Kursi lontar

Kursi lontar saat bekerja

Kursi lontar adalah sebuah perlengkapan dalam kokpit pesawat terbang. Umumnya digunakan dalam pesawat tempur sebagai wahana penyelamat bagi penerbang ketika pesawat terbang atau pesawat tempur mengalami kerusakan baik teknis atau terkena tembakan maupun rudal lawan.

Sampai saat ini, penggunaan kursi lontar masih didominasi pada pesawat tempur. Sedangkan pesawat helikopter, penggunaan masih terbatas yakni pada pesawat Helikopter Kamov Ka-50 Hokum dengan kursi lontar Zvesda-K-37-800. Alasan terbatasnya penggunaan kursi lontar dikarenakan bobot kursi lontar yang umumnya pada kisaran 90 kilogram masih dirasakan cukup berat bagi helikopter. Selain itu karena baling-baling rotornya yang menyulitkan proses pelepasan kursi lontar. Serta Autorotasi juga tidak bisa dilaksanakan jika terbang berada pada ketinggian di bawah 300 meter, sedangkan helikopter umumnya terbang sangat rendah.

Sedangkan untuk pesawat sipil, masih belum dapat diterapkan selain karena teknologinya juga keselamatan bagi penggunanya mengingat penggunaan kursi lontar bila dilakukan tidak tepat dapat membahayakan penggunanya.

Penemuan dan Pengembangan Kursi Lontar

Penemuan kursi lontar berawal dari upaya penyelamatan penerbang baik pada masa damai maupun pada masa perang. Hal ini disebabkan karena penerbang khususnya yang sudah cukup handal adalah aset dalam sebuah angkatan udara dan memerlukan waktu yang cukup lama untuk menjadikannya sebuah penerbang yang berpengalaman. Beberapa angkatan bersenjata di dunia, khususnya yang cukup berpengalaman, memiliki prosedur yang baik dalam manajemen penyelamatan. Disebut-sebut Luftwaffe (Angkatan Udara Jerman) dan Royal Air Force Inggris dalam Perang Dunia II, memiliki manajemen penyalamatan penerbang yang cukup baik.

Pada umumnya, setiap penerbang dilengkapi dengan parasut yang bekerja cukup baik. Namun ketika pesawat tempur dirancang semakin gesit, penerbang sukar untuk menyelematkan dirinya ketika pesawat tersebut rusak terutama ketika terkena tembakan lawan. Penerbang baru bisa keluar setelah berusaha dengan susah payah membuka pintu kokpit pesawat selama beberapa puluh detik. Meski berhasil, adakalanya penerbang mengalami naas terkena hantaman dari ekor pesawat ketika berusaha keluar dari kursinya melawan arus angin. Langkah yang dilakukan umumnya adalah pilot menukikkan pesawat, membuka kokpit dan melepas sabuknya lalu, melepaskan tongkat kemudi. Langkah ini mirip dalam sebuah mainan jack-in-the-box-escape.

Adakalanya penerbang langsung meloncat dari pesawat yang mengalami kerusakan atau terkena tembakan. Tercatat pada bulan Januari 1942, Letnan Chisov dari Angkatan Udara Uni Sovyet meloncat dari pesawat Ilyushin II-A yang rusak berat dengan ketinggian 6700 meter, dia mengalami patah pada bagian pinggul dan cedera pada tulang punggung. Sedangkan Sersan Alkemande dari Royal Air Force, mengalami keberuntungan ketika meloncat dari pesawat Pembom Lanchaster yang terbakan pada ketinggian 5500 meter pada bulan Maret 1944. Karena tertahan pohon pinus dan jatuh pada lapisan es setebal 40 centimeter, dia hanya mengalami benjol dan tergores.

Kursi lontar pertama diterapkan pada pesawat Heinkel He-119, yang menggunakan kursi lontar yang ditekan oleh udara. Pesawat ini memang populer pada penerbangan uji coba, tetapi karena jumlahnya sedikit, prestasi kursi lontarnya tidak diketahui.

James Martin dari Inggris merancang sistem pengaman yang lain. Dalam konsepnya, pilot dilontarkan keluar kokpit oleh lengan panjang yang digerakkan oleh pegas yang dipasangkan pada harnas parasutnya. Mekanisme ini cocok untuk dipasang pada pesawt Spitfire dan Hurricanes, tetapi tidak cocok untuk pesawat modern. Pesawat Jet mengharuskan daya lontar besar sehingga Martin memilih mekanisme dengan menggunakan dinamit.

Peluncuran kursi lontar pertama, tercatat pada tanggal 24 Juli 1946, oleh Bernard Linch, salah seorang karyawan Martin-Baker. Linch dilontarkan secara sukarela dengan kursi lontarnya pada ketinggian 2600 meter dengan kecepatan 253 km/jam dari pesawat tempur Gloster Meteor. Sejak itu, kursi lontar Martin-Baker menjadi populer di seluruh dunia.

Pemilihan dan Pengembangan Teknologi

Teknologi penyelamatan penerbang dikembangkan ke arah penggunaan kapsul penyelamat. Hal ini dikarenakan perkembangan kecepatan pesawat tempur semakin tinggi. Pada dekade 50 hingga 60-an banyak perencana kursi lontar meramalkan penggunaan kursi lontar akan ketinggalan zaman.

Alasan lain adalah kenyataan bahwa penerbang dengan kelengkapan yang baik pun tidak dapat bertahan terhadap tekanan angin yang semakin besar. Pada kecepatan sebesar 1100 km/jam yang merupakan kecepatan tertinggi untuk memanfaatkan kursi lontar, tekanan angin mencapai 60 kilogram per desimeter persegi.

George Smith, salah seorang pilot uji dari perusahaan pembuat pesawat North American (kini diakuisisi Rockwell), merasakan betapa kuatnya tekanan angin yang dideritanya saat menguji pesawat tempur F-100 Super Sabre, pada Februari 1955, yang mengalami kebekuan saat menukik. Pada kecepatan Mach 1.05 (kurang lebih 1200 km/jam) dan ketinggian 3000 meter, Smith meluncurkan dirinya dengan kursi lontar dan menderita cedera parah selama lima hari. Hal ini menjadi kendala karena pada kecepatan Mach- 1, sudah terlalu cepat bagi penggunaan kursi lontar, sedangkan pada perkembangannya, pesawat tempur beroperasi dengan kecepatan yang lebih tinggi (Mach-2 dan Mach 3).

Menurut penuturan Letnan Victor Balenko, pilot pesawat tempur Rusia MiG-25 Foxbat, yang membelot ke Jepang, pesawat MiG-25 Foxbat tersebut tidak dilengkapi dengan kursi lontar, dikarenakan kecepatan yang sangat tinggi (mencapai Mach-3) dan ketinggian jelajahnya yang cukup tinggi sehingga sangat membahayakan ketika pilot meluncurkan dirinya bersama kursi lontar.

Pesawat MiG-21 Fishbed dilengkapi kursi lontar yang cukup rumit, yang memungkinkan kursi lontarnya mengangkut atap cockpit. Dengan bantuan engsel, atap kokpit tersebut turun menutupi kursi dan berakhir di depan kaki pilot. Model ini memiliki perlindungan prima namun prosesnya cukup lama dan rumit sehingga pilot tidak dapat mengembangkan parasutnya. Kini sistem tersebut diganti dengan kursi lontar biasa.

Pilihan kapsul penyelamat dipertimbangkan untuk pesawat berkecepatan tinggi. Kapsul juga dapat menjadi rakit penyelamat di udara maupun tempat bersembunyi dengan perlengkapan yang dimilikinya. Satu-satunya pesawat yang dilengkapi kapsul penyelamat adalah F-111. Namun harganya cukup mahal dan memiliki bobot yang cukup berat sehingga tidak dapat diterapkan pada pesawat tempur yang ada sekarang.

Rencana pengembangan kapsul penyelamat juga tida berlanjut karena kecepatan pesawat tempur tidak bertambah. Meski pesawat tempur banyak yang mencapai kecepatan Mach-2, penggunaan kecepatan supersonik jarang dilakukan kena konsumsi bahan bakar yang cukup tinggi.

Boeing pada tahun 1985 dikontrak oleh Angkatan Udara untuk mengembangkan kursi lontar biasa pada pesawat tempur dan pemburu pada masa-masa berikutnya dengan ketentuan pilot dapat terjun dari ketinggian 20 meter dengan sudut jatuh 30 derajat dan kecepatan mencapai 550 km/jam. Dalam kondisi tersebut pesawat akan membentur bumi selama 0,26 detik setelah kursi dilontarkan. Sehingga kursi lontar harus dipakai selambat-lambatnya 1,5 hingga 2 detik sebelum benturan terjadi.

Kini perancang kursi lontar harus dapat menerapkan teknologi kursi lontar untuk ketinggian rendah dengan kecepatan yang cukup tinggi, bahkan pada saat pesawat masih dilandasan dengan tingkat gravitasi zero atau nol, yang sebelumnya tidak dimungkinkan. Umumnya, kursi lontar-kursi lontar pesawat-pesawat latih maupun tempur modern, dapat menerapkan ketentuan tersebut.

Prinsip Kerja Kursi Lontar

Kerja kursi lontar mengikuti bentuk kokpit pesawat tempur yang diaplikasikannya. Pada kokpit pesawat tempur klasik di mana atap dan kaca depan terpisah, seperti padaF-5 Tiger II ataupun MiG-29 Fullchrum, atau pesawat latih jenis Hawk 100, pilot duduk di belakang kaca depan tebal yang menahan angin (windshield) dan benturan burung di udara. Atapnya tipis sehingga kursi lontar bisa langsung menembusnya.

Umumnya pesawat-pesawat ini, pada kokpitnya dilengkapi tali tembak seperti pada pesawat Hawk Mk-53, Hawk 100 maupun Hawk 200 dan Alpha Jet. Jika kursi lontar diaktifkan, timbul api yang memecahkan atap dalam pecahan-pecahan kecil yang ditiup keluar untuk menjauhi pesawat sehingga kursi lontar dapat meluncur dengan aman. Kekurangan dari penerapan teknologi ini adalah pada atap pesawat, khususnya pesawat tempur latih di mana instruktur duduk di bagian belakang di mana atap menjadi kaca depannya, instruktur melihat coretan-coretan pada kaca depannya.

Sedangkan pada model F-16, atap dan kaca depan kokpit menjadi satu kesatuan sehingga cukup kuat menahan benturan tetapi pandangan pilot tidak dibatasi pembatas antara kaca depan dan atapnya. Dalam penggunaan kursi lontar, ketika kursi lontar diaktifkan, atap terlontar ke udara sebelum kursi lontar tersebut meluncur.

Adapun langkah-langkah peluncuran secara umum adalah sebagai berikut:

Pertama, penumpang menarik pemantik, alat peledak pertama menyala selama sabuk pengaman dan sabuk kaki mengencang secara otomatis dalam 0,2 detik (dapat juga dengan sabuk yang mengikat lengan), kursi mulai berakselerasi. Gaya gravitasi maksimum yang dialami dapat mencapai 17 G sehingga dalam waktu singkat pilot harus dapat menopang 17 kali berat badannya. Bersamaan dengan ledakan pertama, ada dua ledakan lain. Hubungan dengan pesawat terlepas, botol atau tabung zat asam (oksigen) darurat membuka. Kabel penyulut motor roket meluncur turun dan penghubung pada sabuk kaki putus. Atap kokpit yang disesuaikan pada tipe pesawat dilepaskan, dipecah atau diledakkan dengan tali tembak.

Kedua, setelah mencapai ketinggian dua meter, kursi sampai pada ujung pipa tembak yang dapat digeser yang merupakan tempat kekuatan ledak disatukan. Kabel peledak lepas dan motor roket pada kursi lontar mulai berjalan di mana pada 0,25 detik setelah awal peluncuran, motor roket akan habis terbakar.

Ketiga, setengah detik setelah pergerakan kursi, payung stabilisasi lepas. Payung kecil menarik payung besar keluar. Kecepatan terbang kursi menurun.

Keempat, satu setengah detik setelah start, atau ketinggian aman telah tercapai, skakelar waktu/baromatis melepaskan penumpang dari kursi. Pada saat yang sama, daya tarik payung stabilisasi diteruskan ke payung besar.

Kelima selama parasui besar mengembang, kursi menahan muatannya dengan pelekat. Kalau payung sudah membuka, kursi lepas dengan cepat. Waktu turun, kursi masih bisa menyetel paket penyelamat sehingga rakit penyelamat automatik tertiup bila harus mendarat di atas air. Perlapung renang bisa ditiup saat kursi lepas. Kursi juga dapat menghidupkan raduo pelampung pribadi.

Pelatihan Penggunaan Kursi Lontar

Mengingat pelatihan penggunaan kursi lontar sangat diperlukan, karena penggunaan kursi lontar yang keliru dapat mengakibatkan risiko-risiko sebagai berikut:

Pertama, dapat menyebabkan cedera di punggung: terutama untuk kursi lontar tipe awal. Sebagai contoh, kursi lontar ACES II yang diterapkan pada F-16 memiliki kekuatan 12x gravitasi atau 12 G ketika peluncuran, dan tipe-tipe lama bisa lebih besar. Kekuatan tersebut bisa saja menimbulkan kerusakan tulang belakang, walaupun risikonya sudah jauh berkurang di tipe-tipe terkini.

Kedua, dapat mengalami luka-luka akibat aliran udara di mana ketika melontar, pilot akan berhadapan dengan aliran udara yang sangat kencang. Bila anggota gerak (Biasanya kaki) sang pilot tidak teramankan, maka hal itu bisa mematahkan tulangnya.

Ketiga, menarik tuas pelontar dengan tidak sengaja. Hal ini pernah terjadi, ketika seorang mekanik terlontar di hangar setelah ia tak sengaja menarik tuas pelontar. Dan alhasil, ia pun terlontar ke atap hanggar.

Keempat, operasional motor roket dan peledak. Seperti dijelaskan di atas, kursi lontar memanfaatkan motor roket dan bahan peledak untuk melontarkan pilotnya.

oleh karena itu, terutama untuk pengamanan pada risiko ke-3 dan ke-4, di setiap pesawat dengan kursi lontar, maka selalu ada marking segitiga bertuliskan "DANGER-EJECTION SEAT" terkadang dengan tulisan "CANOPY."

Dalam pelatihan, tidak mungkin menggunakan kursi lontar yang dipasang langsung pada kokpit pesawat, selain berbahaya juga mengakibatkan biaya yang cukup mahal. Maka dibuatlah simulasi kursi lontar dengan kursi tiruan . Bila kursi lontar sebenarnya digerakkan oleh sebuah roket yang dipasang di bawah kursi penerbang. Maka kursi lontar tiruan untuk simulasi digerakkan oleh tekanan gas. Meskipun demikian, dalam latihan harus dilakukan dengan teliti dan hati-hati karena memiliki bahaya yang cukup besar. Bila kurang hati-hati, tulang belakang peserta bisa patah. Di Indonesia, simulasi penggunaan kursi lontar diaplikasikan pada Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Antariksa TNI-Angkatan Udara di Lakespra Dr Saryanto.

Sumber

  • Artikel Selamat Berkat Kursi Lontar, Majalah Sigma-Kaleidoskop Dunia Ilmu, Edisi 17, 1986
Kembali kehalaman sebelumnya