Giriasih, Purwosari, Gunungkidul
KONDISI GEOGRAFISDesa Giriasih merupakan salah satu Desa di Kecamatan Purwosari Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara yuridis, Desa Giriasih sebagai salah satu desa yang luas wilayahnya dan jumlah penduduknya terkecil se Kabupaten Gunungkidul. Secara geografis, Desa Giriasih berada pada 07058’24”LS 08004’35”LS dan 1100 20’03”BT–110025’04”BT, dengan luas wilayah 611,785 Ha dengan batas wilayah sebagai berikut: 1. Batas Utara: Desa Giritirto dan Girijati Kecamatan Purwosari 2. Batas Timur: Desa Giritirto dan Giripurwo Kecamatan Purwosari 3. Batas Selatan: Desa Giricahyo Kecamatan Purwosari 4. Batas Barat: Desa Girijati Kec Purwosari dan Desa Seloharjo Kab Bantul ORBITRASI DESA
LUAS WILAYAH
Kodisi Fisik WilayahA. TofografiSecara tofografi sebagian besar wilayah Desa Giriasih dan Kecamatan Purwosari pada umumnya merupakan daerah perbukitan. Berdasarkan peta tanah semi detail Daerah Istimewa Yogyakarta skala 1: 50.000 menggunakan klasifikasi puslitanak, terdiri dataran alluvial, kast dan lembah kast, dengan tofografi dataran bergelombang dengan kemiringan 0%-3% perbukitan karst. B. HydrologiSebagaimana permasalahan utama di daerah Kabupaten Gunungkidul kurang tersedianya air bersih dikarnakan keberadaan air tanah yang cukup dalam dan sangat jarang dijumpai di Desa Giriasih, sedangkan untuk air tadah hujan tidak mencukupi untuk pertanian. Desa Giriasih memiliki sumber air yang digunakan sebagai sentral kebutuhan air bersih antara lain Sumber Air Manggung di Klepu dan sumber air pego diwilayah padukuhan Ngoro-oro dan Wonolagi C. GeologiFormasi Geologi yang membentuk Desa giriasih termasuk dalam rangkaian pegunungan kapur, batu kal karsit. Pada formasi batuan ini Tampak gejala unik karena pada daerah ini terdapat gua kapur dan sungai bawah tanah. SejarahDesa Giriasih yang pada zaman dulu disebut Desa Tlasih atau Trasih adalah merupakan salah satu Desa yang memiliki sejarah serta latar belakang cikal bakal Desa yang merupakan pencerminan karakter dari sebuah Desa ataupun Daerah. Sejarah sebuah desa sering kali kita baca ataupun kita dengar dalam sebuah dongeng ataupun legenda yang diwariskan oleh para leluhur secara turun temurun dari generasi kegenerasi, dikandung maksud agar asal-usul sebuah Desa bisa dikenang oleh generasi selanjutnya. Walaupun sangat sulit untuk dibuktikan kebenarannya bahkan tidak jarang asal usul sebuah desa sering dihubung-hubungkan dengan tempat-tempat keramat. Dalam hal ini Desa Giriasih yang pada zaman dulu dengan sebutan Desa Tlasih atau Trasih juga memiliki cerita yang merupakan identitas diri Desa yang akan kami tuangkan dalam kisah-kisah dibawah ini. Asal-Usul Desa GiriasihBerbicara desa Giriasih tidak dapat lepas dari kerajaan Majapahit. Karena nenek moyang penduduk Desa Giriasih berasal dari keturunan kerajaan majapahit Prabu Brawijaya V. Pada akhir abad ke 15 Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran dan kegoncangan disebabkan oleh: a. Raja Brawijaya kehilangan kewibawaan karena terlalu banyak selir dan putra putrinya tidak dapat bersatu. b. Pengaruh agama Islam yang berkembang sangat pesat. Perkembangan agama Islam mulai menerobos kerajaan Majapahit dengan mudah karena yang membawa pengaruh adalah putra Brawijaya V diantaranya Raden Patah. Raden Patah adalah Putra Brawijaya V putra dari istri selir dari Kerajaan Melayu bernama Dewi Kian. Raden Patah sejak kecil rajin mengaji, maka sesampai di pulau Jawa kemudian berguru kepada Sunan Ampel dengan keyakinan Islam yang kuat kemudian masuk ke Keraton dan mengembangkan Agama Islam di lingkungan Keraton. Dan akhirnya menuntut haknya sehingga terjadilah perebutan kekuasaan. Perebutan kekuasaan dimenangkan oleh Prabu Girindra Wardana, dan Putra-putra Brawijaya pergi menyelamatkan diri. Raden Patah akhirnya mendirikan kerajaan Islam di pulau Jawa yaitu Kerajaan Bintara yang berpusat di Demak. Sebagian saudara-saudaranya sudah menganut Agama Islam. Akan tetapi ada sebagian saudara-saudaranya yang tidak bisa menerima keyakinan tersebut akhirnya keluar dari kerajaan Majapahit berlari kearah barat. Putra-putra kerajaan Majapahit yang melarikan diri diantaranya: a. Raden Wonokusumo tinggal di Giring dan bergelar Ki Ageng Giring. b. Raden Bondan Surati tinggal di Karang asem di alas Ngobaran. Kemudian Perjalanan Raden Wonoboyo bersama kerabatnya menuju kearah barat sampailah di sebuah hutan atau oro-oro kemudian beristirahat. Berawal dari situlah Raden Wonoboyo berembuk bersama kerabat untuk mengakhiri perjalanannya. Dari hasil musyawarah mereka sepakat untuk berhenti dan menetap di sebuah hutan atau oro-oro. Setelah semua kerabat setuju kemudian mereka sepakat untuk membuat tempat hunian, dengan berbagai peralatan yang ada seluruh kerabat bergotong royong mencari bahan untuk mendirikan sebuah tempat peristirahatan, tidak begitu lama jadilah tempat hunian itu yang terbuat dari bambu beratapkan daun ilalang. Setelah tempat hunian itu jadi, Raden Wonoboyo menyampaikan kepada seluruh kerabat bahwa pada suatu saat nanti apabila tempat ini menjadi sebuah perkampungan diberi nama Ngoro-oro. Ngoro-oro mempunyai Filosofi dari kata Oro-oro yang berarti hutan. Berawal dari sinilah hari demi hari, proses kehidupan itu berjalan. Melihat situasi kegiatan kehidupan kerabat sudah bisa berjalan dengan baik Raden Wonoboyo memutuskan untuk melanjutkan perjalananya. Pada suatu hari dikumpulkannya seluruh kerabat, Raden Wonoboyo menyampaikan keinginannya akan melanjutkan perjalanannya. Sedangkan tempat hunian itu diserahkan kepada salah satu kerabat yang dipercaya oleh Raden Wonoboyo yaitu Ki Trobongso untuk memelihara dan mengembangkan tempat itu. Akhirnya Raden Wonoboyo melanjutkan perjalanan menuju kearah tenggelamnya matahari. Dengan penuh tanggunjawab Ki Trobongso mengemban amanah dan memimpin kegiatan kehidupan kerabat. Sebagai seorang yang dituakan pada saat itu kepemipinan Ki Trobongso sangat bijaksana. Kehidupan kerabatpun berjalan dengan aman dan tenteram saling menghargai, saling menghormati, saling menjaga kerukunan dan kegotong royongan. Setelah sekian lama kehidupan berjalan sedikit demi sedikit tempat hunian itu semakin berkembang. Seiring dengan berjalannya waktu, Ki Trobongso yang dikenal oleh seluruh kerabat sosok tokoh yang berwibawa arif dan bijaksana dalam keluwarga, tiba-tiba dikejutkan adanya tragedi goncangnya keluwarga Trobongso. Pada suatu hari Ki Trobongso berada di rumah bersama seorang menantu, istri dari anaknya yang bernama Kencana atau Ki Sutoyoso. Melihat perilaku seorang menantu yang kesehariannya kurang memperhatikan norma-norma kesusilaan, Ki Trobongso sebagai orang tua selalu memperingatkan kepada menantunya agar tidak mengulangi perilaku yang kurang baik itu. Beberapa kali teguran-teguran Ki Trobongso tak pernah dihiraukannya, sampai pada suatu pagi Ki Trobongso sedang duduk-duduk di depan perapian, tiba-tiba datanglah si menantu membawa sebuah kendil untuk memasak nasi dengan keadaan setengah bugil tanpa mengenakan penutup payudara. Dari sinilah puncak tragedi itu terjadi, tampaknya rasa jengkel Ki Trobongso semakin menjadi-jadi sebagai orang tua merasa tidak dihargai, akhirnya timbulah sebuah akal, merasa kata-katanya tidak pernah di perhatikan, Ki Trobongso mengambil sebuah lidi, kemudian lidi itu di buat tali simpul, saat itu si menantu sedang meniup api diperapian dengan payudara bergelantungan bagaikan buah papaya, saat itu pulalah Ki Trobongso mengulurkan lidinya ditariklah puting payudara dengan sebuah lidi. Serentak sang menantu berteriak dan marah besar,dia mengancam kepada Ki Trobongso akan melaporkan kejadian ini kepada sang suami, yaitu Ki Sutoyoso. Perbuatan Ki Trobongso bukan semata mata ingin berbuat tidak senonoh kepada menantu, akan tetapi hanya ingin memberikan pelajaran kepada menantunya. Hari demi hari hubungan menantu dan mertua semakin tidak harmonis. Sang menantu tetap tidak bisa menerima perlakuan ini. Sampailah pada suatu hari Ki Sutoyoso yang mengabdikan diri di Kerajaan Bintara pulang ke rumah. Melihat sang suami dating, dengan bergegas sang istri menyambutnya sambil menangis terisak-isak. Ki Sutoyoso terkejut melihat istrinya dengan serta merta Ki Sutoyoso menanyakan ada apa gerangan, diceritakannya kejadian yang dialami dengan ayah mertuanya. Tanpa pikir panjang Ki Sutoyoso marah mendengar cerita dari sang istri, terjadilah pertengkaran anak dan orang tua. Ki Trobongso diancam akan dibunuh, keduanya saling berkejar-kejaran hingga akhirnya Ki Trobongso melarikan diri kesebuah tempat yang di beri nama Bintara, sedangkan yang dipakai menyendiri (dedukuh) diberi nama Ndukuh. Tidak lama Ki Trobongso berada di dukuh Bintara, kemudian pindah kearah selatan sampailah di suatu tempat dekat jalan yang diberi nama Ledok Cilik. Tidak begitu lama Ki Trobongso tinggal di Ledok Cilik, karena pada suatu hari ada seorang pedagang garam dari Grogol Banyubening untuk membeli garam ke Grogol Mancingan yang bernama Ki Mudin. Melihat keberadaan orang tua berada di tengah hutan belantara sendirian Ki Mudin merasa kasihan, dan menyempatkan diri untuk menghampirinya. Kemudian keduanya saling berkenalan, setelah keduanya saling mengenal, Ki Mudin menanyakan perihal keberadaannya seorang diri di tengah hutan belantara. Ki Trobongso dengan tidak menutup-nutupi, menceritakan kejadian yang sebenarnya. Ki Trobongso menceritekan tentang kesalah pahaman dengan menantu dan anaknya sampai diancam akan dibunuh hingga akhirnya melarikan diri dan tinggal di hutan tersebut. Namun demikian Ki Trobongso orang tua yang bijaksana walaupun akan di bunuh oleh anaknya beliau merasa tidak dendam dan tidak pernah berkeinginan untuk membunuh anaknya. Harapan Ki Trobongso hanya ingin anaknya bisa pergi dari tempat tinggalnya. Mendengar penuturan Ki Trobongso, Ki Mudin merasa kasihan kemudian menawarkan jasa untuk membantu mengusir anaknya. Ibarat kata gayung bersambut mendapat tawaran seperti itu Ki Trobongso merasa senang, bahkan Ki Trobongso akan memberi hadiah apabila bisa berhasil, yaitu tanah sesigar semongko atau separo. Setelah keduanya saling setuju Ki Mudin mengutarakan pendapat untuk mengusir Ki Sutoyoso cukup dengan mencari bambu petung dan merang. Kemudian keduanya mencari bambu dan merang, setelah mendapat bambu dan merang lalu di tumpuk ditimbun dengan merang dan dibakar. Akhirnya mengeluarkan suara ledakan yang cukup dahsyat. Mendengar suara ledakan itu Ki Sutoyoso, Istri dan anaknya keluar dari rumah dan berlari tunggang langgang kearah timur. Melihat keberhasilan Ki Mudin, Ki Trobongso merasa lega, akhirnya memberikan hadiah yang di janjikan yaitu berupa tanah sesigar semongko. Dengan senang hati dan penuh tanggung jawab Ki Mudin menerima pemberian Ki Trobongso dan beliau berjanji akan memeliharanya. Setelah tanah diberikan, Ki Mudin memulai babat alas (membersihkan). Pada suatu hari saat Ki Mudin memulai babat alas (membersihkan) tiba-tiba dikejutkan dengan ditemukannya sebuah bangunan yang terbuat dari kayu dan bata merah berbentuk bangunan masjid kecil. Dengan ditemukannya sebuah bangunan ini, Ki Mudin bergegas melaporkan kepada Ki Trobongso dan kerabat, mereka diajak melihat dan berkumpul di tempat penemuan bangunan itu. Kemudian Ki Mudin masuk kedalam dan mengamatinya. Dari hasil pengamatan Ki Mudin, konon katanya bangungan masjid kecil itu peninggalan Kanjeng Sunan Kali Jaga pada saat mengadakan siar agama Islam melewati dan beristirahat untuk melaksanakan ibadah sholat di hutan ini, kemudian dibuatlah sebuah tempat ibadah. Melihat keadaan seperti ini Ki Mudin mengambil inisiatif mengumumkan kepada seluruh kerabat termasuk kerabat Ki Trobongso, bahwa pada suatu saat nanti apabila hutan ini menjadi sebuah perkampungan di namakan Tlasih yang mempunyai Filosofi yang diambil dari bahasa jawa yang berarti Tilase Isih, yaitu peninggalan Sunan Kali Jaga yang berupa Masjid Kecil masih ada. Secara kebetulan penyerahan hadiah itu bertepatan pada hari Jumat Wage. Setelah tanah hadiah diserahkan, Ki Mudin bersama kerabat dan keluwarga mereka bertekat menetap di Tlasih, sekaligus oleh Ki Trobongso diberi kepercayaan untuk memimpin wilayah tersebut. Sedangkan Ki Trobongso tetap memimpin di wilayah oro-oro atau di juga sebut Ngoro-oro. Dengan penuh semangat Ki Mudin menerima hadiah itu, terbukti pada saat itu juga beliau memerintahkan kepada kerabatnya untuk mengadakan pembersihan bersama-sama kerabat Ki Trobongso. Kegiatan pembersihan dimulai dari tempat petilasan sampai ke sumber Pego Yaitu sebuah sumber air yang di temukan Ki Trobongso saat mencari air untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Kegiatan pembersihan dilaksanakan seharian penuh disarankan kepada seluruh kerabat agar membawa bekal untuk makan seadanya. Tak terasa sampailah di suber Pego, mereka kelihatan sangat kelelahan melihat kondisi seperti itu kedua tokoh tersebut segera memerintahkan kepada para kerabat untuk beristirahat dan makan bersama. Sebelum makan kedua tokoh tersebut mengadakan musyawarah bahwa bersamaan dengan kegiatan ini diikrarkan sebagai hari berdirinya sebuah tempat hunian yang diberi nama Tlasih. Dengan sorak gembira kerabat menyambut kejadian ini sebagai bentuk pengabadian, mereka sepakat kegiatan kebersihan yang diakhiri dengan makan bersama dihalaman sumber Pego bisa dilestarikan setiap hari jumat Wage. Kepemimipinan dua orang tokoh tersebut berjalan baik, walaupun ada sedikit perbedaan dalam cara kepemimpinan. Sosok Trobongso adalah di kenal orang yang jujur dan lugu,sedangkan Ki Mudin sangat bijak dan cerdik. Kepemimpinan dari dua tokoh itu selalu berdampingan dan saling koordinasi. Waktu demi waktu perjalanan kehidupan pun berjalan dengan baik. Semakin lama tempat hunian itu semakin kelihatan berkembang, apalagi diwilayah Tlasih, Ki Mudin sangat kreatif sehingga tempat wilayahnya cepat berkembang. Seiring dengan berjalannya waktu dua tempat hunian itu berkembang menjadi perkampungan, yang dulunya baru dua, telah berkembang menjadi empat perkampungan, yaitu Wonolagi dan Klepu. Dari perjalanan itu maka dibentuklah satu komando atau satu kepemimpinan yang berpusat di Telasih. Bahkan pada Zaman penjahan Belanda Telasih dibakukan menjadi sebuah Desa yang dipimpin oleh seorang Bekel yang bernama Soikromo. Perjalanan nama pusat pemerintahan Telasih ini berjalan cukup lama, mulai dari Zaman Belanda, Jepang, sampai terbentuknya negara Republik Indonesia. Baru sekitar tahun 1900-an diadakan perubahan peristilahan menjadi Desa Giriasih dan nama tersebut abadi sampai saat ini. SEJARAH PEMERINTAH DESA GIRIASIHPada abad 19 yaitu tepatnya Tanggal 7 Mei 1926 terjadilah Susunan Pemerintah yang terkenal dengan sebutan Zaman Pembagunan. Maka terjadilah pembentukan kelurahan. Padukuhan Ngoro-oro dan Trasih dengan padukuhan Wonolagi dan Klepu dijadikan satu kelurahan disebut Kelurahan Giriasih dengan ibu kota di Trasih. Adapun yang pernah menjabat sebagai Lurah Desa/Kepala Desa adalah: 1. Wongso Dikromo (mBah Demun): Tahun 1926-1933 2. Rekso Pangarso (mBah Pagut): Tahun 1933-1943 3. Mangun Sentono (mBah Setu): Tahun 1943-1949 4. Mangun Sentono (mBah Kaki): Tahun 1949-1965 5. Wignyohutomo (mBah Sukijo): Tahun 1965-1990 6. Purwodarminta.SH.: Tahun 1990-1998 7. Soegito Soewartono.SE.: Tahun 1998-2007 8. Pardiyana: Tahun 2007-2014 9. Suwitono: Tahun 2014-2019 10. Suwitono : Tahun 2019-Sekarang Referensi
|