tentara (bersama dengan Ranti dan Ter Voert). Karena mereka harus kembali mengumpulkan pasukan lain yang tersebar di wilayah tersebut, kemampuan mereka untuk melakukan gerilya di Minahasa berkurang.[41]

Selama pertemuan dengan Schilmöller, Fuchter dan kedua brigadenya telah berpatroli selama 5 hari. Diakhir patrolinya, mereka bertemu dengan iring-iringan pasukan Jepang dalam peperangan malam yang kacau balau, yang menyisakan Fuchter dengan 10 prajurit diakhir pertempuran. Pada malam 22 Januari, pasukan Jepang menyerbu baraknya di Kombi dan menangkap seluruh kelompoknya. 2 Brigade dibawah Ranti, yang dikerahkan ke sisi tenggara Danau Tondano pada 15 Januari, kembali dari patroli tanggal 20 Januari. Namun, setengah dari mereka, memutuskan untuk melanjutkan gerilya di Kaweng.[41]

Pada tanggal 4 Februari, grup di Kaweng memukul mundur serangan Jepang yang menewaskan tiga prajurit mereka, namun membunuh 37 tentara Jepang (laporan kehilangan pasukan Jepang belum terkonfirmasi). Sementara itu, grup van den Berg — sekarang hanya berjumlah 1 brigade — terus mempertahankan diri di pegunungan Lembean untuk sementara waktu dan melakukan penghancuran instalasi. Grup ini juga terus mengumpulkan prajurit dalam upaya untuk melakukan serangan besar-besaran di Lapangan Terbang Langoan atau Tondano.[42]

Sebelum upaya ini dapat dilakukan, 60-80 tentara Jepang yang dibantu oleh penduduk setempat, mengepung pangkalan van den Berg di barat daya Kasar pada 17 Februari. Menyadari bahwa wabah siang hari tidak bisa berhasil, kelompok itu berusaha melarikan diri dari barak di malam hari. Satu demi satu, dan di bawah kegelapan, serdadu dari grup itu meninggalkan barak. Kapten van den Berg adalah orang terakhir yang berhasil lolos.[43][44] Terlepas dari keberhasilan mereka, keterlibatan penduduk setempat di pihak Jepang menandakan bahwa kemampuan van den Berg untuk berperang semakin melemah.

Pada tanggal 20 Februari, setelah meninggalkan anggota mereka yang tua dan sakit, grup van den Berg bergerak ke mulut Kali Rakar dan mulai berlayar ke selatan di sepanjang pantai menggunakan perahu kayu. Setelah mendayung selama 14 jam, mereka mencapai Pasir Poetih (Pasir Putih), sekitar 80 km di selatan dari Kali Rakar. Seorang nelayan setempat langsung memberitahukan keberadaan mereka kepada pasukan Jepang, yang segera mengepung pantai. Meskipun mereka itu berhasil melarikan diri lagi, pasukan Jepang akhirnya menangkap van den Berg dan serdadunya tanggal 22 Februari, hanya sehari setelah mereka mendarat. Karena begitu kagumnya Dewan Perang Jepang di Langoan dengan perlawanan gigih dan sikap heroik mereka, grup Van den Berg diampuni dari eksekusi.[14] Setelah perang, van den Berg diangkat menjadi Komandan Ksatria Militaire Williams-Orde, Kelas 4.

Grup de Jong & van Daalen

Letnan Johannes Adrianus de Jong

Tanggal 12 Maret, Schillmöller mengirim salah satu perwiranya ke Manado untuk membahas ketentuan penyerahan diri dengan Jepang. Dia berharap pasukannya akan diizinkan untuk menyimpan senjata mereka untuk menjaga ketertiban, serta melindungi pegawai negeri sipil dan keluarga Eropa yang telah bepergian bersama dengan kelompok itu. Sebaliknya, Jepang menuntut agar Belanda menyerahkan semua senjata mereka dan semua anggota grup Schillmöller untuk bergerak ke Manado. Schillmöller pergi ke Manado tanggal 23 Maret, sambil satu detasemen (50 tentara) Jepang dikirim ke Poso untuk membawa grupnya kesana. Namun, De Jong dan van Daalen menolak perintah Jepang untuk menyerahkan senjata dan menarik kembali kapitulasi mereka. Ketika detasemen Jepang tiba pada bulan April, pasukan Belanda menembaki mereka. Komandan detasemen ini tewas dan yang lainnya terluka.[45]

Pada bulan Mei, Jepang mengirim unit beranggotakan 400 orang untuk menyerang pasukan gerilya Belanda yang terdiri atas 125 tentara yang telah mundur dan melanjutkan pertempuran mereka di pedalaman.[46] De Jong dan van Daalen menciptakan dua kelompok dan membangun markas masing-masing di sebelah timur Poso dan di sekitar Kolonedale. Antara tanggal 9-10 Juni, kelompok de Jong pergi ke stasiun radio Administrasi Nasional di Kolonedale dan menghubungi perwakilan Belanda di Australia untuk meminta makanan, senjata, dan amunisi.[47] Tanpa diketahui mereka, pasukan Jepang berhasil mencegat komunikasi radio ini.

Untuk menanggapi permintaan ini, perwakilan Belanda di Australia membentuk sebuah grup. Tugas grup ini adalah menyusup ke Sulawesi dan kembali dengan intelijen atau melakukan operasi sabotase selama disana. Dinamakan Lion (Singa), grup ini terdiri dari insinyur Robert Hees, telegrafis Bernard Belloni dan insinyur maritim Hans Brandon. Grup Lion pergi dengan kapal Samoa (kapal dua tiang sepanjang 14 meter) tanggal 24 Juni dan mendarat di Wotoe (Wotu), selatan Kolonedale setelah menempuh perjalanan sejauh 1.700 kilometer. Populasi lokal segera melaporkan kehadiran mereka ke pihak Jepang, yang menangkap ketiganya setelah baku tembak pada 12-13 Juli. Setelah menahan dan menyiksa mereka, pasukan Jepang memancung ketiga anggota Grup Lion di Makassar pada 14 September.[48]

Meskipun mereka terus ditekan seiring dengan meningkatnya desersi dan korban, kedua grup ini terus menimbulkan korban pada pihak Jepang. Sebelum akhir bulan Juli, grup itu telah membunuh sekitar 100 tentara Jepang, hanya dengan kerugian tiga orang tewas dan empat lainnya ditangkap. Tanggal 7 Juli, grup de Jong menyerang pasukan Jepang di Salenda (Lembosalenda). Pihak Jepang datang dengan tiga kendaraan dan dilengkapi dengan senjata otomatis dan mortir. Baku tembak hebat terjadi hingga pukul 21:00 malam, dan berlanjut lagi ke 06:00-09:00 pada hari berikutnya. Setelah pertempuran berakhir, tujuh perwira Jepang dan sekitar 35-70 tentara Jepang ttelah terbunuh. Saksi mata mengatakan ketiga kendaraan itu berserakan dengan mayat tentara Jepang, yang kemudian dibakar dengan bensin.[49]

Persediaan dari Australia baru dikirim tanggal 15 Juli. Namun pada saat itu, pasukan Jepang sudah mendarat di Kolonedale dan menghancurkan stasiun radio serta merebut pasokan setelah diterjunkan. Pada saat yang sama, penduduk setempat telah direkrut untuk mencari para gerilyawan Belanda. Jepang akhirnya menangkap grup de Jong dan van Daalen pada tanggal 9 Agustus 1942. Kedua perwira itu dipenjarakan di Kolonedale, sebelum dipindahkan ke Manado. Setelah interogasi dan penyiksaan yang diperpanjang, de Jong dan van Daalen dipenggal pada tanggal 25 Agustus.[45][47] Bersamaan dengan itu, pihak Jepang juga memenggal 15 tentara dari grup gerilya mereka (11 Belanda, 4 Indonesia). Sebelumnya pada 13 Agustus, 9 tentara (8 bintara, 1 tamtama) Juga telah dieksekusi.[50]

Hegener berpendapat bahwa tindakan gerilya de Jong dan van Daalen telah cukup efektif karena kesesuaian alami Minahasa dan kurangnya pengalaman Jepang dalam menangani perang gerilya. Kelompok ini memiliki kesuksesan awal tabrak lari, tetapi ketika dukungan penduduk lokal untuk Jepang tumbuh dan semakin banyak pasukan dialokasikan untuk melawan mereka, efektivitas perang gerilya akhirnya berkurang.[51] Setelah perang, de Jong diangkat menjadi Komandan Ksatria Militaire Williams-Orde, Kelas 4 dan van Daalen menerima medali Singa Perunggu, keduanya secara anumerta.

Pembebasan

Menado berada di bawah pendudukan Jepang hingga Oktober 1945, ketika pasukan Menado Force dari Australia membebaskan wilayah itu.

Catatan Kaki

  1. ^ a b Nortier (1988), pp. 50
  2. ^ a b Nortier (1980), pp. 65
  3. ^ Nortier (1980), pp. 67
  4. ^ a b Koninklijke Nederlands Indisch Leger (1948), pp. 396
  5. ^ Nortier (1988), pp. 25
  6. ^ a b Koninklijke Nederlands Indisch Leger (1948), pp. 398
  7. ^ Koninklijke Nederlands Indisch Leger (1948), pp. 398-399
  8. ^ Nortier (1989), pp. 516-517
  9. ^ a b Salecker (2010), pp. 2
  10. ^ a b c De Jong (1984), pp. 812
  11. ^ Nortier (1980), pp. 71
  12. ^ Remmelink (2018), pp. 110
  13. ^ Remmelink (2018), pp. 152
  14. ^ Remmelink (2018), pp. 154
  15. ^ Koninklijke Nederlands Indisch Leger (1948), pp. 399-400
  16. ^ a b Nortier (1980), pp. 77
  17. ^ a b c Koninklijke Nederlands Indisch Leger (1948), pp. 401
  18. ^ Nortier (1980), pp. 79
  19. ^ Nortier (1988), pp. 42
  20. ^ Nortier (1988), pp. 44
  21. ^ Nortier (1988), pp. 45
  22. ^ Nortier (1988), pp. 47
  23. ^ a b Salecker (2010), pp. 1
  24. ^ Salecker (2010), pp. 3
  25. ^ a b Salecker (2010), pp. 5
  26. ^ a b c Nortier (1989), pp. 518
  27. ^ a b Salecker (2010), pp. 6
  28. ^ Remmelink (2018), pp. 161
  29. ^ Salecker (2010), pp. 9
  30. ^ a b Salecker (2010), pp. 7
  31. ^ a b c Nortier (1988), pp. 51
  32. ^ Koninklijke Nederlands Indonesisch Leger (1948), pp. 401-402
  33. ^ a b Koninklijke Nederlands Indisch Leger (1948), pp. 403
  34. ^ a b Nortier (1988), pp. 53
  35. ^ a b c Nortier (1988), pp. 54
  36. ^ Nortier (1988), pp. 55
  37. ^ a b Nortier (1988), pp. 56
  38. ^ Nortier (1988), pp. 57
  39. ^ Koninklijke Nederlands Indisch Leger (1948), pp. 402
  40. ^ Nortier (1988), pp. 58
  41. ^ a b Koninklijke Nederlands Indisch Leger (1948), pp. 404
  42. ^ Hegener (1990), pp. 75-77
  43. ^ a b De Jong (1984), pp. 813
  44. ^ de Jong (1986), pp. 60, 181, 191, 215
  45. ^ Immerzeel & Van Esch (1990), pp. 212-213. Hegener (1990), pp. 139-144.
  46. ^ van Meel (1985), pp. 29
  47. ^ Hegener (1990), pp. 101

Referensi

Kembali kehalaman sebelumnya