Kebebasan
Kebebasan adalah kemampuan untuk melakukan apa yang diinginkan, atau hak dengan anugerah dan kelebihan yang dimiliki (yaitu hak istimewa).[1] Kebebasan, juga dapat diartikan memiliki kemampuan untuk bertindak atau berubah tanpa batasan. Sesuatu itu "bebas" jika dapat berubah dengan mudah dan tidak dibatasi dalam keadaan sekarang. Dalam filsafat dan agama, kebebasan dikaitkan dengan memiliki kehendak bebas dan keberadaan tanpa batasan yang tidak semestinya atau tidak adil, atau perbudakan, dan merupakan ide yang terkait erat dengan konsep kebebasan. Kebebasan secara umum dimasukan dalam konsep dari filosofi politik dan mengenali kondisi di mana individu memiliki kemampuan untuk bertindak sesuai dengan keinginannya. Dalam politik modern, kebebasan adalah keadaan bebas dalam masyarakat dari kontrol atau pembatasan berupa penindasan yang diberlakukan oleh otoritas pada berbagai aspek kehidupan, mencakup cara hidup, perilaku, atau pandangan politik seseorang.[2] Individualis dan konsepsi liberal dari kebebasan berhubungan dengan kebebasan dari individual dari luar keinginan; sebuah prespektif sosialis, di sisi lain, mempertimbangkan kebebasan sebagai distribusi setara dari kekuasaan, berpendapat kalau kebebasan tanpa kesamaan jumlah ke dominasi dari yang paling berkuasa. Dalam filsafat, kebebasan melibatkan kehendak bebas, berbeda dengan determinisme.[3] Dalam teologi, kebebasan adalah kebebasan dari pengaruh "dosa, perbudakan rohani, atau ikatan duniawi". Terkadang kebebasan dibedakan menjadi dua makna. Pertama, kebebasan (freedom) berarti kemampuan untuk melakukan apa yang diinginkan dan apa yang memiliki kekuatan untuk dilakukan. Sementara kebebasan (liberty) berarti tidak adanya pembatasan sewenang-wenang, dengan mempertimbangkan hak-hak semua yang terlibat. Dalam pengertian ini, pelaksanaan kebebasan tunduk pada kemampuan dan dibatasi oleh hak-hak orang lain.[4] Dengan demikian, dalam kebebasan (liberty) diperlukan adanya rasa tanggung jawab yang dibatasi pada aturan-aturan hukum yang berlaku tanpa merampas kebebasan (freedom) orang lain. Kebebasan dapat menunjukkan berkurangnya pengekangan atau kemampuan tak terkendali untuk memenuhi keinginan seseorang. Misalnya, seseorang dapat memiliki kebebasan (freedom) untuk membunuh, tetapi tidak memiliki kebebasan (liberty) untuk membunuh, dikarenakan dapat dianggap merampas hak orang lain untuk tidak disakiti. Kebebasan dapat diambil sebagai bentuk hukuman. Di banyak negara, orang dapat dirampas kebebasannya jika mereka dihukum karena tindakan kriminal. Kata "kebebasan" sering digunakan dalam slogan-slogan, seperti "Kehidupan, Kebebasan, dan Pencarian Kebahagiaan"[5] atau "Kebebasan, Kesetaraan, Persaudaraan"[6] FilsafatSejak awal, banyak filsuf mempertimbangkan konsep kebebasan. Kaisar Roma, Marcus Aurelius memiliki gagasan sebagai berikut:
Menurut Thomas Hobbes (1588-1679):
John Locke (1632-1704) menolak definisi kebebasan tersebut. Meskipun tidak secara spesifik menyebut Hobbes, dia menyerang Sir Robert Filmer yang memiliki definisi yang sama. Menurut Locke:
John Stuart Mill (1806–1873), melalui karya-karyanya, memengaruhi pemikiran Inggris kontemporer, nilai kebebasan juga selalu ia kampanyekan dalam kehidupannya.[9] Mill menawarkan penelusuran dalam pernyataan dari tirani lembek dan kebebasan mutual dengan prinsip gangguan.[10] Keseluruhan, penting untuk memahami konsep ini ketika mendiskusikan kebebasan karena semuanya mewakili bagian kecil dari teka-teki besar yang dikenal dengan Kebebasan (filosofi). Dalam pengertian filosofis, moralitas harus berada di atas tirani dalam semua bentuk pemerintahan yang sah. Jika tidak, orang akan dibiarkan berada dalam sistem sosial yang diakari oleh keterbelakangan, ketidakteraturan, dan regresi. Dalam bukunya Two Concepts of Liberty, Isaiah Berlin secara formal memaknai perbedaan antara dua perspektif sebagai pembeda antara dua konsep kebebasan yang berlawanan, yakni kebebasan positif dan kebebasan negatif. Pada kondisi kebebasan negatif, seorang individu dilindungi dari tirani dan penggunaan otoritas yang sewenang-wenang. Sedangkan, pada kondisi positif, mengacu pada kebebasan yang berasal dari penguasaan diri dan paksaan batin seperti kelemahan maupun ketakutan.[11] PolitikSejarahKonsep modern terkait kebebasan politik berasal dari pemahaman Yunani tentang kebebasan dan perbudakan.[12] Dalam konsep Yunani, menjadi individu bebas tidak berarti dikuasai orang lain, mandiri dari penguasa atau hidup sesuka hati.[13] Anggapan tersebut merupakan konsep asli Yunani tentang kebebasan. Hal ini terkait pula pada konsep demokrasi yang dikemukakan Aristoteles:
Hal ini hanya berlaku untuk orang yang bebas atau merdeka. Di Athena, misalnya, perempuan tidak dapat memilih atau memegang jabatan karena secara hukum dan sosial, perempuan dianggap bergantung pada kerabat laki-laki.[15] Penduduk Kekaisaran Persia menikmati beberapa tingkatan kebebasan. Warga dari semua agama dan kelompok etnis diberi hak maupun kebebasan beragama yang sama, perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki, dan perbudakan dihapuskan (550 SM). Semua istana raja Persia dibangun oleh pekerja yang dibayar, di mana pada masa itu pekerjaan tersebut dikerjakan para budak yang tidak dibayar.[16] Di Kekaisaran Maurya di India kuno, masyarakat dari semua agama dan kelompok etnis memiliki beberapa hak atas kebebasan, toleransi, dan kesetaraan. Perlunya toleransi atas dasar egaliter dapat ditemukan dalam Fatwa Ashoka Agung, di mana fatwa tersebut menekankan pentingnya toleransi dalam kebijakan publik oleh pemerintah. Pembantaian atau penangkapan tawanan perang juga telah dikutuk oleh Ashoka pada masa itu.[17] Kontrak SosialTeori kontrak sosial merupakan teori paling berpengaruh yang dirumuskan oleh Hobbes, John Locke, dan Rousseau (meskipun pertama kali disarankan oleh Plato dalam The Republic). Teori ini termasuk yang pertama memberikan klasifikasi politik hak, khususnya melalui gagasan kedaulatan dan hak alami. Para pemikir Abad Pencerahan mengungkapkan bahwa hukum mengatur urusan surgawi dan manusia. Lebih lanjut, teori tersebut mengungkap bahwa hukum itu memberi kekuasaan untuk raja, bukan sebaliknya, kekuasaan raja yang memberi kekuatan hukum. Konsepsi hukum ini akan menemukan puncaknya dalam ide-ide Montesquieu. Konsepsi hukum dianggap sebagai hubungan antar individu, bukan keluarga yang difokuskan pada peningkatan kebebasan individu sebagai realitas fundamental, yang diberikan oleh "Alam dan Tuhan Alam". Di mana pada keadaan yang ideal hukum tersebut akan berubah menjadi seuniversal mungkin. Asal-Usul Kebebasan BerpolitikInggris dan Britania RayaInggris dan Britania Raya merumuskan landasan konsep kebebasan individu. Pada tahun 1066, sebagai syarat penobatannya, William Sang Penakluk menyetujui Piagam Kebebasan London yang menjamin kebebasan "Saxon" Kota London. Pada 1100, Piagam Kebebasan disahkan di mana menetapkan kebebasan tertentu bagi para bangsawan, pejabat gereja, dan individu. Pada tahun 1166, Henry II dari Inggris mengubah hukum Inggris dengan mengeluarkan Assize of Clarendon. Tindakan tersebut merupakan cikal bakal pengadilan oleh juri dan memulai penghapusan pengadilan dengan pertempuran dan percobaan. Pada tahun 1187-1189 terbit sebuah publikasi Tractatus de legibus et consuetudinibus regni Anglie yang berisi definisi otoriter tentang kebebasan dan penghambaan: Kebebasan adalah kemampuan alami untuk melakukan apa yang disukai setiap orang sesuai dengan keinginannya, kecuali apa yang dilarang oleh hak atau paksaan. Berbeda dengan kebebasan, penghambaan dapat dikatakan sebaliknya, seolah-olah setiap orang harus terikat pada perjanjian untuk melakukan sesuatu, atau tidak melakukannya.[18] Pada tahun 1215 ketika Magna Carta diberlakukan, hal ini menjadi landasan kebebasan di Inggris untuk pertama kalinya, kemudian merambah ke Inggris Raya, hingga akhirnya dasar kebebasan dunia.[19][20] Amerika SerikatBerdasarkan Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat tahun 1776 tertulis bahwa: Semua orang memiliki hak alami untuk "hidup, bebas, dan mengejar kebahagiaan". Namun, deklarasi kebebasan ini sejak awal terhalang oleh perbudakan kulit hitam yang dilegalkan. Pemilik budak berpendapat bahwa kebebasan mereka adalah yang terpenting karena melibatkan properti dan budak mereka, serta bahwa orang kulit hitam tidak memiliki hak yang wajib diakui oleh orang kulit putih mana pun.[21] Dalam keputusan Dred Scott, Mahkamah Agung menjunjung tinggi prinsip ini. Baru pada tahun 1866, setelah Perang Saudara, Konstitusi AS diubah untuk memperluas hak-hak kewarganegaraan kepada orang kulit berwarna.[22] Kemudian pada tahun 1920 hak-hak ini diperluas kepada wanita. Lihat pulaReferensi
|