Katedral Makassar
Gereja Katedral Makassar atau Gereja Paroki Hati Yesus Yang Mahakudus adalah sebuah gereja katedral Katolik bersejarah yang terletak di kota Makassar, ibu kota provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Gereja tua ini dibangun pada tahun 1898 dan selesai pada tahun 1900 dan telah mengalami dua kali renovasi dan akan menjadi tiga kali dalam waktu dekat karena proses renovasi di Gereja Katedral sementara berjalan. Gereja ini berlokasi dijantung Kota Makassar yaitu di Jalan Kajaolalido No.14. GedungArsitek gereja ialah seorang perwira zeni yang bernama Swartbol. Setelah diselesaikan pondasi tembol perwira itu berangkat ke Eropa. Penggantinya ialah S. Fischer, seorang ahli pengairan. Tetapi beberapa kali dirombak pekerjaan karena ia tidak tahu banyak mengenai arsitektur gotik sebagaimana digambar Swartbol. Seorang cina bernama Thio A Tek menjadi pemborong dan pelaksana pekerjaan pembangunan. Pembangunan ditunda beberapa bulan karena rangka jendela dari besi tidak kunjung tiba dari Belanda. Tetapi akhirnya setelah kosijn besi tiba, langsung dipasang di lobang jendela yang sudah disiapkan lebih dulu dan waktu satu bulan gedung selesai, dengan menara kecil dari besi dan 20 menara mini sebagai perhiasan di pinggir atap. Pada tahun 1923, seorang dermawan Mr. Scharpff menghadiahkan tiga buah lonceng dan dipasang di menara besi yang besar, di sebelah selatan gereja. Pemugaran Gereja Katedral pada tahun 1939Gereja Katedral mempunyai kapasitas tempat duduk sebanyak 200 buah. Itu tidak cukup lagi untuk menampung seluruh umat. Tambah lagi, sakristi terlalu kecil dan tidak ada kursi pengakuan dan altar samping. Oleh karena itu dibuat rencana untuk memperbesar dan memugar gedung gereja, dengan merombak tembok samping kiri dan kanan dan menambah sakristi di bagian belakang di belakang panggung imam. Yang agak sulit, ialah pembongkaran kedua tembok kiri dan kanan dan merobohkan empat pilar yang menopang tembok asli gedungnya. Waktu itu ada sebuah menara yang kecil di atas bubungan, rangkanya besi dan sudah amat berkarat. Di samping gereja sebelah selatan ada pula satu menara besar dari besi di mana digantung tiga buah lonceng. Menaranya tidak estetis dan merusak pemandangan gedungnya. Itu juga maka dibongkar. Nah, dengan bekerjasama yang baik antara Pastor dan CMS (Celebes Missic Steunfonds) seluruh pekerjaan diselesaikan dalam waktu kurang satu tahun. Menara besi dibongkar dan didirikan menara baru yang langsung bersambung denganpintu masuk. Ruang sakristi dikerjakan sampai tuntas, ditambahkan dua kursi pengakuan di bagian belakang dan dua altar samping di bagian depan. Renovasi selesai dalam waktu satu tahun dan Paska tahun 1940 dirayakan dalam gedung yang telah dipugar itu. Pemboman 1943Tanggal 9 Oktober 1943, kota Ujung Pandang dibom oleh tentara sekutu dan satu bom yang cukup kuat jatuh kira-kira 10 meter lewat gedung Katedral, sebelum barat. Di mana sekarang gedung kantor baru Keuskupan. Akibatnya : jendela warna di belakang altar rusak besar dan atap bocor. Terpaksa lobang jendela di belakang altar ditutup dengan batu dan ketiga – tiganya menyatu dengan tembok. Perbaikan kerusakan itu berlangsung agak lambat, karena sulit dapatkan barang. Tetapi satu keuntungan : ada seorang dermawan yang menghadiahkan kaca warna yang bagus untuk jendela – jendela samping kiri, kanan. Kaca warna jendela itu memberi suasana khas kepada Katedral. Pembuatan plafon dan balkon baruPada tahun 1978 plafon seng diganti dengan plafon dari kayu teak. Dan pada tahun 1984 balkonlah yang diganti dan diperbesar, sampai bisa muat 120 orang.[1] SejarahPada awalnya keberadaan umat Katolik di Sulawesi Selatan ditandai dengan dipermandikannya dua putera Makassar pada tahun 1537. Akan tetapi belum ada pastor yang menetap di Sulawesi. Barulah pada tahun 1545 tibalah seorang Pastor dan menetap selama 3 tahun dan seringkali melakukan perjalanan ke pedalaman, nama Pastor tersebut adalah Vicente Viegas. Daerah Sulsera yang merupakan taman yang begitu luas dan subur, dan bersedia menerima bibit sabda Tuhan, tidak jadi dikerjakan karena kekurangan pekerja-pekerjanya. Maka tidak heranlah pada tahun1603, raja Gowa beserta rakyatnya masuk agama Islam, dan diikuti daerah Tello dan Soppeng. Walaupun raja Gowa telah memeluk agama Islam namun ia bersikap toleran sekali terhadap agama Katolik. Kendala yang dihadapi datang dari pihak kompeni Belanda yang pada 19 Agustus 1660 Makassar terpaksa meletakkan senjata dan dipaksa menandatangani persetujuan di Batavia. Salah satu syaratnya yaitu dalam waktu satu tahun semua orang portugis harus telah meninggalkan Makassar. Dan Di bawah kekuasaan VOC, orang-orang Katolik dipaksa memeluk agama Protestan dan Pastor-Pastornya diusir. Baru pada tahun 1806 ketika Napoleon mengangkat saudaranya Louis menjadi raja Belanda, Agama Katolik mendapatkan saat kebebasannya di Indonesia. Tidak lama kemudian, pada 10 april 1808, tibalah dua orang pastor di Batavia yang menjadi imam-imam pertama yang diizinkan masuk di Indonesia di bawah pemerintahan kolonial Belanda. Pada tahun 1852 Makassar telah dikunjungi oleh seorang pastor dari Batavia, tetapi baru tahun 1892 datanglah seorang pastor untuk menetap di Makassar. Pastor Adrianus Johannes Asselbergs ditunjuk menjadi pastor Makassar.[2] Inilah awal berdirinya Gereja Hati Yesus Yang Mahakudus Katedral Makassar.[3][4] Gereja Katolik di Sulawasi Selatan dan TenggaraDari penduduk Sulawesi Selatan dan Tenggara yang pertama dipermandikan dalam agama Katolik adalah dua putera Makassar, berasal dari daerah Gowa dan dari turunan bangsawan. Mereka dipermandikan di Ternate pada tahun 1537 dengan diberi nama : Antonio dan Miguel. Setelah pulangnya ke Sulawesi, merekalah yang memperkenalkan agama Katolik kepada bangsa Bugis dan Makassar . Antonio dan Miguel tidak jemu bicara tentang agamanya itu , sehingga banyak orang tertarik dan ingin belajar, karena pada waktu itu mereka belum masuk Islam. Akan tetapi, walaupun pada tahun 1525 tiga pastor bangsa Portugis telah singgah di Makassar dalam perjalanannya ke Maluku, belum lagi ada seorang pastor menetap di Sulawesi. Adapun antara 1539 dan 1550 seorang pedagang Portugis, bernama Antonio Payva dan bertempat tinggal di Malaka, sering kunjungi Sulawesi Selatan mencari barang dagangan. Antonio Payva ini pembawa agama yang rajin. Lagi pandai berbahasa Bugis. Apabila pada tahun 1554 ia tiba di Suppa (ParePare), diminta padanya oleh Datu Suppa sendiri supaya ia menguraikan agama Katolik di hadapan para pembesar-besarnya. Demikian juga terjadi di Pangkajene/Maros, dan tidak lama kemudian kedua raja mengambil keputusan memohon permandian dalam agama Katolik.Dengan upacara besar-besar Antonio mempermandikan mereka, bersama dengan keluarganya dan pengiring-pengiringnya. Kepada Datu Suppa ia di beri nama: Luis. Akan tetapi belum lagi ada seorang pastor datang di Sulawesi untuk meneguhkan mereka dalam imannya yang baru. Oleh karena itu sewaktu Antonio Payva hendak pulang ke Malaka, diikutsertakan pula beberapa orang sebagai utusan untuk meminta seorang pastor bagi Sulawesi Selatan. St. Fransiskus Xaverius, yang pada zaman itu berada di India, gembira sekali mendengar berita-berita dari Sulawesi. Konon kabarnya ia ingin ke sana, tetapi tidak jadi demikian. Baru pada tahun 1545 tibalah seorang pastor, bernama Vicente Viegas. Pastor Viegas tinggal di daerah ini selama tiga tahun dan sering kali mengadakan perjalanan di pedalaman. Dari arsip pastor-pastor Portugis di Lisboa dapat diketahui bahwa pada waktu itu di Baco Kiki diperdirikan suatu Gereja yang sederhana, dibawah perlindungan Malaikat Agung St. Rafael. Disitulah Pastor Viegas mempermandikan Datu Suppa, yang telah mengganti ayahnya, dan juga Datu Alita. Dari arsip yang sama itu dapat lagi kita ketahui bahwa umat Katolik di bagian Timur Indonesia berjumlah kurang lebih 50.000 jiwa, tetapi kebanyakan mereka di Maluku. Di daerah Sulawesi Selatan ribuan orang, a.l. di Pangkajene/Sidenreng, ingin dipermandikan tetapi tiada pastornya. Daerah Sulselra yang merupakan taman yang begitu luas dan subur. Lagi sedia menerima bibit Sabda Tuhan, tidak jadi dikerjakan karena kekurangan pekerja-pekerjanya. Maka tidak heranlah bila pada tahun 1603 Raja Gowa beserta rakyatnya masuk agama Islam, diikuti daerah Tello dan Soppeng/Wajo masing-masing pada tahun 1607 dan 1610. Walaupun raja Gowa telah memeluk agama Islam namun ia bersikap toleran sekali terhadap agama Katolik. Terlebih sesudah benteng Portugis di Malaka jatuh dalam tangan V.O.C. dan banyak orang Portugis mengungsi ke Makassar. Mereka diizinkan berdiam di sini, dan pastor-pastornya diberi keluasan menjalankan tugas mereka. Demikian pula di bawah pemerintahan Sultan Hasanuddin menurut laporan Pastor Fernandez Navarette pada tahun 1658. Kesulitan-kesulitan di kelak hari datang dari pihak Kompeni Belanda. Sedikit demi sedikit V.O.C. menduduki pulau-pulau Indonesia dan akhirnya pada tanggal 19 Agustus 1660 Makassar pula terpaksa meletakkan senjata dan menandatangani persetujuan di Batavia. Salah satu syaratnya ialah: dalam waktu setahun semua orang Portugis harus telah meninggalkan Makassar. Dalam pelaksanaan syarat ini Sultan Hasanuddin bertindak dengan bijaksana, sehingga baru habis 5 tahun pastor Makassar yang penghabisan meninggalkan Sulawesi. Dibawah kuasa V.O.C. orang-orang Katolik dipaksa memeluk agama Protestan dan pastor-pastornya diusir, hanyalah dipulau Flores dan Timor para pastor dapat meneruskan pekerjaannya. Selama duaratus tahun tiada riwayat Gereja Katolik di Sulawesi Selatan. Saat kemerdekaan agama bagi Gereja Katolik di Indonesia dibawah pemerintahan Belanda, baru tiba pada tahun 1806 ketika Napoleon mengangkat saudaranya Louis menjadi raja negeri Belanda, karena keduanya beragama Katolik. Tidak lama kemudian yakni pada tanggal 10 April 1808, tibalah dua orang pastor Batavia menjadi imam-imam Katolik yang pertama diizinkan masuk Indonesia dibawah pemerintahan kolonial. Pada tahun 1852 Makassar telah dikunjungi oleh seorang pastor dari Batavia, tetapi baru pada tahun 1892 datanglah seorang pastor untuk menetap di Makassar. Ia sempat menyewa sebuah rumah jalan Sultan hasanuddin, yang sementara waktu di pergunakan juga sebagai tempat kebaktian. Enam tahun kemudian didirikan Gereja di jalan Kajaolalido yang kini menjadi Gereja Katedral Makassar setelah mengalami perubahan dan diberi menara pada tahun 1941. Pastor Makassar sering kali mengadakan perjalanan keliling pedalaman Sulawesi Selatan & Tenggara, dan mulai tahun 1912 dikunjunginya pula pulau Muna (Raha) dan Banggai/Sambiut. Karena lapangan kerjanya terlalu luas untuk hanya seorang Pastor di Makassar pada tahun 1925. Dua tahun kemudian tibalah pula suster-suster yang dengan segera membuka sekolah rakyat bertempat di halaman Rajawali, yang kini penuh dengan aneka macam sekolah-sekolah. Pada tahun 1929 di tetapkan seorang pastor di Raha dan pada tahun 1931 rumah sakit setempat mulai diselenggarakan oleh suster-suster yang datang dari Makassar. Juga dibuka beberapa Sekolah Rakyat di Raha dan pedalaman Muna. Karena bertambahnya jumlah umat Katolik di Makassar didirikan sebuah Gereja baru di halaman Rajawali pada tahun 1933. Tahun berikutnya tibalah frater-frater yang terus membuka sekolahnya, mula-mula hanya Sekolah Rakyat saja. Di Tana Toraja agama Katolik telah juga di peroleh kemajuan, dan gedung Gereja yang pertama didirikan pada tahun 1935. Pada 7 Januari 1940 rumah sakit Stella Maris membuka pintunya menerima orang-orang yang sakit. Apabila pecah perang Pasifik jumlah pastor-pastor sudah sampai 8, yang diantaranya seorang bertempat tinggal di daerah Mamasa, seorang di Makale, dua di pulau Muna, dan empat di kota Makassar. Jumlah gereja-gereja adalah 10, yakni 5 di Makassar, 3 di Muna dan 2 di Tana Toraja. Sekolah Katolik sudah ada 6 di Makassar dan 12 di pedalaman. Jumlah umat Katolik pada waktu itu sampai 4000. Selama perang semua pastor dan hampir semua biarawan/biarawati juga dimasukkan dalam tahanan oleh Jepang, tetapi untunglah beberapa kali seorang pastor Jepang dan Uskupnya mengunjungi umat Katolik di Sulawesi Selatan. Sesudah perang usaha-usaha Gereja Katolik, baik di lapangan keagamaan maupun di lapangan pendidikan dan kesehatan, dibuka kembali dan diperkembangkan terus dengan lancarnya. Setelah kemerdekaan tercapai penempatan pastor-pastor di pedalaman tidak memenuhi halangan lagi. Gereja Katolik tutur dalam pembangunan semesta dengan mendirikan bermacam-macam sekolah, seperti taman kanak-kanak, Sekolah Rakyat (S.R), S.M.P, S.M.A., S.G.A., dll. Rumah Sakit baru dan rumah bersalin di buka di Makassar, Makale dan Pare-pare. Gereja dibangunkan, baik di Makassar dan Pare-pare, maupun di pulau Muna, Tana Toraja dan daerah Luwu, sering-sering oleh umat Katolik setempat sendiri. Pendidikan pastor-pastor Indonesia, begitu juga frater dan suster dapat perhatian penuh. Suatu seminari menengah untuk pendidikan pastor telah dimulai di Makale pada tahun 1950 kemudian pada tahun 1953 dipindahkan ke Makassar di Jalan Gagak 90-92. Suatu tarekat Indonesia frater-frater dibina pada tahun 1958, dan bagi gadis-gadis yang ingin menjadi biarawati dibuka kesempatan untuk maksud itu biara suster Rajawali sejak tahun 1959. Dulu pendidikan semacam ini terdapat di Tomohon (Sulawesi Utara) dan para calon suster harus pergi kesitu, tetapi kini mereka tidak perlu lagi pergi ke tempat yang jauh itu. Gereja Katolik di Sulawesi Selatan & Sulawesi Tenggara sebelum tahun 1937 secara organik termasuk Sulawesi Utara (Manado), akan tetapi dipisahkan pada tahun itu menjadi Perfektur Apostolik. Kemudian statusnya dirubah lagi menjadi Vikariat Apostolik pada tahun 1948, dan akhirnya pada tanggal 24 Januari 1961 menjadi Keuskupan Agung Makassar. Pada tanggal itu Sri Paus Johannes XXII mengumumkan pembentukan Hirarki Gereja di Indonesia, yang berarti bahwa Gereja disini dianggap telah mencapai kedewasaannya. Bentuk organisasi pimpinannya kini sama seperti di negeri-negeri yang sudah lama menjadi Katolik. Makassar, 15 Februari 1961 oleh Nicolas Martinus Schneiders.[5] Pengeboman Katedral Makassar tahun 2021Pada perayaan Minggu Palma tanggal 28 Maret 2021, Gereja Katedral Makassar menjadi sasaran bom bunuh diri. Pelaku bernama Ibrahim Ibnu Andra dan disinyalir berasal dari kelompok esktremis Islam, Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Karena bom tersebut, setidaknya 2 pelaku menjadi korban, sementara itu tidak ada satupun umat Katolik yang menjadi korban dari ledakan tersebut. Meski demikian, 20 orang lainnya yang mengalami luka-luka.[6] Daftar uskup dan pastor Katedral MakassarSejak gereja ini menjadi Stasi dan Paroki (7 September 1892) sampai 19 Oktober 1997), ada 61 pastor yang pernah melayaninya (pastor paroki dan pastor pembantu), ada 14.860 orang baptis, dan 2.567 pasangan pengantin yang diberkati di gereja ini.[butuh rujukan]
Lihat jugaSumber
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Makassar Cathedral. |