Pah Wongso
Louis Victor Wijnhamer (lahir di Tegal, Hindia Belanda, 11 Februari 1904 – meninggal 13 Mei 1975, pada umur 71 tahun) atau yang lebih dikenal sebagai Pah Wongso (Hanzi: 伯王梭; Pinyin: Bó Wángsuō), dulu adalah seorang pekerja sosial yang terkenal di kalangan masyarakat Tionghoa di Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Setelah menempuh pendidikan di Semarang dan Surabaya, Pah Wongso lalu memulai kariernya sebagai pekerja sosial pada awal dekade 1930-an, dengan bermodalkan kesenian tradisional seperti wayang golek untuk mempromosikan monogami dan abstinensi. Pada tahun 1938, ia mendirikan sebuah sekolah untuk masyarakat miskin, dan mengumpulkan uang untuk Palang Merah guna selanjutnya dikirim ke Tiongkok. Pada akhir tahun 1938, Pah Wongso menggunakan dana pembelaan hukum yang telah dikumpulkan untuknya, ketika ia dituduh melakukan pemerasan untuk mendirikan sekolah lain, yang kemudian disusul dengan pendirian sebuah pusat pelatihan kerja pada tahun 1939. Pada tahun 1941, Star Film merilis dua film yang dibintangi serta menampilkan nama Pah Wongso pada judulnya. Pada masa pendudukan Jepang di Hindia Belanda, Pah Wongso ditahan di sejumlah kamp konsentrasi di Asia Tenggara. Pada tahun 1948, ia kembali ke Nusantara yang telah merdeka dan mengumpulkan uang untuk Palang Merah, serta menjalankan sebuah kantor pelatihan kerja hingga ia meninggal. Kehidupan awal dan pekerjaan sosialLouis Victor Wijnhamer lahir pada tanggal 11 Februari 1904 di Tegal, Jawa Tengah, Hindia Belanda[1] sebagai salah satu anak dari tiga bersaudara. Orang tua Wijnhamer adalah seorang administrator berkebangsaan Belanda di Surabaya, yakni Louis Gregorius Wijnhamer dan J. F. Ihnen,[1][2] sehingga ia merupakan seorang Indo.[3] Ia awalnya menempuh pendidikan di sekolah menengah atas di Semarang, sebelum kemudian menempuh pendidikan di Suikerschool di Surabaya, dan lalu pergi ke Batavia (sekarang Jakarta). Di sana, mulai tahun 1927 hingga 1937, ia bekerja sebagai seorang amanuensis di School tot Opleiding van Inlandsche Artsen.[2] Pada awal dekade 1930-an, Wijnhamer, yang biasa dikenal sebagai Pah Wongso,[a] menjadi diakui di Jawa Barat atas karya-karya sosialnya, yakni mempromosikan monogami dan kepercayaan pada metode pengobatan Barat, serta perlawanan terhadap perjudian, penggunaan candu, dan konsumsi minuman keras. Dalam menyampaikan pesan-pesannya, ia sering menggunakan wayang golek Sunda, karena masyarakat setempat umumnya tidak dapat membaca. Ia dapat berbicara dalam bahasa Belanda, Melayu, dan Jawa dengan fasih, serta sedikit dapat berbicara dalam bahasa Tionghoa dan Jepang. Kerja sosialnya tersebut umumnya didanai dengan pekerjaannya sehari-hari, yakni menjual kacang goreng.[4][5] Pada tahun 1938, Pah Wongso menikah dengan seorang wanita beretnis Tionghoa dan membuka sebuah sekolah di Gang Patikee untuk anak-anak miskin, terutama yang berasal dari keturunan campuran Tionghoa. Sekolah tersebut didanai dengan donasi. Ia lalu juga menjadi anggota Palang Merah cabang Hindia Belanda, dan dikenal atas karya kemanusiaannya.[5][6] Ia kemudian menyelenggarakan pasar malam di sejumlah kota di Hindia Belanda (termasuk di Yogyakarta, Semarang, dan Surabaya), mengadakan lelang, serta menjual minuman dan makanan ringan guna mengumpulkan uang untuk membantu Tiongkok yang sedang berperang melawan Jepang.[6] Pendirian sekolah dan popularitasSetelah salah satu pasar malam tersebut, di Yogyakarta, Pah Wongso ditangkap atas tuduhan menulis sebuah surat ancaman kepada Liem Tek Hien, yang menolak untuk membayar sebuah tongkat berjalan dengan harga f.10, karena ia tidak merasa membelinya. Pah Wongso lalu ditahan di Penjara Struiswijk di Batavia.[6][7][8] Ia dituduh melakukan "pemerasan dan perlakuan tidak menyenangkan".[b][9] Kasus tersebut pun menjadi sorotan bagi kalangan etnis Tionghoa di Hindia Belanda, dan majalah Keng Po kemudian mengumpulkan sumbangan untuk membela Pah Wongso. Pada pertengahan bulan Juni 1938, telah berhasil terkumpul sumbangan sebanyak lebih dari f.1.300, dan pada akhir bulan Juni 1938, telah mencapai f.2.000.[9] Kasus tersebut lalu dibawa ke pengadilan pada tanggal 24 Juni 1938. Walaupun Liem menyesal telah melaporkan Pah Wongso ke polisi, jaksa tetap menuntut hukuman dua bulan penjara, sementara penasehat hukum meminta agar Pah Wongso dibebaskan.[7][10][8] Akhirnya, pada tanggal 28 Juni 1938, hakim memberikan hukuman satu bulan penjara – setara dengan lama penahanan Pah Wongso – dan ia pun dibebaskan.[11] Pah Wongso lalu mengajukan banding atas hukumannya, dan meminta untuk dibebaskan.[12] Pada bulan Agustus 1938, hukumannya dikurangi menjadi ganti rugi sebesar 25 sen.[8] Sumbangan pembelaan yang dikumpulkan oleh Keng Po, yang berjumlah f.3.500 pada bulan Agustus 1938, kemudian dialihkan untuk pembangunan sebuah sekolah.[11] Pada tanggal 8 Agustus 1938, sekolah Crèches Pah Wongso untuk pemuda miskin pun dibuka di Jl. Blandongan nomor 20, Batavia.[13][14] Pada akhir tahun 1938, Pah Wongso berpartisipasi dalam sebuah gerakan untuk melawan penggunaan candu dan ditampilkan pada sebuah terbitan khusus dari Fu Len.[15][16] Pada tahun 1939, Pah Wongso mengembangkan sekolahnya di Blandongan, sehingga juga dilengkapi dengan sebuah tempat pelatihan kerja. Didirikan dengan biaya sebesar f.1.000, tempat pelatihan kerja tersebut terletak di depan sekolah, dan pada bulan November 1939, tempat tersebut telah melatih 22 orang pencari kerja. Sementara itu, Crèches Pah Wongso melayani lebih dari 200 orang pelajar keturunan Tionghoa dan pribumi.[17] Ia juga terus menyuarakan tentang buruknya kondisi kerja di Hindia Belanda, dengan memberikan sebuah ceramah kepada 1,000 orang penonton di Queens Theatre di Batavia pada bulan Oktober 1939. Ia pun masih sangat dikenal di kalangan etnis Tionghoa.[18] Pada tahun 1941, Star Film membuat dua film yang dibintangi oleh Pah Wongso untuk memanfaatkan popularitasnya. Film pertama, Pah Wongso Pendekar Boediman, menampilkannya sebagai seorang penjual kacang tanah yang sedang menyelidiki pembunuhan seorang haji kaya.[19][20][21] Film tersebut pun sangat populer, walaupun jurnalis Saeroen menyatakan bahwa popularitas tersebut terjadi karena Pah Wongso memang populer di kalangan masyarakat Tionghoa.[22] Film keduanya, sebuah film komedi yang diberi judul Pah Wongso Tersangka, menampilkan Pah Wongso sebagai seorang tersangka dalam sebuah penyelidikan. Film tersebut dirilis pada bulan Desember 1941.[23] Dalam tulisannya pada majalah Pertjatoeran Doenia dan Film, "S." pun memuji pengenalan komedi pada industri film Hindia Belanda, dan berharap bahwa film tersebut dapat "membikin orang tertawa terpingkal-pingkal"[24] Kehidupan selanjutnyaPada bulan Maret 1942, Kekaisaran Jepang menduduki Hindia Belanda. Pah Wongso lalu ditangkap di Bandung pada tanggal 8 Maret 1942,[1] dan kemudian ditahan selama tiga tahun di sejumlah kamp konsentrasi di Asia Tenggara, seperti di Thailand, Singapura, dan Malaya.[25] Ia lalu kembali ke Nusantara yang telah merdeka dan dikenal sebagai Indonesia pada tahun 1948. Ia kemudian mendirikan kantor sosial "Tulung Menulung";[26]dan bekerja pada Bond Motors cabang Jakarta.[27] Pada pertengahan dekade 1950-an, Pah Wongso bertemu dengan Presiden Soekarno,[28] dan pada tahun 1957, sebuah biografi mengenai Pah Wongso juga mulai dijual.[29] Ia dan istrinya, Gouw Tan Nio (yang juga dikenal sebagai Leny Wijnhamer) lalu dikaruniai anak kelima pada tanggal 3 Februari 1955.[30] Pah Wongso kemudian melanjutkan mengumpulkan uang untuk Palang Merah dengan cara menjual kacang goreng.[31] Ia juga melanjutkan mengoperasikan sekolahnya di Blandongan, serta tempat pelatihan kerjanya, di mana para pemuda dilatih agar dapat bekerja sebagai asisten rumah tangga, pekebun, dan pelayan hotel, guna kemudian dipertemukan dengan orang-orang yang berminat untuk mempekerjakan mereka. Sejumlah murid Pah Wongso bahkan berasal dari luar Jawa. De Nieuwsgier pernah menuliskan sebuah cerita mengenai seorang pria muda asal Bengkulu yang datang ke Jawa untuk belajar, tetapi semua barangnya dirampok ketika ia telah tiba di Jakarta, dan kemudian dibantu oleh Pah Wongso untuk mencari pekerjaan.[32] Pah Wongso lalu melanjutkan mengoperasikan sekolah dan tempat pelatihan kerja miliknya melalui Yayasan Pah Wongso hingga dekade 1970-an. Ia pun menyatakan bahwa yayasannya telah membantu 1.000 orang wanita muda dan 11.000 orang pria muda untuk mendapatkan pekerjaan.[14] Iklan untuk menawarkan lulusan dari tempat pelatihan kerja milik Pah Wongso diterbitkan dalam bahasa Indonesia, Inggris, dan Belanda.[33] Tempat pelatihan kerja milik Pah Wongso juga menyediakan layanan percetakan; penulisan surat dalam bahasa Inggris, Belanda, dan Indonesia;[34] serta pementasan wayang dengan empat jenis wayang.[35] Pah Wongso akhirnya meninggal di Jakarta pada tanggal 13 Mei 1975.[27] Catatan penjelas
Referensi
Kutipan karya
Bacaan tambahan
Pranala luar
|