Umalulu, Sumba Timur
Umalulu atau lengkapnya disebut Tana Umalulu adalah sebuah Kecamatan di Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Umalulu merupakan suatu wilayah yang lengkapnya disebut Tana Umalulu (Tanah Umalulu). Pada masa penjajahan Belanda, Tanah Umalulu dikenal sebagai Tanah Melolo, Landschaap Melolo, atau Kerajaan Melolo. Kemudian pada masa kemerdekaan disebut Daerah Swapraja Melolo.[1] Gambaran umumKondisi geografisSecara keseluruhan, keadaan geografis wilayah Umalulu terdiri dari daerah berbukit-bukit dan sabana (padang rumput), dengan keadaan tanah yang kurang subur untuk pertanian dan perkebunan. Hutan belantara tropis bisa dikatakan hampir tidak ada, kecuali hutan heterogen yang sebagian besar berada di daerah pedalaman.[1] IklimIklim di Umalulu ditandai oleh musim kemarau yang panjang (Maret-Nopember) dan angka curah hujan yang relatif kecil (kurang dari 1500mm/tahun), dengan rata-rata hari hujan antara 35-55 hari per tahun, serta suhu udara antara 26°-34 °C. Dari data tersebut tampaklah bahwa daerah itu merupakan daerah yang panas dan kering. Hal yang menguntungkan ialah adanya sungai Umalulu yang mengalir di wilayah itu dan selalu berair walaupun pada musim kemarau. Di sekitar tepi sungai itu, penduduk Umalulu mendirikan tempat permukiman dan membuka ladang.[1] PendudukMata pencaharianSebagian besar penduduk Umalulu hidup dari bercocok tanam di ladang (jagung, padi, umbi-umbian, kacang-kacangan) dan beternak (babi, kuda, kerbau, ayam). Pertanian berupa sawah tadah hujan, kini sudah diusahakan secara intensif dengan pembuatan bendungan di desa Watuhadangu. Sumber penghasilan lain adalah membuat kain tenun yang lebih terkenal dengan sebutan “kain Sumba”. Selain itu ada pula dari pembuatan barang-barang kerajinan tangan, misalnya anyaman daun lontar dan pembuatan perhiasan mas-perak.[1] Bahasa dan tulisanDalam berkomunikasi, masyarakat Umalulu menggunakan bahasa ibu mereka yaitu bahasa Sumba yang termasuk keluarga bahasa Bima-Sumba dan rumpun bahasa Austronesia. Dalam perkembangannya sebagai bahasa daerah, bahasa Sumba membentuk beberapa logat bahasa. Adapun logat bahasa yang dapat dipahami dan dimengerti oleh sebagian besar penduduk di wilayah Umalulu ialah logat Umalulu dan logat Kambera. Sejauh ini bahasa Sumba belum mengenal bentuk bahasa tulisan.[1] Kalender adatBerikut ini adalah pembagian waktu berdasarkan kalender adat masyarakat Umalulu: 1. Wulangu Mangata (Maret-April)
2. Wulangu Paludu (April-Mei)
3. Wulangu Ngura (Mei-Juni)
4. Wulangu Tua Kudu (Juni – Juli)
5. Wula Tua Bokulu (Juli – Agustus)
6. Wulangu Kawuluru Kudu (Agustus – September)
7. Wulangu Kawuluru Bokulu (September – Oktober)
8. Wulangu Ringgi Manu (Oktober - Nopember)
9. Wulangu Tula Kawuru (Nopember—Desember) 10. Wulangu Habu (Desember – Januari).
11. Wulangu Wai Kamawa (Januari – Februari)
12. Wulangu Mbuli Ana (Februari – Maret)
Sosial budayaSistem kekerabatanPrinsip keturunan masyarakat Umalulu berdasarkan prinsip patrilineal (patrilinel descent), yaitu prinsip keturunan yang menghitung hubungan kekerabatan melalui pihak laki-laki saja. Mereka mengenal empat macam kelompok kekerabatan:[1]
Paraingu dan kuatakuParaingu adalah kehidupan masyarakat pedesaan di Umalulu berdasarkan kesatuan hidup setempat, yaitu suatu perkampungan besar yang dihuni oleh beberapa kabihu yang berhimpun di dalamnya. Setiap kabihu membangun rumah-rumah mereka pada suatu bagian paraingu yang disebut kuataku. Pengertian paraingu dapat disamakan dengan desa, sedangkan kuataku disamakan dengan kampung.[1] Kedudukan sosialSecara adat, penguasa tanah dalam suatu paraingu ialah kabihu yang diakui sebagai mangu tanangu (penguasa tanah) di wilayah itu, yaitu terdiri dari kabihu ratu (marga pendeta) dan kabihu maramba (marga bangsawan). Kedua kabihu tersebut merupakan kesatuan sebagai pemegang kekuasaan yang meliputi semua bidang kehidupan dalam masyarakat. Sedangkan kuataku dikepalai oleh seorang mangu kuatakungu (penguasa kampung, kepala kampung). Selain itu pada masyarakat Umalulu dikenal pula adanya sistem pelapisan sosial yang didasarkan pada dedi (keturunan), yaitu ratu (pendeta), maramba (raja, bangsawan), kabihu (orang bebas), dan ata (hamba).[1] Kedudukan dan peranan suatu kabihu dalam masyarakat Umalulu sangat besar pengaruhnya pada pola kekuasaan dalam masyarakat tersebut. Jabatan penting dalam pemerintahan adat selalu dipegang oleh orang-orang dari kabihu tertentu secara turun temurun. Setiap kabihu dalam suatu paraingu mempunyai hak dan kewajiban masing-masing tergantung pada tradisi serta sejarah leluhurnya. Walaupun kini wilayah Umalulu tidak lagi merupakan suatu wilayah yang berada di bawah satu pemerintahan adat, tetapi bila ada hal-hal yang bersangkutan dengan adat maka sistem pemerintahan secara adat masih tetap dijalankan. Pemerintahan adat itu kini berpusat di Umabara yang terletak di desa Watu Hadangu.[1] Sistem religiPada masa sekarang bisa dikatakan hampir seluruh penduduk Umalulu masih menganut agama Sumba asli, karena hanya 1,1% saja (pada tahun 1982) dari seluruh penduduknya yang beragama Kristen Protestan. Mereka mempercayai adanya kekuasaan tertinggi yang disebut Na Mawulu Tau - Na Majii Tau (Pencipta Manusia) serta roh-roh leluhur yang disebut Marapu.[1] Orang Umalulu menyadari bahwa ada suatu dunia yang tidak tampak yang berada di luar batas kemampuan pancaindra dan akalnya, yaitu dunia gaib. Dunia gaib ini dihuni oleh para dewa, makhluk-makhluk halus dan kekuatan-kekuatan sakti yang tidak dapat dikuasai oleh manusia secara biasa, karena itu sangat ditakuti. Agar segenap penghuni dunia gaib itu menjadi senang atau menaruh belas kasihan sehingga tidak membawa bencana kepada mereka dan bahkan melindungi serta membantu kehidupan mereka, maka dalam menghadapi penghuni dunia gaib orang Umalulu menyandarkan diri serta menyembahnya.[1] Keterikatan masyarakat Umalulu oleh emosi kesatuan dalam masyarakatnya yang sangat dibutuhkan demi kelangsungan hidup mereka yang berdiam terpencar-pencar, sehingga upacara-upacara dan pesta-pesta adat yang mereka laksanakan sebenarnya disebabkan oleh adanya dorongan dan emosi kesatuan (solidaritas).[1] Kelompok-kelompok keagamaanSejak lahir, masyarakat Umalulu dipersiapkan untuk melayani kepentingan marapunya. Anak-anak selalu dibawa untuk turut serta di dalam upacara pemujaan. Bahkan anak-anak itulah yang makan nasi sesaji yang sudah dipersembahkan dengan maksud agar mereka dikenal oleh marapu. Demikian pula ketika anak-anak itu mulai menginjak masa remaja atau masa dewasa. Mereka diwajibkan turut berpartisipasi dalam berbagai upacara, misalnya membantu orang tuanya mempersiapkan sesaji atau mewakili untuk menghadiri suatu upacara karena orang tuanya sedang berhalangan.[1] Ketika hendak menjalani hidup berumah-tangga, seorang laki-laki mengambil istri dengan maksud utama ka napohu kalaja wingiru — kalaja bara (agar meramu sesaji kuning dan sesaji putih). Maksudnya agar ada yang membuat nasi kuning dan nasi putih yang menjadi persembahan utama kepada marapu, karena tujuan utama dari perkawinan ialah supaya tetap ada yang melayani kepentingan marapu, yang dalam ungkapan dikatakan mata ka ningu mapadukulu epi la au — mapakalibuku wai la mbalu ( agar ada yang menghidupkan api di dapur dan yang mengisi air ke tempayan). Suami istri yang masih muda adalah pengganti dan penerus tugas orang tua untuk melayani kepentingan marapu. Secara umum setiap orang wajib memuja marapu dengan memberi persembahan dan bersembahyang. Oleh karena itu dalam suatu biliku (keluarga batih), suami dan istri harus bekerja sama menyediakan bahan sajian untuk dipersembahkan kepada marapu. Sebagai pemegang pimpinan utama dalam suatu biliku (keluarga batih), seorang ama (bapak, kepala keluarga) mempunyai hak dan kewajiban untuk memenuhi segala kebutuhan yang menyangkut kehidupan keluarganya. Dalam bidang keagamaan ama inilah yang mengambil prakarsa untuk mengadakan bahan sesaji dengan mengerjakan sawah ladang, memelihara ternak atau melakukan pekerjaan lainnya. Sedangkan istrinya yang mengolah bahan itu. Bila ada peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di dalam rumahnya, seperti kehamilan, kelahiran, perkawinan dan kematian, ama inilah yang memimpin dan mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan upacara pemujaan. Hak dan kewajiban ama tidak terbatas dalam bilikunya saja. Sebagai warga uma dia pun harus turut berpartisipasi dalam segala kegiatan yang dilakukan warga uma lainnya. Setelah dia menjadi boku (kakek) dari cucu-cucunya atau menjadi ama bokulu (bapak besar, sesepuh) dalam suatu uma maka hak dan kewajibannya akan bertambah pula. Segala urusan yang meliputi kepentingan seluruh warga uma berada di bawah tanggung jawabnya. Di dalam uma ia diwakili oleh anak laki-lakinya yang tertua. Setiap kabihu mempunyai benda-benda pusaka tertentu yang dianggap keramat dan yang berhubungan dengan asal mula dari kabihu itu. Benda-benda yang dikeramatkan itu disebut tanggu marapu. Para warga kabihu wajib melakukan serangkaian upacara yang berhubungan dengan tanggu marapu itu atau yang berhubungan dengan pemujaan kepada arwah leluhurnya. Upacara-upacara biasanya dilakukan di rumah pusat (uma bokulu) dari kabihu yang bersangkutan, karena rumah bukan saja sebagai tempat tinggal manusia, tetapi yang paling utama adalah tempat melakukan kebaktian kepada marapu. Upacara terpenting yang dilakukan di uma ialah upacara Puru la wai dan upacara Nggutingu. Dalam upacara-upacara itu, anak-anak para warga kabihu yang telah mencapai usia tertentu diresmikan menjadi warga kabihu yang dewasa. Setiap kabihu tidak pernah berdiri sendiri, dan selalu mempunyai hubungan dengan kabihu lain. Hubungan tersebut bisa terjadi karena di antara kabihu-kabihu itu mungkin berasal dan satu leluhur, ada hubungan kekerabatan atau karena ada sangkut paut dengan sejarah leluhurnya. Dengan melalui musyawarah, mangu tanangu sebagai pemimpin dan penganjur menghimpun semua kabihu yang ada di dalam wilayah kekuasaannya dalam suatu parkampungan besar yang disebut paraingu. Dalam suatu paraingu setiap kabihu diwajibkan untuk turut ambil bagian dalam upacara pemujaan terhadap satu marapu ratu. Di Umalulu, Marapu ratu dipuja dalam suatu rumah kecil yang tidak dihuni manusia yang disebut Uma Ndapataungu. Demikianlah, dapat dikatakan paraingu adalah tempat pemujaan, karena setiap upacara pemujaan yang penting harus dilakukan di paraingu, misalnya upacara Pamangu langu paraingu, Pamangu kawunga dan Pamangu lii ndiawa — lii pahuamba. Upacara-upacara tersebut dilakukan dengan maksud agar marapu ratu serta marapu lainnya memberi perlindungan, berkat, kesuburan dan kemakmuran. Pemujaan terhadap Uma Ndapataungu itulah yang menjadi pusat persekutuan kabihu-kabihu yang terdapat dalam paraingu . Adapun orang yang khusus melayani upacara pemujaan terhadap Uma Ndapataungu ialah para ratu dan paratu. Perubahan Dewasa IniDalam perkembangannya, masyarakat Sumba pernah mendapat pengaruh Hindu melalui kerajaan-kerajaan dari Jawa, yaitu Kediri, Singosari dan Majapahit.[2] Namun, pengaruh Hindu tersebut hampir tidak memberikan bekas di bidang keagamaan. Demikian pula halnya dengan pengaruh agama Islam yang penganutnya hanya terbatas dalam lingkungan penduduk non-Sumba saja. Penyebaran agama Kristen sudah dilakukan sejak tahun 1881, tetapi pengaruhnya hanya pada golongan atas saja (yaitu pada golongan Ratu dan Maramba) dan tidak begitu banyak jumlahnya. Mereka inilah yang diharapkan dapat memengaruhi masyarakat untuk beralih agama.[3] Sekolah-sekolah pekabaran Injil (Zending) didirikan pada tahun 1892 di Melolo (ibu kota kecamatan Rindi-Umalulu) berupa Volks school.[2] Namun, usaha-uasaha tersebut tidak mendapat hasil yang memuaskan. Hingga tahun 1982, hanya 1,1% saja dari seluruh jumlah penduduk Umalulu yang beralih agama menjadi pemeluk agama Kristen, selebihnya masih memeluk agama asli mereka, yaitu Marapu.[4] Semejak tahun 1990-an, sebagian besar dari mereka (sekitar 80%) dengan berbagai alasan sudah beralih agama menjadi pemeluk agama Kristen. Masyarakat memilih agama Kristen karena tidak melarang mereka untuk makan daging babi dan mereka masih tetap dapat menjalankan upacara-upacara keagamaan mereka sendiri. Yehu Karetu (Yesus Kristus) bagi mereka Marapu juga, walaupun sebagai Marapu-nya orang Kristen. Selain itu dengan menjadi seorang Kristen, mereka mendapat jaminan bahwa anak-anak mereka dapat bersekolah.[1] Pada umumnya, masyarakat Umalulu yang memiliki KTP Kristen, banyak yang tidak pernah atau belum tahu bagaimana menjalankan ibadat sesuai dengan ajaran agamanya itu. Sebenarnya sikap mereka tersebut merupakan tindakan mencari ‘aman’ dari tekanan-tekanan pihak pemerintah yang mengharuskan mereka agar “beragama”, daripada dituduh sebagai ateis, kafir, primitif, tidak mendukung program pembangunan, dapat mengakibatkan putra-putrinya tidak diterima masuk sekolah, dan sebagainya.[1] Referensi
Pranala luar
|