Pabrik Gula BanjardawaPabrik Gula Banjardawa atau Suikerfabriek Bandjardawa merupakan salah satu perusahaan industri gula yang pernah berdiri di wilayah Pemalang pada masa Hindia Belanda. Lokasi Pabrik Gula Banjardawa ini berada di desa Banjardawa, Kecamatan Taman, Kabupaten Pemalang. Berdirinya Pabrik Gula BanjardawaSF Bandjardawa dibangun pada tahun 1844 dan merupakan pabrik gula terbesar di wilayah Pemalang pada saat itu.[1] Keberadaan Pabrik Gula Banjardawa ini termuat dalam beberapa surat kabar, majalah, dan buku-buku Belanda. Pada tahun 1848, hasil produksi gula dari Pabrik Gula Banjardawa tercantum dalam buku Tijdschrift voor Neerland's Indië.[2] Kemudian ditahun 1850, PG Banjardawa bersama dengan PG Comal tercantum juga dalam surat kabar Javasche courant.[3] Pada tahun 1884, pemilik Pabrik Gula Banjardawa adalah G. von Buitsingslöwen dan EH Bumaby Lautier sebagai administratornya, hal ini termuat dalam buku Adresboek van Nederlandsch-Indië voor den handel.[4] Kemudian pada surat kabar Soerabaijasch handelsblad yang terbit pada tahun 1887 itu mencantumkan nama Pabrik Gula Banjardawa bersama dengan Pabrik Gula Comal, Lemahabang, Balapulang, Maribaya, dan Pangkah.[5] Pada tahun 1888 bangunan Pabrik Gula Banjardawa direnovasi total oleh Javasche Cultuur Maatschappij, bangunan pabrik diperbesar dan mesin-mesin serta peralatannya juga diperlengkap, sejumlah fasilitas pendukung pabrik juga ditambahkan.[6] Kemudian dalam surat kabar De nieuwe vostenlanden yang diterbitkan pada hari Rabu 24 Mei 1893 terdapat berita kematian de Jong yang merupakan salah satu karyawan PG Banjardawa, de Jong meninggal di Tegal pada Sabtu malam (20 Mei 1893) akibat dari infeksi usus.[7] Pada surat kabar De Locomotief yang terbit pada 12 Januari 1894 mengatakan bahwa salah satu cerobong asap Pabrik Gula Banjardawa ambruk, tidak ada korban jiwa dalam peristiwa itu.[8] Terdapat juga iklan lowongan pekerjaan PG Banjardawa pada Surat kabar De Locomotief yang terbit pada 3 Juli 1894, dalam iklan tersebut mengatakan dibutuhkannya seorang pengawas yang fasih berbahasa Jawa untuk ditempatkan di Pabrik Gula Banjardawa.[9] Hasil produksi Pabrik Gula Banjardawa pada tahun 1899 mencapai 151 pikul gula, hal ini termuat dalam surat kabar De Locomotief yang terbit pada 28 Juli 1899.[10] Kemudian pada surat kabar Sumatra Courant: Niuws Handels en Advertentieblad yang terbit pada 26 September 1899 menyebutkan bahwa telah terjadi peristiwa kebakaran di Pabrik Gula Banjardawa, perusahaan gula Banjardawa ditaksir mengalami kerugian mencapai 6.000 - 7.000 gulden.[11] Pada tahun 1905, perusahaan gula Banjardawa membangun jalur kereta lori yang digunakan untuk mengangkut tebu dari perkebunan menuju pabrik. Dalam surat kabar De Locomotief yang terbit pada 24 Maret 1905 terdapat iklan lowongan pekerjaan untuk ditempatkan sebagai masinis di PG Banjardawa.[12] Pada surat kabar De Locomotief juga yang terbit pada 19 Juli 1906, menyebutkan bahwa orang-orang mengalami banyak masalah dari penonjolan diatas tanah rel kereta lori milik Pabrik Gula Banjardawa. Sulit bagi gerobak dan kendaraan lain untuk menyeberangi rel lori, akibatnya banyak kendaraan yang tersangkut pada rel lori. Harus diperlukan menaikkan ketinggian jalan di sepanjang rel lori ini.[13] Dalam surat kabar Bataviaasch handelsblad yang diterbitkan pada 19 September 1906 mengatakan bahwa G. Th. J. Fabius yang merupakan administrator Pabrik Gula Banjardawa ini meninggal dunia di Semarang karena tifus.[14] Beberapa bulan kemudian administrator Pabrik Gula Banjardawa dijabat oleh Johannes Hendrik Willem Graaf Van den Bosch. Hasil produksi Pabrik Gula Banjardawa pada tahun 1910 mencapai 122.621 pikul.[15] Pada tahun 1911 terdapat usulan bahwa Perusahaan gula banjardawa ini akan diperbesar bangunan pabriknya dan lahan perkebunan tebu juga diperluas mencapai 1200 bau atau mendirikan sebuah perusahaan industri gula yang baru dengan dana mencapai 1.250.000 gulden.[16] Pada tahun 1912, Pabrik Gula Banjardawa ini akhirnya diperbesar lagi bangunannya, sejumlah fasilitas juga ikut diperbarui. Hal ini menjadikan Pabrik Gula Banjardawa menjadi pabrik gula terbesar di Pemalang. Pada surat kabar De Locomotief yang terbit pada 6 Mei 1920 terdapat iklan lowongan pekerjaan dari pabrik Gula bandjardawa yang membutuhkan seorang ahli kimia.[17] Pada 15 November 1920 sebuah telegraf yang mengatakan bahwa Mr. C. Van der Post yang merupakan administrator PG Banjardawa saat itu meninggal dunia Ketika ia sedang berada di Den Haag, Belanda. Hal itu disampaikan dari pesan telegraf yang diterima oleh C. Van Haastert yang kemudian menjadi pengurus sementara PG Banjardawa.[18] Dalam surat kabar De Locomotief yang terbit pada 18 Januari 1921 terdapat sebuah iklan lowongan pekerjaan sebagai operator di timbangan tebu PG Banjardawa.[19] Iklan Lowongan pekerjaan Pabrik Gula Banjardawa juga tertera pada surat kabar De Indische Courant yang diterbitkan pada 10 Oktober 1922, iklan lowongan kerja pada surat kabar tersebut menyebutkan dibutuhkan seorang kepala pegawas lapangan dibagian pemotongan untuk ditempatkan di Pabrik Gula Banjardawa.[20] Kemudian pada surat kabar Apeldoornsche Courant yang diterbitkan pada 12 Januari 1924 itu mengatakan bahwa telah ditemukan sebuah tengkorak kepala manusia di sebuah taman alang-alang di desa Kabunan. Tengkorak kepala tersebut teridentifikasi sebagai orang Jawa yang dibunuh oleh empat rekannya yang bekerja sebagai pembabat di perkebunan tebu perusahaan gula Banjardawa. Selang beberapa waktu kemudian potong tubuh lainnya juga ditemukan tidak jauh dari lokasi kejadian penemuan tengkorak.[21] Pada Surat kabar Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië yang diterbitkan pada 28 Juni 1927 menyebutnya tentang kepengurusan atau karyawan yang menjabat di beberapa perusahaan industri gula. Di PG Banjardawa sendiri J.J. Van Leeuwen bertugas sebagai Pengawas perkebunan tebu, J.H. Koch sebagai kepala perkebunan, dan H. Lovink sebagai ahli kimia.[22] Dalam surat kabar De Locomotief yang diterbitkan pada 4 Oktober 1928 Menyebutkan bahwa S. Bouma Westerban yang merupakan administrator Pabrik Gula Pagongan akan dipindahkan ke Pabrik Gula Banjardawa sebagai administrator juga. Sebagai gantinya administrator PG Pagongan dijabat oleh Mr. J.J. Geul.[23] Dalam surat kabar De Indische Courant yang diterbitkan pada 5 Maret 1930 sebuah peristiwa runtuhnya atap dari sebuah rumah batu yang letaknya dekat dengan rumah administrator PG Banjardawa. Peristiwa itu terjadi pada saat acara pementasan wayang wong berlangsung di rumah tersebut. 20 orang mengalami luka berat, 20 orang tersebut kemudian di rawat ke klinik Pabrik Gula Banjardawa.[24] Kemudian dalam surat kabar De Locomotief yang terbit pada 16 Agustus 1930 telah terjadi pertengkaran antara seorang mandor kebun dengan seorang kuli Pabrik Gula Banjardawa di desa Sokawangi. Keduanya bertengkar karena masalah upah kerja. Tukang kuli tersebut melukai seorang mandor dengan menggunakan cangkul, peristiwa ini kemudian sedang diselidiki.[25] Pada tahun 1932 Pabrik Gula Banjardawa mengalami penurunan produksi gula sekitar 40%. Hal tersebut terjadi karena pada saat itu telah terjadi krisis malaise yang membuat ekonomi dunia mengalami penurunan secara drastis, sejumlah perusahaan mengalami kerugian dan bahkan bangkrut yang mengakibatkan ditutupnya perusahaan-perusahaan. Termasuk juga Pabrik Gula Banjardawa sendiri yang berhenti beroperasi dipertengahan tahun 1932.[26] Kemudian Pabrik Gula Banjardawa ini kembali beroperasi ditahun 1934, namun produksi saat itu masih sedikit.[27] Beberapa tahun kemudian perusahaan gula Banjardawa ini mulai bangkit dari krisis ekonomi. Berakhirnya Pabrik Gula BanjardawaKedatangan Jepang ditahun 1942 membuat Pabrik Gula Banjardawa berhenti beroperasi, saat itu PG Banjardawa mengalami pengrusakan bangunan dan penjarahan oleh pasukan Jepang. Setelah masa Kemerdekaan Indonesia, Belanda saat itu kembali lagi ke negeri ini berusaha untuk menancapkan koloninya lagi, Belanda melancarkan serangannya itu berhasil menduduki wilayah Indonesia. Pada saat itu semangat anti Belanda diwujudkan dengan perlawanan radikal yang dikenal sebagai Peristiwa Tiga Daerah yaitu revolusi yang terjadi di wilayah Brebes, Tegal, dan Pemalang. Termasuk juga Pabrik Gula Banjardawa pada saat itu terkena dampak dari peristiwa itu, pabrik gula ini mengalami pengrusakan dan penjarahan. Pada bulan Juli 1947 Belanda melancarkan serangannya yang dikenal dengan nama Agresi Militer Belanda 1, terjadilah pertempuran antara Belanda dengan warga Pemalang yang berusaha mempertahankan wilayah Pemalang. Sayangnya Belanda berhasil kembali menduduki Pemalang dan sekitarnya. Kontrol Pabrik Gula Banjardawa pun berhasil direbut kembali Belanda. Namun serangan terhadap Belanda di sekitar area PG Banjardawa kerap kali terjadi. Puncak serangan terjadi pada awal tahun 1949 yang mengakibatkan hancur Pabrik Gula Banjardawa. Pada surat kabar Algemeen Handelsblad yang diterbitkan pada 23 Februari 1949 mengatakan telah terjadi penggerebekan massal di pabrik gula Banjardawa oleh penduduk sekitar, beberapa orang Belanda ikut terbunuh dalam peristiwa itu, K. Van Der Rest yang merupakan karyawan PG Banjardawa juga ikut terbunuh bersama beberapa karyawan lainnya. Massa merusak dan menjarah seisi pabrik secara besar-besaran. Bangunan Pabrik Gula Banjardawa pada akhirnya hancur lebur dengan tanah oleh massa pada peristiwa itu.[28][29] Pada tahun 1957, Komplek lahan bekas Pabrik Gula Banjardawa ini dinasionalisasikan.Jalur kereta lori milik Pabrik Gula Banjardawa yang digunakan untuk mengangkut tebu dari perkebunan kemudian diambil alih oleh Pabrik Gula Sumberharjo, beberapa jalur kereta lori ini tetap digunakan sampai berhenti operasinya Pabrik Gula Sumberharjo ditahun 2016. Area lahan bekas Pabrik Gula Banjardawa beralih fungsi menjadi pemukiman penduduk. Hingga saat ini lokasi komplek Pabrik Gula Banjardawa menjadi Lapangan Banjardawa, SMPN 1 Taman, SMPN 2 Taman, SMP PGRI 3 Taman, SDN 02 Banjardawa, kantor desa Banjardawa, dan BRI Unit Jebed. Yang tersisa dari Pabrik Gula Banjardawa hanyalah bekas fondasi dari di belakang SMPN 2 Taman. GaleriReferensi
|