Lafarge (perusahaan)
Lafarge S.A. dulunya adalah sebuah industri asal Prancis yang fokus memproduksi semen, agregat konstruksi, dan beton. Pada tanggal 10 Juli 2015, Lafarge bergabung dengan Holcim, sebuah produsen semen asal Swiss. Pada tanggal 15 Juli, perusahaan baru hasil penggabungan keduanya resmi diluncurkan di seluruh dunia dengan nama LafargeHolcim.[2] SejarahPendirian dan pengembanganLafarge didirikan pada tahun 1833[3] oleh Joseph-Auguste Pavin de Lafarge di Le Teil (Ardèche), untuk mengeksploitasi galian kapur di Mont Saint-Victor antara Le Teil dan Viviers. Kapur ini berwarna putih dan berlempung, serta menghasilkan kapur hidrolis. Pada tahun 1864, Lafarge menandatangani kontrak internasional pertamanya, yakni memasok 110.000 ton kapur ke proyek konstruksi Terusan Suez.[3] Pada tahun 1980, Lafarge bergabung dengan produsen pupuk, kokas, dan batu bara asal Belgia, Coppée untuk membentuk SA Lafarge Coppée. Lafarge lalu membeli pabrik dari National Gypsum pada awal tahun 1987.[4] Seluruh tahun kemudian, perusahaan ini membeli Redland plc, operator galian terkemuka di Britania Raya.[5] Pada tahun 1999, Lafarge mengakuisisi 100% saham Hima Cement Limited, produsen semen terbesar kedua di Uganda, dengan kapasitas terpasang sebesar 850.000 metrik ton per tahun, hingga bulan Januari 2011.[6] Pada tahun 1999, Lafarge berekspansi ke India dengan mengakuisisi bisnis semen dari Tata Steel. Lafarge lalu juga membeli pabrik milik Raymond Cement pada tahun 2001.[7] Pada tahun 2001, Lafarge, yang pada saat itu merupakan produsen semen terbesar kedua di dunia, resmi mengakuisisi Blue Circle Industries (BCI), yang pada saat itu merupakan produsen semen terbesar keenam di dunia, sehingga Lafarge menjadi produsen semen terbesar di dunia.[3] Pada tahun 2006, pemegang saham Lafarge North America (LNA) menerima tawaran senilai $3 milyar dari Lafarge Group untuk membeli sisa saham LNA yang belum dimilikinya, sehingga LNA juga menarik pencatatan sahamnya di Bursa Saham New York. Sebelumnya Lafarge Group hanya memiliki 53% saham LNA.[8] Pada tahun 2007, Lafarge menjual divisi roofing miliknya ke sebuah grup ekuitas swasta, sehingga Lafarge hanya memegang 35% saham dari divisi tersebut.[3] Pada bulan Desember 2007, Lafarge mengumumkan pembelian Orascom Cement Group asal Mesir dari Orascom Construction Industries (OCI). Orascom Cement memiliki sejumlah pabrik di Afrika dan Timur Tengah.[9] Pada tanggal 15 Mei 2008, Lafarge membeli bisnis Beton Siap Pakai milik Larsen & Toubro asal India dengan harga $349 juta.[10] Pada tahun 2009, Lafarge menjual produsen beton pracetak asal Kanada, Pre-Con ke Armtec Infrastructure Income Fund.[11] Pada tahun 2011, Lafarge SA mengumumkan bahwa mereka akan membangun pabrik semen di Langkat, Sumatera Utara dengan investasi hingga Rp 5 triliun ($585 juta).[12] Pada tahun 2011, Lafarge menjual sahamnya di Lafarge Boral Gypsum Asia (LBGA) ke Boral.[13] Lafarge meluncurkan tiga pabrik di Hungaria, Suriah, dan Nigeria, serta membentuk perusahaan patungan dengan Anglo American di Britania Raya. Lafarge Group lalu menjual sebagian besar bisnis gipsum miliknya di Eropa, Amerika Selatan, Asia, dan Australia.[14][15][16] Pada bulan April 2013, Lafarge resmi memperkenalkan visi baru, yakni "Building better cities".[17] Visi tersebut mencerminkan ambisi Lafarge untuk berkontribusi ke pengembangan kota, dengan mengembangkan produk, solusi, dan sistem konstruksi inovatif. Kontribusi Lafarge untuk mengembangkan kota yang lebih baik fokus pada sejumlah hal, yakni:[18]
Pada bulan September 2013, Lafarge setuju menjual 53,3% saham anak usahanya di Honduras, Lafarge Cementos SA de CV ke Cementos Argos dengan harga €232 juta.[19] Pada tahun 2018, pabrik Lafarge Cement yang terletak di bagian selatan Kobanî, Suriah digunakan sebagai markas operasi pasukan Resimen Parasut Infanteri Marinir 1 dan Angkatan Darat Amerika Serikat.[20][21] Bergabung dengan HolcimPada tanggal 7 April 2014, Lafarge dan Holcim mengumumkan bahwa mereka telah setuju untuk bergabung.[22] Dengan sembilan lembar saham Holcim setara dengan sepuluh lembar saham Lafarge.[23] Perusahaan hasil penggabungan akan berkantor pusat di Swiss dan memiliki kapasitas produksi sebesar 427 juta ton per tahun.[24] CEO Lafarge, Bruno Lafont dan Chairman Holcim, Wolfgang Reitzle akan bersama-sama menjadi chairman dari perusahaan hasil penggabungan.[25] Eric Olsen, Wakil Presiden Eksekutif Lafarge, yang kemudian bertanggung jawab atas operasi sehari-hari LafargeHolcim, disiapkan menjadi CEO baru perusahaan hasil penggabungan ini.[26] Pimpinan dari kedua Lafarge dan Holcim mengatakan bahwa penggabungan ini dapat menghemat 1,4 milyar euro (US$1,9 milyar) tiap tahun dan menciptakan "perusahaan paling canggih di industri bahan bangunan."[24] Penggabungan inipun menghadapi banyak hambatan regulasi, terutama di 15 negara. Hal ini karena industri semen di Eropa telah sangat terkonsolidasi, sehingga pengawasan antimonopoli telah diperketat sejak dekade 1970-an.[24] Untuk mematuhi aturan, Holcim dan Lafarge berencana menjual atau memisahkan aset milik salah satu dari mereka yang bergerak di bisnis yang serupa dan menghasilkan pendapatan sekitar 5 milyar euro (US$6,9 milyar) pada tahun 2013.[25] Lafont mengatakan bahwa penggabungan ini bertujuan untuk menyeimbangkan ulang operasinya, bukan menghemat biaya. Ia menyatakan bahwa bisnis dari Lafarge dan Holcim yang serupa akan dijual, tidak ditutup, sehingga lapangan kerja dapat dipertahankan.[24] Analis industri menyatakan bahwa kesepakatan ini akan menggabungkan kekuatan pemasaran Holcim dengan kekuatan inovasi Lafarge, yang walaupun dapat menghemat banyak biaya, harus menghadapi "proses persetujuan dari regulator yang panjang kompleks, dan tidak menentu."[27] Analis lain menyatakan bahwa kesepakatan ini dapat memicu penggabungan lain dan memberi peluang pada kompetitor untuk membeli aset yang dijual oleh Lafarge dan Holcim.[25] Sebagian besar analis yang disurvei oleh Reuters menyatakan bahwa penggabungan ini pada akhirnya akan disetujui.[27] Pada tanggal 10 Juli 2015, Lafarge resmi bergabung dengan Holcim. Pada tanggal 15 Juli, perusahaan baru hasil penggabungan resmi diluncurkan di seluruh dunia dengan nama LafargeHolcim.[2] KontroversiPendanaan terorisPada bulan Juni 2016, Prancis membuka penyelidikan atas aktivitas konstruksi di Suriah. Penyelidikan ini dibuka setelah adanya laporan dari seorang jurnalis asal Prancis, Dorothée Myriam Kellou, yang diterbitkan oleh Le Monde dan FRANCE 24, mengungkap adanya kesepakatan antara Lafarge dengan sejumlah kelompok bersenjata, termasuk Negara Islam Irak dan Syam, untuk memastikan bahwa pabrik semennya tetap dapat beroperasi. Kelompok bersenjata tersebut telah menguasai pabrik milik Lafarge sejak tanggal 19 September 2014.[28] Pada tahun 2017, pimpinan LafargeHolcim pun dimintai keterangan atas tuduhan ini di pengadilan sipil dan kriminal.[29][30] Referensi
Pranala luar |