Efek media bermusuhan
Efek media bermusuhan (Hostile media effect) adalah suatu fenomena psikologis di mana individu yang memiliki afiliasi kuat terhadap suatu kelompok, seperti partai politik, cenderung mempersepsikan liputan media mengenai isu kontroversial sebagai bias terhadap kelompok lawan.[1] Meskipun menerima informasi yang sama, individu-individu ini akan menginterpretasikannya secara berbeda berdasarkan sudut pandang kelompok mereka.[1] DampakFenomena ini membawa individu yang memiliki pandangan kuat terhadap suatu isu cenderung melihat liputan media yang seimbang sebagai bias terhadap pandangan yang berlawanan. Meskipun berita tersebut disajikan secara objektif, individu tersebut akan menafsirkannya sesuai dengan sudut pandang mereka.[2] Fenomena ini menunjukkan bahwa massa tidak selalu menerima informasi media secara pasif, melainkan aktif menginterpretasikannya berdasarkan keyakinan dan nilai-nilai yang mereka pegang. Hal ini terjadi bahkan ketika wartawan berusaha menyajikan berita secara adil dan tidak memihak.[2] StudiSebuah studi pada tahun 1982 di Universitas Stanford oleh Vallone mengilustrasikan fenomena bias persepsi dalam konsumsi media. Mahasiswa yang memiliki afiliasi politik yang berbeda, yakni pro-Palestina dan pro-Israel, ditunjukkan potongan berita yang sama mengenai pembantaian Sabra dan Shatila.[3] Meskipun menyaksikan tayangan yang identik, kedua kelompok mahasiswa tersebut justru menafsirkan berita tersebut secara bertolak belakang. Mahasiswa pro-Israel merasa bahwa berita tersebut terlalu berpihak pada Palestina, sementara mahasiswa pro-Palestina merasa sebaliknya. Fenomena ini menunjukkan bahwa individu cenderung menginterpretasikan informasi media sesuai dengan sudut pandang dan keyakinan politik mereka, bahkan ketika informasi yang disajikan bersifat objektif. Studi ini memperkuat pemahaman bahwa audiens media tidak pasif, melainkan aktif membangun makna dari pesan media berdasarkan kerangka referensi mereka masing-masing.[3] Studi dari Vallone mengajukan dua mekanisme terkait. Pertama, individu yang memiliki pandangan kuat tentang suatu isu partisan cenderung meyakini bahwa fakta-fakta lebih mendukung posisi mereka. Akibatnya, setiap laporan netral dianggap memberikan keuntungan yang tidak semestinya kepada pihak yang berseberangan. Kedua, terdapat persepsi yang keliru terhadap artikel netral, yang dapat diklasifikasikan lebih lanjut menjadi dua bentuk: kategorisasi selektif dan ingatan selektif.[3][4] Dalam hal ini, partisan dapat menafsirkan informasi yang sama dengan cara yang berbeda, baik sebagai mendukung atau menentang posisi mereka, atau mereka lebih mengingat bagian-bagian yang dirasa bertentangan. Penjelasan mengenai ingatan selektif berkaitan dengan perhatian dan keterlibatan yang lebih besar terhadap aspek negatif.[3][4] Studi di Stanford ini memberikan bukti empiris yang kuat mengenai efek polarisasi dalam persepsi media. Meskipun kedua kelompok mahasiswa menyaksikan tayangan yang sama, mereka "membaca" pesan yang berbeda dalam berita tersebut. Hal ini disebabkan oleh adanya bias konfirmasi, yaitu kecenderungan individu untuk mencari dan menafsirkan informasi yang mendukung keyakinan yang sudah ada sebelumnya. Dalam konteks ini, baik mahasiswa pro-Israel maupun pro-Palestina cenderung mencari bukti yang memperkuat pandangan mereka dan mengabaikan atau meremehkan bukti yang bertentangan.[3] Referensi
|