Jogja-NETPAC Asian Film Festival
Jogja-NETPAC Asian Film Festival (selanjutnya disingkat JAFF) adalah festival film di Indonesia yang digelar setiap tahun sejak 31 Juli 2006 di Yogyakarta. Festival ini menghadirkan sinema dari negara-negara di Asia, khususnya Indonesia. Selama penyelenggaraannya, JAFF bekerja sama dengan NETPAC (Jaringan untuk Promosi Sinema Asia), organisasi yang berpusat di Sri Lanka yang menghubungkan para kritikus, pembuat film, kurator, penyelenggara festival, exhibitor, dan pemerhati film dari 30 negara di Asia.[1] JAFF mengadakan program rutin yang menayangkan karya-karya terpilih dari Asia, baik yang sifatnya kompetisi maupun non-kompetisi, di antaranya bertajuk Asian Feature, Light of Asia, dan Asian Perspectives. Pemutaran tiap film dikemas sesuai tema. Asian Feature merupakan pemutaran sekaligus kompetisi film-film panjang Asia. Penghargaan yang diperebutkan yakni Golden Hanoman Award untuk film terbaik pertama se-Asia, Silver Hanoman Award untuk film terbaik kedua se-Asia, NEPAC Award untuk film terbaik Asia dari juri NETPAC, dan Geber Award untuk film terbaik Asia versi komunitas film. Light of Asia merupakan pemutaran sekaligus kompetisi film-film pendek Asia untuk memperebutkan penghargaan Blencong Award.[2] Adapun untuk film non-kompetisi, diputarkan dalam program Asian Feature.[3] JAFF dimeriahkan pula oleh kesenian lokal yang tampil pada pembukaan dan penutupan, forum diskusi tentang dunia sinema dengan para sineas dan komunitas film Nusantara, serta pertunjukan layar tancap di desa-desa di Yogyakarta.[4] PendirianJogja-NETPAC Asian Film Festival pertama kali digelar pada 2006 atas inisiasi beberapa pembuat film, pelaku film, dan penikmat film di Indonesia, di antaranya Garin Nugroho, Ifa Ifansyah, Budi Irawanto, Yoseph Anggi Noen, Ajish Dibyo, Dyna Herlina, dan Ismail Basbeth. Sebelum adanya JAFF, festival film internasional di Indonesia dianggap hanya berfokus pada film Amerika dan Eropa sehingga membuat sebagian besar para pembuat film berkiblat pada cara pembuatan bahkan pada ide cerita yang diangkat. Hal ini melahirkan kegelisahan di antara Garin dan rekan-rekan untuk membuat festival film internasional yang berfokus pada Asia. Untuk mencari dukungan dari kurator atau tokoh dalam menghidupkan film Asia, Garin mengontak Philiph Cheach, salah seorang kurator dari NETPAC, organisasi film dan budaya yang anggotanya berasal dari 30 negara, Hasil diskusi antara Garin, Philiph, dan beberapa komunitas di Yogyakarta menyepakati mengangkatkan festival bertajuk Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) dan NETPAC bersedia menjadi mitra untuk penyelenggaraan JAFF.[1] JAFF menjadi festival film internasional ketiga yang diadakan di Indonesia setelah Festival Film Internasional (JIFFEST) di Jakarta dan Festival Film Dokumenter (FFD) di Yogyakarta. JAFF berfokus pada perkembangan sinema di Asia dan memberi ruang bagi film-film alternatif. Selain itu, JAFF menjadi tempat bertemunya komunitas film dan pelaku sinema lainnya se-Asia. Penyelenggaraan pertama JAFF berlangsung pada 7–12 Agustus 2006, tak lama setelah bencana gempa bumi melanda wilayah Yogyakarta pada 27 Mei. Tema yang diusung JAFF adalah “Sinema di Tengah Krisis” (Cinema in the Midst of Crisis), yakni meyoroti bagaimana sinema berperan di tengah krisis akibat bencana alam dan sosial yang menyebabkan perubahan di tengah masyarakat. Kompas menyebut penyelenggaraan perdana JAFF menjadi usaha untuk menunjukkan pada dunia internasional bahwa masyarakat Yogyakarta tengah bangkit dan membangun kembali kotanya.[5][6] Sejak berdiri, JAFF bekerja sama dengan NETPAC dan menggandeng negara-negara Asia. Festival ini dinilai telah menjadi salah satu festival film yang disorot oleh pegiat film. Dalam perkembangannya, JAFF menjadi bagian dari agenda rutin program pemerintah daerah setempat. Pemerintah Kota Yogyakarta menyediakan dana penyelenggaraan, walaupun tidak terus-menerus ada pada setiap tahun pelaksanaannya.[1] Selain itu, JAFF berdampak pada tumbuhnya geliat perfilman di Yogyakarta. Beberapa orang yang pernah menjadi anggota panitia JAFF kini dikenal sebagai pembuat film berskala nasional, di antaranya Ifa Isfansyah (Pendekar Tongkat Emas, Garuda di Dadaku) dan Ismail Basbeth (Talak 3, Mencari Hilal).[7] Sukses pada tahun pertamanya, JAFF kembali diadakan pada 2007 dengan tema "Diaspora", yakni bagaimana sinema dapat memberi ruang pertemuan simbolik berbagai komunitas yang mengalami dislokasi sosial akibat proses perubahan. Penyelenggaraan kedua JAFF berlangsung pada 29 Juli–2 Agustus 2007. Pada 2008, JAFF diselenggarakan pada tanggal 9–13 Agustus 2008 di seputaran Taman Budaya Yogyakarta. JAFF edisi ketiga ini menyoroti perubahan dengan mengusung tema besar "Metamorfosa".[8] 2009–2012Pada 2009, JAFF mengusung tema "Homeland", menyoroti perubahan-perubahan makna dan konsep Tanah Air. JAFF keempat ini diselenggarakan pada 4–8 Agustus 2009. JAFF 2009 melakukan pemutaran film di beberapa kampung seperti Omah Opak, Badran, dan Gendingan, serta ke beberapa sekolah dan institusi yang dikemas dalam program Screening for Children.[9] Pada 2010, JAFF diselenggarakan pada 26–30 Desember 2010. Edisi ini mengusung tema "Recovery", sebagai respons terhadap proses pemulihan dari bencana. Selama 2010, Indonesia dilanda beberapa bencana besar yakni Letusan Gunung Merapi, Banjir Wasior, dan Tsunami Kepulauan Mentawai. Terdapar 38 film yang terdiri dari 21 film panjang dan 17 film pendek dari berbagai negara di kawasan Asia yang diputar. Pemutaran film dibagi ke dalam program "Asian Feature", "Light of Asia", dan "Special Screening".[10] Selain menonton film, JAFF mengajak pegiat film mengikuti kuliah umum bersama para pengamat, praktisi, serta akademisi yang berasal dari berbagai latar belakang.[11] Pada 2011, JAFF mengusung tema "Multitude", yang menggambarkan keberagaman dari berbagai aspek industri film di Asia. Selama lima hari penyelenggaraannya pada 13-17 Desember 2011, JAFF menyedot 4.125 penonton. Pada edisi ini, diadakan program khusus, yaitu mengenai peringatan 70 tahun perjalanan sinema di Kyrgyzstan.[12] Pada 2012, JAFF berlangsung 1–5 Desember 2012 mengangkat tema "Redreaming Asia" (Memimpikan Ulang Asia) yang mengajak khalayak mengimajinasikan kembali wajah Asia yang tengah dilanda arus deras perubahan mulai dari bencana alam, konflik etnik, protes, dan gerakan sosial yang mencuat dari pelbagai penjuru Asia.[13] 2013–2016Pada 2013, JAFF berlangsung pada 29 November–7 Desember dengan tema "Altering Asia". JAFF yang biasanya diadakan tanpa memungut biaya, tahun ini menerapkan sistem donasi untuk mengukur apresiasi dari pengunjung.[14] Pada pelaksanaan JAFF kali ini, diputar 90 film yang terdiri dari 37 film panjang dan 43 pendek. Selain itu, diputar pula 13 film panjang dan 12 film pendek yang ikut serta dalam kompetisi di JAFF 2013.[15] Program istimewa JAFF 2013, yakni National Figure on Cinema yang menayangkan Sang Pencerah, Sang Kyai, Soegija, dan Soekarno. Program berikutnya bertajuk "Ngerjain (Film) Teman" yang melibatkan enam sutradara: Bambang Ipoenk KM, Ismail Basbeth, Paul Agusta, Bani Nasution, Jason Iskandar, dan Jeihan Anggga.[16] JAFF 2013 meraup penonton sebanyak 6.400 orang.[1] Pada edisi 2014, JAFF mengusung tema "Re-Gazing at Asia" (Menatap Ulang Asia) yakni menyoroti peran penting para sutradara dan produser perempuan untuk membantu publik memandang-ulang Asia lewat sentuhan afeksi dan semangat kesetaraan. Dalam penyelenggaraan ke-9 ini, JAFF memulai program The Faces of Indonesian Cinema Today. Program ini menampilkan film-film panjang maupun pendek Indonesia terkini yang dianggap mewakili pencapaian perfilman Indonesia saat ini. Selain itu, tahun 2014 untuk pertama kalinya diselenggarakan Student Ward. Di sini para mahasiswa diundang untuk menyaksikan dan menilai suatu film. Penilaian ini nantinya akan mendapat penghargaan dari pihak penyelenggara.[4] Negara yang berpartisipasi pada 2014 sejumlah 18 negara. JAFF 2014 menyedot 8.543 penonton.[1] Pada 2015, JAFF mengambil tema "Becoming Asia". JAFF tahun ini berlangsung pada 1–6 Desember 2015 diikuti 23 negara di Asia. JAFF 2015 menyedot 10.058 penonton.[1] Pada 2016, JAFF mengangkat tema "Islandscape", yang menyoroti representasi budaya dalam sinema di kawasan Asia-Pasifik. JAFF 2016 digelar tanggal 28 November–3 Desember 2016 di Yogyakarta.[17] 2017–sekarangPada 2017, JAFF dihelat pada tanggal 1–8 Desember 2017. Berbeda dengan edisi sebelumnya, JAFF 2017 memberikan dua kategori untuk Asian Perspectives, yakni film panjang dan film pendek.[18] Pada edisi ini, JAFF berkerja sama dengan KINEKO International Children’s Film Festival di Jepang untuk program Art for Children yang mengangkat film yang bisa dinikmati oleh anak dari usia satu tahun hingga dewasa. Selain itu, JAFF menghadirkan program Respect Japan dan Shanghai International Film Festival. Bekerja sama dengan Japan Foundation, Respect Japan menayangan film Shoplifters, karya Hirokazu Kore-Eda dan Tokyo Story, film tahun 1953 karya Yasujiro Ozu. Sementara itu, Shanghai International Film Festival menyajikan sejumlah sinema dari China seperti The Road Not Taken dan Birds in Mire.[19][20] Pada edisi 2018, JAFF secara resmi meniadakan program Asian Doc yang berfokus kepada dokumenter di Asia dan menggabungkan ke dalam program Asian Perspective untuk program non kompetisi.[21] JAFF 2018 menyuguhkan program spesial Layar Klasik. Di sini, penonton bisa menyaksikan kembali empat film lama yang punya nilai sejarah tinggi untuk sinema Asia dan sudah direstorasi, deretan film pendek pilihan seperti Hukla in Motion yang merupakan interpretasi sinematik dari puisi-puisi Leon Agusta, Layar Komunitas, serta Special Gala untuk film Love is a Bird dan Daysleepers.[19] ProgramAgenda utama Jogja-NETPAC Asian Film Festival yakni pemutaran sekaligus kompetisi bagi film-film di Asia. Kompetisi film dibagi berdasarkan kategori film. Kategori film panjang dikompetisikan dalam Asian Feature. Kategori ini memperebutkan Golden Hanoman Award untuk film Asia terbaik pertama dan Silver Hanoman Award untuk film Asia terbaik kedua. Selain itu, ada NETPAC Award untuk karya pilihan NETPAC dan Geber Award untuk karya pilihan komunitas film dari berbagai kota di Indonesia. Kategori film pendek dikompetisikan dalam Light of Asia untuk memperebutkan Blencong Award. Selain itu, film kompetisi di JAFF akan memperebutkan Jogja Student Film Award, yakni penghargaan berdasarkan pilihan murid sekolah-sekolah film yang ada di Yogyakarta.[1][22] Pada 2017, JAFF mengkreasi kategori kompetisi baru, yakni JAFF Indonesian Screen Awards yang diperuntukkan bagi film-film Indonesia baik panjang maupun pendek.[23][24] Adapun program non-kompetisi terdiri dari beberapa program. Asian in Focus yakni memilih film-film dari suatu negara di Asia yang memiliki pencapaian yang layak dicatat.[18] Film dalam program ini dipilih atas dasar keberanian pembuat film menyentuh ranah yang berbeda, baik dalam konteks dan tema cerita yang dipilih maupun pilihan estetika. Indonesian Cinema yakni program pemutaran khusus film-film Indonesia sebagai ruang apreasiasi atas film-film Indonesia yang tidak mendapat jalur distribusi mainstream dan film-film Indonesia yang menjadi representasi tema penyelenggaraan JAFF. Asian Perspectives merupakan program non-kompetisi terhadap perkembangan sinema dunia.[19] Selain itu, terdapat program Asian Docs yang merupakan program kolaborasi dengan Festival Film Dokumenter (FFD).[25] Dalam tiap tahun edisinya, JAFF mememiliki beberapa program istimewa.[1] Di luar itu, terdapat program pemutaran film layar tancap bertajuk Open Air Cinema. Program ini hadir untuk mendekatkan film kepada para penonton yang memiliki akses terbatas ke bioskop konvensional, biasanya diselenggarakan sebelum festival dimulai. Pemutaran film dilakukan di lapangan atau lahan luas di desa-desa Yogyakarta.[26][27] Selain pemutaran film, terdapat sesi diskusi yang mengundang pelaku film dari berbagai nagara dan para penggerak film Indonesia. Kegiatan ini bertajuk "Public Lecture". Bentuknya berupa seminar, diskusi, maupun peluncuran buku. Topik yang diangkat beragam mengikuti isu maupun permasalahan sinema secara global.[1] Pemenang
Referensi
Pranala luar
|