Kerajaan Bantaeng

Kerajaan Bantaeng adalah salah satu kerajaan yang pernah berdiri di Semenanjung Selatan Sulawesi. Kerajaan ini merupakan kerajaan kecil yang mendukung Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo. Kerajaan Bantaeng memiliki peninggalan arkeologi berupa terakota, makam kuno, dan tembikar. Selain itu, masyarakat kerajaan ini dikenal dengan kebiasaannya dalam mengoleksi barang antik.[1] Kerajaan Bantaeng berkembang sebagai wilayah perdagangan dan pertanian sejak awal abad ke-13 hingga awal abad ke-17.[2]

Pemerintahan

Kerajaan Bantaeng menjalankan pemerintahan secara adat, yaitu melalui Adat Sampuloruwa. Tugas dari anggota Adat Sampuloruwa adalah membuat hukum kerajaan dan memelihara tradisi dan adat-istiadat. Setelah pemindahan istana kerajaan dari Onto ke Karatuang, raja Kerajaan Bantaeng memakai gelar Karaeng. Raja menjadi penguasa tertinggi pemerintahan dan dibantu oleh perdana menteri bergelar Gallarang. Selain itu, dibentuk juga jabatan Karaeng Sallewatan yang bertugas mewakili raja apabila dalam keadaan berhalangan untuk menghadiri suatu pertemuan. Selain itu, terdapat seorang kepala pemerintahan di wilayah pegunungan yang disebut Karaeng Tompokbulu.[3]

Hubungan luar negeri

Pada awal pendiriannya, Kerajaan Bantaeng merupakan kerajaan mandiri. Setelah Kerajaan Gowa mulai memperluas wilayahnya, Kerajaan Bantaeng menjadi bagian dari Kerajaan Gowa secara damai.[4] Kerajaan Bantaeng kemudian menjadi daerah penghasil pangan untuk Kerajaan Gowa. Selain itu, kerajaan ini juga menjadi wilayah pertahanan Kerajaan Gowa dalam menghadapi serangan Belanda dari arah Maluku. Setelah Kerajaan Bantaeng dikuasai oleh Hindia Belanda, wilayahnya menjadi salah satu pusat pemerintahan bagiannya.[5]

Kerajaan Bantaeng juga membangun hubungan kekeluargaan dengan Kerajaan Bone. Hubungan ini terjalin melalui pernikahan Arung Palakka dengan putri bangsawan Bantaeng yang bernama I Makkawani. Selain itu, Kerajaan Bantaeng menjalin hubungan dengan Kerajaan Wajo di bidang perdagangan. Para pedagang dari Kerajaan Wajo menetap di Bantaeng untuk berdagang.[6]

Keagamaan

Setelah Kerajaan Gowa menetapkan Islam sebagai agama resmi kerajaan, maka Kerajaan Bantaeng juga melakukannya. Hal ini dilakukan pada masa pemerintahan raja ke-14, yaitu Karaeng Ma'jombeyya ri Jalanjang. Islamisasi kemudian diteruskan oleh tiga orang mubalig. Pertama, Syekh Nurun Baharuddin Taju Nasabandiyah yang merupakan ulama utusan Sultan Alauddin dari Kerajaan Gowa. Kedua, islamisasi oleh Latenriruwa Sultan Adam yang merupakan raja Kerajaan Bone yang ke-11. Terakhir, islamisasi dilakukan oleh Datok Kalimbungan yang berasal dari Sumatera.[7]

Raja-raja

Para raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Bantaeng secara berturut-turut yaitu:[8]

  1. To Toa (1254-1293)
  2. Massanigaya (1293)
  3. To Manurung Karaeng Loe (1293-1332)
  4. Massaniga Maratuang (1332-1362)
  5. Maradiya (1368-1397)
  6. Massadigaya (1397-1425)
  7. I Janggong Karaeng Loea (1425-1453)
  8. Massaniga Karaeng Niaga (1453-1482)
  9. Karaeng Putu Dala (1402-1509)
  10. Tutinrowa Ri Jalanjang (1509-1532)
  11. Karaeng Dewata (1532-1560)
  12. Karaeng Bondenga Tu Nitambanga (1560-1576)
  13. Karaeng Barrang Tuma Parisika Bongkona (1576-1590)
  14. Karaeng Majjombeya ri Jalanjang (1590-1620)
  15. Karaeng Bonang Karaeng Loea (1620-1652)
  16. Karaeng Baso To Ilanga Ritamala(1652-1670)
  17. Makkawani Daeng Talele (1670-1672)
  18. Daeng Ta Karaeng Baso (1672-1687)
  19. Daeng Ta Karaeng Ngalle (1687-1724)
  20. Daeng Ta Manangkasi (1724-1756)
  21. Daeng Ta Karaeng Loka (1756-1787)
  22. I Bagala Daeng Mangnguluang (1787-1825)
  23. Petta Tjalleng To Mangnguliling (1825-1826)
  24. Daeng To Nace (1826-1830)
  25. Mappaumba Daeng To Magassing (1830-1850)
  26. Daeng To Pasaurang (1850-1860)
  27. Karaeng Basunu (1860-1866)
  28. Karaeng Butung (1866-1877)
  29. Karaeng Panawang (1877-1913)
  30. Karaeng Pawiloi (1913-1933)
  31. Karaeng Mangkala (1933-1939)
  32. Karaeng Andi Manappiang (1939-1945)
  33. Karaeng Pawiloi (1945-1950)
  34. Karaeng Andi Manappiang (1950-1952)
  35. Karaeng Massoalle (1952)

Referensi

  1. ^ Hasanuddin 2009, hlm. 33.
  2. ^ Hasanuddin 2009, hlm. 34.
  3. ^ Sakka 2014, hlm. 69.
  4. ^ Narti, Bahri, dan Bosra 2019, hlm. 58.
  5. ^ Narti, Bahri, dan Bosra 2019, hlm. 58–59.
  6. ^ Sakka 2014, hlm. 70.
  7. ^ Sakka 2014, hlm. 71.
  8. ^ Sakka 2014, hlm. 68–69.

Daftar pustaka

Kembali kehalaman sebelumnya