Atjeh Tram
Atjeh Tram (AT), setelah tahun 1916 berganti nama menjadi Atjeh Staatsspoorwegen (ASS), adalah nama perusahaan kereta api milik pemerintah Hindia-Belanda; merupakan divisi dari Staatsspoorwegen yang membangun dan mengoperasikan jalur kereta api dengan lebar jalur kereta api 750 mm di wilayah Aceh dari 1 Januari 1882 s.d. 1942. SejarahPada tahun 1876, Tentara Belanda (KNIL) membangun jalur kereta api dengan lebar sepur 1067 mm dari Pelabuhan Olee Lhee menuju Kuta Raja dengan panjang lintasan 5 Km, jalur tersebut digunakan untuk mempermudah pengangkutan alat perang. Besi yang dibutuhkan untuk pembangunan tersebut berasal dari Singapura, Sementara kayu-kayu untuk bantalan rel berasal dari Malaka. Rel dan rolling stock dipesan dari Inggris melalui Konsul Jenderal Belanda di Singapura. Pada tanggal 5 Mei 1875, seluruh pesanan tiba dari Inggris, termasuk dua lokomotif 0-6-0ST dari Fox Walker. Lokomotif ketiga 0-4-0T dipesan dari Hohenzollern, bersama dengan 3 lokomotif yang lebih identik untuk pelabuhan Batavia. Semua 3 lokomotif Aceh dipindahkan ke SS Jawa sekitar tahun 1884–1885. Karena kurangnya tenaga kerja, jalurnya tidak selesai sampai bulan September 1876. Lintasan itu berada di tanggul rendah dan melintasi dataran datar berawa, dengan dermaga, jembatan, dan tanpa sistem persinyalan. Pada tanggal 1 Januari 1882 sebuah pemerintahan sipil diberlakukan di Aceh. Hak jalur tersebut dipindahkan ke Burgerlijk Openbare Werken (BOW, bagian dari layanan sipil pemerintah. Departemen ini terlibat dalam rencana pembangunan jalur tram di daerah setempat dan juga jalur untuk terhubung dengan Langsa di pantai timur di seberang Singapura. Di sisi lain militer juga masih membutuhkan jalur kereta api dan juga membutuhkan perpanjangan di pantai timur. Pada tahun 1884 dicapai kesepakatan bahwa jalur tersebut akan diambil alih oleh Atjeh Tram, walaupun untuk sementara masih dioperasikan oleh BOW yang digunakan secara luas oleh militer di bagian pantai timur, sampai pada tahun 1916 ketika menjadi bagian dari Staatsspoorwegen dengan nama Atjeh Staatsspoorwegen (ASS). Atjeh Tram dari tahun 1874–1882Antara pantai dan Kota Radja terbentang sebidang tanah seluas kurang-lebih 5 Km yang terdiri atas tanah lumpur dan rawa-rawa, Di tanah tersebutlah banyak artileri milik KNIL yang tenggelam selama peristiwa ekspedisi Aceh berlangsung, inilah yang menjadikan alasan untuk membangun rel kereta api antara Pelabuhan Olee Lhee sampai dengan Kota Radja. Pada tanggal 26 Juni 1874, Gubernur Jenderal James Loudon mengumumkan sebuah rencana pembangunan infrastruktur perkeretaapian dengan lebar jalur 1067 mm di Aceh. Di Ulee Lheue sebuah dermaga kereta api juga akan dibangun di tepi laut. Dibawah komando KNIL, pembangunan sebuah jalur tram antara Olee Lhee sampai dengan Kota Radja dimulai. Besi yang dibutuhkan untuk dermaga berasal dari Singapura, kayu-kayu untuk bantalan rel didatangkan dari Malaka, sedangkan rel dan rolling stock-nya dipesan dari Inggris melalui Konsul Jenderal Belanda di Singapura. Pada tanggal 5 Mei 1875 seluruh pesanan datang dari Inggris. Karena kurangnya kuli, jalurnya belum siap hingga September 1876. Lintasan itu di elevasi yang rendah serta lintasan yang melalui medan datar, dermaga dan jembatan dibangun di atas tumpukan besi. Jalur kereta tersebut tanpa ada sistem persinyalan. Untuk di wilayah Kraton, jalur diletakkan pada pintu masuk area pertahanan yang dapat ditutup dengan gerbang dan dikunci. Berdasarkan laporan pemerintah kolonial menyatakan telah berhasil dalam pembangunan jalur kereta tersebut pada tahun-tahun pertama tanpa ada pengelola resmi.
Atjeh Tram dari tahun 1882–1896Sebagai hasil peresmian sistem pemerintahan sipil di Aceh, kepemilikan jalur tram Aceh dialihkan ke Departemen Layanan Sipil Pemerintah (BOW) pada 1 Januari 1882 walaupun pada sebelumnya telah menjadi sarana transportasi umum. Pengoperasian tram tersebut dilakukan oleh Staatsspoorwegen (SS). Untuk menghubungkan bala bantuan tentara Hindia yang merupakan bagian dari jalur terkonsentrasi, diputuskanlah untuk membangun jalur kereta sepanjang 16 pos yang berbeda. 'Benteng' ini berada dalam lingkaran dengan Kota Radja sebagai pusatnya. Rute yang dibutuhkan dibuka sesuai dengan ikhtisar di bawah ini:
Pada 8 Juni 1884, jalur kereta api ruas Kuta Radja dan Olee lee diubah lebar relnya dari 1067 mm menjadi 750 mm untuk alasan strategis militer. Tiga lokomotif (2x Fox Walkers, 1x Hohen Zollern) menjadi tidak cocok dan kemudian dipindahkan ke Jawa untuk melayani di jalur kereta api milik Staatsspoorwegen (SS). Pada tahun 1885, lebih dari 16 km panjang lintasan kereta dibuka untuk lalu lintas publik. Sehubungan dengan modifikasi trek, rolling stock dipesan pada tahun 1883 untuk lebar lintasan 750 mm. Ini menyangkut 5 (lima) lokomotif tipe 1B-Tender dari Pabrik Hanomag, Jerman, 15 (lima belas) pelatih tiga gandar dan 35 (tiga puluh lima) gerbong pengiriman dengan kapasitas muat 4 ton, yang semuanya dapat dioperasikan pada tahun 1884. Lokakarya di Koeta Radja juga diperluas pada tahun 1884. Setelah berbagai perluasan jaringan diputuskan, taman peralatan diperluas lagi. Pada 1885, Hanomag mengirim lokomotif lain dengan tipe 1B yang sama. Karena Lokomotif 1B yang begitu memuaskan, pada tahun-tahun berikutnya, Hanomag kembali membuat 4 (empat) lokomotif 1B untuk Aceh Tram. Pada bulan Juni 1886, jalur ketiga yang disebut jalur jet mulai digunakan, yaitu dari Koeta Radja ke Lam Njong dengan apa yang disebut sampingan dari Tongah ke Peukan Kroeeng Tjoet dan ke rumah sakit di Pante Pirah. Pada 18 Juli 1886, sebuah jembatan baja yang disebut jembatan Demmeni di atas sungai Aceh dibuka. Jembatan itu diberi nama oleh Gubernur Aceh Henry Demmeni yang menjabat terhitung dari Agustus 1884. Pada tahun 1886 pembangunan jalur utama telah selesai dan jaringan kereta trem Aceh pad saat itu mencapai panjang sekitar 40 km. Jalur utama digunakan untuk transportasi militer, pilar dengan kuda pembawa, gerobak atau senjata yang ditarik kuda-kuda asli. Trem juga sering digunakan oleh penduduk setempat sebagai sarana transportasi umum. Pada tanggal 1 Maret 1891 (atau 1890) trem sipil berpindah pengoperasiannya dari Staatsspoorwegen (SS) ke trem militer. Pada tahun 1892, sebuah mobil pemakaman dengan nomor E1 dibangun oleh JIN untuk transportasi antara Rumah Sakit Militer di Panteh Perah dengan Pemakaman militer Peutjoet, yang pada tahun 1897 juga memiliki koneksi ke jaringan kereta api. Militer telah memberi nomor E1 julukan "Perjalanan Tunggal". Trem Aceh, yang harus melayani stasiun-stasiun pada jalur terkonsentrasi merupakan sasaran yang populer untuk serangan. Untuk mencegah serangan semacam itu, penduduk setempat tidak diizinkan untuk datang atau pergi ke tempat kerja, berikut daftar serangan pada Jalur Utama,
1897–1903, Perang melawan Teuku UmarPeperangan antara Pemerintah Hindia-Belanda melawan Teuku Umar pada tahun 1896 secara definitif mengubah strategi bertahan di Aceh menjadi serangan. Di luar garis konsentrasi, beberapa kamp patroli didirikan di lembah Aceh untuk dimasukkan dalam jaringan trem. Jalur utama secara berangsur-angsur kehilangan fungsinya sebagai cincin pertahanan dan banyak pos serta jalur trem dibongkar pada periode 1897–1903. Rel dan bantalannya digunakan kembali untuk bagian jalur baru yang akan dibangun di tempat lain di Aceh. Hanya beberapa baris yang tersisa, termasuk jalur utama Olee Lhee (km 0) – Lam Baroe (km 12) dan garis pendek ke pemakaman militer Peutjoet dan rumah sakit militer Panteh Perah di Kota Radja. Di pertengahan tahun 1901, pos militer di Lam Baroe dibubarkan. Lane Lam Baroe (km 12) – Gle Kambing (km 27), dibangun pada 1897Pada awal tahun 1897, Kapten A. Genie Schadee di kirim ke luar Lam Baroe sejauh 12 Km. Sementara itu, di daerah barat samahani, jalur trem di wilayah Gle Kambing dioperasikan. Di Wilayah survei ini berlangsung, pasukan penjaga berulang kali ditembak oleh bandit-bandit yang mencari perlindungan di pegunungan. Kemudian pada tahun 1897, disetujui kesepakatan yang diperlukan untuk pembangunan jalur kereta api ke Indrapoeri dari anggaran Pemerintah Hindia-Belanda. Pada bulan Juni 1897 dimulailah pembangunan jalur kereta Lam Baroe (12 km) – Gle Kambing (27 km). Pada 15 November 1897, jalur sepanjang 15 km ini dibuka untuk umum. Sepanjang rute ini juga pos Samahani (km 21) yang sudah ditempati pada Agustus 1896.
Jalur kereta api ruas Gle Kambing (km 27) – Seulimeum (km 45), dibangun 1898Pada bulan Januari 1898, sebuah permulaan dibuat untuk memperluas Atjeh-Tram dari Gle Kambing (km 27) ke Seulimeum (km 45), sekitar 18 km yang dibuka pada 1 November 1898 untuk lalu lintas. Kapten Genius Tielenius-Kruythoff memutuskan pembangunan jalur kereta rute antara Gle Kambing (km 27) dan Seulimeum (km 45). Itu adalah rute dengan banyak jembatan yang kuat dan dengan kemiringan 1,5%. Lokomotif tender 1B terbukti terlalu lemah untuk ini, sehingga lokomotif 1B digantikan C-tender yang lebih kuat dalam jalur ini. Petugas kepala Genie Kerlen membuat laporan berikut;
Segmen Segli (km 93) – Keude Breueh, dibangun 1898–18992 Yonif diperintahkan untuk berbaris dari Sigli pada tanggal 28 Juni 1898 hingga Padang Tidji (km 80) untuk menemani kepala insinyur Marcella dan chief engineer dari Staatsspoorwegen yang akan menjelajahi daerah perbukitan sebelah barat dari Keude Breueh terkait kelanjutan jalur trem dari Seulimeum ke Padang Tidji. Tur berlangsung dari 28 hingga 29 Juni 1898, selama ekspedisi Pidie dengan tak terduga banyak penentangan/perlawanan. Pasukan penjaga masuk Grong-Grong (km 86) mengambil alih sebuah bukit pada 6 Oktober 1898 di tepi kiri Peuet Plohpeuet, antara Geude Breueh dan Meunasa Agoe. Semua gubuk di dalamnya dibakar. Musuh melarikan diri ke gunung dengan kerugian yang tidak diketahui. Di sisi Belanda, fuseliers Eropa Leeflang (45811/1527) dan van Bommel (47902) terluka. Pembangunan jembatan besi di atas Kroeëng Oetoes dimulai pada Oktober 1898. Pada tanggal 13 Oktober 1898 cakupan pekerja jalan dari Gle Gampoei adalah retret di puncak Keumale Raja ditembak yang membuat pencari ranjau Eropa 1st Class Heymans (43.120) terluka. Sejak hari itu dua perusahaan dari Batalyon 3 Infanteri berkemah di Boesoeë Teukoe Sharif dengan misi untuk melacak geng yang diidentifikasi di bawah Teukoe Habib Hoesin dan Tengkoe Ibrahim Hadji Lho Radjoe. Hanya Genie E. Marcella dari Genietroepen Java memiliki 700 nomor narapidana setelah kembali dari pasukan lainnya, pada tanggal 25 Oktober 1898 tinggal menunggu keputusan oleh Majelis Rendah di Belanda untuk membangun jalur kereta Sigli-Padang Tidji menyelesaikan lintasan untuk jalur trem sejauh mungkin. Genie E. Marcella kemudian diangkat menjadi Officer di Orde Oranje Nassau untuk operasi militer di Utara dan Timur Aceh selama periode 1 Juni s.d. 25 Oktober 1898. Setelah tahun 1899, lintas Sigli-Keude Breueh (panjang 18 km) dibuka oleh gubernur Aceh kepada pemerintah di Buitenzorg (Bogor), yang menampilkan pemandangan disepanjang pantai utara dan timur Sigli ke Tamiang, agar jalur terasa aman, Pemerintah juga menyediakan personil dan peralatan yang memadai untuk pengamanan daerah. Pada bulan November 1900, antara Sigli dan Padang Tidji mengemudi dua kali sehari di bawah bimbingan militer kereta api, dengan rute Sekali pulang–pergi.
Segmen Segli (km 93) – Lho Seumaweh (km 251), dibangun tahun 1900–1904Dalam anggaran tahun 1900, dana diberikan untuk pembangunan jalur KA segmen Sigli (km 93) – Lho Seumaweh (km 251). Sehubungan dengan pemetaan jalur trem, sekitar bulan November 1900, kapten Genie JCH Fischer dan letnan 1 dari Genie Caspersz di Segli tetap tinggal di km 93. Karena pengukuran lahan dari bagian di lanskap Samalangan belum dimungkinkan sebagai akibat situasi politik, pembangunan rute dari kedua arah (Segli dan Lho Seumaweh) dilakukan. Selama pembangunan rute, EkspIdisi ke-3 ke Samalangan berlangsung selama periode 29 Januari 1901 – 15 Februari 1901. Selama konstruksi dan setelah selesainya bagian rute, tenda sementara dipasang di sepanjang garis (sementara dan permanen) untuk keamanan dan patroli bagian trek yang terkenal ini. Pada tahun 1906, pasukan berikut ditempatkan di sepanjang bagian rute sebagai berikut;
Pembangunan dari Sigli menuju Lho Seumaweh (Lhokseumawe)Pada 1 Januari 1902 spoorbivaks ke Teupin Raja (km 115) dan Panteh Radja (126 km) diangkat (Dicabut?). Meureu (km 139) diduduki oleh Cie dari Yonif-14 dan pendaftaran penduduk diposting empat brigade dari Korps Polisi Militer Divisi XXVI Moekims kembali ke Aceh Besar. Perusahaan dari Yonif-12 yang telah menduduki selama pembangunan trem Meureudoe (km 139) hendak Peudada (km 180, Samalangan) untuk mengamankan pembangunan rel trem melalui Samalangan ke Peusangan. Sehubungan dengan pekerjaan yang berubah dari Meureudoe (km 139) dan koneksi lanskap ini ke trem melalui Pidië, melalui mana itu datang ke dalam koneksi harian dengan Segli (km 93), manajemen harian Meureudoe (km 139) sementara ditugaskan untuk kepala petugas yang bertanggung jawab atas administrasi di Pidia. Pada bulan November 1901, rute antara Segli (km 93) dan Beureuoen (km 106) belum siap, tetapi Beureuoen (km 106) juga bekerja ke arah Segli (km 93) dan Teupin Raja (km 115) timur Beureuoen (km 106). Pada 20 November 1901, bagian Sigli (km 93) – Meureudoe (km 139) secara resmi dibuka. Tramaanleg pada bulan Desember 1901 melaju ke perbatasan dengan Samalangan, di jembatan kereta api di atasKroeing Olem masih bekerja. Jembatan kereta api di atas Kroeëng Samalangan pada akhir Februari 1902 serta menyelesaikan sedangkan kereta pekerjaan yang telah berjalan pada Meureudoe (139 km) ke Keude Djanka Boeja (km 148). Mempersingkat kepala stasiun dari Meureudoe (139 km) setelah pembukaan stasiun itu pada 15 Desember 1902 diserang oleh Atjeher dan luka ringan. Pelaku diendapkan. Dari tanggal ini rute itu Gloempang Minjeu (111 km) – Meureudoe (139 km) dengan pembayaran ke dalam operasi dan di sini Pendapatan memuaskan. Kebutuhan untuk menyesuaikan tarif untuk pengiriman dan koper segera terlihat. Batalyon infantri ke-12 yang ditempatkan di Lho Seumawe dan daerah sekitarnya meninggalkan Aceh pada tahun 1906 sehubungan dengan situasi politik yang menguntungkan. Tak lama kemudian, perlawanan kembali berkobar dengan intensitasnya. Para perencana telah sIdikit terlalu optimis. Jalur trem juga sering digunakan untuk mengangkut pilar terbang Korps Marechaussee. Foto di daerah Segli, km 93
Foto di Pante Raja, km 126
Foto Sekeliling Meureudoe, km 139
Foto Sekeliling Peudada (Samalangan), km 180
Pembangunan dari Lho Seumaweh sampau dengan SegliPemandangan antara Lho Seumaweh (Lhokseumawe) dan Peusangan kamp kereta api di Paloh (240 km) di April 1901 tembakan cahaya yang denda diberlakukan. Pada April 17, 1901 kamp ini ke Paloh (km 240) diangkat dan dipindahkan ke Boengkaih (km 227). Jalan tanah dari Lho Seumaweh (251 km) datang pada bulan April 1901 sampai Boengkaih (227 km) siap. Utama dari Genie JCH Fischer dipindahkan dari SEGLI ke Lho Seumaweh juga Kapten Genius dari Meureudoe Klerk adalah untuk Lho Seumaweh (251 km) ditransfer dan letnan 1 dari Genius Drimmelen dari Teupin Raja untuk Lho Seumaweh. Mid 1901, semua sekrup tumpukan tentang Kroeëng Genkoeëh(km 233). Bivak di Kroeëng Genkoeëh (km 233) dipindahkan ke Maneh (km 220) untuk terus bekerja dengan kereta api kerja dari sini serta dari Lho Seumaweh (km 251). Bivak di Kroeëng Genkoeëh (km 233) dipindahkan ke Paloh (km 240) pada bulan Juni 1901 sehubungan dengan pekerjaan ini. Pada 8 Juni 1901 adalah patroli dari kamp kereta api Paloh (240 km) dalam baku tembak dengan geng kecil, Panglima Rada Nisam, kamp ini dipindahkan untuk bekerja menuju Kroeëng Genkoeëh (km 233). Pada bagian dari departemen itu di Juli 1901 antara Lho Seumaweh dan Peusangan secara teratur bekerja pada pembangunan trem. Pada Teukoe Radja Tji, kepala berpengaruh bagian timur Peusangan, diperintahkan mereka untuk bergabung dengan iring-iringan kepala Meijer dan menggunakan pengaruhnya untuk membantu bisnis kagum Geutah untuk menuntut kontrol, wilayah itu sebagian menempatkan kekuasaannya. Untuk melakukan patroli di bagian timur Peusangan gampong itu Panteh Lhongditunjuk sebagai tempat di mana bivak akan datang untuk perusahaan pribumi Bat ke-12. Infanteri, karena dari sana kereta api di Peusangan dapat dengan mudah diamankan. Bivak sementara di Lapan dibubarkan pada Agustus 1901 dan pindah ke Panteh Lhong. Pada 16 Agustus 1901, bivak kereta api di Maneh (km 220) ditembak ringan oleh geng yang datang dari daerah atas. Karena penduduk setempat tidak melacak kedatangan geng, gampom itu didenda. Pada 21 Agustus 1901, bivak kereta api di Kroeeggen Genkoeëh (km 233) dibubarkan. Dengan pasukan yang dibebaskan, patroli area drainase dari Kroeing Sawang (Krueng Maneh, km 220) dilakukan sampai 29 Agustus 1901, di mana banyak pemukiman pengungsi dihancurkan. Pada bulan November 1901, jalur trem dari Lho Seumaweh hampir siap ke Maneh (km 220) dengan pengecualian jembatan di atas Kroeëng Geukoeëh (km 233). Pada Februari 1902, komandan Batalyon Infantri ke-12 pindahdengan staf kecilnya ke Lho Seumaweh, karena seluruh batalion untuk peliputan rel di subdivisi Samalangan (Peudada dan Panteh Lhong) dan Lho Seumaweh (Lhokseumawe dan Lhosukun) ditempatkan. Pada bulan September 1902 rute antara Lho Seumaweh dan Panteh Lhong selesai dan jalur trem dapat digunakan untuk penyediaan personil dan makanan ke bivak di Panteh Lhong. Pada akhir 1902 bivak kereta api di Maneh diangkat, yang lebih diperlukan karena kemajuan pekerjaan dan keterlibatan bivak di Matang Gloempang Doea di Peusangan. Pada bulan November 1902, Jin masih bekerja memperbaiki jembatan di atas Kroeëng Maneh (km 220) sebagai akibat kerusakan yang disebabkan oleh Banjir, sesuatu yang belum siap pada Februari 1903. Kereta dari Lho Seumaweh (km 251) harus berhenti di sepanjang Kroeëng Maneh (km 220) dan kargo dengan kuli-kuli Cina akan dipindahkan ke gerbong lain di bank lain. Transshipment ini menyebabkan ketidaknyamanan. Pada tanggal 20 Februari 1903, bagian ini secara resmi mulai digunakan. Kini, penduduk bebas bepergian. Pengangkatan tiga jembatan besi akibat banjir menyebabkan stagnasi yang diperlukan dalam konstruksi,
Segmen Lho Seumaweh (km 251) – Idi (km 349), dibagun 1901–1904Sementara itu berada di anggaran untuk 1901 dana diperbolehkan untuk pembangunan jalur Lho Seumaweh (251 km) – Idi (349 km) dengan panjang sekitar 100 km dengan daerah Pase, setelah proposal untuk pembangunan dan pengoperasian garis dari Aroebaai ke Lho Seumaweh ditolak oleh pemerintah. Dari tahun itu, pembangunan jalur trem perlahan tapi terus berlanjut. Pada akhir Maret 1901 ditutupi oleh sebagian dari 1 Cie 12 Bataljon infanteri oleh utama dari Genie JCH Fischer melakukan rekaman atas nama register menjadi rel trem antara Lho Seumaweh dan Idi. Hanya tembakan dari Boedjo Blang Bido dan dekat Lho Soekon (km 284) yang dibongkar pada detasemen ini. Patroli Lho Seumaweh membawa detasemen ke Lho Soekon (km 285) telah menemani untuk mengambil kembali setiap orang yang terluka dan sakit kembali ke Aloe Geudjroeen dan jalan besar ke Lho Seumaweh kembali. Jembatan kereta api besar di atas laguna antara Lho Seumaweh dan Tjoenda sebagian besar selesai pada bulan Juni 1901. Pada 21 September 1901, seorang bivak terlibat di Poenteuët (km 261) untuk mencakup detail jalur kereta api ke Geudoeng (km 266) dan para pekerja jalan. Jalan dari Poenteuët (km 261) ke Madjiroen dan via Bajoe (km 264) ke Keudé Geudoeng(km 266) dan Koeta Baté dibersihkan oleh penduduk dan jika perlu ditingkatkan dan dilebarkan. Jika perlu, jembatan di jalan-jalan ini juga diganti dengan besi. Pada awal Oktober 1901, tongkang kereta api di Poenteuët (km 261) dipindahkan sementara ke Keudé Geudoeng (km 266), lihat gambar tongkang kereta api di bawah). Dengan maksud untuk kegiatan rekaman lanjutan untuk jalur trem antara Lho Seumaweh – Idi, bivak di Geudoeng (km 266) dipindahkan ke Lho Soekon pada 23 November 1901 (km 285). Sehubungan dengan transfer ini, bivak di Blang Beuma juga dipindahkan dan dipindahkan ke Matang Koeli(km 279) di wilayah Pasé. Para vivresopvoer ke bivak ini sejak saat itu dijemput oleh Angkatan Laut melalui laut. Pembangunan jalur tanah dimulai pada Maret 1902. Rute bisa dibuka pada 1 April 1904. Di perbatasan Subdivisi Idi, bivak di Pantoen Laboe (km 307) terletak di Kroeëng Djamboe Aje . Pada tahun 1906 bivak dikawal oleh 5 kelompok batalion Garnisoen pertama di Aceh. Belakangan bivak ini diambil alih oleh Korps Marechaussee. Juga pada tahun 1906, 6 kelompok batalion garnisun pertama ditempatkan di bivak di Lho Soekon (km 285).
Bagian Idi (km 349) – Langsa (km 413), ditata tahun 1904–1907Hingga Idi (km 349) dukungan militer permanen diperlukan, dari Idi (km 349) itu cukup untuk pengawas sipil.
Zijlijntje Beureunoem (km 106) -Lam Meulo, dibangun 1906Dalam Beureunoem (km 106) adalah sebuah kamp diawaki pada tahun 1906 oleh pasukan dari Sigli, baik Batalyon Infanteri 14 dan divisi 3 dari polisi militer Corps. Dari kota Djaman sepanjang jalur kereta api berlari menuju kamp untuk Anak Domba Meulo sekitar 11 jam berjalan. Nama Lam Meulo saat ini adalah Kota Bakti. Pada tahun 1906 berbaring Lam Meulo perusahaan dari Batalyon Infanteri ke-14 di Camp, kemudian Corps Polisi Militer akan mengambil alih pos ini. Dalam Lam Meulo mulai jalan setapak melalui Tangsévallei ke kamp gendarmerie di Tangse. Di Tangsé ada 3 brigade dari divisi 3 Royal Dutch Marechaussee di bivak. Itu adalah kenaikan berat sekitar 12 jam untuk sampai ke sana. Untuk memasok stasiun-stasiun di Lam Meulo dan Tangsé, diputuskan untuk meletakkan selingan sepanjang 6 km antara bivak di Beureunum (km 106) dan bivak di Lam Meulo. Pada 15 Juni 1906, sideline secara resmi dibuka. Dalam Courant of 5 Februari 1913, bagaimanapun, garis dibuka pada awal 1913.
Rute gunung Seulimeum – Keude Breueh, dibangun 1903–1908Pada tahun 1898 Heutsz dikandung rencana untuk menarik Aceh Tram dari Seulimeum (Aceh Besar) di DAS antara lembah sungai Aceh dan Pidie sungai. Betapapun pentingnya hubungan ini untuk alasan-alasan strategis, pembangunan kemudian ditinggalkan karena biaya yang sangat besar. Pemandangannya sangat kasar sehingga jembatan mahal harus dibangun. Pada November 1903 sebenarnya dimulai pada pembangunan 30 km garis gunung panjang, biaya yang diperkirakan 2,6 juta ditambah setengah juta untuk peralatan tambahan. Untuk saat itu jumlahnya sangat besar. Selama pembangunan jalur gunung melalui tandus dan tidak sehat marah banyak kesulitan yang dihadapi dalam menyelesaikan materi untuk pembangunan berbagai jembatan. Harus dibangun jembatan dan viaduk di bagian ini untuk 1555 meter. Akhirnya pada 1 April 1908 resmi pertama melalui kereta api antara Koeta Radja dan Segli bisa berjalan. Setelah koneksi terbentuk, diputuskan untuk mengangkat bengkel-bengkel di Kuta Raja dan mengembangkannya di Segli. Di Segli, depot untuk lokomotif, gerbong dan mobil, pengecoran dan bengkel belok diperluas. Selain itu, gudang didirikan di Segli.
Langsa lintasan (km 413) – Koeala Simpang (km 445), ditata 1910–1913Pada tahun 1910 dana untuk pembangunan Langsa (km 413) – Koeala Simpang (km 445) dibuat tersIdia, bagian mana dibuka untuk umum pada tanggal 2 September 1912. Jembatan di atas Kroeëng Tamiang di Koeala Simpang (km 445) selesai pada 31 Desember 1913 dan merupakan jembatan terpanjang Aceh dengan panjang total 228 meter
Lintasan bagian Kwala Simpang (km 445) – Pangkalan Soesoe (km 495), ditata 1915–1917Di Langkat ("Pantai timur Sumatera"), banyak perusahaan dibentuk sekitar pergantian abad yang sebagian besar bergerak di bidang karet. Baik "Aceh Tram (AT)" dan "Deli Staatsspoorwegen Mascappij (DSM)" ingin memperluas jalur mereka ke Langkat. Hubungan Aceh Tram dengan Deli Spoor, yang membuat kereta api memungkinkan untuk melewati Pangkalan Brandan, hal ini telah ditulis pada Heuts. Pemerintah India, bagaimanapun melihat kemungkinan menggunakan bagian dari jalur Aceh untuk tujuan non-militer dan akhirnya memilih untuk meneruskan Trem Atjeh. Dari hubungan lebih lanjut dengan Pangkalan Brandan, pada tahun 1914, pembukaan bagian rute Koeala Simpang ke Soengei Lipoet diikuti, sedangkan pada 1 Februari 1916 pembangunan Besitang di perbatasan GAM dan kediaman pantai timur Sumatra telah dibangun. Pada tahun 1917, jalur Besitang menuju Pangkalan Soesoe dibangun dengan Double Track (dua lebar jalur yang berbeda) agar memudahkan jalur Deli Spoor dengan Atjeh Tram. Atjeh Staatsspoorwegen (ASS), 1916–1942Sejak 1874, Trem Atjeh telah ditata dan dikelola, dengan istirahat beberapa tahun, oleh Jin. Dari 1916 situasi di Aceh ditemukan cukup stabil sehingga Trem Aceh dapat dipindahkan dari Jin ke otoritas sipil. Pada tahun 1916, nama itu juga diubah menjadi Atjeh Staats Spoorwegen (ASS atau Asal Sampai Saja). Setelah selesai pada tahun 1917, perkeretaapian di Aceh Staatsspoorwegen (ASS) memiliki panjang hingga 511 km. Total biaya pembangunan seluruh jalur berjumlah sekitar 20 juta gulden, yang membuat sebuah penghargaan hebat bagi ASS. Kesuksesan Kereta api di Aceh mencapai puncaknya tepat sebelum Perang Dunia Kedua, ketika sekitar 9.000 orang menggunakan jalur ini setiap hari. Atjeh Tram di masa DKA s.d PJKA, 1942–1976Setelah Djawatan Kereta Api didirikan, pengoperasian kereta api di Aceh dilakukan DKA-PNKA, DKA-PNKA masih menggunakan lokomotif warisan Atjeh Tram dengan sistem penomoran Jepang, walaupun tidak diketahui mengenai kelasnya pada masa DKA, namun pada tahun 1962 DKA-PNKA mengimpor 4 unit Lokomotif BB8 dan 6 unit Lokomotif C7 dari Nippon Sharyo, serta 8 unit Lokomotif C301 dari NCM Holland. Tak Lama setelah PNKA mengimpor Lokomotif C301, pada tahun 1976, sebuah banjir bandang Sungai Bengga memutus jembatan kereta api di Sigli, Kabupaten Pidie, Aceh, hal ini membuat terisolasinya jalur kereta api di Aceh, walaupun berdasarkan keterangan dari Bapak Hasirudi (Mantan Kepala Depo Sigli) jembatan tersebut dapat diperbaiki, namun tidak adanya dana dan instruksi dari pusat yang membuat jalur tersebut terbengkalai dan nonaktif. Setelah nonaktif, jejak trem di Aceh masih dapat ditemukan sepanjang rute lama, seperti bangunan stasiun dan jembatan yang sudah tak terawat dengan baik. Dalam buku khusus Stations en Spoorbruggen di Sumatra oleh Michiel van Ballegoijen de Jong, ada banyak ilustrasi sisa-sisa Trem Atjeh pada tahun 1995. Atjeh Tram sekarangPada tahun 2005, delegasi dari Société nationale des chemins de fer français (SNCF) atas permintaan PT Kereta Api Indonesia melakukan studi kelayakan reaktivasi jalur kereta api Atjeh Tram. Penelitian dan hasil studi kelayakan tersebut didokumentasikan dalam sebuah film dengan nama 'Travelogues of Sumatra'. Kesimpulan dari laporan ini adalah bahwa lintas kereta api ini, beserta stasiun dan prasarananya yang rusak, dapat direaktivasi. Rekomendasi lainnya adalah mengganti lebar sepur menjadi 1.435 mm, sehingga kecepatan kereta api meningkat hingga 50%. Keputusan untuk menggunakan jalur rel lama untuk direaktivasi sudah disepakati oleh Pemerintah Indonesia. Saat ini jalur kereta aktif di Aceh hanyalah Jalur kereta api Krueng Mane–Krueng Geukueh dengan panjang lintasan 11,3 km.[1] Daftar lintas
Armada
Lihat pulaReferensi
|