HaroaHaroa adalah tradisi menyambut bulan Ramadan oleh masyarakat Buton dan Muna di Sulawesi Tenggara. Kata haroa berarti sesajen (sajian makanan) yang disiapkan untuk menyambut datangnya bulan Ramadan. Sedangkan dalam bahasa Muna, Haroa berasal kata “haro” yang artinya ‘sapu’ atau ‘membersihkan’. Haroa yang juga dilaksanakan oleh masyarakat Liya bukan sekedar ritual belaka, tetapi merupakan kebiasaan turun temurun dan memiliki nilai tertentu. Pada tradisi Haroa akan disajikan makanan berupa sepiring nasi minyak tertutup telur yang berada ditengah talang [1] dan kue tradisional berupa onde-onde, wajik (waje), ubi goreng (ngkaowi-owi), cucur (cucuru), kue beras (baruasa), pisang goreng (sanggara), kue pasta (epu-epu), dan bolu serta Manu nasu wolio (ayam masak khas wolio) yang disajikan dalam cangkir.[2] Sajian tersebut akan diletakkan di wadah bernama Tala (talang berkaki) dengan penutup yang oleh masyarakat Liya menyebutnya dengan katubangko. Sajian ini akan berbeda yang meliputi tata letak/piranti saji maupun perbedaan jumlah kuliner yang didasarkan pada status sosial. Pada beberapa wilayah memiliki tata cara pengisian talang yang berbeda-beda, misalnya masyarakat Wajo-Lamangga, Melai, Wameo dan Kadolo.[3] Juga ada perbedaan jumlah setiap makanan yang akan disajikan, yaitu satu piring untuk satu jenis makanan dan berjumlah ganjil jika Haroa tersebut untuk bulan baik sedangkan untuk Haroa orang yang telah meninggal jumlah sajian akan berjumlah genap.[4] Selain menjadi upacara mengucap syukur, tradisi Haroa juga bisa berfungsi sebagai media penyelesaian konflik dan penyatuan masyarakat yang beda suku, dikarenakan acara ini mengundang para kenalan tidak terbatas oleh suku tertentu saja.[5] SejarahBagi masyarakat Muna, tradisi Haroa atau Baca-Baca telah diperkenalkan sejak lama yaitu saat Kerajaan Wuna dipimpin oleh Raja Muna yang bernama La Ode Abdul Rahman (Sangia Latugho). Sedangkan di masyarakat Buton, telah ada Haroa Qunut yang dilaksanakan secara turun temurun sejak Abad ke-16 saat masuknya Islam di wilayah Kesultanan Buton.[5] Pada tahun 1990-an, kesibukan mempersiapkan Haroa telah terlihat sejak seminggu sebelum hari pelaksanaan. Para ibu di Raha akan mulai berbelanja di pasar, membawa pulang barang berupa utas bontu–tali yang terbuat dari kulit kayu waru yang dijemur hingga kering lalu disebit untuk dijadikan tali pengikat lapa-lapa. Selain itu bahan-bahan yang tidak mudah layu atau membusuk telah disiapkan sejak jauh hari seperti ayam kampung, gula merah, kelapa, beras ketan, beras merah, dan telur ayam. Hal ini dikarenakan masakan tradisional Muna akrab dengan santan, gula merah, dan telur yang dinamakan dengan kauwei atau bumbu gulai.[6] Saat lebaran tinggal sehari atau dua hari barulah mereka membeli janur, pisang raja dan bahan lain yang gampang layu atau membusuk. Di sela-sela itu mereka mulai menganyam kulit pembungkus lapa-lapa dari janur serta menapis beras. Sambil melengkapi menu Haroa yang mensyaratkan adanya lapa-lapa, gulai ayam, wajik, cucur, kue srikaya, pisang raja dan telur rebus. Saat malam lebaran, kesibukannya adalah menumbuk beras untuk adonan kue cucur dan membuat kuah gulai. Besok subuhnya, dapur kembali disibukkan oleh menanak lapa-lapa di perapian yang menggunakan tungku dan kayu bakar. Seringkali tungku ini dibantu semprong agar nyalanya tetap baik. ProsesiSebelum Haroa, biasanya orang tersebut akan pergi ziarah kubur di pagi, siang dan sore, barulah pada sore atau malam hari usai waktu Magrib ataupun Isya akan dilaksanakan Haroa. Dalam pelaksanaan Haroa terdapat tudung saji dibungkus mukena putih diletakkan ditengah-tengah keluarga yang duduk melingkar.[1] Berikutnya tuan rumah akan memanggil orang tua atau yang akan membacakan doa untuk panjang umur, banyak rejeki, dan terhindarkan dari segala musibah. Tradisi Haroa akan dipimpin oleh lebbe atau Modhi dalam masyarakat Muna [7], yaitu salah seorang sarana masigi atau syara‟ masjid atau tokoh adat. Dalam prosesi Haroa biasanya juga dilakukan membakar dupa dengan maksud untuk memberikan suasana khusyuk atau harum dalam suasana pembacaan doa.[8] Bahan dupa yang dibakar biasanya adalah gula pasir, kulit langsat yang dikeringkan, dan lilin sarang lebah. Bahan dupa dibakar dalam sebuah wadah sebesar mangkuk sabun colek yang terbuat dari tanah liat oleh Modji sedikit demi sedikit sambil melafalkan doa-doa. Selanjutnya mengucapkan syahadat dan istighfar, kemudian membaca beberapa ayat suci Al-Qur’an, dilanjutkan dengan membaca tasbih, tahmid, tahlil dan takbir sebanyak 100 kali. Setelah itu dilanjutkan membaca doa selamat, doa tolak bala, doa kemudahan rezeki, dan doa pengampunan dosa untuk keluarga yang telah meninggal dunia. Setelah doa selesai, maka diakhiri dengan menjabat tangan orang yang memimpin Haroa, lalu saling berjabat tangan dengan semua anggota keluarga yang hadir. Setelah itu dilanjutkan dengan makan bersama.[9] Macam-macam HaroaKegiatan Haroa juga bisa dilaksanakan untuk menyambut perayaan besar Islam lainnya seperti Maulid Nabi, berakhirnya Ramadan dan nisfu sya’ban atau hajatan terkait pekerjaan, usaha, pendidikan, hasil panen, kematian, kelahiran, baru sembuh dari sakit, pindah rumah dan lainnya. Adapun Haroa yang umum dilaksanakan dalam masyarakat Buton adalah:[5] Pekandeana anana maeluPekandeana anana maelu atau makan-makannya anak yatim adalah Haroa yang dilakukan setiap tanggal 10 Muharram yang merujuk pada peristiwa meninggalnya Husain bin Ali. Haroa ini dilaksanakan dengan harapan memberi kekuatan bagi Imam Ali Zainal Abdiin agar kuat dalam meneruskan amanah Rasululah untuk menegakkan agama Islam. Tradisi ini bermula pada masa Kesultanan Buton di tahun 1824 saat Sultan Ibnu Badaruddin Al Butuni menegur para punggawanya perihal ibadah, di mana si punggawa telah menunaikan salat namun belum menyantuni anak yatim. Sehingga Sulan Badaruddin pun menerangkan perihal memperlakukan anak yatim yang dikutip dari surah Al Amaun ayat 1-7. Sehingga Kesultanan Buton menggelar tradisi Pakandeana Anaana Maelu dan menetapkan sebagai kewajiban bagi seluruh dermawan serta menganjurkan memberi pendidikan layak kepada anak yatim piatu.[10] Pelaksanaannya adalah dengan cara memanggil dua orang anak yatim berusia 4-7 tahun (sesuai umur Imam Ali). Ritual ini akan dimulai dengan acara memandikan anak yatim oleh tetua adat. Anak laki-laki akan dibasuh dengan bunga "jampaka" sedangkan anak perempuan dengan bunga kamba manuru, sebanyak tiga kali sambil mengucapkan salawat. Menurut keyakinan, bunga "jampaka" melambangkan keperkasaan pria dan Bunga "kamba manuru" lambang dari kelembutan wanita.[10] Anak-anak tersebut dibasuh dari leher, muka hingga kepala dan diberikan pakaian bagus. Setelahnya mereka disuapi dengan hidangan yang telah disiapkan menggunakan wadah talang. Adapun makna filosofis dari pengusapan air tersebut adalah agar anak yatim itu mendapat pahala sebanyak helaian rambut.[11] Haroa na MaluduHaroana Maludu yaitu Haroa yang dilaksanakan pada bulan Rabiul Awal untuk memperingati maulid Nabi Muhammad SAW. Menurut adat Buton, Haroa maludu dibuka oleh sultan Buton pada malam ke-12 hari. Kemudian untuk kalangan masyarakat biasa bisa memilih salah satu waktu antara hari ke-13 hingga ke-29 bulan Rabiul Awal. Setelah itu ditutup oleh Haroana Hukumu pada hari ke-30 Rabiul Awal. Haroa na Maludu di masyarakat Baubau dan Buton akan didahului oleh acara Gorana Oputa. Tradisi ini akan dilaksanakan oleh Sara Ogena (Sultan dan Perangkat-perangkatnya) dengan melibatkan Sara Kidina (Perangkat Masjid Agung Keraton) sebagai pembaca Barasanji dan Do’a dan sudah dilakukan sejak turun temurun di Buton sejak masa Kesultanan Murhum. Sekarang, tradisi Gorana Oputa ini diselenggarakan setiap tahunnya di rumah jabatan Wali Kota Baubau dan penanggung jawabnya adalah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Baubau.[12] Di masa kini, prosesi 'Haroana Maludhu' dilaksanakan sejak satu malam sebelum perayaan. Prosesi dimulai dengan 'Antokiana Haroa Rasulu', menyiapkan perlengkapan untuk ritual keesokan harinya disertai pembacaan doa oleh para sesepuh dan pemuka masyarakat. Selanjutnya dilakukan 'Panimpa' (pelaksanaan nadzar bagi yang bernadzar) dan 'Tapayana Maludhu Wolio' yaitu menengarkan syair lagu maludhu yang dibawakan oleh seorang pemuka agama diiringi gendang maludhu oleh para sesepuh dengan harapan mendapat keberkahan dari Tuhan yang maha Esa.[13] Haroa na RajabuHaroana Rajabu yaitu Haroa untuk memperingati para syuhada yang gugur di medan perang dalam memperjuangkan Islam bersama-sama Nabi Muhammad SAW. Haroana Rajabu dilakukan pada hari Jumat pertama di bulan Rajab dengan melakukan tahlilan serta berdoa semoga para syuhada tersebut diberi ganjaran yang setimpal oleh Allah. Haroa na Rajabu diciptakan oleh Sultan Muhammad Salihi (1871-1885) untuk memperingati roh-roh keluarga yang telah meninggal dunia.[14] Maka haroa ini bagi masyarakat Buton dianggap sama dengan Haroa “Sumangga” yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai bentuk acara adat untuk terhindar dari hal-hal buruk yang akan terjadi. Haroa ini juga kesempatan bagi mereka untuk mengirimkan doa kepada para orang tua kita yang telah berpulang. Haroa Rajab ini akan dipandu oleh seorang Tokoh Adat atau biasa disebut sebagai “Mouji” dalam bahasa Indonesia disebut perangkat petugas Masjid.[15] Poalana MatePoalana Mate adalah Haroa yang dilakukan dengan tujuan mengiringi kematian seseorang. Tradisi ini dilaksanakan pada hari pertama kematian, hari ke-tujuh, hari ke-empat puluh dan hari ke-seratus dua puluh.[16] Haroa KasongkonoHaroa Kasongkono atau Haroa Nomoalono (masyarakat Muna) adalah Haroa yang dilaksanakan pada puasa ke 7 di bulan syawal (satu pekan setelah Ramadan) yang umumnya dilakukan oleh masyarakat di kota Kendari.[8] Haroa SumangaHaroa Sumanga adalah Haroa yang dibaca pada waktu orang sembuh dari sakit yang diduga mendapat kasundu (siksaan) dari roh orang yang telah meninggal dunia yang memiliki hubungan keluarga dengannya.[9] Haroa turuntanaHaroa turuntana adalah Haroa yang dibaca pada waktu pulang dari menyiram kuburannya orang yang baru meninggal.[9] Haroa No TauHaroa No Tau adalah Haroa tahunan yang selalu dilaksanakan oleh masyarakat Kulisusu dengan tujuan mengucap syukur atas rejeki dan harapan agar memiliki hidup yang selamat serta bertambahnya rejeki. Haroa tahunan ini dilaksanakan di Baruga Keraton Kulisusu, desa Wasalabose, kecamatan Kulisusu, kabupaten Buton Utara. Acara diawali dengan lantunan ayat suci Alquran, pembacaan doa, prosesi ritual dan selanjutnya menyantap makanan berupa 23 jenis makanan tradisional.[17] Sedangkan selama bulan ramadan, ada empat waktu pelaksanaan Haroa, yaitu: Malona Banguaatau Haroa pertama pada awal Ramadan, tetapi tidak dilaksanakan pada hari pertama puasa melainkan pada hari ke-30 di bulan sya’ban. Haroa yang dilaksanakan pada awal memasuki bulan Ramadan adalah bentuk ungkapan rasa senang masyarakat atas datangnya bulan ramadan karena dapat berjumpa kembali dengan bulan puasa dan diwujudkan dengan membuat sejumlah sajian untuk dicicipi secara bersama. Pada zaman dahulu, hari pertama Ramadan dimeriahkan dengan dentuman meriam. Kini masyarakat merayakannya dengan doa bersama di rumah serta membakar lilin di kuburan pada malam hari. Qunuaatau Haroa kedua dilaksanakan pada hari ke-15 atau pada pertengahan Ramadan. Haroa kedua bermaksud untuk menambah semangat agar puasa yang tinggal lima belas hari lagi dapat diselesaikan. Makanan yang disajikan dalam haroa dianggap sebagai 'hadiah' atas puasa lima belas hari yang lalu sekaligus sebagai 'stimulus' untuk menuntaskan kewajiban puasa yang tinggal lima belas hari lagi. Haroa Qunut telah dilaksanakan secara turun temurun sejak Abad ke-16 saat masuknya Islam di wilayah Kesultanan Buton. Haroa Qunut tidak hanya dilaksanakan di Masjid Agung Keraton, tapi juga digelar di rumah-rumah warga masyarakat Kota Baubau. Pelaksanaan Haroa ini akan dilengkapi dengan kelengkapan adat, seperti Kanturu Wolio/Padhamara Koae (lampu pijar yang terbuat dari bahan kuningan/logam tembaga), juga Palako, Tobha atau wadah menyimpan daun sirih yang oleh masyarakat adat Buton disebut gili, Pangana atau buah pinang dan buah gambir. Adapun makanan yang disajikan adalah makanan khas Wolio seperti onde-onde, waje, palu, loka yihole, kaowi oei yihole, yang diletakan diatas Tala Koae atau Talang yang terbuat dari bahan kuningan/logam tembaga dan ditutupi Panamba. Kadhiriaatau Haroa ketiga dilaksanakan pada hari ke-27 Ramadan, yakni khusus dilakukan untuk menyambut datangnya malam Lailatulqadar. Haroa ketiga dilaksanakan bersamaan dengan menyalakan tutungi atau lampu tembok yang wadahnya dari kulit kerang, menggunakan minyak kelapa, dan sumbunya dari kapas yang dipasang di tiang dan sudut-sudut tiap rumah warga sehingga suasana menjadi terang. Adapun masyarakat Muna lebih banyak melakukan doa sendiri tanpa ada baca-baca dan sajian makanan tetap disediakan dalam rumah dan tidak boleh dihabiskan.[18] Haroa RorayahaSedangkan Haroa Rorayaha atau Haroa keempat dilaksanakan setelah selesai bulan Ramadan, yaitu pada tanggal 1 Syawal yang bertepatan dengan Idulfitri. Referensi
|