Penulis Indonesia Amir Hamzah (1911–1946) telah menulis 50 puisi, 18 prosa lirik, 12 artikel, 4 cerita pendek, 3 koleksi puisi, dan 1 buku. Ia juga telah menerjemahkan 44 puisi, 1 prosa lirik, dan 1 buku. Mayoritas puisi asli buatan Hamzah disertakan dalam antologinya, Njanji Soenji (1937) dan Boeah Rindoe (1941), keduanya pertama kali diterbitkan di Poedjangga Baroe. Puisi-puisi terjemahannya diantologikan di Setanggi Timoer (1939). Pada tahun 1962, pembuat dokumenter HB Jassin menyatukan semua karya Hamzah yang tersisa – termasuk Sastera Melajoe Lama dan Radja-Radja'nja – menjadi buku Amir Hamzah: Radja Penjair Pudjangga Baru.[1]
Lahir dari keluarga bangsawan Melayu di Langkat, Hamzah merampungkan pendidikannya di sekolah pemerintah kolonial Belanda di beberapa kota di Sumatra dan Jawa.[2] Pada tahun 1928, ia bersekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (setingkat SMP) di ibu kota kolonial Batavia (sekarang Jakarta); ia menulis puisi-puisi pertamanya waktu itu.[3] Karya pertamanya yang berjudul "Maboek..." dan "Soenji" terbit di majalah Timboel edisi Maret 1932. Pada akhir tahun itu, ia telah menerbitkan cerita pendek dan prosa lirik di Timboel dan Pandji Poestaka.[4]
Salah satu karyanya, prosa lirik berjudul "Poedjangga Baroe", bertujuan mempromosikan majalah dengan nama serupa yang didirikan Hamzah bersama Armijn Pane dan Sutan Takdir Alisjahbana.[5] Majalah yang pertama dirilis bulan Juli 1933 ini menerbitkan banyak tulisan Hamzah. Ia menulis sebagian besar karyanya sebelum tahun 1935, meski kebanyakan baru diterbitkan menjelang tahun tersebut. Setelah dipaksa pulang ke Langkat dan menikah tahun 1937, Hamzah menjadi perwakilan pemerintah nasional setelah proklamasi kemederkaan Indonesia tahun 1945. Tahun berikutnya, ia ditangkap, ditahan, dan dieksekusi saat revolusi pimpinan Partai Komunis.[2] Tulisan terakhirnya, potongan puisinya tahun 1941, "Boeah Rindoe", ditemukan di dalam selnya.[6]
Beberapa puisi pertamanya mengikuti aturan pantun tradisional, termasuk struktur empat baris dan kuplet berimanya.[7] Karya-karya terakhirnya beralih dari struktur tradisional, tetapi Jassin menganggap Hamzah mempertahankan gaya penulisan Melayu yang tidak ada duanya.[8] Tema karyanya bervariasi: Boeah Rindoe, antologi pertama yang ditulis secara kronologis, dipenuhi rasa rindu dan kehilangan, sementara karya di Njanji Soenji lebih bersifat religius.[9] Hamzah mendapat pengakuan luas atas puisi-puisinya. Jassin menjulukinya "Raja Penyair Zaman Poedjangga Baroe",[10] sedangkan ahli sastra Indonesia asal Belanda A. Teeuw mendeskripsikan Hamzah sebagai satu-satunya penyair Indonesia berkelas dunia dari masa Revolusi Nasional Indonesia.[11]
Daftar berikut terbagi menjadi tiga tabel berdasarkan jenis karya di dalamnya. Tabel-tabel ini awalnya disusun berdasarkan urutan abjad judulnya, namun bisa diurutkan berdasarkan elemen lain. Judul-judulnya memakai ejaan asli disertai ejaan yang disempurnakan di bawahnya. Untuk karya tanpa judul, kata-kata pertamanya ditulis dalam kurung. Tahun yang dicantumkan adalah tahun pertama terbit; cetakan ulang tidak dihitung. Selain yang diberi catatan, entri-entri daftar ini didasarkan pada kompilasi puisi buatan (Jassin 1962, hlm. 211–219).
"Adoeh Kekasihkoe, Semoga Dapat Akoe Berboeni dalam Sadjakkoe"("Adoe Kekasihkoe, Semoga Dapat Akoe Berboeni dalam Sadjakkoe") ("Aduh Kekasihku, Semoga Dapat Aku Berbunyi dalam Sajakku")
"Dengan Apa Koeperbandingkan Hidoep Kita dalam Doenia"("Dengan Apa Koeperbandingkan Hidoep Kita dalam Doenia") ("Dengan Apa Kuperbandingkan Hidup Kita dalam Dunia")
"Amir Hamzah" (dalam bahasa Indonesian). National Language Centre. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-12-26. Diakses tanggal 26 Desember 2011.Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
Foulcher, Keith (1991). Pujangga Baru: Kesusasteraan dan Nasionalisme di Indonesia 1933–1942 (dalam bahasa Indonesian). Jakarta: Girimukti Pasaka. OCLC36682391.Parameter |trans_title= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
Jassin, H.B. (1962). Amir Hamzah: Radja Penjair Pudjangga Baru (dalam bahasa Indonesian). Gunung Agung. OCLC7138547.Parameter |trans_title= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
Teeuw, A. (1980). Sastra Baru Indonesia (dalam bahasa Indonesian). 1. Ende: Nusa Indah. OCLC222168801.Parameter |trans_title= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)