Pengembangan obat untuk Covid-19
Pengembangan obat COVID-19 adalah proses riset untuk mengembangkan obat resep yang akan mengurangi gejala yang diakibatkan oleh Koronavirus sindrom pernapasan akut berat 2 (COVID-19). Dari awal 2020 hingga 2021, ratusan perusahaan obat, lembaga bioteknologi, kelompok riset universitas, dan berbagai organisasi kesehatan lainnya mengembangkan beberapa kandidat obat COVID-19 yang sekarang sedang berada pada berbagai fase uji praklinis maupun klinis (dengan total 682 kandidat pada Maret 2021).[1] Dengan 411 d iantaranya berada pada fase uji klinis.[2] Pengembangan obat adalah proses yang memiliki beberapa tahapan. Biasanya, untuk memastikan keamanan dan efikasi dari obat-obatan tersebut, butuh waktu minimal lima tahun.[3] Namun, dengan adanya pandemi, beberapa badan pengatur nasional, seperti EMA dan FDA, menyetujui prosedur untuk mempercepat pengujian klinis.[4][5] Pada Maret 2021, lusinan obat-obatan potensial berada dalam tahap akhir pengujian pada manusia, yaitu sudah berada pada uji klinis Fase III-IV.[1][6][7] Sejak awal Maret 2020, Organisasi kesehatan dunia (WHO) dan beberapa organisasi lainnya mengoordinasikan dunia industri dan akademik untuk mempercepat proses pengembangan obat. Pada Maret 2020, WHO memulai " Uji Coba Solidaritas" di 10 negara. Uji ini menguji empat senyawa antivirus yang memiliki potensi terbaik untuk dicobakan kepada ratusan peserta ujicoba yang terinfeksi COVID-19.[8] Latar BelakangPengembangan obat adalah suatu proses untuk menghasilkan vaksin atau obat terapeutik baru setelah senyawa timbal (senyawa yang memiliki kemungkinan pengobatan) telah diidentifikasi melalui proses penemuan obat.[3] Tahapan pengembangan ini termasuk pengujian senyawa tersebut di laboratorium pada mikroorganisme dan hewan, lalu dilanjutkan dengan pengajuan perizinan agar dapat memulai uji klinis pada manusia, dan mungkin termasuk langkah mendapatkan perizinan agar obat dapat dipasarkan.[9][10] Keseluruhan proses - dari perumusan konsep hingga pengujian praklinis di laboratorium hingga pengembangan uji klinis, yang terdiri dari uji coba Fase I – III, hingga dihasilkan vaksin atau obat yang disetujui biasanya membutuhkan waktu lebih dari satu dekade. Istilah "riset praklinis" didefinisikan sebagai studi laboratorium in vitro dan in vivo, meruapakan tahapan awal dari pengembangan suatu obat-obatan.[11] Eksperimen seperti ini dilakukan untuk menentukan dosis yang efektif dan toksisitasnya pada hewan, sebelum senyawa timbal ini akan diajukan untuk diuji pada manusia.[12] Untuk menyelesaikan tahapan praklinik, sebelum akhirnya dapat diuji secara klinis, kemungkinan akan membutuhkan waktu 1-2 tahun, menurut laporan yang dirilis pada awal 2020.[13] Walaupun dengan usaha yang maksimal, tingkat kesuksesan dari suatu kandidat obat hingga dapat mencapai persetujuan regulasi hanyalah 19%.[14] Setelah melalui uji praklinis, obat-obatan akan diuji pada fase klinis. Fase klinis dibagi kembali menjadi tiga fase. Fase I bertujuan untuk menguji dosis yang aman pada beberapa lusin peserta yang sehat. Fase II, yang dilakukan apabila Fase I berhasil, bertujuan untuk menguji efikasi terhadap penyakit COVID-19 pada beberapa dosis yang meningkat. Pada saat yang sama, peneliti juga mengawasi kemungkinan efek samping yang terjadi. Fase II ini biasanya diikuti oleh beberapa ratus orang. Desain penelitian yang umum dilakukan pada fase ini adalah acak, dikontrol plasebo, dan buta, dan dilakukan pada berbagai tempat, sehingga dapat menghasilkan kesimpulan yang lebih akurat. Tingkat keberhasilan ujicoba Fase II untuk dapat berlanjut ke Fase III adalah sekitar 31%, jika obat ini secara spesifik ditujukan untuk penyakit yang menular, angkanya adalah 43%. Tergantung pada durasinya, biasanya dari beberapa bulan hingga dua tahun, rata-rata biaya untuk Fase II adalah sekitar 57 juta dollar atau sekitar 800 miliar rupiah. Keberhasilan fase II tidak dapat menjamin bahwa kandidat obat akan berhasil di Fase III.[15] Uji coba fase III untuk COVID-19 melibatkan ratusan hingga ribuan partisipan yang sedang dirawat di rumah sakit sehingga dapat diuji secara langsung efikasinya untuk melawan virus, dan pada saat yang sama turut mengawasi efek samping yang mungkin ditimbulkan.[16] Kandidat obat yang digunakan kembaliMenurut Milken Institute (pada Agustus 2020), beragam kategori obat yang sedang menjalani penelitian klinis praklinis atau tahap awal untuk mengembangkan kandidat terapeutik COVID-19 meliputi:[7]
Uji coba fase III yang paling penting adalah menguji apakah suatu kandidat obat memiliki efikasi terhadap suatu penyakit. Pada kasus COVID-19 juga tahap III digunakan untuk menguji dosis yang efektif untuk mengobati infeksi COVID-19. Untuk obat yang sudah disetujui sebelumnya, seperti hidroksiklorokuin untuk malaria, Uji coba fase III-IV digunakan untuk mengetahui efektifitasnya terhadap COVID-19 Sejumlah kandidat yang diteliti sebagai obat "pendukung", yaitu obat yang dapat digunakan untuk meredakan rasa sakit, seperti obat-obatan NSAID atau bronkodilator, tidak disertakan dalam tabel di bawah ini. Obat lain yang masih dalam uji coba Tahap II awal atau obat yang masih dalam uji coba Tahap I juga dikecualikan. Hal ini karena kandidat obat yang masih dalam uji coba Tahap I-II memiliki tingkat keberhasilan yang rendah (di bawah 12%) untuk akhirnya dapat melewati semua tahap uji coba untuk mendapatkan persetujuan akhir.[9] Namun, setelah mencapai uji coba Fase III, kandidat obat terapeutik untuk penyakit yang terkait dengan infeksi COVID-19 - seperti penyakit menular dan pernapasan - memiliki tingkat keberhasilan sekitar 72%.[18]
Reposisi ObatReposisi obat (juga disebut peninjauan kembali tujuan obat) adalah salah satu penelitian ilmiah yang dilakukan untuk mengembangkan pengobatan COVID-19 yang aman dan efektif menggunakan obat untuk penyakit lain yang sudah ada sebelumnya.[34] Beberapa obat antivirus yang sudah ada, seperti obat untuk sindrom pernafasan akut parah (SARS), sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS), HIV / AIDS, dan malaria, sedang diteliti efikasinya untuk pengobatan COVID-19, dengan beberapa penelitian tersebut sudah memasuki fase uji klinis.[35] Selama wabah COVID-19, reposisi obat adalah proses penelitian klinis untuk menentukan keamanan dan kemanjuran obat yang sudah disetujui untuk penyakit lain untuk digunakan pada orang dengan infeksi COVID-19.[36] Dalam keadaan normal,[3] persetujuan untuk reposisi obat sebagai pengobatan penyakit baru akan memakan waktu bertahun-tahun penelitian klinis - termasuk uji klinis Fase III yang penting - untuk memastikan keamanan dan kemanjurannya secara khusus untuk mengobati infeksi COVID-19. Dalam keadaan darurat pandemi COVID-19 yang berkembang, proses reposisi obat dipercepat sehingga hanya beberapa bulan saja.[8] Uji klinis menggunakan obat hasil reposisi mungkin membutuhkan waktu yang lebih sedikit dan memiliki biaya yang lebih rendah untuk mencapai titik akhir penelitian yang dapat membuktikan keamanan (tidak adanya efek samping yang serius) dan kemanjuran pasca infeksi, sehingga dapat dengan cepat mengakses pasokan rantai obat untuk diproduksi dan didistribusi di seluruh dunia. Dalam upaya internasional untuk menangkap keuntungan ini, WHO mulai pada pertengahan Maret 2020 mempercepat uji coba internasional Tahap II – III pada empat pilihan pengobatan yang menjanjikan - uji SOLIDARITAS [37] - dengan banyak obat lain yang berpotensi untuk repurposing dalam strategi pengobatan penyakit yang berbeda, seperti anti-inflamasi, kortikosteroid, antibodi, imun, dan terapi faktor pertumbuhan, antara lain, sedang maju ke uji coba Tahap II atau III selama tahun 2020.[7][38] Pada bulan Maret 2020, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) di Amerika Serikat mengeluarkan rekomendasi mengenai remdesivir untuk orang yang dirawat di rumah sakit dengan pneumonia yang disebabkan oleh virus COVID-19. CDC mengeluarkan pernyataan sebagai berikut: "Walaupun uji klinis sangat penting untuk menetapkan keamanan dan efikasi obat remdesivir, dokter yang tidak memiliki akses terhadap uji klinis tetap dapat meminta obat remdesivir melalui pabrikan untuk pasien dengan pneumonia klinis."[39] Obat antibodi baruSalah satu cara sistem kekebalan tubuh menyerang zat asing adalah dengan membuat antibodi dalam jumlah besar. Antibodi adalah protein yang menempel pada protein tertentu yang disebut antigen. Antibodi bersirkulasi ke seluruh tubuh sampai mereka menemukan dan menempel pada antigen. Begitu menempel, mereka dapat memaksa bagian lain dari sistem kekebalan untuk menghancurkan sel yang mengandung antigen tersebut.[40] Perkembangan terkini dalam metode rekayasa genetika telah memungkinkan produksi protein yang bertindak seperti antibodi manusia dalam sistem kekebalan. Jenis antibodi baru ini sedang diuji untuk pengobatan dan pencegahan penyakit menular seperti COVID-19 dan sudah lama sedang diuji sebagai pengobatan kanker. Plasma KonvalesenImunisasi pasif dengan menggunakan plasma konvalesen atau serum hiperimun telah disarankan sebagai pengobatan potensial untuk COVID-19.[41] Di Amerika Serikat, Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat telah memberikan izin sementara untuk plasma konvalesen (plasma dari darah orang yang telah pulih dari COVID-19, yang mengandung antibodi terhadap SARS-CoV-2) sebagai pengobatan eksperimental dalam kasus di mana nyawa orang tersebut terancam.[42] Namun, pengobatan plasma konvalesen belum menjalani studi klinis terkontrol atau non-acak yang diperlukan untuk menentukan apakah metode ini aman dan efektif untuk mengobati orang dengan COVID-19.[43][44] Argentina, Brazil, Kosta Rika, dan Meksiko telah mengembangkan antiserum.[45] Pada pertengahan 2020, Brasil mulai mengembangkan serum hiperimun kuda, yang diperoleh dengan menginokulasi kuda dengan protein spike yang terdapat pada SARS-CoV-2. Selain Brasil, Argentina memberikan otorisasi darurat kepada CoviFab, yaitu suatu formulasi serum hiperimun kuda yang dikembangkan secara lokal, untuk digunakan dalam kasus COVID-19 sedang hingga parah, berdasarkan hasil awal dari uji coba fase 2-3 tunggal yang menunjukkan indikasi penurunan angka kematian, kasus parah yang membutuhkan ICU, dan kebutuhan ventilasi mekanis pada pasien yang menerima serum.[46][47] Namun, penelitian ini dikritik keras oleh Argentine Intensive Care Society, yang menyatakan bahwa percobaan tersebut gagal mencapai titik akhir primer atau sekunder serta tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan secara statistik antara kelompok yang menerima serum dan kelompok plasebo. Casirivimab/imdevimabCasirivimab/imdevimab, yang dijual dengan nama dagan REGEN-COV, adalah obat eksperimental yang dikembangkan oleh perusahaan bioteknologi asal Amerika Serikat, Regeneron Pharmaceuticals.[48] Obat ini adalah "koktail antibodi" buatan yang didesain untuk menghasilkan perlawanan antibodi tubuh terhadap SARS-COV-2. Obat ini terdiri dari dua macam antibodi monoklonal, casirivimab (REGN10933) dan imdevimab (REGN10987) yang dicampurkan. Inilah kenapa obat ini diistilahkan sebagai "koktail". Obat ini digunakan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, ketika sang presiden terinfeksi oleh SARS-COV-2.[49] Walaupun obat ini belum meneyelesaikan uji coba klinisnya, hasil awal menunjukkan bahwa obat ini memiliki "efikasi yang sangat jelas."[50] Bamlanivimab dan etesevimabBamlanivimab (Ly-CoV555) adalah antibodi monoklonal yang diproduksi oleh AbCellera Biologics dan Eli Lilly sebagai pengobatan terhadap COVID-19. Obat ini lolos otorisasi penggunaan darurat (EUA) oleh FDA pada November 2020. Sebanyak 950.000 dosis sudah dibeli oleh pemerintah Amerika Serikat sejak Desember 2020.[51] Obat ini merupakan antibodi monoklonal (mAb) igG1 yang ditujukan untuk mengenali protein SARS-COV-2.[52] Tujuannya adalah untuk menghalangi virus tersebut menempel ke membran sel sehingga mencegah infeksi sel. Hal ini akan menetralisir virus dan membantu untuk mengobati dan mencegah Covid-19. Perencanaan dan koordinasiPenelitian dengan bantuan komputerPada Maret 2020, Departemen Energi Amerika Serikat, National Science Foundation, NASA, industri, dan sembilan universitas mengumpulkan sumber daya mereka untuk mengakses superkomputer dari IBM, dan dikombinasikan dengan sumber daya komputasi awan dari Hewlett Packard Enterprise, Amazon, Microsoft, dan Google, untuk membantu pengembangan obat.[53][54] Konsorsium Komputasi Kinerja Tinggi COVID ‑ 19 akhirnya dibentuk oleh berbagai lembaga ini dan bertujuan untuk memperkirakan penyebaran penyakit, membuat model vaksin yang memungkinkan, dan menseleksi ribuan senyawa kimia untuk merancang vaksin atau terapi COVID‑19. Selain konsorsium tersebut, C3.ai Digital Transformation Institute, konsorsium tambahan Microsoft, enam universitas (termasuk Massachusetts Institute of Technology, anggota konsorsium pertama), dan National Center for Supercomputer Applications di Illinois, mengumpulkan sumber daya superkomputer untuk mengembangkan obat, pengembangan protokol medis, dan peningkatan strategi kesehatan masyarakat, serta memberikan hibah besar kepada para peneliti yang mengusulkan penggunaan AI untuk melakukan tugas serupa.[55][56] Pada Maret 2020, proyek komputasi terdistribusi Folding@home meluncurkan program untuk membantu pengembangan obat, awalnya mensimulasikan protein dari SARS-CoV-2 dan virus SARS-CoV terkait, yang telah dipelajari sebelumnya.[57][58] Pada Mei 2020, kemitraan OpenPandemics-COVID‑19 antara Scripps Research dan IBM World Community Grid diluncurkan. Kemitraan ini adalah proyek komputasi terdistribusi yang "secara otomatis akan menjalankan eksperimen simulasi di PC rumah yang terhubung yang akan membantu memprediksi keefektifan senyawa kimia tertentu sebagai pengobatan yang mungkin untuk COVID-19."[59] Uji Coba Solidaritas dan Penemuan InternasionalPada bulan Maret 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) meluncurkan "Uji Coba Solidaritas" terkoordinasi di 10 negara di lima benua untuk menguji potensi kemanjuran dari agen antiviral dan anti-inflamasi yang ada yang belum dievaluasi secara khusus untuk penyakit COVID-19 pada ribuan orang yang terinfeksi COVID-19. Pada akhir April, rumah sakit di lebih dari 100 negara terlibat dalam uji coba tersebut.[60] Obat individu atau kombinasi yang menjalani studi awal adalah 1) kombinasi lopinavir - ritonavir, 2) lopinavir-ritonavir dikombinasikan dengan interferon-beta, 3) remdesivir atau 4) (hidroksi) klorokuin yang diuji coba terpisah dan diuji pada lokasi rumah sakit internasional.[61][62] Menyusul studi yang diterbitkan oleh The Lancet tentang masalah keamanan dengan hydroxychloroquine, WHO menangguhkan penggunaannya dari uji coba Solidaritas pada Mei 2020,[63] namun mengaktifkannya kembali setelah penelitian tersebut dicabut.[64] Namun pada bulan Juni, hasil penelitian menunjukkan bahwa obat itu tidak memberikan manfaat.[65] Seiring dengan banyaknya orang yang terinfeksi COVID-19 menderita penyakit parah dan rumah sakit yang semakin kewalahan selama pandemi, WHO menyadari kebutuhan uji klinis yang cepat untuk menguji dan menggunakan kembali obat-obatan yang sebelumnya telah disetujui untuk penyakit lain dan dianggap aman.[61] Proyek ini akhirnya merangkum pencarian obatnya kepada beberapa pertanyaan klinis utama:[66]
Uji coba Solidaritas berupaya menerapkan koordinasi di ratusan lokasi rumah sakit di berbagai negara, termasuk yang infrastrukturnya kurang berkembang untuk uji klinis. Menurut John-Arne Røttingen, kepala eksekutif Dewan Riset Norwegia dan ketua komite pengarah internasional Uji coba Solidaritas, uji coba akan dianggap efektif jika terapi dapat terbukti untuk "mengurangi proporsi pasien yang membutuhkan ventilator hingga, katakanlah, 20 %, yang dapat berdampak besar pada sistem perawatan kesehatan nasional."[67] Selama bulan Maret, pendanaan untuk uji coba solidaritas yang diprakarsasi berbagai lembaga ini sudah mencapai US$108 juta yang berasal dari donasi 203.000 individu, organisasi, dan pemerintah, dengan 45 negara terlibat dalam pendanaan atau manajemen uji coba.[68] Desain uji klinis yang sedang berlangsung dapat dimodifikasi sebagai "desain adaptif" jika pengumpulan data dalam uji coba memberikan wawasan awal tentang kemanjuran positif atau negatif pengobatan.[69][70] Desain adaptif dalam uji klinis Fase II-III yang sedang berlangsung pada terapi kandidat dapat mempersingkat durasi uji coba dan menggunakan lebih sedikit subjek, memiliki kemungkinkan untuk dapat mempercepat keputusan untuk penghentian awal atau keberhasilan, dan mengoordinasikan perubahan desain untuk uji coba spesifik di seluruh lokasi internasionalnya.[71] Uji Coba Perawatan COVID-19 AdaptifInstitut Nasional Alergi dan Penyakit Menular AS (NIAID) memprakarsai desain adaptif dari uji coba Fase III internasional (disebut "ACTT"). Definisi percobaan dari protokol adaptif menyatakan bahwa "Peninjauan hasil sementara untuk memungkinkan penghentian dini jika tidak ditemukan manfaatnya, kemanjuran, atau ada bahaya keamanan. Namun, jika satu terapi terbukti manjur, maka pengobatan ini dapat menjadi kelompok kontrol untuk dijadikan perbandingan dengan pengobatan eksperimental baru."[72] Referensi
|