Vaksin Covid-19 Pfizer–BioNTech
Vaksin COVID-19 Pfizer–BioNTech (pINN: tozinameran), atau BNT162b2, dijual dengan merek Comirnaty, adalah sebuah vaksin COVID-19 berbentuk suntikan intramuskular, yang dikembangkan oleh perusahaan bioteknologi Jerman BioNTech dan perusahaan obat AS Pfizer. Vaksin ini merupakan vaksin RNA yang berisi mRNA yang telah dimodifikasi, dan menyandikan protein "duri" SARS-CoV-2 yang telah dimutasi, dan dibungkus dalam nanopartikel lipid.[1] BNT162b2 dipilih untuk uji klinis vaksin tahap II dan III, dari dua varian BNT162 yang telah dikembangkan,[2] dan pada akhir 2020 telah mengalami evaluasi interim untuk uji tahap III nya.[3] Pada 9 November 2020, Pfizer mengumumkan bahwa analisis sementara hasil uji vaksin yang melibatkan lebih dari 40.000 orang menunjukkan bahwa kandidat vaksin ini tampaknya 90% efektif dalam mencegah infeksi COVID-19 di antara peserta yang mendapat vaksin dan sebelumnya belum terkena infeksi.[4][5][6][7] Vaksin ini terdiri dari dua dosis yang diberikan dengan selang tiga minggu.[3][4][5] Dalam analisis awalnya yang berdasar dari 170 kasus, vaksin ini tidak menunjukkan masalah keselamatan yang berarti, dan menunjukkan keampuhan di berbagai kalangan usia dewasa. Hasil analisis ini belum melalui tinjauan sejawat dari ilmuwan pihak luar,[8] ataupun diterbitkan di jurnal kedokteran. Selain itu, kemampuan vaksin ini untuk mencegah infeksi pada anak-anak, ibu hamil, maupun kelompok dengan imunitas rentan belum diketahui, begitu juga dengan durasi efek imunnya.[5][8][9] BioNTech adalah pengembang vaksin ini, dan Pfizer berperan menyediakan logistik, membiayai dan mengawasi uji klinis yang dilakukan, dan merupakan mitra pabrikan BTN162b2 di seluruh dunia, kecuali di Tiongkok, di mana lisensi vaksin ini dibeli oleh perusahaan lokal, Fosun.[10][11] Pada November 2020, Pfizer menyebut bahwa 50 juta dosis ditargetkan tersedia pada akhir 2020, dan 1,3 miliar dosis ditargetkan untuk pertengahan 2021.[5] Pfizer telah menyetujui penjualan vaksin berlisensi seharga 3 miliar dolar AS (sekitar 40 triliun rupah) di berbagai negara termasuk Amerika Serikat, Uni Eropa, Britania Raya, Jepang, Kanada, dan Peru.[12] Distribusi dan penyimpanan BNT162b2 adalah tantangan besar untuk vaksin ini, karena harus disimpan dalam suhu ultra dingin yaitu −70 °C (jauh dibawah titik beku), sampai beberapa jam sebelum pemakaian.[12] Karena itu, diperkirakan vaksin ini hanya dapat dijangkau negara-negara maju yang memiliki kemampuan logistik untuk transportasi dan penyimpanan ultra dingin. Indonesia telah menyatakan bahwa vaksin ini tidak memungkinkan untuk digunakan di Indonesia, dan India diperkirakan juga tidak memiliki fasilitas untuk distribusi vaksin ini.[13][14] Izin penggunaan daruratPada 10 November 2020, setelah hasil sementara yang positif dari uji klinis tahap III di Amerika Serikat, BoNTech dan Pfizer mengajukan permohonan izin penggunaan darurat (emergency use authorization, EUA) untuk BNT162b2 kepada Food and Drug Administration (FDA), lembaga pengawas obat-obatan di AS. FDA dijadwalkan akan meninjau permohonan ini pada pertengahan Desember.[15][16] EUA adalah mekanisme percepatan izin untuk tindakan-tindakan kedokteran, termasuk vaksin, di tengah krisis kesehatan darurat. Setelah EUA diberikan, pengembang vaksin tetap diharuskan menyelesaikan uji klinis tahap III untuk mendapatkan data akhir mengenai keamanan dan keampuhan vaksin, untuk akhirnya mendapat izin konvensional.[17] Pfizer juga mengajukan permohonan EUA di Kanada pada November 2020.[18] Pada 2 Desember 2020, lembaga pengawas obat Britania (Inggris) MHRA memberikan izin penggunaan darurat untuk vaksin ini, sesuai dengan aturan yang ada.[19] Dengan ini, BNT162b2 menjadi vaksin COVID-19 pertama yang mendapat izin untuk penggunaan nasional setelah melewati pengujian skala besar, dan juga merupakan vaksin mRNA pertama yang mendapakan izin tersebut..[20][21] Britania menjadi negara Barat pertama yang memberikan izin pengunaan vaksin secara nasional.[21] Pada 4 Desember, Bahrain menjadi negara kedua yang memberikan izin penggunaan darurat untuk vaksin ini, berdasarkan keputusan Lembaga Pengawas Kesehatan Nasional negara tersebut. Jumlah vaksin yang dibeli, maupun jadwal vaksinasi di Bahrain masih belum diketahui.[22][23] Pada saat yang sama, beberapa negara lain tengah mengevaluasi status izin penggunaan darurat untuk vaksin ini.[24] Referensi
Pranala luar
|