Chilling effectChilling effect (Indonesia: efek jeri) adalah sebuah konsep yang digunakan untuk menjelaskan ketakutan akan masyarakat yang muncul karena ambiguitas hukum atau peraturan perundang-undangan.[1] Biasanya chilling effect berhubungan dengan peraturan yang terkait dengan pencemaran nama baik atau fitnah.[2] Beberapa sarjana hukum seperti Frederick Schauer (1978) dan Leslie Kendrick (2013) telah meneliti secara mendalam mengenai konsep ini dalam segi hukumnya, dan sering digunakan secara sederhana dalam konteks peradilan dan media, dengan sedikit penjelasan atau interogasi tentang ketepatannya.[1] Chilling effect dapat diartikan sebagai “efek jera terhadap ekspresi-ekspresi terlindungi yang terjadi akibat upaya hukum meregulasi ekspresi-ekspresi tidak terlindungi.[3] Dalam penelitiannya, Kendrick menyatakan bahwa chilling effect dapat memberikan dampak negatif yang dapat mengancam kebebasan berpendapat. Akibatnya, masyarakat menjadi tidak berani mengemukakan pendapatnya, kecuali jika mereka mengetahui kebenaran dari pendapat yang akan disampaikan.[3] Selain itu, terdapat beberapa penelitian lain yang menemukan fakta bahwa chilling effect dapat menyebabkan masyarakat melakukan tindakan penyensoran diri sendiri (self-censorship) sehingga mereka cenderung untuk tidak mengekspresikan pendapatnya.[1][2] Chilling effect cenderung terjadi ketika suatu hukum memiliki 2 karakter, yaitu (1) Apabila definisi ekspresi yang dilarang oleh hukum tidak jelas (ambiguous rules) dan (2) Apabila terdapat suatu kecenderungan untuk adanya penyalahgunaan dan/atau kesalahan penerapan hukum (erroneous applications). Dikarenakan kedua hal ini, calon pembicara akan lebih memilih untuk tidak berbicara (self-censorship) daripada mengambil risiko dipenjara akibat pernyataannya divonis oleh persidangan sebagai aksi pencemaran nama baik.[3] Terdapat berbagai macam faktor penyebab munculnya chilling effect seperti ancaman hukum yang diterima, pengawasan dari pihak pemerintah atau swasta, dan pengalaman menghadapi kasus hukum.[2][4] Ancaman hukuman yang langsung diterima oleh individu adalah faktor yang paling besar dalam menciptakan chilling effect dan merupakan faktor yang paling besar membuat individu untuk enggan berpendapat di media daring.[2] Besarnya pengaruh chilling effect terhadap kebebasan berekspresi tentu juga akan berbahaya bagi partisipasi politik di media daring karena berpotensi dituduh sebagai tindakan pencemaran nama baik.[2] Gugatan yang diprakarsai secara khusus untuk tujuan menciptakan chilling effect dapat disebut Gugatan Strategis Terhadap Partisipasi Publik[5] atau dikenal juga dengan istilah Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP). Gugatan Strategis Terhadap Partisipasi Publik (SLAPP)Gugatan perdata atau pidana terhadap orang yang melakukan kegiatan peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan pemerintahan/pengelolaan lingkungan hidup disebut dengan istilah Strategic Litigation Against Public Participation (SLAPP). Tujuan SLAPP adalah untuk memberikan rasa takut karena digugat atau dituntut pidana, serta pemberian sanksi biaya keuangan kepada orang yang melaksanakan kegiatan peran serta masyarakat yang dapat mematikan peran serta masyarakat.[6] Pakar Hukum University of Denver Sturm College of Law, Prof George (Rock) Pring, mengatakan istilah SLAPP mulai dikenal dan digunakan sekitar tahun 1980-an. Istilah itu digunakan untuk gugatan terhadap petisi yang merupakan salah satu instrumen yang digunakan dalam rangka partisipasi publik. Dia menerangakan gugatan ini sifatnya bukan gugatan biasa, tapi sebagai bentuk strategi untuk menghambat partisipasi publik. Di abad ke-21 ini, definisi SLAPP lebih luas meliputi gugatan pidana, perdata, atau administratif yang ditujukan kepada masyarakat, atau badan publik. “Semua kasus SLAPP itu pada dasarnya sama walau seolah gugatannya itu terlihat berbeda-beda,” ujarnya.[6] Referensi
|