Mukim (Aceh)
Mukim adalah sebuah tingkatan dalam pembagian daerah berdasarkan kekuasaan feodal Uleebalang. Sistem ini diterapkan pada zaman Kesultanan Aceh.[butuh rujukan] Mukim dianggap sebagai kesatuan masyarakat hukum dibawah Kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa Gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu yang dipimpin oleh Imum Mukim dan berkedudukan langsung dibawah Camat.[1] Latar belakangMukim berasal dari bahasa Arab, dan diartikan sebagai suatu distrik yang terdapat satu mesjid yang dipakai bersama-sama untuk Sembahyang Jumat. Menurut KBBI Mukim dapat berarti orang yang tetap tinggal di Mekkah, penduduk tetap;Tempat tinggal, kediaman; Daerah (dalam lingkungan suatu Masjid; Kawasan.[2] Setelah Nota Kesepahaman atau lebih dikenal dengan MoU Helsinki antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka ditanda tangani pada tanggal 15 Agustus 2005, Mukim kembali digunakan dalam struktur Pemerintahan Aceh.[3] Pemimpin Mukim disebut Imum Mukim. Imum Mukim dipilih secara Musyawarah Mukim. Pemilih yang mempunyai hak untuk memilih mukim adalah:[4]
Mukim terbentuk dari minimal empat gampong. Setiap mukim dipimpin oleh seorang Ulèëbalang atau seorang Imum. Beberapa mukim membentuk suatu "Nanggroë" yang dipimpin oleh Ulèëbalang. Dalam bekas Kesultanan Aceh, di Aceh Besar sekitarnya, dibentuklah federasi mukim yang disebut Sagoë Mukim atau Sagi Mukim. Federasi ini disebut juga dengan Aceh Lhèë Sagoë. Mukim Sagoë dipimpin oleh seorang Panglima Sagoë atau Panglima Sagi. Ketiga Sagoë Mukim itu adalah:
Sagi XXV Mukim dan Sagi XXVI Mukim daerahnya dipisahkan oleh Krueng Aceh. Sagi XXV Mukim di kiri dan berpusat di mesjid Indrapurwa Pancu.[5] Sagi XXVI Mukim dikanan dan berpusat di mesjid Ladong. Sagi XXII Mukim menguasai daerah di bagian selatan dan berpusat di mesjid Indrapuri.[6] Sejarah Aceh Lhèè SagoëPada masa Sultanah Tajul Alam Safiatuddin memimpin,[7] Syeikh Abdur Rauf mengajukan sebuah konsepsi reformasi tata negara Kerajaan Aceh untuk merombak sistem pewarisan jabatan Sultan. Dikarenakan ada kejadian di mana Aceh pernah dipimpin oleh Sultan/Sultanah yang tidak cakap, sehingga menimbulkan konflik-konflik. Dalam konsepsi itu, Syeikh Abdur Rauf mengatur, ketiga pemimpin Sagi (Sagoë) bersama Qadhi Malikul Adil berhak mengangkat dan menurunkan sultan dari jabatannya. Sementara daerah di luar Aceh Lhèè Sagoë diberi hak otonomi yang luas, di mana kepala daerahnya bertindak sebagai sultan kecil yang tunduk kepada Sultan Aceh Lihat jugaCatatan
|