Moedomo Soedigdomarto
Prof. Dr. Moedomo Soedigdomarto (29 November 1927 – 5 November 2005) adalah seorang tokoh pendidikan dan penelitian serta guru besar Matematika Institut Teknologi Bandung. Riwayat hidupMoedomo termasuk generasi awal lulusan Bagian Matematika Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam (FIPIA) Universitas Indonesia di Bandung (sebelum menjadi Institut Teknologi Bandung pada tanggal 2 Maret 1959).[1] Pada tahun 1959 di usianya yang ke-32, Moedomo meraih gelar doktor dari University of Illinois dengan waktu studi hanya dua tahun, dengan disertasi yang berjudul "A Representation Theory for the Laplace Transform of Vector‐Valued Functions". Ia adalah putera Indonesia ketiga yang meraih gelar doktor dalam bidang Matematika setelah Dr. G.S.S.J. Ratulangie alias Dr. Sam Ratulangi dari Sulawesi Utara (University of Zürich - 1919 dengan disertasi berjudul "Kurven‐Systeme in vollständigen Figuren") dan Prof. Handali (dosen ITB) (FIPIA‐ITB - 1957 dengan disertasi berjudul "On the Zeros of Polynomials of the Form βf(z) – zf’(z)").[3] Sekembalinya dari Amerika Serikat pada tahun 1961 di usianya yang ke-34, Moedomo diangkat sebagai guru besar ITB.[4] Ia telah berkontribusi banyak terhadap ITB dengan sistem akademiknya. Pendidikan S1 dengan waktu 4,5 tahun merupakan salah satu gagasannya yang kemudian diterapkan juga oleh perguruan tinggi lain, dan kemudian diperpendek lagi menjadi 4 tahun seperti sekarang.[5] Paper pertama karya putra Indonesia yang terekam di Mathematical Reviews adalah paper Moedomo dan J. J. Uhl Jr. "Radon‐Nikodym theorems for the Bochner and Pettis integrals"[6] yang dipublikasikan di Pacific Journal of Mathematics pada tahun 1971 (Mathematical Reviews merupakan pangkalan data karya matematika terlengkap, yang dikelola oleh American Mathematical Society).[3] Ia juga ikut berperan dalam sistem penerimaan mahasiswa baru SKALU, yang sekarang berubah menjadi SPMB/SNMPTN. Pengaruh ujian seleksi yang berdampak pada perilaku pragmatis siswa SMA dalam belajar saat ini dikeluhkannya. Prof. Moedomo selalu mengatakan bahwa sudah saatnya sistem ujian itu ditinjau ulang, karena pengaruh buruknya jauh lebih besar daripada baiknya. Siswa dan masyarakat tidak lagi menghargai proses belajar, tetapi hanya berusaha lolos ujian itu saja. Makna proses belajar pada siswa-siswa sekarang diganti dengan jalan pintas cara memilih jawaban yang tepat. Ini yang membuat Pak Moedomo sangat sedih jika berbicara keadaan pendidikan menengah saat sekarang.[5] Pada tanggal 11 dan 12 Februari 1978 diadakan rapat Senat Guru Besar untuk mencari solusi atas adanya "masalah antara ITB dan Pemerintah" yang menyebabkan terjadinya pendudukan kampus kembali oleh ABRI. Dalam rapat terjadi perdebatan-perdebatan seru dan Senat Guru Besar terbagi menjadi dua. Pada tanggal 12 Februari 1978 siang telah dicapai kesepakan Senat untuk membentuk Dewan Pimpinan ITB, suatu kepemimpinan ITB yang kolektif, sebagai solusi terhadap "masalah ITB." Dewan ini diketuai oleh Rektor Iskandar Alisjahbana, dengan anggota-anggota Soedjana Sapi'ie, Moedomo, Wiranto Arismunandar, dan Djuanda Suraatmadja. Hasil kesepakatan Senat Guru Besar ini disampaikan sebagai rekomendasi kepada Menteri Departemen P & K Syarif Thajeb dengan harapan dapat dikukuhkan menjadi ketetapan. Tidak lama kemudian, Ketetapan Menteri diterima tanpa nama Iskandar Alisjahbana sebagai Ketua Dewan Pimpinan. Dengan ketetapan ini, Iskandar Alisjahbana telah diberhentikan oleh Syarif Thajeb sebagai Rektor ITB.[7] Pada hari Kamis, 16 Februari 1978, Iskandar Alisjahbana menyerahkan jabatannya kepada Rektorium yang diketuai Dr. Soedjana Sapi'ie, dengan anggota Prof. Dr. Moedomo; Prof. Ir. Wiranto Arismunandar, MSME; dan Ir. Djuanda Suraatmadja.[8] Namun kemudian Rektorium ini juga harus mengakhiri tugasnya pada tanggal 30 Mei 1979 dan Prof. Dr. Doddy Achdiat Tisna Amidjaja yang pada saat itu menjabat sebagai Dirjen Dikti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, diberi tugas sebagai Pejabat Sementara Rektor ITB pada periode 30 Mei 1979 - 22 November 1980. Selama masa kariernya Prof. Moedomo telah memegang jabatan yang penting di ITB diantaranya sebagai Ketua Jurusan Matematika, Pembantu Rektor Urusan Akademik ITB pada tahun 1964, Dekan FMIPA ITB pada tahun 1973, Programme Officer Program Kerja sama antara Perguruan Tinggi di Malaysia dan ITB pada tahun 1973, dan Ketua Program Pascasarjana ITB Tahun 1984. Tahun 1995, Moedomo diangkat sebagai Guru Besar Emeritus oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.[4] Pada tahun 1998, bekas murid-muridnya mengadakan rangkaian seminar yang didedikasikan untuknya. Seminar dengan topik yang beragam ini menggambarkan keberhasilannya mendidik murid-muridnya, serta mencitrakan karakternya yang menyukai mempelajari beragam topik hal. Pada saat ia mengungkapkan betapa bangganya ia karena murid-muridnya telah melebihi ia sendiri, ia dengan terisak meneteskan air mata. Ia memang tidak takut mengekspresikan perasaannya di hadapan orang lain.[5] Pada hari Sabtu, 5 November 2005 pukul 00.15, doktor ketiga Indonesia bidang matematika ini meninggal dunia. Jenazah disemayamkan di Aula Barat ITB pada pukul 12.00 dan dimakamkan di TP ITB Cibarunai Bandung.[9] Sesuai Keputusan Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional No 54a/DIKTI/Kep/2006 yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Satryo Soemantri Brodjonegoro pada tanggal 10 Oktober 2006, Prof. Moedomo (alm) bersama 13 guru besar ITB lainnya (bersamaan dengan 269 guru besar perguruan tinggi lainnya) menerima penganugerahan Anugeraha Sewaka Winayaroha. Selain memperoleh medali, seluruh penerima penghargaan memperoleh piagam dan insentif masing-masing sebesar Rp 50 juta.[10] Catatan
Rujukan
Pranala luar
|