Perang Rif
Perang Rif, yang juga disebut Perang Maroko Kedua, meletus pada awal tahun 1920-an antara Spanyol dan Prancis melawan suku Berber di wilayah pegunungan Rif di Maroko. Tentara Rif yang dipimpin oleh Abd al-Karim pada awalnya berhasil mengalahkan tentara Spanyol dengan menggunakan taktik gerilya dan merebut senjata-senjata Spanyol. Setelah Prancis turut campur dalam konflik ini dan tentara Spanyol dalam jumlah besar mendarat di Al Hoceima, el-Krim menyerah kepada Prancis dan dibuang. Walaupun menang, perang ini memicu kontroversi di Spanyol sehingga Jenderal Miguel Primo de Rivera melancarkan kudeta pada tahun 1923.[8] Tentara yang terlibatTentara RifSuku Berber memiliki kemampuan bertempur yang tangguh. Mereka dipimpin oleh Muhammad Ibn 'Abd al-Karim al-Khattabi yang cakap dalam bidang militer dan politik. Namun, tentara reguler Rif tidaklah besar.[9] Elit di tentara Rif membentuk satuan reguler yang menurut Abd el-Krim berjumlah antara 6.000 hingga 7.000. Sumber lain menyatakan jumlahnya lebih sedikit, yaitu antara 2.000 hingga 3.000.[9] Tentara Rif yang tersisa adalah milisi suku dan tidak dapat berada jauh dari tempat asal mereka lebih dari lima belas hari berturut-turut. Jenderal Goded memperkirakan bahwa pada Juni 1924, tentara Rif berjumlah 80.000,[4] walaupun Abd el-Krim tidak dapat mempersenjatai lebih dari 20.000 orang saat itu.[10] Pada masa-masa terakhir perang, jumlah tentara Rif tercatat sebesar 12.000.[3] Selain tidak dipersenjatai dengan baik, senjata-senjata yang ada cenderung tidak terawat.[3] Tentara SpanyolAwalnya, tentara Spanyol di Maroko sebagian besar terdiri dari hasil wajib militer dan cadangan dari Spanyol sendiri. Tentara-tentara ini tidak dipersiapkan dengan baik dan praktik korupsi menyebar di antara para perwira, sehingga mengurangi persediaan dan moral. Bahkan walaupun jumlahnya unggul, mereka tidak dapat mengalahkan tentara Rif. Maka dari itu, Spanyol lebih bergantung pada satuan profesional "Angkatan Bersenjata Afrika." Semenjak tahun 1911, satuan ini meliputi resimen reguler Maroko yang merupakan tentara yang baik. Berlangsungnya perangTahap awalDengan ditandatanganinya Traktat Fez (1912), Spanyol memperoleh wilayah di sekitar Melilla dan Ceuta. Pada tahun 1920, komisioner Spanyol Jenderal Dámaso Berenguer memutuskan untuk menaklukan wilayah timur yang dimiliki suku Jebala, tetapi kurang berhasil. Pada 1 Juli 1921, tentara Spanyol di Maroko timur laut dikalahkan oleh tentara Abd el-Krim, yang dianggap sebagai bencana di Spanyol. Tentara Spanyol terusir dan selama lima tahun berikutnya, terkadang terjadi pertempuran antara kedua belah pihak. Tentara Rif kemudian melaju ke timur dan merebut 130 pos militer Spanyol.[11] Pada akhir Agustus 1921, Spanyol telah kehilangan seluruh wilayah yang diperolehnya semenjak tahun 1909. Tentara Spanyol terusir kembali ke Melilla, yang merupakan basis terbesar mereka di Rif timur.[11] Spanyol masih memiliki 14.000 tentara di Melilla.[11] Namun, Abd el-Krim memerintahkan agar tentaranya tidak menyerang Melilla. Ia memberitahu penulis J. Roger-Matthieu bahwa karena orang-orang Eropa lain tinggal di Melilla, ia takut mereka akan turut campur dalam perang bila penduduk mereka terluka.[11] Alasan lain adalah pemencaran pejuang-pejuang Rif dari beberapa suku setelah kemenangan melawan Spanyol dan tibanya bala bantuan Spanyol di Melilla. Pada akhir Agustus, jumlah tentara Spanyol di Melilla mencapai 36.000 di bawah pimpinan Jose Sanjurjo dan upaya merebut kembali wilayah yang lepas dapat dimulai.[4] Maka, Spanyol masih menguasai basis terbesar mereka di Rif timur. Nantinya Abd el-Krim mengakui bahwa ia sangat menyesali perintahnya sebagai salah satu kesalahan terburuknya.[11] Pada Januari 1922, Spanyol telah merebut kembali benteng utama mereka di Monte Arruit dan menduduki kembali dataran pesisir hingga sejauh Tistutin dan Batel. Tentara Rif telah mengonsolidasi kekuasaan mereka di pegunungan dan terjadi kebuntuan. Bahkan komando Spanyol di laut tidak pasti dan pada bulan Maret satu kapal perang Spanyol ditenggelamkan oleh artileri Rif di Alhucemas. Pada tahun 1924, selama pertempuran di Dar Aquba, tentara Abd el-Krim berhasil mengalahkan tentara Spanyol dan menewaskan lebih dari 10.000 tentara Spanyol.[12] Untuk mengalahkan Rif, militer Spanyol akhirnya memutuskan untuk menggunakan senjata kimia. Intervensi PrancisPada Mei 1924, tentara Prancis telah mendirikan pos-pos di sebelah utara Sungai Oureghla di wilayah kesukuan yang disengketakan. Pada 12 April 1925, diperkirakan 8.000[13] tentara Rif menyerang pos-pos ini dan dalam dua minggu lebih dari 40 atau 66 pos Prancis telah ditinggalkan. Jumlah orang Prancis yang tewas melebihi 1.000 jiwa, sementara 3.700 terluka dan 1.000 orang hilang - dan ini merupakan 20 persen dari tentara Prancis yang ditugaskan di Rif.[14] Maka Prancis melakukan intervensi dan membantu Spanyol. Mereka menurunkan 160.000 tentara yang telah dilatih dan dipersenjatai dengan baik dari satuan-satuan Metropolitan, Afrika Utara, Senegal, dan Legiun Asing, serta Maroko. Karena jumlah tentara Spanyol sekarang mencapai 90.000, jumlah tentara Rif kalah jauh dibanding dengan musuh-musuh mereka.[15] HasilPrancis dan Spanyol melancarkan serangan terakhir pada 8 Mei 1926 dengan 123.000 tentara yang didukung oleh 150 pesawat tempur. Sementara itu, jumlah tentara Rif kurang lebih hanya 12.000.[3] Keunggulan teknologi dan jumlah membuat Spanyol dan Prancis menang. Tentara Spanyol menyerbu dari selatan sementara armada dan angkatan bersenjata Spanyol mengamankan Teluk Alhucemas dengan melakukan pendaratan amfibi, dan kemudian melancarkan serangan dari utara. Setelah satu tahun melawan, Abd el-Krim menyerah kepada Prancis dan pada tahun 1926 Maroko Spanyol telah direbut kembali. Namun, ketidakpopuleran perang ini di Spanyol dan kekalahan besar militer Spanyol pada awalnya mengakibatkan ketidakstabilan dan akhirnya pemerintah Spanyol dikudeta pada tahun 1923. Rujukan
SACANELL, Enrique. "El general Sanjurjo". Editorial La Esfera de Los Libros, Madrid (2004) ISBN 978-84-9734-205-6 Bacaan lanjut
Pranala luar
Series Viking Fund publications in anthropology ; no. 55, Notes. Bibliography: pages 533-546. Tucson, Arizona, (1976) |