Mitologi HetMitologi Het dan Agama Het merupakan keyakinan dan praktik keagamaan Bangsa Het, suatu bangsa yang mendirikan sebuah kerajaan yang berpusat di tempat yang kini Turki dari 1600 SM hingga 1180 SM. Kebanyakan narasi yang mengandung mitologi Het telah raib, dan penggalan-penggalan yang bisa memberikan gambaran yang berimbang mengenai agama Het sangatlah terbatas di antara tablet-tablet yang ditemukan di ibu kota Het di Hattusa dan situs Het lainnya. Akibatnya, "tidak ada kitab suci resmi, tidak ada informasi atau percakapan teologis, tidak ada petunjuk ibadah".[1] Beberapa dokumen keagamaan bagian dari kumpulan tulisan yang digunakan para juru tulis muda berlatih, dan masih utuh, kebanyakan berasal dari beberapa dekade terakhir sebelum pembakaran terakhir situs-situs tersebut.[per kapan?] Para penulis di lingkungan administrasi kerajaan, yang sebagian arsipnya bertahan, adalah birokrasi, mengorganisasikan dan memelihara tanggung jawab kerajaan di bidang-bidang yang kemudian dianggap sebagai bagian dari agama dewasa ini: organisasi kuil, administrasi kultus, laporan para peramal, menjadi topik utama tulisan-tulisan yang bertahan.[2] Pemahaman terhadap mitologi Het bergantung pada pembacaan ukiran-ukiran batu yang masih utuh, menafsirkan ikonologi yang terlukis di batu-batu segel, menafsirkan rancangan dasar kuil-kuil: juga beberapa lukisan dewa-dewa, bangsa Het kerap memuja dewa mereka melalui media batu Huwasi, yang mewakili para dewa dan diperlakukan sebagai benda suci. Dewa sering kali digambarkan berdiri di atas punggung binatang mereka masing-masing, atau dikenali dalam wujud binatang mereka.[3] IkhtisarWalaupun turunan dari agama Mesopotamia kuno, agama bangsa Het dan Luwia mempertahankan unsur-unsur Agama Proto-Indo-Eropa yang direkonstruksi. Sebagai contoh, Teshub, sang dewa petir dan perselisihannya dengan ular Illuyanka menyerupai konflik antara Indra dan ular kosmik Vritra dalam mitologi Weda, atau Thor dan ular Jörmungandr dalam mitologi Nordik. Mitos ini juga mirip dengan perjuangan sehari-hari antara Ra dan ular Apep dalam mitologi Mesir. Mitologi Het juga dipengaruhi langsung oleh Bangsa Hurri, peradaban terdekat tidak jauh dari Anatolia, di mana Bangsa Het berada. Bangsa Hurri ini sangat erat keterkaitannya sehingga Oxford University Press menerbitkan panduan mitologi dan mengelompokkan mereka bersama-sama sebagai "Hittite-Hurrian".[4] Sayangnya, kebanyakan pengetahuan mengenai kaum Het hanya berasal dari sumber-sumber yang bersifat seni, bukan tekstual, akibatnya sulit memastikan detail-detail spesifik tentang topik ini.[5] Tablet-tablet Het yang berhubungan dengan mitologi kebanyakan berasal dari akhir masa Kerajaan Het Lama, di luar itu sumbernya terbatas. Kumpulan dokumen-dokumen Het yang ditemukan disebut "daftar kultus" dan berfaedah untuk mempelajari bagaimana mitos dan praktik Het diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.[6] Para pendeta dan situs-situs pemujaanTokoh liminal yang memediasi dunia dewa dan umat manusia yang terhubung erat adalah sang raja dan pendeta; dalam sebuah ritual yang berasal dari periode Kerajaan Het Lama:
Bangsa Het tidak melakukan ritual secara terjadwal untuk memuja para dewa, tetapi melakukannya sebagai tanggapan ketika masa-masa sulit atau adanya kesempatan.[1] Mitos dan ritual ada kaitan erat, karena banyak ritual yang bersumber dari mitos, dan sering mempertunjukkan riwayat-riwayat.[8] Kebanyakan ritual dilaksanakan di dalam terowongan, tempat yang diciptakan sebagai pertanda kedekatan antara manusia dan dewa, terutama yang bersemayam dalam bumi, atau terkait dengan bumi. Jenis ritual ini dikenal sebagai "nekromansi" karena mereka berusaha berkomunikasi dengan dewa Dunia Bawah dan memanggilnya ke dunia yang hidup. Kota Arinna, sehari perjalanan dari Hattusa, boleh jadi pusat pemujaan utama bangsa Het, dan dewi matahari utama mereka, dikenal sebagai dUTU URUArinna "dewi matahari Arinna".[9] Catatan-catatan yang ditemukan dalam daftar-kultus menunjukkan bahwa pemujaan dan praktik lokal juga digiatkan. Tradisi dan status pemujaan lokal selalu berubah karena kurangnya tuntunan baku untuk pelaksanaan ritual. Festival-festival kecil dan waktu ibadah tidak selalu membutuhkan kehadiran pendeta-raja, sehingga tempat-tempat lokal lebih banyak keleluasaan ketika tiba saatnya menyembah para dewa, namun raja membangun suatu tempat untuk mengamati setiap situs dan kuil pemujaan di negerinya, karena itu adalah tugasnya kepada para dewa dan bangsanya. Setelah sang raja meninggal, ia didewakan, karena melayani umatnya dan menyembah para dewa dengan setia. Tanggung jawab yang diamanatkan pada pendeta-raja tidaklah sepihak: para dewa harus mengurus masyarakat jika mereka telah disembah dengan benar. Para dewa mempunyai banyak kekuatan, tetapi tanpa pengamalan dan ritual khusus dari manusia, kekuatan mereka tidak ada fungsinya. Raja Mursili II bermohon kepada para dewa atas nama rakyatnya, ketika mata pencaharian pertanian mereka sedang susah:
Tak diragukan lagi, menjalin interaksi yang baik dengan para dewa yang bertalian erat dengan alam dan pertanian, seperti Arinna, sangatlah esensial. Jika keseimbangan antara rasa hormat dan kritik secara signifikan bergeser, bisa diartikan adanya ketidaksenangan di mata para dewa, dan kemungkinan terjadinya musim panen yang gagal. Terlepas mara bahaya ini, bangsa Het umumnya berkomunikasi dengan para dewa secara informal, dan perorangan biasanya berdoa pada para dewa tanpa diiringi ritual atau bantuan para pendeta jika hanya acara biasa. Bangsa Het juga mempraktikkan asosiasi dengan dewa dengan kebiasaan yang mirip seperti bangsa Mesir kuno, menggunakan kehendak para dewa untuk membenarkan tindakan manusia. Para dewa dan mitos merekaMirip dengan kerajaan lain pada zaman itu, bangsa Het memiliki kebiasaan mengadopsi dewa dari dewa-dewa bangsa lain yang mereka jumpai, seperti dewi Ishtar dari Mesopotamia, yang dirayakan di kuilnya yang terkenal di Ain Dara. Bangsa Het merujuk pada "seribu dewa" mereka sendiri, jumlahnya sangat banyak yang muncul dalam ukiran tetapi kini hanya sebatas nama-nama.[11] Keragaman ini dianggap bermula dari resistensi Het atas sinkretisme. menurut pengamatan Gary Beckman, "banyak kota-kota Het yang mempertahankan dewa badai masing-masing, menampik untuk menyebut dewa-dewa lokal tersebut sebagai perwujudan dari salah satu tokoh bangsa mereka".[12] Tak diragukan lagi keragaman ini merupakan artefak suatu tingkatan lokalisasi sosial-politik dalam "kerajaan" Het yang tidak mudah direkonstruksi. Misalnya, di pusat pemujaan Zaman Perunggu di Nerik,[13] di sebelah utara ibu kota Hattusa dan Sapinuwa, orang Het dianggap suci bagi dewa badai setempat yang merupakan putra Wurusemu, dewi matahari dari Arinna: ia berdoa dari Hattusa:
Dewa cuaca diidentifikasi sebagai Gunung Zaliyanu dekat Nerik, yang bertanggung jawab menurunkan hujan ke lahan pertanian kota. Dari kelompoknya yang banyak, sedikit menonjol dibeberapa tempat: Tarhunt memiliki seorang putra, Telipinu dan seorang putri, Inara. Inara adalah dewa pelindung (dLAMMA) berkaitan dengan festival musim semi Puruli. Ishara adalah dewi sumpah; daftar dewa-dewa saksi perjanjian tampaknya mewakili dewa-dewa Het secara lebih jelas,[15] meskipun beberapa dewa yang terbukti kebenarannya tidak bisa dijelaskan. Suaminya adalah dewa matahari Hattic. Pasangan dewa ini kemungkinan dipuja dalam ruangan kembar kuil terbesar di Hattusa. Pada abad ke 13 SM, beberapa pergerakan eksplisit yang mengarah ke sinkretisme terlihat pada prasasti. Puduhepa, seorang ratu dan pendeta, mengatur dan merasionalkan agama rakyatnya.[16] Dalam sebuah prasasti dia berdoa:
Kumarbi adalah ayah dari Tarhunt; perannya dalam Kidung Kumarbi mengingatkan pada Kronus dalam Theogonia Hesiodos. Ullikummi adalah monster batu yang dilahirkan oleh Kumarbi, mengingatkan pada Tifon-nya Hesiodos. Dewa cuaca dan petir bangsa Luwia, Pihassassa, mungkin bermula dari Pegasus Yunani. Penggambaran hewan hibrida (seperti hippogriff, khimera, dll.) adalah khas untuk seni Anatolia pada periode tersebut. Dalam mitos Telipinu, lenyapnya Telipinu, dewa pertanian dan kesuburan menyebabkan hilangnya kesuburan, baik untuk tumbuhan maupun hewan. Hal iini mengakibatkan kerusakan dan keputusasaan di kalangan dewa dan manusia. Untuk menyudahi malapetaka dan kehancuran ini, para dewa mencari Telipinu tetapi tidak berhasil menemukannya. Hanya seekor lebah yang dikirim dewi Hannahannah yang berhasil menemukan Telipinu, yang menyengatnya dengan maksud agar dia terbangun. Tetapi malah membuat Telipinu semakin marah dan dia "membelokkan aliran sungai dan menghancurkan rumah-rumah". Pada akhirnya, Dewi Kamrusepa menggunakan penyembuhan dan sihirnya untuk menenangkan Telipinu dan setelahnya dia pulang lalu mengembalikan kehidupan tumbuh-tumbuhan dan kesuburan. Dalam referensi lain seorang pendeta memohon agar semua kemarahan Telipinu dikirim ke wadah perunggu di dunia bawah, supaya tidak ada yang lepas.[19] Banyak mitos Het melibatkan karakter pemeran penuh, biasanya karena permasalahannya memiliki efek yang meluas sehingga semua orang terlibat. Biasanya, solusi hanya dapat ditemukan dengan bekerja sama untuk mengatasi masalah tersebut, kendati ini adalah kisah etis yang kurang bijak dan lebih banyak epos berbasis aksi antar para pelakunya. Mitos lain yang mencerminkan gaya plot ini adalah "The Slaying of the Dragon." Mitos ini dibawakan selama ritual Tahun Baru, untuk memastikan kesuburan pertanian pada tahun berikutnya. Mitos ini mengisahkan ular (atau naga) yang mewakili "kekuatan jahat" yang mengalahkan Dewa Badai dalam suatu pertempuran. Dewi Inara kemudian muncul berencana mengelabui dan membunuh ular tersebut, dan menemui seorang manusia, Ḫupašiya, agar membantunya. Ḫupašiya, tentu enggan memberi bantuan tanpa imbalan, jadi dia meminta Inara untuk tidur dengannya sebelum melaksanakan rencana tersebut. Inara kemudian mengundang sang ular dalam sebuah pesta, membuatnya mabuk sehingga Ḫupašiya dapat mengikatnya. Dewa Badai kemudian melangkah masuk dan menghabisi ular tersebut. Sama seperti mitos Telipinu, manusia dimanfaatkan untuk membantu para dewa dalam alur cerita mereka, yang menekankan hubungan erat antara yang fana dan yang kekal. Manusia tidak memiliki banyak peran dalam cerita, tetapi kehadirannya adalah untuk membantu bukan merintangi. Ini juga menyoroti peranan yang dimainkan para dewi, dalam mitos dan kehidupan. Dewa-dewa yang berkuasa memancing konflik atau provokasi untuk menciptakan isu sentral dari masing-masing mitos, kemudian dewi-dewi yang membereskan dan menyelesaikan segalanya dengan kepandaian. Sayangnya, meskipun ada campur tangan mereka yang membantu, alam tidak dapat kembali ke status quo sampai dewa menyelesaikan langkah terakhir sebelum keadaan normal kembali. Dia harus bangun dan melanjutkan tugasnya, membunuh binatang buas, atau tindakan lain yang membuktikan bahwa kekuatannya melebihi yang lain. Mitos-mitos mengenai dewa-dewi yang pada awalnya bukan dari Het sering diadaptasi dan diasimilasikan. Dewi Mesopotamia Ishtar (Ištar) adalah salah satu dari banyak dewa yang diadopsi yang diasimilasikan ke dalam panteon Het melalui asosiasi dengan dewa-dewa yang serupa dan penyesuaian pada mitos-mitos mereka. Karena mitologi adalah bagian penting dari praktik kultus Het, pemahaman terhadap kekuatan dan sejarah Ishtar berguna dalam pengembangan ritual dan bacaan-bacaan doa kepadanya. Perubahan halus seperti ini juga dimungkinkan dengan penyerapan/asosiasi terdekatnya dari dewi lain, yaitu Anzili, serta Šawuška, dan Geštinanna. Dengan ciri-ciri kepribadian dari beberapa dewi lainnya, kekuatan Ishtar bertambah, begitu pula popularitasnya. Salah satu cara inovatif pemanfaatannya adalah ritual pemurnian seperti Allaiturahhi, di mana afinitasnya untuk dunia bawah dieksploitasi dan ditafsirkan agar membahagiakan pembaca dan memberinya peran sebagai pelindung, bukan korban, seperti dalam mitos Mesopotamia. Hubungan Ishtar dengan dunia bawah juga membuatnya menjadi dewa dunia bawah yang bernilai, terutama ketika afinitasnya yang lain untuk perang, seksualitas, dan sihir diperhitungkan. Kombinasi dari karakteristik ini meningkatkan pengaruhnya, karena kesuburan bumi adalah salah satu prioritas paling pokok bagi bangsa Het. Bangsa Het bahkan mengakui bahwa ia cukup menonjol dalam kebudayaan lain dan menciptakan ritual yang "memperlakukannya sebagai dewi antarbangsa".[20] Perbedaan antara dewa dari luar seperti Ishtar dihargai, meskipun ia telah disesuaikan untuk pemakaian bangsa Het. Daftar dewa Het
Lihat jugaCatatan
Wikimedia Commons memiliki media mengenai Hittite deities. |