Perampasan harta benda Armenia oleh TurkiPerampasan harta benda Armenia oleh pemerintah Utsmaniyah dan Turki melibatkan perampasan aset, properti, dan tanah milik rakyat Armenia yang sebelumnya wilayahnya dicaplok oleh Kesultanan Utsmaniyah. Dimulai dengan pembantaian Hamidian pada pertengahan tahun 1890-an dan memuncak selama genosida Armenia, perampasan terhadap properti Armenia berlangsung terus menerus hingga tahun 1974. Sebagian besar perampasan selama genosida Armenia dilakukan setelah orang-orang Armenia dideportasi ke Gurun Suriah, dengan pemerintah Turki menyatakan barang-barang dan aset mereka yang ditinggalkan sebagai "ditelantarkan". Hampir semua properti yang dimiliki oleh orang Armenia yang tinggal di tanah leluhur mereka di Armenia Barat dirampas dan kemudian didistribusikan kepada para penduduk Muslim setempat. Para sejarawan berpendapat bahwa perampasan massal properti Armenia merupakan faktor penting dalam pembentukan landasan ekonomi Republik Turki sekaligus memberikan modal bagi ekonomi Turki. Perampasan tersebut melahirkan terbentuknya borjuasi dan kelas menengah Turki yang baru. SejarahPerampasan sebagai bagian dari Genosida ArmeniaPada 16 Mei 1915, ketika genosida Armenia sedang berlangsung, sebuah instruksi rahasia diberlakukan dengan judul "instruksi administratif mengenai properti bergerak dan tidak bergerak yang ditinggalkan oleh orang-orang Armenia yang dideportasi akibat perang dan keadaan politik yang tidak biasa."[9][10][11][12][n 2] Setelah diberlakukan, komisi-komisi khusus dibentuk atas instruksi tersebut, yang dikenal sebagai "Komisi Properti yang Ditinggalkan" (bahasa Turki: Emvâl-i Metrûke İdare Komisyonları) dan "Komisi Likuidasi" (bahasa Turki: Tasfiye Komisyonu), yang ditugaskan untuk memberikan informasi terperinci dan menaksir nilai aset yang "ditinggalkan" oleh orang-orang yang dideportasi dengan dalih untuk "menjaga" aset-aset tersebut.[9][13][14] Jumlah komisi ini meningkat menjadi 33 pada Januari 1916.[15] Setelah para penduduk Armenia dideportasi, barang-barang dan ternak yang dianggap "mudah rusak" diprioritaskan sebagai barang pertama yang harus dijual melalui pelelangan umum, sementara keuntungan dari pelelangan ini akan diamankan di bawah hak pemiliknya. Setelah memberikan dokumentasi properti (salinannya diberikan kepada para pemilik dan Bendahara Utsmaniyah), instruksi tersebut menetapkan bahwa para muhajir (pengungsi Turki yang sebagian besar berasal dari perang Balkan) harus menetap di tanah-tanah kosong dan properti milik orang-orang yang dideportasi.[9][14] Setelah menetap, para pengungsi harus mendaftarkan tanah dan rumah, sementara aset lain yang melekat pada properti, seperti kebun zaitun dan kebun anggur, harus dialokasikan di antara mereka. Barang-barang dan aset yang tidak diinginkan harus dijual dalam pelelangan umum.[9] Menurut sejarawan Dickran Kouymjian, penempatan para muhajir di tanah dan properti orang-orang Armenia yang dideportasi menyiratkan bahwa pihak berwenang setempat mengetahui secara langsung bahwa orang-orang yang dideportasi tidak akan pernah kembali (akan dibantai).[14] Pada tanggal 29 Mei 1915, Komite Pusat dari Komite Persatuan dan Kemajuan (CUP) mengesahkan Undang-Undang Tehcir yang mengesahkan pendeportasian "orang-orang yang dinilai sebagai ancaman terhadap keamanan nasional."[16] UU Tehcir menekankan bahwa orang yang dideportasi tidak boleh menjual aset mereka, melainkan memberikan daftar terperinci dan menyerahkan daftar tersebut kepada pihak berwenang setempat:
Ketika UU Tehcir dilaksanakan, Direktorat untuk Pemukiman Suku dan Pengungsi (bahasa Turki: Iskan-i Asairin Muhacirin Muduriyeti), di bawah Kementerian Dalam Negeri, ditugaskan pada bulan Juni 1915 untuk menangani harta benda yang ditinggalkan oleh orang-orang Armenia yang dideportasi atau dibunuh. Komisi ini, yang gajinya disediakan oleh properti yang disita oleh orang Armenia, menghasilkan "Hukum Sementara Pengambilalihan dan Penyitaan (hukum "Properti yang Ditinggalkan") dan diterbitkan dalam daftar resmi pada 27 September (13 September menurut kalender Islam) dan mengeluarkan arahan lebih lanjut untuk implementasi hukum pada 8 November.[20][21][22] Tujuan dari undang-undang tersebut secara bersamaan adalah untuk mereduksi kepemilikan properti Armenia, memperkaya politisi nasional, dan untuk menempatkan para pengungsi Muslim Turki di properti yang dirampas.[20][21] Properti yang dirampas termasuk properti pribadi (termasuk tanah, bangunan, dan rekening bank), bisnis, dan juga properti komunitas (misalnya gereja). Barang-barang yang dianggap berguna untuk upaya perang yang mendesak diprioritaskan dan segera disita dengan keputusan terpisah.[23] Di bawah hukum, transaksi properti dan aset dilarang sebelum deportasi untuk mencegah pemiliknya memiliki kesempatan untuk mempertahankan propertinya.[19] Meskipun undang-undang itu disebut "Sementara", ketentuan-ketentuan di dalamnya tampaknya bertujuan untuk transformasi permanen etnisitas masyarakat dari Armenia ke Muslim Turki.[24] Undang-undang relokasi ini memuat pelaporan resmi properti kepada otoritas nasional dan berisi prosedur bagi mereka yang propertinya diambil untuk menuntut, tetapi rincian dari undang-undang tersebut membuat ketentuan-ketentuan ini berfungsi untuk tujuan yang lebih besar yaitu untuk "Turkifikasi" wilayah dan sektor ekonomi..[25][24] Data properti dan pendapatan yang dihasilkan dari penjualan atau penyewaan properti yang disita semuanya dicatat dan disimpan di Kementerian Urusan Keuangan untuk menyediakan kemungkinan pengembalian properti kepada pemiliknya.[26] Selain itu, Undang-undang tersebut menetapkan bahwa mereka yang propertinya telah disita dapat menuntut pengembalian properti (dan pembayaran untuk setiap kerusakan yang terjadi). Akan tetapi, undang-undang tersebut mengharuskan pemilik properti untuk menuntut dan hadir sendiri (tidak mengizinkan surat kuasa), suatu kemustahilan ketika pemilik properti telah dibunuh atau dideportasi.[26] Selain itu, yang menjadi tergugat dalam kasus ini adalah negara yang menyebabkan peluang keberhasilan dalam gugatan hukum apa pun sangat kecil kemungkinannya. Pada akhirnya, hukum menetapkan bahwa properti yang disita harus dijual di pelelangan; namun, karena peraturan tersebut menetapkan bahwa "siapa pun selain pengungsi Muslim Turki hanya dapat memperoleh properti di Turki dengan persetujuan Kementerian Dalam Negeri", hasilnya adalah bahwa Muslim non-Turki secara efektif tidak diikutsertakan.[26] Properti sering diberikan kepada elit politik nasional dan lokal, yang akhirnya menyerahkannya kepada pengungsi Muslim Turki.[27]
—Presiden dari Anatolia College di Mersovan, Dr. George E. White[28] Dampak dari hukum-hukum ini segera terlihat. Menurut laporan pada bulan Juni 1916 oleh duta besar Jerman yang ditempatkan di Konstantinopel, harta benda milik orang-orang Armenia "telah lama disita, dan aset mereka telah dilikuidasi oleh sebuah badan yang disebut komisi, yang berarti bahwa jika orang Armenia memiliki sebuah rumah yang bernilai, katakanlah, £T100, orang Turki - seorang teman atau anggota [Ittihad dan Terakki] - dapat memilikinya dengan harga sekitar £T2."[29] Satu-satunya oposisi domestik yang menonjol adalah dari seorang perwakilan parlemen Utsmaniyah, Ahmed Riza, yang menyatakan:
Instruksi formal dibuat agar banyak properti dan bisnis yang disita dari orang-orang Armenia dipindahkan ke tangan umat Islam. Pada tanggal 6 Januari 1916, Talaat Pasha, Menteri Dalam Negeri Kekaisaran Ottoman, menetapkan:
Selain gereja dan biara, properti milik komunitas lainnya yang disita adalah sekolah dan fasilitas pendidikan.[33] Kementerian Dalam Negeri telah memerintahkan fasilitas pendidikan tersebut untuk dialihkan kepada umat Islam:
Menyusul dekrit tersebut, sekolah-sekolah swasta Armenia menjadi sekolah-sekolah Turki Utsmaniyah dan perlengkapan sekolah didistribusikan untuk penduduk Muslim Turki.[33] Abraham Harutiunian, seorang imam yang tinggal di Zeitun, mencatat dalam memoarnya bahwa sekolah di Zeitun disita oleh pemerintah dan bahwa "orang-orang Armenia tidak lagi memiliki hak atas pendidikan, dan sekolah itu sekarang dipenuhi oleh ratusan anak-anak Turki."[34] Pada awal tahun 1930-an, semua properti milik orang Armenia yang menjadi sasaran deportasi telah berhasil dirampas.[35] Sejak itu, tidak pernah terjadi sekalipun pengembalian harta benda yang disita selama genosida Armenia.[36][37] Undang-undang tentang properti yang ditelantarkan tetap berlaku selama 73 tahun sampai akhirnya dihapuskan pada 11 Juni 1986.[38] Penyitaan harta benda secara massal memberikan kesempatan bagi orang-orang Turki kelas bawah biasa (yaitu petani, tentara, dan buruh) untuk naik ke jajaran kelas menengah.[39] Sejarawan Turki kontemporer Uğur Ümit Üngör menegaskan bahwa "penghapusan populasi Armenia meninggalkan infrastruktur properti Armenia kepada negara, yang digunakan untuk kemajuan komunitas Turki (pemukim). Dengan kata lain: pembangunan "ekonomi nasional" Turki yang étatis tidak dapat terbayangkan tanpa pemusnahan dan perampasan terhadap kepemilikan orang-orang Armenia."[40] Luasnya perampasan yang dilakukan UtsmaniyahMeskipun tidak diketahui secara pasti berapa luas persisnya properti yang disita selama genosida Armenia, menurut dokumen pribadi Talaat Pasha, penggagas utama Undang-Undang Tehcir,[41] total 20.545 bangunan disita, termasuk 267.536 hektar tanah bersama dengan bidang tanah pertanian dan lahan yang dapat digarap seperti 76.942 ekar kebun anggur, 703.941 ekar kebun zaitun, dan 4.573 ekar kebun murbei.[42][43] Bersamaan dengan penyitaan tanah fisik, pemerintah Utsmaniyah mengambil alih polis asuransi jiwa dari orang-orang Armenia. Talaat Pasha membenarkan tindakan Utsmaniyah dengan menyatakan bahwa orang-orang Armenia "praktis semuanya sudah mati ... dan tidak meninggalkan ahli waris untuk mengumpulkan uang. Tentu saja semua uang itu menjadi milik negara. Pemerintah adalah penerima dana manfaatnya sekarang."[44] Dalam Konferensi Perdamaian Paris, delegasi Armenia mempresentasikan penilaian kerugian material senilai $3,7 miliar (sekitar $535 miliar hari ini) yang dimiliki semata-mata oleh gereja Armenia.[45] Selama konferensi pada bulan Februari 1920, komunitas Armenia mempresentasikan tuntutan tambahan untuk restitusi properti dan aset yang disita oleh pemerintah Utsmaniyah. Deklarasi gabungan, yang diserahkan kepada Dewan Tertinggi oleh delegasi Armenia dan disiapkan oleh para pemimpin agama komunitas Armenia, mengklaim bahwa pemerintah Utsmaniyah telah menghancurkan 2.000 gereja dan 200 biara dan telah menyediakan sistem hukum untuk memberikan properti ini kepada pihak lain. Deklarasi tersebut juga menyediakan penilaian finansial dari total kerugian harta pribadi dan aset Armenia Turki dan Rusia masing-masing sebesar 14.598.510.000 dan 4.532.472.000 franc; dengan total perkiraan $347 miliar saat ini.[46][47] Selanjutnya, komunitas Armenia meminta restitusi properti milik gereja dan penggantian pemasukan yang diperoleh darinya.[48] Pemerintah Utsmaniyah tidak pernah menanggapi deklarasi ini sehingga restitusi tidak terjadi.[48] Masalah harta benda Armenia yang disita muncul dalam sejumlah perjanjian yang ditandatangani antara Republik Pertama Armenia dan Kesultanan Utsmaniyah. Baik Perjanjian Batum (ditandatangani pada tanggal 4 Juni 1918) dan Perjanjian Sèvres (ditandatangani pada tanggal 10 Agustus 1920) memuat ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan restitusi untuk harta benda orang Armenia yang disita.[49] Perjanjian Sèvres di bawah Pasal 144 menetapkan bahwa komisi Properti yang Ditelantarkan dan komisi Likuidasi harus dihapuskan dan hukum penyitaan dibatalkan.[50][51] Namun, sementara itu, mereka yang merampas aset dan properti orang Armenia berbalik mendukung gerakan nasional Turki karena pembubaran pemerintah Utsmaniyah artinya properti dan aset tersebut akan dilindungi atas nama mereka.[52] Dengan demikian, pada tanggal 8 Mei 1920, undang-undang pertama yang diumumkan oleh parlemen yang baru didirikan adalah untuk mengampuni mereka yang didakwa melakukan pembantaian dan perampasan harta benda oleh pengadilan militer Turki pada tahun 1919-20. Lebih lanjut, dengan berdirinya republik Turki dan ditandatanganinya Perjanjian Lausanne (24 Juli 1923), ketentuan-ketentuan Perjanjian Sèvres pada akhirnya tidak pernah berlaku dan komite-komite likuidasi yang terlibat dengan penyitaan harta benda Armenia kembali beroperasi.[49][50] Selain harta benda yang disita, sejumlah besar uang dan logam mulia milik orang Armenia juga disita dan disimpan ke dalam perbendaharaan pemerintah Utsmaniyah atau di berbagai bank Jerman atau Austria selama perang. Jumlah tersebut diyakini ditarik dari rekening bank orang-orang Armenia yang dideportasi dan dibunuh.[55] Sebuah memorandum resmi yang disiapkan oleh mantan Perdana Menteri Inggris Stanley Baldwin dan H. H. Asquith dikirim ke Perdana Menteri Britania Raya saat itu, Ramsay MacDonald, yang memaparkan penyitaan dan penyetoran tersebut:
Sebagian besar deposito uang ke bank dan lembaga keuangan lainnya juga telah disita segera setelah deportasi. Setelah deposito dibuat, sertifikat diberikan kepada penyetor sebagai bukti deposito. Namun, begitu deportasi dimulai, penarikan uang dilarang. Sebagian besar deportan yang telah memegang deposito hanya memiliki sertifikat yang mereka simpan. Banyak deposan yang masih membawa sertifikat deposito hingga saat ini. Sejarawan Kevork Baghdjian menyatakan bahwa nilai deposito ini "seharusnya naik menjadi jumlah yang sangat besar saat ini," dengan "modal dan bunga deposito digabungkan."[54] Perampasan selama pemerintahan Republik TurkiSetelah Perang Kemerdekaan Turki dan pembentukan Republik Turki pada tahun 1923, perampasan dilanjutkan dengan sebagian besar orang Armenia telah dideportasi atau dibunuh.[7] Selama era awal Republik, terminologi hukum dari mereka yang dideportasi diubah dari "orang yang dipindahkan" menjadi "orang yang hilang atau melarikan diri dari negara itu."[58] Pada tanggal 15 April 1923, tepat sebelum penandatanganan Perjanjian Lausanne, pemerintah Turki memberlakukan "Hukum Properti Yang Ditelantarkan" yang menyita properti setiap orang Armenia yang tidak hadir pada properti mereka, terlepas dari apapun alasannya. Sementara pengadilan setempat diberi wewenang untuk menaksir nilai properti mana pun dan memberikan jalan bagi pemilik properti untuk mengajukan klaim, undang-undang tersebut melarang penggunaan surat kuasa apa pun oleh pemegang properti yang tidak hadir, mencegah mereka mengajukan gugatan tanpa kembali ke negara tersebut.[59] Selain itu, tergugat dalam kasus ini adalah pemerintah Turki sendiri yang telah membentuk komite yang ditugaskan secara khusus untuk menangani setiap kasus.[60][61] Sebagai tambahan dari undang-undang ini, pemerintah Turki melanjutkan dengan mencabut kewarganegaraan banyak orang dengan undang-undang pada tanggal 23 Mei 1927 yang menyatakan bahwa "subyek Utsmaniyah yang selama Perang Kemerdekaan tidak ikut serta dalam gerakan Nasional, terus keluar dari Turki dan tidak kembali dari tanggal 24 Juli 1923 sampai tanggal penerbitan undang-undang ini, telah kehilangan kewarganegaraan Turki."[7][n 5] Selain itu, undang-undang lebih lanjut yang disahkan pada tanggal 28 Mei 1928 menetapkan bahwa mereka yang kehilangan kewarganegaraan mereka akan diusir dari Turki, tidak diizinkan untuk kembali, dan bahwa properti mereka akan disita oleh pemerintah Turki, dan para migran Turki akan dimukimkan kembali di properti tersebut.[7] Dalam persiapan untuk kemungkinan masuk ke dalam Perang Dunia II, pemerintah Turki memperkenalkan pajak, Varlık Vergisi, yang secara tidak proporsional menargetkan penduduk non-Muslim Turki. Banyak orang Armenia, dan populasi non-Muslim lainnya, dipaksa untuk menjual properti mereka dengan harga yang jauh lebih rendah melalui lelang publik untuk membayar kenaikan pajak yang mendadak atau properti mereka akan dirampas oleh negara.[62] Selain itu, undang-undang mengizinkan pihak berwenang untuk merampas properti kerabat dari orang yang dikenakan pajak untuk membayar pajaknya.[62] Dari pajak ini, pemerintah Turki mengumpulkan 314.900.000 lira atau sekitar US$270 juta (80% dari anggaran negara) dari penyitaan aset non-Muslim.[63] Periode ini bertepatan dengan penyitaan lebih lanjut atas properti pribadi milik orang Armenia. Komisi khusus dibentuk untuk memisahkan penggusuran non-Muslim dari yang Muslim. Para penyelidik komisi ini biasanya mempercepat evakuasi dan pada akhirnya penyitaan terhadap properti non-Muslim yang bersangkutan.[64] Varlık Vergisi diikuti oleh pogrom Istanbul beberapa tahun kemudian, di mana massa yang terorganisir menyerang orang-orang Yunani dan Armenia pada 6-7 September 1955. Kerusakan material yang ditimbulkan cukup besar, dengan kerusakan pada 5317 properti (termasuk 4214 rumah, 1004 bisnis, 73 gereja, 2 biara, 1 sinagoga, dan 26 sekolah).[65] Perkiraan kerugian ekonomi akibat kerusakan tersebut berkisar dari estimasi pemerintah Turki sebesar 69,5 juta lira Turki (setara dengan 24,8 juta dolar AS),[66] estimasi Inggris sebesar 100 juta GBP (sekitar 200 juta dolar AS), estimasi Dewan Gereja-Gereja Sedunia sebesar 150 juta dolar AS, dan estimasi pemerintah Yunani sebesar 500 juta dolar AS.[67][68] Pogrom ini akhirnya menyebabkan eksodus non-Muslim dari negara itu, yang mengakibatkan sejumlah besar properti "ditelantarkan". Properti yang ditinggalkan oleh mereka yang melarikan diri dirampas oleh pemerintah Turki setelah sepuluh tahun.[69] Pada tahun 1960-an, undang-undang baru disahkan, yang membuat orang Armenia tidak mungkin mendirikan yayasan baru atau membeli atau mewariskan properti tambahan. Salah satu kode hukum seperti itu (UU no. 903) yang diadopsi pada tahun 1967, bersama dengan paragraf kedua yang diubah menjadi Kode Sipil Turki (no. 743) menyatakan bahwa, "Pendaftaran yayasan yang melanggar hukum, moralitas, tradisi atau kepentingan nasional, atau yang didirikan untuk mendukung keyakinan politik, ras tertentu atau anggota minoritas tidak akan disetujui."[71] Undang-undang semacam itu dianggap oleh para ahli hukum sebagai pelanggaran pasal-pasal mengenai hak-hak minoritas yang terdapat dalam Perjanjian Laussane, konstitusi Turki, dan Pasal 11 dari Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia, yang memberikan "kebebasan untuk mendirikan yayasan dan mengadakan pertemuan."[72] Amandemen baru dan kode hukum menjadi dasar untuk serangkaian perampasan baru yang secara signifikan menghalangi kehidupan sehari-hari orang Armenia di Turki.[71] Pada tahun 1974, undang-undang baru disahkan yang menyatakan bahwa perwalian non-Muslim tidak diizinkan untuk memiliki lebih banyak properti daripada yang telah didaftarkan atas nama mereka pada tahun 1936.[73][74][75][76] Akibatnya, lebih dari 1.400 aset (termasuk gereja, sekolah, bangunan tempat tinggal, rumah sakit, kamp musim panas, kuburan, dan panti asuhan) dari komunitas Armenia Istanbul sejak tahun 1936 secara retrospektif diklasifikasikan sebagai akuisisi ilegal dan dirampas oleh negara.[77][75][78] Di bawah undang-undang tersebut, pengadilan Turki menjadikan warga negara Turki yang bukan keturunan Turki sebagai "orang asing", sehingga menempatkan mereka di bawah peraturan hukum yang sama dengan perusahaan asing atau pemegang properti yang tinggal di luar Turki yang bukan warga negara Turki.[79] Ketentuan lebih lanjut menyatakan bahwa yayasan milik non-Muslim merupakan "ancaman" potensial bagi keamanan nasional.[79] Prosesnya meliputi pengembalian properti apa pun yang diperoleh setelah tahun 1936, baik melalui lotere, wasiat, sumbangan, atau pembelian, kepada pemilik sebelumnya atau ahli warisnya. Jika pemilik sebelumnya telah meninggal dan tidak memiliki ahli waris, properti tersebut harus ditransfer ke lembaga pemerintah tertentu seperti Departemen Keuangan atau Direktorat Jenderal Yayasan.[80] Pada tanggal 11 Juni 1986, undang-undang tentang properti yang "ditelantarkan" selama genosida Armenia dibatalkan, yang mengakhiri 73 tahun penerapannya.[38] Sepanjang periode Republik, undang-undang tersebut terus memberikan dasar hukum untuk perampasan properti tambahan milik orang-orang yang dideportasi. Meskipun undang-undang tersebut dihapuskan pada tahun 1986, Direktorat Jenderal Pendaftaran Tanah dan Kadaster (bahasa Turki: Tapu ve Kadastro Genel Müdürlüğü) mengeluarkan perintah pada tanggal 29 Juni 2001 yang secara efektif mengalihkan semua sisa properti yang "ditinggalkan" kepada pemerintah.[81][n 6] Keputusan tersebut juga melarang pengungkapan informasi apa pun mengenai hak milik atau dokumentasi properti.[82] Akibatnya, para pemilik atau ahli waris mereka tidak dapat mengajukan klaim atas properti tersebut karena sekarang properti tersebut telah diamankan berdasarkan hukum Turki dan telah menjadi milik negara.[82] Perkembangan terkiniTerminologi undang-undang dan kode sipil sebelumnya tidak berubah secara signifikan sejak tahun 1960-an dan 70-an, yang pada akhirnya menempatkan aset dan properti komunitas Armenia untuk perampasan lebih lanjut.[71] Meskipun terminologi telah sedikit berubah, kode sipil saat ini masih memiliki kekuatan eksekutif yang cukup untuk merampas harta benda mereka di bawah dasar melindungi "persatuan nasional" Republik Turki.[71]
Karena peraturan dan kode hukum tersebut, tidak ada gereja yang pernah dibangun dalam sejarah Republik Turki.[84][85][86][87] Semua gereja yang ada saat ini dibangun sebelum pendirian Republik pada tahun 1923.[84] Izin untuk pembangunan gereja Syriac diberikan pada bulan Desember 2012, namun ditolak oleh komunitas Asyur karena tanah tersebut dulunya adalah pemakaman Latin.[84] Dalam upaya Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang berkuasa untuk mematuhi standar Uni Eropa, pembukaan catatan registrasi lahan dan akta Utsmaniyah kepada publik sempat dipertimbangkan. Namun, pada tanggal 26 Agustus 2005, Komite Keamanan Nasional Angkatan Bersenjata Turki melarang upaya tersebut dengan menyatakan:
Pada tanggal 15 Juni 2011, Komite Urusan Luar Negeri DPR Amerika Serikat dari Kongres ke-112 meloloskan Resolusi DPR 306 dengan suara 43 banding satu yang menuntut Republik Turki "untuk melindungi warisan Kristennya dan mengembalikan properti gereja yang dirampas."[88] Organisasi-organisasi Turki-Amerika berusaha untuk memblokir RUU tersebut agar tidak disahkan tetapi akhirnya gagal.[89] Referensi
Daftar pustaka
Pranala luar
|