Pemindahan pendudukPemindahan penduduk atau pemindahan tempat tinggal adalah pemindahan sekelompok besar orang dari satu daerah ke daerah lain, seringkali merupakan bentuk migrasi paksa yang diselenggarakan oleh kebijakan negara atau otoritas internasional dan paling sering atas dasar etnis atau agama maupun karena pembangunan ekonomi. Pembuangan atau pengasingan adalah proses yang serupa, tetapi diterapkan secara paksa pada individu dan kelompok kecil.[1][2] Seringkali penduduk yang terkena dampak pemindahan secara paksa dipindahkan daerah yang jauh, yang mungkin tidak sesuai kondisi kehidupan mereka sebelumnya, sehingga menyebabkan kerugian besar bagi mereka. Selain itu, menyebabkan hilangnya semua harta tak bergerak dan (bila terjadi mendadak) sejumlah besar harta bergerak. Pemindahan ini mungkin didorong atas keinginan pihak yang lebih berkuasa untuk memanfaatkan lahan yang bersangkutan atau alasan kondisi lingkungan atau ekonomi yang membutuhkan relokasi.[3] Pemindahan penduduk pertama yang tercatat dalam sejarah berasal dari Asyur Kuno pada abad ke-13 SM.[4] Pemindahan penduduk skala besar terakhir di Eropa adalah deportasi 800.000 etnis Albania, selama perang Kosovo pada tahun 1999.[5] Pemindahan penduduk terbesar dalam sejarah adalah pelarian dan pengusiran penduduk Jerman setelah Perang Dunia II, yang melibatkan lebih dari 12 juta penduduk.[6] Selain itu, beberapa pemindahan penduduk terbesar di Eropa dikaitkan dengan kebijakan etnis Uni Soviet di bawah Stalin.[7] Contoh terbaru yang paling populer yang disebabkan oleh pembangunan ekonomi adalah yang disebabkan pembangunan Bendungan Tiga Ngarai di Tiongkok.[8] Lebih dari sekadar teknis, Pemindahan penduduk berbeda dengan migrasi atas motivasi individu, tetapi pada saat perang, tindakan melarikan diri karena ancaman bahaya atau kelaparan sering mengaburkan perbedaan keduanya. Jika sebuah negara dapat mempertahankan argumen bahwa migrasi adalah hasil dari keputusan "pribadi" yang tak terhitung banyaknya, negara mungkin dapat mengklaim bahwa mereka tidak dapat disalahkan atas pengusiran tersebut.[9] Dan berbeda dengan transmigrasi dimana program tersebut dibuat oleh pemerintah Indonesia untuk memindahkan penduduk dari suatu daerah yang padat penduduk (kota) ke daerah lain (desa) di dalam wilayah Indonesia atas dasar sukarela ataupun musyawarah.[10] Jenis pemindahan pendudukPertukaran populasiPertukaran penduduk adalah perpindahan dua populasi dari arah yang berlawanan pada waktu yang hampir bersamaan. Meskipun dalam teori, pertukaran penduduk tidak dapat dipaksakan, tetapi pada kenyataannya efek pertukaran ini selalu tidak setara dan setidaknya setengah dari apa yang disebut "pertukaran" biasanya dipaksakan oleh orang-orang yang lebih berkuasa atau lebih kaya. Pertukaran semacam itu telah terjadi beberapa kali di abad ke-20 :
Dilusi Etnis (Peleburan Etnis)Mengacu pada praktik memberlakukan kebijakan imigrasi untuk merelokasi sebagian dari populasi yang secara etnis maupun budaya dominan ke wilayah yang dihuni oleh etnis minoritas atau kelompok yang berbeda budaya atau bukan etnis utama, untuk mengurai lalu membaur dan akhirnya mengubah populasi etnis asli berasimilasi dengan etnis mayoritas dari waktu ke waktu. Contohnya adalah Sinifikasi Tibet.[13] Status dalam hukum internasionalMenurut ilmuwan politik Norman Finkelstein, Pemindahan penduduk dianggap sebagai solusi yang dapat diterima untuk masalah konflik etnis sampai sekitar Perang Dunia II dan bahkan untuk beberapa waktu setelahnya. Pemindahan dianggap sebagai cara yang keras tetapi "sering diperlukan" untuk mengakhiri konflik etnis atau perang saudara.[14] Pemindahan penduduk justru meningkatkan kelayakan penciptaan jaringan kereta api pada pertengahan abad ke-19. George Orwell, dalam esainya tahun 1946 "Politics and the English Language" (ditulis selama evakuasi dan pengusiran Perang Dunia II di Eropa), mengemukakan :[15]
Pandangan hukum internasional tentang pemindahan penduduk mengalami evolusi yang cukup besar selama abad ke-20. Sebelum Perang Dunia II, sebagian besar pemindahan penduduk merupakan hasil dari perjanjian bilateral dan mendapat dukungan dari badan-badan internasional seperti Liga Bangsa-Bangsa. Pengusiran Jerman setelah Perang Dunia II dari Eropa Tengah dan Timur sebagai sanksi oleh Sekutu dalam Pasal 13 dari Perjanjian Potsdam, tetapi penelitian telah menunjukkan bahwa baik delegasi Inggris ataupun Amerika di Potsdam sangat keberatan dengan ukuran pemindahan penduduk yang telah terjadi dan dipercepat pada musim panas 1945. Perancang utama ketentuan tersebut, Geoffrey Harrison, menjelaskan bahwa pasal tersebut dimaksudkan bukan untuk menyetujui pengusiran tetapi untuk menemukan cara untuk memindahkan ke Dewan Kontrol di Berlin untuk mengatur populasi.[16] Gelombang mulai berubah ketika Piagam Pengadilan Nuremberg dari para pemimpin Jerman Nazi menyatakan deportasi paksa penduduk sipil sebagai kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.[17] Pendapat itu secara progresif diadopsi dan diperluas sepanjang sisa abad ini. Yang mendasari perubahan tersebut adalah kecenderungan untuk memberikan hak kepada individu, sehingga membatasi hak negara untuk membuat perjanjian yang merugikan mereka. Saat ini nyaris tidak ada perdebatan umum tentang status hukum pemindahan penduduk secara paksa : "Di mana pemindahan penduduk dulunya diterima sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik etnis, hari ini, pemindahan penduduk secara paksa dianggap sebagai pelanggaran hukum internasional."[18] Tidak ada perbedaan hukum yang dibuat untuk alasan pemindahan satu pihak maupun petukaran dua pihak karena setiap individu berhak atas kemerdekaan diri dari belenggu orang lain. Pasal 49 dari Konvensi Jenewa Keempat (diadopsi pada tahun 1949 dan sekarang bagian dari hukum kebiasaan internasional) melarang gerakan massa dari luar atau masuk wilayah perang yang diduduki oleh pendudukan militer :[19]
Sebuah laporan sementara dari Sub-Komisi PBB untuk Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Minoritas (1993) mengatakan :[20]
Laporan akhir dari Sub-Komisi (1997)[20] meminta berbagai konvensi dan perjanjian hukum untuk mendukung posisi bahwa pemindahan penduduk bertentangan dengan hukum internasional kecuali jika mereka mendapat persetujuan dari penduduk yang akan dipindahkan dan penduduk yang menampung. Selain itu, persetujuan itu harus diberikan bebas tanpa tekanan baik langsung atau tidak langsung. "Deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa" didefinisikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan oleh Statuta Roma dalam Mahkamah Pidana Internasional (Pasal 7).[21] Pengadilan Pidana Internasional untuk Bekas Yugoslavia telah mendakwa dan menghukum sejumlah politisi dan komandan militer atas dakwaan deportasi paksa di wilayah itu. Pembersihan etnis mencakup "deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa" dan kekuatan kriminal yang mungkin terlibat didalamnya, termasuk dari kejahatan terhadap kemanusiaan. Agitasi nasionalis dapat memperkuat dukungan publik dengan berbagai cara, untuk melawan pemindahan penduduk sebagai solusi untuk konflik etnis saat ini atau yang mungkin terjadi di masa depan dan mengembangkan aksi melalui propaganda yang digunakan sebagai alat politik oleh pendukungnya untuk mencapai tujuan mereka. Kasus di AfrikaSelama era kolonal Eropa di Afrika, pemindahan paksa seringkali dilakukan di berbagai wilayah koloni mereka. Sebagian besar penduduk asli Afrika dijual sebagai budak di Amerika, menjadi buruh kasar di seberang wilayah Afrika lainnya ataupun pengusiran dari tempat tinggal asli mereka. Di era pasca kolonialisme, pemindahan penduduk kebanyakan karena konflik di suatu wilayah tersebut, sehingga sebagian penduduk terpaksa berpindah atau mengungsi ke negara tetangga terdekat. Contohnya orang-orang Mozambik di Tanzania, akibat Perang Saudara Mozambik. Bisa juga relokasi penduduk terjadi karena bencana kelaparan seperti di Etiopia, Uganda dan Zimbabwe.[22] Afrika SelatanOrang-orang Afrika dari seluruh Afrika bagian selatan dipaksa untuk pindah ke homelands mereka atau disebut Bantustan, yang merupakan wilayah yang dipisahkan oleh administrasi Partai Nasional kulit putih Afrika Selatan untuk penduduk kulit hitam di Afrika Selatan dan Afrika Barat Daya (sekarang Namibia), sebagai bagian dari kebijakan apartheid.[23] Namun, pada tahun 1993, pemerintahan Afrika Selatan yang didominasi kaum kulit putih telah berakhir dan sistem konstitusi yang baru telah mengembalikan hak-hak politik penduduk Bantustan sebagai warga negara. Setelah pengesahan konstitusi yang baru tersebut, maka istilah "Bantustan" mulai dihilangkan. Kasus di AmerikaAmerika SerikatPerang KemerdekaanSepanjang Perang Revolusi Amerika dan setelahnya, banyak Loyalis dari kolonial inggris kehilangan mata pencaharian, kebebasan ataupun tempat tinggal serta menderita kerugian fisik yang lebih ringan, kadang-kadang tanpa peradilan dan kadang-kadang dengan paksaan. Parker Wickham dan Loyalis lainnya mengembangkan ketakutan yang beralasan. Akibatnya, banyak yang memilih atau terpaksa meninggalkan rumah mereka sebelumnya di tempat yang kemudian menjadi Amerika Serikat, sering kali pergi ke Kanada, di mana Mahkota menjanjikan mereka tanah dalam upaya kompensasi dan pemukiman kembali. Sebagian besar diberi tanah di perbatasan di Kanada Atas dan harus membuat kota-kota baru. Komunitas tersebut sebagian besar dihuni oleh orang-orang dari keturunan etnis dan keyakinan agama yang sama. Dalam beberapa kasus, kota dimulai oleh orang-orang dari unit militer tertentu dan keluarga mereka.[24] Relokasi penduduk asli AmerikaPada abad ke-19, pemerintah Amerika Serikat memindahkan sekitar 100.000 penduduk asli Amerika ke reservasi Indian yang ditunjuk dan dikelola oleh federal.[25] Penduduk asli Amerika telah dipindahkan dari Utara ke Amerika Barat. Pemindahan yang paling terkenal adalah orang-orang dari tahun 1830-an dari Tenggara, dimulai dengan orang-orang Choctaw. Di bawah Undang-Undang Pemindahan Indian tahun 1830, Lima Suku Beradab dipindahkan dari tempat mereka, di sebelah timur Sungai Mississippi, ke Wilayah Indian di barat. Proses tersebut mengakibatkan dislokasi sosial yang besar untuk semua, banyak kematian yang dikenal dengan Trail of Tears oleh suku Cherokee. Perlawanan terhadap pemecatan Indian menyebabkan beberapa konflik kekerasan, termasuk Perang Seminole Kedua di Florida. Pada bulan Agustus 1863 semua Konkow Maidu akan dikirim ke Peternakan Bidwell di Chico dan kemudian dibawa ke Reservasi Round Valley di Covelo, County Mendocino. Setiap orang Indian yang tersisa di daerah itu harus ditembak. Orang Maidu dikumpulkan dan digiring dengan penjagaan ke arah barat dari Lembah Sacramento dan terus bergerak di sepanjang Pesisir. Sebanyak 461 penduduk asli Amerika memulai perjalanan, hanya 277 orang yang selamat sampai di tujuan.[26] Mereka mencapai Round Valley pada 18 September 1863. (Bagian dari Genosida California) Perjalanan Panjang suku Navajo mengacu pada relokasi tahun 1864 dari orang-orang Navajo oleh pemerintah AS dalam pemindahan paksa dari tanah mereka di tempat yang sekarang bernama Arizona ke timur New Mexico. Orang-orang Yavapai digiring secara paksa dari Reservasi Camp Verde ke Reservasi Indian Apache San Carlos, Arizona, pada 27 Februari 1875 setelah Perang Yavapai berakhir. Pemerintah federal membatasi orang Indian Dataran untuk reservasi setelah Perang Indian di mana orang Indian dan Amerika Eropa memperebutkan tanah dan sumber daya disana. Tawanan perang Indian ditahan di Benteng Marion dan Benteng Pickens di Florida. Setelah Perang Yavapai, 375 orang Yavapai tewas dalam deportasi pemindahan suku Indian dari 1.400 orang suku Yavapai yang tersisa.[27] Perintah Umum No. 11 (1863)Perintah Umum No. 11 adalah judul dari dekrit Tentara Union yang dikeluarkan selama Perang Saudara Amerika pada tanggal 25 Agustus 1863, yang memaksa evakuasi daerah pedesaan di empat County di Missouri barat. Yang diikuti pemberontakan yang luas dan perang gerilya. Tentara membersihkan daerah itu untuk menghilangkan dukungan lokal dari gerilyawan. Jenderal Union Thomas Ewing mengeluarkan perintah, yang mempengaruhi semua penduduk pedesaan terlepas dari kesetiaan mereka. Mereka yang dapat membuktikan kesetiaan mereka kepada Pemerintah Union diizinkan untuk tinggal di wilayah tersebut tetapi harus meninggalkan pertanian mereka dan pindah ke komunitas di dekat pos-pos militer. Mereka yang tidak bisa melakukannya harus mengosongkan daerah itu sama sekali.[28] Dalam prosesnya, pasukan Union menyebabkan kerusakan tempat tinggal dan kematian yang cukup besar karena konflik tersebut. Interniran Jepang-AmerikaSetelah serangan Kekaisaran Jepang di Pearl Harbor, dengan kecurigaan dan rasa permusuhan selama puluhan tahun terhadap etnis Jepang yang bertambah, pemerintah AS memerintahkan relokasi paksa militer dan penahanan sekitar 110.000 orang Jepang dan Jepang-Amerika yang tinggal di Amerika Serikat ke "Kamp Relokasi Perang" atau kamp interniran, yang baru dibuat pada tahun 1942 selama perang. Orang kulit putih Amerika sering membeli properti mereka dengan harga yang merugikan.[29] Warga negara Jepang dan Jepang-Amerika yang tinggal di Pantai Barat Amerika Serikat semuanya diasingkan. Di Hawaii, di mana lebih dari 150.000 orang Jepang-Amerika hampir sepertiga dari populasi di wilayah itu, para pejabat hanya menahan 1.200 hingga 1.800 orang Jepang-Amerika. Pada akhir abad ke-20, pemerintah AS membayar sejumlah kompensasi kepada orang-orang yang selamat dari kamp-kamp interniran.[30] Presiden Franklin Delano Roosevelt memberi otorisasi untuk menginternir orang Jepang-Amerika dengan Executive Order 9066 tanggal 19 Februari 1942. Para komandan militer lokal diberi wewenang untuk menetapkan "kawasan militer" sebagai "zona eksklusi" sehingga "sebagian atau semua orang dapat dieksklusi". Wewenang tersebut dipakai untuk mengumumkan bahwa semua orang keturunan Jepang harus dieksklusi (dikeluarkan) dari seluruh pesisir Pasifik, termasuk seluruh California serta sebagian besar Oregon dan Washington, kecuali mereka yang berada di kamp-kamp interniran.[31] KanadaSelama Perang Prancis dan Indian (teater Amerika Utara dari Perang Tujuh Tahun antara Inggris Raya dan Prancis), Inggris secara paksa memindahkan sekitar 10.000 orang Acadia dari Provinsi Maritimes Kanada, pertama ke Tiga Belas Koloni dan kemudian ke Prancis Baru. Ribuan orang meninggal karena tenggelam, kelaparan atau sakit akibat deportasi. Beberapa orang Acadia yang telah dipindahkan ke Prancis Baru kemudian beremigrasi ke Louisiana, di mana keturunan mereka dikenal sebagai Cajun.[32] Relokasi Ujung Arktik berlangsung selama Perang Dingin pada 1950-an, ketika 87 orang Inuit dipindahkan oleh Pemerintah Kanada ke Ujung Arktik. Relokasi menjadi kontroversial yang digambarkan sebagai gerakan kemanusiaan untuk menyelamatkan nyawa penduduk asli yang kelaparan atau migrasi paksa yang dihasut oleh pemerintah federal untuk menegaskan kedaulatannya di Kanada Utara melawan Uni Soviet. Kedua belah pihak mengakui bahwa Inuit yang direlokasi tidak diberikan dukungan yang memadai.[33] Banyak masyarakat adat lainnya di Kanada telah dipaksa untuk merelokasi komunitas mereka ke tanah cadangan yang berbeda, termasuk 'Nak'waxda'xw pada tahun 1964. Interniran Jepang-KanadaInterniran Jepang Kanada mengacu pada penahanan warga Jepang Kanada setelah serangan terhadap Pearl Harbor dan deklarasi perang Kanada terhadap Jepang selama Perang Dunia II. Relokasi paksa membuat warga Jepang Kanada menjalani jam malam dan interogasi yang diberlakukan oleh pemerintah serta kehilangan pekerjaan dan harta benda. Penginterniran warga Kanada Jepang diperintahkan oleh Perdana Menteri Mackenzie King, sebagian besar karena rasisme yang ada. Namun bukti yang diberikan oleh Angkatan Kepolisian Kerajaan Kanada dan Departemen Pertahanan Nasional menunjukkan bahwa keputusan itu tidak beralasan.[34] Sampai tahun 1949, empat tahun setelah Perang Dunia II berakhir, semua orang keturunan Jepang secara sistematis dipindahkan dari rumah dan pekerjaan mereka dan dikirim ke kamp-kamp interniran. Pemerintah Kanada menutup semua surat kabar berbahasa Jepang, mengambil alih bisnis dan kapal penangkap ikan dan secara efektif menjualnya. Untuk mendanai interniran itu sendiri, kendaraan, rumah dan barang-barang pribadi juga dijual.[35] Kekaisaran InkaKebijakan pemindahan paksa yang dilakukan pada era penaklukan oleh Kekaisaran Inka, yang dikenal dengan Mitma dimana kelompok etnis yang ditaklukkan tersebar di seluruh wilayah kekaisaran untuk memutuskan ikatan komunitas tradisional dan memaksa penduduk yang heterogen untuk mengadopsi bahasa Quechua dan budaya Inka. Cara ini tidak sepenuhnya berhasil di era pra-Columbus, hanya ketika kebijakan totaliter diadopsi berdampak kesuksesan besar pada abad ke-16, yang menciptakan identitas pan-Andean untuk menentang kekuasaan Spanyol.[36] Kasus di AsiaAfganistanPada tahun 1880-an, Abdur Rahman Khan emir Afganistan memindahkan pemberontak Ghilzi Pashtun dari bagian selatan negara itu ke bagian utara.[37] Selain itu, Abdur Rahman dan penerusnya mendorong etnis Pashtun dengan berbagai kebijakan, untuk menetap di Afghanistan utara pada akhir abad ke-19 dan ke-20. Anak benua IndiaKetika Kemaharajaan Britania mengalami gerakan kemerdekaan sebelum Perang Dunia II, sebagian besar penduduk Muslimnya menuntut negara mereka sendiri yang terdiri dari dua wilayah yang tidak bersebelahan : Pakistan Timur dan Pakistan Barat. Untuk memfasilitasi pembentukan negara-negara baru di sepanjang garis agama (sebagai lawan dari garis ras atau bahasa karena orang-orang berbagi sejarah dan bahasa yang sama), pertukaran populasi antara India dan Pakistan dilaksanakan.[11] Lebih dari 5 juta orang Hindu dan Sikh pindah dari Pakistan ke India begitu juga dengan jumlah Muslim yang sama pindah ke arah sebaliknya. Diperkirakan lebih dari satu juta orang, tewas dalam kekerasan dalam relokasi itu. Meskipun perpindahan sejumlah besar Muslim ke Pakistan, jumlah Muslim yang sama memilih untuk tinggal di India. Namun, sebagian besar penduduk Hindu dan Sikh di Pakistan pindah ke India pada tahun-tahun berikutnya.[38] Para imigran Muslim ke Pakistan kebanyakan menetap di Karachi dan dikenal sebagai komunitas Muhajir yang berbahasa Urdu. Pada tahun 1992, populasi Pandit Hindu Kashmir secara paksa dipindahkan dari Kashmir oleh minoritas Muslim berbahasa Urdu. Pemaksaan bahasa Urdu menyebabkan penurunan penuturan bahasa lokal seperti Kashmir dan Dogri. Kekerasan tersebut menyebabkan kematian banyak orang Hindu dan eksodus hampir semua orang Hindu.[39] Di pulau Diego Garcia di Samudra Hindia antara tahun 1967 dan 1973, pemerintah Inggris secara paksa memindahkan 2.000 penduduk pulau Chagos untuk dijadikan pangkalan militer. Meskipun keputusan pengadilan menguntungkan mereka, mereka tidak diizinkan untuk kembali dari pengasingan mereka di Mauritius , tetapi ada tanda-tanda bahwa kompensasi finansial dan permintaan maaf resmi sedang dipertimbangkan oleh pemerintah Inggris.[40] Asyur kunoDi Dunia lama, pemindahan penduduk adalah alternatif yang lebih manusiawi untuk membunuh semua laki-laki dari wilayah taklukan dan memperbudak perempuan dan anak-anak. Sejak abad ke-13 SM, Asyur Kuno menggunakan deportasi massal sebagai hukuman atas pemberontakan. Pada abad ke-9 SM, orang Asyur secara teratur mendeportasi ribuan rakyat yang merusuh ke negeri lain. Suku-suku Israel yang dipindahkan secara paksa oleh Asyur kemudian dikenal sebagai Sepuluh Suku yang Hilang. Bangsa Het sering memindahkan populasi orang-orang yang kalah kembali ke Hattusa. (Trevor Bryce, Kerajaan bangsa Het) Deportasi elit Yahudi Yerusalem dalam tiga gelombang selama pembuangan ke Babilonia pada abad ke-6 SM juga termasuk pemindahan penduduk.[4] KambojaSalah satu tindakan pertama Khmer Merah adalah memindahkan sebagian besar penduduk perkotaan ke pedesaan. Phnom Penh, penduduknya 2,5 juta orang termasuk sebanyak 1,5 juta pengungsi perang yang tinggal bersama kerabat atau di daerah perkotaan, untuk segera dikosongkan. Evakuasi serupa terjadi di Battambang, Kampong Cham, Siem Reap, Kampong Thom dan di seluruh kota-kota lain di negara itu. Khmer Merah berusaha mengubah Kamboja menjadi masyarakat tanpa kelas dengan mengurangi populasi kota dan memaksa penduduk perkotaan ("Masyarakat Baru") menjadi komune pertanian. Seluruh penduduk terpaksa menjadi petani dikamp kerja paksa.[41] KaukasusDi wilayah Kaukasus bekas Uni Soviet, perpindahan etnis penduduk telah mempengaruhi ribuan orang di Armenia, Nagorno-Karabakh dan Azerbaijan ; sebagian besar di Abkhazia , Ossetia Selatan dan Georgia, juga di Chechnya dan daerah sekitarnya di Rusia.[42] PalestinaPeristiwa Eksodus Palestina 1948 (juga dikenal sebagai Nakba) kurang lebih 711.000 hingga 725.000 orang keluar dari Palestina yang ketika itu menjadi mandat Britania, peristiwa itu terjadi pada bulan-bulan menjelang Perang Palestina 1948 hingga perang berlangsung.[43] Sebagian besar pengungsi Arab dari bekas Mandat Britania atas Palestina menetap di Jalur Gaza (di bawah kekuasaan Mesir antara tahun 1949 dan 1967) dan Tepi Barat (di bawah kekuasaan Yordania antara tahun 1949 dan 1967), Yordania, Suriah dan Lebanon.[44] Selama perang Palestina 1948, Haganah merancang Plan Dalet, yang oleh beberapa sarjana ditafsirkan ditujukan untuk memastikan pengusiran orang Palestina, tetapi penafsiran itu diperdebatkan. Efraim Karsh menyatakan bahwa sebagian besar orang Arab yang pergi melarikan diri atas kemauan mereka sendiri atau dipaksa untuk pergi oleh sesama orang Arab meskipun ada upaya Israel untuk meyakinkan mereka untuk tetap tinggal.[45] Gagasan pemindahan orang Arab dari Palestina telah diwacanakan sekitar setengah abad sebelumnya.[46] Misalnya, Theodor Herzl menulis dalam buku hariannya pada tahun 1895 bahwa gerakan Zionis "akan mencoba untuk mendorong penduduk yang tidak punya uang melintasi perbatasan dengan menyediakan pekerjaan untuknya di negara-negara transit, meskipun menolak pekerjaan apa pun di negara kita," tetapi komentar itu tidak secara khusus berhubungan dengan Palestina.[47] Empat puluh tahun kemudian, salah satu rekomendasi dalam Laporan Komisi Peel Inggris pada tahun 1937 ialah pemindahan orang Arab dari wilayah negara Yahudi yang diusulkan dan bahkan termasuk mendorong pemindahan dari wilayah Palestina. Rekomendasi itu awalnya tidak ditentang oleh Pemerintah Inggris. Rencana Inggris tidak pernah didukung oleh Zionis dan pemindahan tidak pernah disetujui secara resmi oleh Zionis, tetapi banyak Zionis senior mendukung konsep tersebut secara pribadi. Para ahli telah memperdebatkan pandangan David Ben-Gurion tentang pemindahan, khususnya dalam konteks surat Ben-Gurion 1937 . Tetapi menurut Benny Morris, Ben-Gurion "di tempat lain, dalam pernyataan yang tidak dapat disangkal ... berulang kali mendukung gagasan "pemindahan ” (atau mengusir) orang-orang Arab atau keturunan Arab, keluar dari wilayah negara Yahudi, baik “secara sukarela” atau dengan paksaan.”[48] Gush Etzion dan lingkungan Yahudi di Yerusalem Timur dikosongkan dengan mengikuti aneksasi Yordania di Tepi Barat. Penduduknya diserap oleh Negara Israel yang baru; dan banyak lokasi yang dihuni kembali setelah Perang Enam Hari. PersiaPemindahan populasi dari sepanjang perbatasan mereka dengan Utsmaniyah di Kurdistan dan Kaukasus sebagai bagian kepentingan strategis bagi Safawiyah. Ratusan ribu orang Kurdi, bersama dengan kelompok besar orang Armenia, Asyur, Azeri dan Turkmen, dipindahkan secara paksa dari daerah perbatasan dan dimukimkan kembali di pedalaman Persia. Itu adalah cara untuk memutuskan kontak dengan anggota kelompok lain yang melintasi perbatasan serta membatasi interaksi. Kurdi Khurasani adalah komunitas dengan hampir 1,7 juta orang yang dideportasi dari Kurdistan barat ke Khorasan Utara, (Iran timur laut) oleh Persia selama abad ke-16 hingga ke-18. Untuk peta area ini, lihat. Beberapa suku Kurdi dideportasi lebih jauh ke timur, ke Gharjistan di pegunungan Hindu Kush, Afghanistan, sekitar 1500 mil jauhnya dari rumah asal di Kurdistan barat.[49] Timur Tengah
UtsmaniyahKesultanan Utsmaniyah pada era awal menggunakan pemindahan penduduk paksa untuk mengubah lanskap etnis dan ekonomi wilayahnya. Istilah yang digunakan dalam dokumen Utsmaniyah adalah sürgün dari kata verbal sürmek (menggantikan). Pemindahan penduduk Utsmaniyah hingga pemerintahan Mehmed I (w.1421) membawa kelompok suku Turkmen dan Tatar dari wilayah Asia negara ke Balkan (Rumelia). Banyak dari kelompok-kelompok tersebut didukung sebagai kekuatan paramiliter di sepanjang perbatasan dengan negara Kristen Eropa. Bersamaan dengan itu, komunitas Kristen dipindahkan dari wilayah yang baru ditaklukkan di Balkan ke Trakia dan Anatolia. Sementara arus balik melintasi Dardanella berlanjut, Murad II (w. 1451) dan Mehmed II (w. 1481) berkonsentrasi pada reorganisasi demografis pusat-pusat kota kekaisaran. Penaklukan Salonika oleh Murad II diikuti dengan pendirian pemukiman Muslim dari Anatolia ke Yenice Vardar yang diselenggarakan oleh negara secara paksa. Pemindahan Mehmed II difokuskan pada repopulasi Konstantinopel, setelah penaklukannya pada tahun 1453 dengan membawa orang-orang Kristen, Muslim dan Yahudi dari seluruh kekaisaran ke ibu kota baru. Hutan Beograd yang luas di utara Istanbul, dinamai menurut nama orang-orang yang berasal dari Beograd. Juga Benteng Beograd yang berada di sisi timur kota Serbia. Masa Bayezid II (w. 1512), Utsmaniyah mengalami kesulitan dengan gerakan penyimpangan Qizilbasy di Anatolia timur. Relokasi paksa Qizilbasy berlanjut hingga setidaknya akhir abad ke-16. Selim I (w. 1520) memerintahkan pedagang, pengrajin dan cendekiawan diangkut ke Konstantinopel dari Tabriz dan Kairo. Negara mengamanatkan imigrasi Muslim ke Rodos dan Siprus setelah penaklukan mereka pada tahun 1522 dan 1571 dan merelokasi mereka dari Yunani Siprus ke pantai Anatolia. Pengkajian di kalangan sejarawan barat tentang penggunaan sürgün dari abad ke-17 hingga abad ke-19 agak tidak dapat buktikan. Tampaknya pemerintahan Utsmaniyah tidak banyak menggunakan pemindahan penduduk secara paksa selama periode ekspansinya.[61] BalkanSetelah pertukaran di Balkan, Kekuatan Besar dan kemudian Liga Bangsa-Bangsa menggunakan pemindahan penduduk paksa sebagai mekanisme homogenitas di negara-negara Balkan pasca bubarnya Utsmaniyah untuk mengurangi konflik internal. Seorang diplomat Norwegia, yang bekerja dengan Liga Bangsa-Bangsa sebagai Komisaris Tinggi untuk Pengungsi pada tahun 1919, mengusulkan gagasan pemindahan penduduk secara paksa. Itu dimodelkan pada perintah pemindahan populasi Yunani-Bulgaria, pengembalian orang Yunani di Bulgaria ke Yunani dan orang Bulgaria di Yunani ke Bulgaria.[62] Cendekiawan Israel, Mordechai Zaken pada tahun 2007, dalam bukunya membahas sejarah orang Kristen Asiria di Turki dan Irak (di Kurdistan Irak) sejak tahun 1842.[63] Zaken mengidentifikasi tiga ledakan besar yang terjadi antara tahun 1843 dan 1933 di mana orang-orang Kristen Asiria kehilangan hak mereka. Tanah dan hegemoni di wilayah Hakkār (atau Julamerk) tenggara Turki dan menjadi pengungsi di negeri lain, terutama Iran dan Irak. Mereka juga membentuk komunitas-komunitas pengasingan di negara-negara Eropa dan negara Barat (termasuk Amerika Serikat, Kanada, Australia, Selandia Baru, Swedia dan Prancis dan beberapa negara lainnya). Orang-orang Kristen Asiria bermigrasi secara bertahap setelah setiap krisis politik. Jutaan orang Kristen Asiria hidup hari ini di komunitas yang diasingkan dan makmur di negara Barat.[64] Kasus di EropaEropa TengahSecara historis, pengusiran orang Yahudi dan orang Romani mencerminkan kekuatan kontrol negara yang telah diterapkan sebagai alat, dalam bentuk dekrit pengusiran, undang-undang, mandat, dan lain-lain, terhadap mereka selama berabad-abad. Setelah Pakta Molotov–Ribbentrop membagi Polandia selama Perang Dunia II, Jerman mendeportasi orang Polandia dan Yahudi dari wilayah Polandia yang dianeksasi oleh Jerman Nazi, dan Uni Soviet mendeportasi orang Polandia dari wilayah Polandia Timur, Kresy ke Siberia dan Kazakhstan. Dari tahun 1940, Hitler mencoba membuat orang Jerman bermukim kembali ke daerah di mana mereka adalah minoritas (Baltik, Eropa Tenggara dan Timur) seperti ke Warthegau, wilayah sekitar Poznań, Posen Jerman. Dia mengusir orang Polandia dan Yahudi yang membentuk mayoritas penduduk di sana. Sebelum perang, orang Jerman hanyalah 16% dari populasi di daerah tersebut.[3] Nazi awalnya mencoba untuk menekan orang-orang Yahudi untuk beremigrasi. Di Austria, mereka berhasil mengusir sebagian besar penduduk Yahudi. Namun, meningkatnya protes asing membuat rencana ini nyaris terhenti. Belakangan, orang-orang Yahudi dipindahkan ke ghetto dan akhirnya ke kamp pemusnahan. Penggunaan kerja paksa oleh Nazi Jerman selama Perang Dunia II terjadi secara besar-besaran. Orang Yahudi yang telah menandatangani harta benda di Jerman dan Austria selama Nazisme, meskipun dipaksa untuk melakukannya, merasa hampir tidak mungkin untuk mendapatkan penggantian setelah Perang Dunia II, sebagian karena kemampuan pemerintah untuk membuat argumen "keputusan pribadi untuk pergi". Jerman menculik sekitar 12 juta orang dari hampir dua puluh negara Eropa; sekitar dua pertiga di antaranya berasal dari Eropa Timur.[6] Setelah Perang Dunia II, ketika usulan garis Curzon pada tahun 1919 oleh Blok Sekutu sebagai perang perbatasan timur Polandia dilaksanakan, anggota dari semua kelompok etnis dipindahkan ke wilayah baru mereka masing-masing (orang Polandia ke Polandia, orang Ukraina ke Soviet Ukraina). Hal yang sama berlaku untuk bekas wilayah Jerman di sebelah timur garis Oder-Neisse, di mana warga negara Jerman dipindahkan ke Jerman. Jerman diusir dari daerah yang dianeksasi oleh Uni Soviet dan Polandia serta wilayah Cekoslowakia, Hungaria, Rumania dan Yugoslavia. Dari tahun 1944 hingga 1948, antara 13,5 dan 16,5 juta orang Jerman diusir, dievakuasi atau melarikan diri dari Eropa Tengah dan Timur. Kantor Statistik Federal Jerman memperkirakan korban jiwa mencapai 2,1 juta.[65] Polandia dan Soviet Ukraina melakukan pertukaran penduduk, orang Polandia yang tinggal di sebelah timur perbatasan Polandia-Soviet yang sudah menetap dideportasi ke Polandia (sekitar 2.100.000 orang) dan orang Ukraina yang tinggal di sebelah barat perbatasan Polandia-Uni Soviet yang juga sudah menatap dideportasi ke Ukraina Soviet. Pemindahan penduduk ke Soviet Ukraina terjadi dari September 1944 sampai Mei 1946 (sekitar 450.000 orang). Beberapa orang Ukraina (sekitar 200.000 orang) meninggalkan Polandia tenggara kurang lebih secara sukarela (antara tahun 1944 dan 1945).[66] Peristiwa kedua terjadi pada tahun 1947 selama Operasi Vistula.[67] Hampir 20 juta orang di Eropa meninggalkan rumah mereka, diusir, dipindahkan atau mengalami pertukaran selama proses penyortiran kelompok etnis antara tahun 1944 dan 1951.[68] Eropa TenggaraPada bulan September 1940, dengan kembalinya Dobrogea Selatan dari Rumania ke Bulgaria di bawah Perjanjian Craiova, maka pertukaran penduduk dilakukan. 103.711 orang Rumania, Arumania dan Megleno-Rumania terpaksa pindah ke utara perbatasan, sementara 62.278 orang Bulgaria yang tinggal di Dobrogea Utara terpaksa pindah ke Bulgaria.[69][70] Sekitar 360.000 orang Turki Bulgaria melarikan diri dari Bulgaria selama Proses Pembangunan. Selama perang Yugoslavia pada 1990-an, pecahnya Yugoslavia menyebabkan pemindahan penduduk dalam jumlah besar, sebagian besar secara paksa. Karena merupakan konflik yang dipicu oleh nasionalisme etnis, orang-orang dari etnis minoritas umumnya melarikan diri ke daerah-daerah yang etnisnya mayoritas. Fenomena "pembersihan etnis" pertama kali terlihat di Kroasia tetapi segera menyebar ke Bosnia. Karena Muslim Bosnia tidak memiliki perlindungan langsung, mereka bisa dibilang yang paling menderita oleh kekerasan etnis. Perserikatan Bangsa-Bangsa mencoba untuk menciptakan daerah yang aman bagi penduduk Muslim di Bosnia timur tetapi dalam pembantaian Srebrenica dan di tempat lain, pasukan penjaga perdamaian gagal untuk melindungi daerah yang aman, mengakibatkan pembantaian ribuan Muslim. Perjanjian Dayton yang mengakhiri perang di Bosnia dan Herzegovina, memperbaiki perbatasan antara kedua pihak yang bertikai pada musim gugur 1995. Salah satu hasil langsung dari pemindahan penduduk setelah kesepakatan damai adalah penurunan tajam kekerasan etnis di wilayah tersebut. Sebuah deportasi besar-besaran dan sistematis etnis Albania di Serbia terjadi selama Perang Kosovo tahun 1999, dengan sekitar 800.000 Albania (dari populasi sekitar 1,5 juta) terpaksa mengungsi di Kosovo.[71] Albania menjadi mayoritas di Kosovo pada akhir perang, sekitar 200.000 orang Serbia dan Roma melarikan diri dari Kosovo. Ketika Kosovo memproklamasikan kemerdekaan pada 2008, sebagian besar penduduknya adalah orang Albania.[72] Sejumlah komandan dan politisi, terutama Serbia dan Presiden Yugoslavia Slobodan Milosevic, diadili oleh Pengadilan Pidana Internasional untuk Bekas Wilayah Yugoslavia atas berbagai kejahatan perang, termasuk deportasi dan genosida. IrlandiaSetelah penaklukan Cromwell atas Irlandia dan Act of Settlement pada tahun 1652, sebagian besar tanah milik Katolik Irlandia disita dan mereka dilarang tinggal di kota-kota yang ditanami. Jumlah yang tidak diketahui, mungkin sebanyak 100.000 orang Irlandia dipindahkan ke koloni-koloni di Hindia Barat dan Amerika Utara sebagai pelayan kontrak.[73] Selain itu, Mahkota mendukung serangkaian pemindahan penduduk ke Irlandia, untuk memperbesar penduduk Irlandia yang setia dan menjadi Protestan. Ini dikenal sebagai Plantation, dan migran datang terutama dari Skotlandia dan county di perbatasan utara Inggris. Pada akhir abad-18, orang Skotlandia-Irlandia merupakan kelompok imigran terbesar dari Kepulauan Inggris yang memasuki Tiga Belas Koloni sebelum Perang Revolusi Amerika.[74] ItaliaPada tahun 1939, Hitler dan Mussolini setuju untuk memberikan pilihan kepada penduduk berbahasa Jerman di Tyrol Selatan (Perjanjian Opsi Tyrol Selatan) : mereka dapat beremigrasi ke negara tetangga Jerman (termasuk Austria yang baru saja dianeksasi ) atau tinggal di Italia dan bersedia untuk berasimilasi. Karena pecahnya Perang Dunia II, perjanjian itu hanya terlaksana sebagian saja. PrancisDua pemindahan terkenal yang terkait dengan sejarah Prancis adalah pelarangan agama Yahudi pada 1308 dan Huguenot, Protestan Prancis oleh Maklumat Fontainebleau pada 1685. Peperangan agama atas Protestan menyebabkan banyak orang mencari perlindungan di Negara-Negara Dataran Rendah dan di Inggris. Pada awal abad ke-18, beberapa Huguenot beremigrasi ke koloni Prancis di Amerika. Dalam kedua kasus tersebut, penduduk tidak dipaksa murtad tetapi agama mereka dinyatakan ilegal dan banyak yang meninggalkan negara itu. Menurut Ivan Sertima, Louis XV memerintahkan semua orang kulit hitam untuk dideportasi dari Prancis tetapi tidak berhasil. Pada saat itu, mereka kebanyakan adalah orang kulit berwarna yang merdeka berasal dari koloni Karibia dan Louisiana, biasanya keturunan pria kolonial Prancis dan wanita Afrika. Beberapa ayah mengirim putra ras campuran mereka ke Prancis untuk dididik atau memberi mereka properti untuk menetap di sana. Lainnya masuk militer, seperti yang dilakukan Thomas-Alexandre Dumas, ayah dari Alexandre Dumas.[75] SiprusSetelah invasi Turki ke Siprus dan pembagian pulau berikutnya, ada kesepakatan antara perwakilan Yunani di satu sisi dan perwakilan Turki Siprus di sisi lain, di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2 Agustus 1975 di mana Pemerintah Republik Siprus akan mencabut pembatasan apa pun dalam pergerakan sukarela Siprus Turki ke daerah-daerah yang diduduki Turki di pulau itu dan sebagai gantinya, pihak Turki Siprus akan mengizinkan semua Yunani Siprus yang tetap berada di daerah-daerah pendudukan untuk tinggal di sana dan menjadi diberikan setiap bantuan untuk hidup normal.[76] SkotlandiaEnclosure (tuan tanah) yang menghuni pedesaan Inggris dalam Revolusi pertanian Inggris dimulai pada Abad Pertengahan. Perkembangan serupa di Skotlandia akhir-akhir ini disebut Pembukaan Dataran Rendah . The Highland Clearances adalah pemindahan paksa populasi Dataran Tinggi Skotlandia dan Kepulauan Skotlandia pada abad ke-18. Mereka menyebabkan emigrasi massal ke pantai, Dataran Rendah Skotlandia dan luar negeri, termasuk ke Tiga Belas Koloni, Kanada dan Karibia.[77] SpanyolPada 1492 penduduk Yahudi Spanyol diusir melalui Dekrit Alhambra. Beberapa orang Yahudi pergi ke Afrika Utara; lainnya ke timur ke Polandia, Prancis dan Italia, serta ke negara-negara Mediterania lainnya.[78] Pada 1609 terjadi Pengusiran Morisco, pemindahan terakhir 300.000 Muslim keluar dari Spanyol, setelah lebih dari satu abad Penguasa Katolik menghakimi, memecah belah dan membatasi agama mereka. Sebagian besar Muslim Spanyol pergi ke Afrika Utara dan ke wilayah kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah.[79] Uni SovietDari sebelum hingga setelah Perang Dunia II, Stalin melakukan serangkaian deportasi dalam skala besar, yang sangat mempengaruhi peta etnis Uni Soviet. Lebih dari 1,5 juta orang dideportasi ke Siberia dan republik-republik soviet di Asia Tengah. Perlawanan dan separatisme terhadap pemerintahan Soviet juga bekerjasama dengan Jerman selama invasi Jerman ke Uni Soviet disebut sebagai alasan utama untuk melakukan deportasi. Setelah Perang Dunia II, penduduk Prusia Timur digantikan oleh penduduk Soviet, terutama oleh orang Rusia. Banyak Muslim Tartar dipindahkan ke Krimea Utara, sekarang Ukraina, sementara Krimea Selatan dan Yalta dihuni oleh orang Rusia.[7] Salah satu kesimpulan dari Konferensi Yalta adalah bahwa Sekutu akan mengembalikan semua warga negara Soviet yang berada di zona Sekutu kembali ke Uni Soviet (Operasi Keelhaul). Yang mengejutkan bagi tawanan perang Soviet yang dibebaskan oleh Sekutu, tetapi juga meluas ke semua pengungsi Eropa Timur. Suatu rencana untuk memaksa pengungsi Soviet untuk kembali ke Uni Soviet, yang memang dirahasiakan dari orang-orang Amerika dan Inggris selama lebih dari 50 tahun.[80] Yunani dan TurkiLiga Bangsa-Bangsa mendefinisikan mereka saling diusir sebagai pemindahan "penduduk Muslim Yunani" ke Turki dan "penduduk Kristen Ortodoks Turki" ke Yunani. Rencana tersebut mendapat tentangan sengit di kedua negara dan dikecam keras oleh sejumlah besar negara. Fridtjof Nansen bekerja dengan Yunani dan Turki untuk menegosiasikan pertukaran penduduk agar diterima kedua belah pihak. Sekitar 1,5 juta orang Kristen dan setengah juta Muslim dipindahkan dari satu sisi perbatasan internasional ke sisi lainnya. Ketika pertukaran mulai berlaku (1 Mei 1923), sebagian besar penduduk Yunani Ortodoks sebelum perang di Aegean Turki telah melarikan diri dan hanya orang-orang Kristen Ortodoks di Anatolia tengah (berbahasa Yunani dan Turki ) dan orang Yunani Pontos dengan total sekitar 189.916 jiwa.[81] Sementara jumlah total Muslim yang terlibat dalam pertukaran adalah 354.647 jiwa.[12] Pemindahan penduduk mencegah serangan lebih lanjut terhadap minoritas di masing-masing negara bagian dan Nansen dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian. Akibat pemindahan tersebut, minoritas Muslim di Yunani dan minoritas Yunani di Turki jauh berkurang. Siprus dan Dodekanisa tidak termasuk dalam Pertukaran penduduk Yunani-Turki tahun 1923 karena mereka masih berada di bawah kendali langsung Inggris dan Italia. Lihat pula
Referensi
Rujukan tambahan
Pranala luar
|