Babi rusa

Babi rusa
Klasifikasi ilmiah Sunting klasifikasi ini
Domain: Eukaryota
Kerajaan: Animalia
Filum: Chordata
Kelas: Mammalia
Ordo: Artiodactyla
Famili: Suidae
Subfamili: Babyrousinae
Thenius, 1970
Genus: Babyrousa
Perry, 1811
Spesies

Babi rusa[1] atau babirusa (Babyrousa) adalah marga binatang yang termasuk kerabat babi liar, bertaring panjang yang mencuat dan melengkung di atas moncongnya, hidup berkelompok di sekitar daerah rawa-rawa dan semak-semak, mencari makan pada malam hari, pada siang hari tidur, makanannya terdiri atas umbi, akar, binatang tanah, buah-buahan, dan kelapa yang jatuh.[1] Habitat babi rusa banyak ditemukan di hutan hujan tropis. Hewan ini gemar melahap buah-buahan dan tumbuhan, seperti mangga, jamur, dan dedaunan. Mereka hanya berburu makanan pada malam hari untuk menghindari beberapa binatang buas yang sering menyerang.

Deskripsi fisik

Tengkorak babi rusa

Panjang tubuh babi rusa sekitar 87 sampai 106 sentimeter. Tinggi babi rusa berkisar pada 65-80 sentimeter dan berat tubuhnya bisa mencapai 90 kilogram. Jantan memiliki taring yang mencuat ke atas, sedangkan taring pada betina kecil atau tereduksi. Taring ini berasal dari gigi taring yang termodifikasi.[2] Taringnya panjang mencuat ke atas, berguna melindungi matanya dari duri rotan.

Perilaku

Dua babi rusa berkelahi.

Meskipun bersifat penyendiri, pada umumnya mereka hidup berkelompok dengan seekor pejantan yang paling kuat sebagai pemimpinnya. Binatang yang pemalu ini bisa menjadi buas jika diganggu. Babi rusa betina melahirkan satu sampai dua ekor satu kali melahirkan. Masa kehamilannya berkisar antara 125 hingga 150 hari. Bayi babirusa itu akan disusui selama satu bulan, setelah itu akan mencari makanan sendiri di hutan bebas. Selama setahun babirusa betina hanya melahirkan satu kali. Usia dewasa seekor babi rusa lima hingga 10 bulan, dan dapat bertahan hingga usia 24 tahun.

Rahang dan gigi mereka dilaporkan cukup kuat untuk memecahkan kacang sangat keras dengan mudah. Namun, babi rusa tidak menunjukkan perilaku perakaran khas suids lain karena tidak adanya tulang rostral di hidung. Mereka akan menyelidiki pasir lembut serta basah, tempat berlumpur untuk makanan.[3]

Macam-macam perilaku babi rusa yang tercatat pada beberapa wilayah konservasi adalah berbaring saat tidur, berjalan sambil meletakkan hidungnya ke tanah untuk mencari makan disertai dengan suara-suara dengkuran kecil, berkubang di lumpur atau air, dan saat kawin.

Pada waktu kawin, babirusa betina akan datang ke arah panas matahari dan jantan akan mengikuti yang betina dengan hidung di dekat daerah kelamin sang betina dengan mengeluarkan suara decakan 3-5 kali per detik. Jantan yang bersifat dominan akan langsung mengikuti betina dan mengambil alih. Jika betina tidak berada dalam masa oestrus maka jantan maka yang jantan akan mengabaikannya, sedangkan jika yang betina sedang dalam atau akan memasuki masa oestrus maka betina akan lebih sering lari dan menjauhi yang jantan dan bersembunyi di balik babirusa lain. Saat kawin, yang betina akan lebih sering berbaring di tanah untuk menunda proses kawin, dan saat jantan mengejar betina, yang jantan akan mengangkat wajahnya dengan tatapan tajam untuk memperingati jantan lainnya untuk tetap menjauh.[4]

Taksonomi

Babirusa memiliki tiga subspesies yang masih ada saat ini dan diakui. Bentuk (tiga) bentuk kehidupan digambarkan sebagai berikut:

  1. B. babyrussa, babi rusa 'berbulu' atau 'emas' diketahui hanya dari pulau Buru dan Taliabu, Sulabesi (tempat sekarang punah) dan, mungkin, Mangole di Kepulauan Sula. Ini adalah subspesies terkecil,dan sebaliknya ditandai dengan rambutnya yang panjang dan tebal, yaitu berwarna putih, emas krem, hitam atau emas dengan pantat hitam. Bagian atas taring jantan biasanya pendek dan ramping, dengan alveolus ke depan diputar, sehingga lower canine melintasi upper di lateral view.
  2. B. togeanensis, babi rusa Kepulauan Togian adalah, seperti namanya menyarankan, terbatas pada Kepulauan Togian, di antara semenanjung utara dan Sulawesi Tengah. Ini adalah subspesies terbesar. Hal ini juga ditandai dengan kepemilikan rambut, meskipun tidak lebih tebal dan panjang. Bagian atas juga lebih gelap daripada bagian di bawah bagian dan coklat muda, coklat atau hitam. Gigi taring bagian atas jantan biasanya pendek, ramping dan agak diputar ke depan, dan selalu konvergen.
  3. B. celebensis, ini tentu hanya diketahui dari utara semenanjung dan bagian timur laut daratan Sulawesi, termasuk lepas pantai pulau Lembeh. Ini adalah satu-satunya subspesies yang harus dipertahankan penangkarannya pada saat ini dan karena itu yang paling akrab. Jantan dewasa Ukuran tubuh cukup besar (meski lebih kecil dari subspesies sebelumnya), mulai dari 60 dan 100 kg. Wanita sekitar 30% lebih kecil. ini Biasanya dianggap telanjang, meski pada kenyataannya rambut tubuhnya hanya pendek (0,5-1,0 cm), jarang dan berwarna coklat tua di atas kulit abu-abu. Gigi taring bagian atas dari jantan umumnya panjang dan tebal, dan alveoli ditanam secara vertikal, sehingga taring atas muncul secara vertikal dan tidak disilangkan oleh kanin bawah, dan konvergen di hampir semua kasus.[5]

Konservasi

Mereka sering diburu penduduk setempat untuk dimangsa atau sengaja dibunuh karena merusak lahan pertanian dan perkebunan. Populasi hewan yang juga memangsa larva ini kian sedikit hingga termasuk dalam daftar hewan yang dilindungi. Jumlah mereka diperkirakan tinggal 4000 ekor dan hanya terdapat di Indonesia.

Sejak tahun 1996 hewan ini telah masuk dalam kategori langka dan dilindungi oleh IUCN dan CITES. Namun masih sering dijumpai perdagangan daging babi rusa di daerah Sulawesi Utara. Karena itu, pusat penelitian dan pengembangan biologi LIPI bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat beserta Departemen Kehutanan dan Universitas Sam Ratulangi mengadakan program perlindungan terhadap hewan langka ini. Perlindungan tersebut meliputi pengawasan habitat babi rusa dan membuat taman perlindungan babi rusa di atas tanah seluas 800 hektare.

Babi rusa itu diberikan perlindungan penuh di bawah hukum Indonesia pada tahun 1931. Spesies telah disertakan pada Appendix I CITES sejak tahun 1982, meskipun perdagangan internasional spesies ini tidak dianggap telah menjadi isu penting dalam beberapa kali. Ada dua kawasan lindung di Buru hutan hujan yang tersisa, Gunung Kelpat Muda (1380 km²) dan Waeapo (50 km²), dan satu di Taliabu, Pulau Taliabu (700 km²). Gunung Kelpat Muda, ke bagian barat-tengah pulau. memiliki keuntungan tambahan untuk terus menjadi perlindungan hewan menurut adat setempat.

Operasi penebangan komersial skala besar telah menjadi ancaman utama bagi spesies ini. Ancaman saat ini ke hutan hujan Buru tersisa rendah dan prospek konservasi relatif stabil, tetapi tetap rentan. Babi rusa terus diburu untuk daging di beberapa tempat oleh masyarakat desa non-Muslim lokal.[3]

Karakteristik

Habitat

Habitat dari hewan ini meliputi hutan hujan tropis di tepi sungai dan kolam yang tertutup vegetasi.[6] Hewan ini hidup secara berkelompok, dengan jumlah 8 (delapan) individu per kelompoknya[6] dan mereka berinteraksi dengan cara saling menjilati.[6] Babi rusa jantan dewasa yang lebih tua sering diamati secara tunggal dan sebagian besar kelompok yang terdiri dari lima atau lebih sedikit hewan, yang sebagian besar adalah perempuan dengan yang masih muda.[3]

Referensi

  1. ^ a b "Arti kata babi rusa". Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbud. KBBI Daring. Diakses tanggal 14 Oktober 2020. 
  2. ^ MacDonald, A. A. 1993. The Babirusa (Babyrousa babyrussa). In: W. L. R. Oliver (ed.), Pigs, Peccaries, and Hippos: Status Survey and Conservation Action Plan, IUCN, Gland, Switzerland.https://portals.iucn.org/library/sites/library/files/documents/1993-055.pdf
  3. ^ a b c IUCN Redlist Babyrousa babyrussa http://www.iucnredlist.org/details/2461/0
  4. ^ Leus, K., Bowles, D., Bell, J. dan MacDonald, A. A. 1992. Behaviour of The Babirusa (Babyrousa babirussa) with Suggestions For Husbandry. Acta Zoologica Et Pathologica Antverpiensia 82:9-27
  5. ^ Groves, C. P. 1980. Notes on the systematics of Babyrousa (Artiodactyla, Suidae). Zoologische Mededelingen, 55: 29-46.
  6. ^ a b c d e f Jatna Supriatna. 2008. Melestarikan alam Indonesia.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya