Umalulu, Sumba Timur

Umalulu
Negara Indonesia
ProvinsiNusa Tenggara Timur
KabupatenSumba Timur
Pemerintahan
 • Camat-
Populasi
 • Total- jiwa
Kode Kemendagri53.11.08 Edit nilai pada Wikidata
Kode BPS5302052 Edit nilai pada Wikidata
Luas- km²
Kepadatan- jiwa/km²
Desa/kelurahan-
Peta
PetaKoordinat: 9°56′30″S 120°36′45″E / 9.94167°S 120.61250°E / -9.94167; 120.61250
Ukiran di batu di Watuhadang

Umalulu atau lengkapnya disebut Tana Umalulu adalah sebuah Kecamatan di Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Umalulu merupakan suatu wilayah yang lengkapnya disebut Tana Umalulu (Tanah Umalulu). Pada masa penjajahan Belanda, Tanah Umalulu dikenal sebagai Tanah Melolo, Landschaap Melolo, atau Kerajaan Melolo. Kemudian pada masa kemerdekaan disebut Daerah Swapraja Melolo.[1]

Gambaran umum

Makam raja Melolo di desa Tambaka pada masa Hindia Belanda

Kondisi geografis

Secara keseluruhan, keadaan geografis wilayah Umalulu terdiri dari daerah berbukit-bukit dan sabana (padang rumput), dengan keadaan tanah yang kurang subur untuk pertanian dan perkebunan. Hutan belantara tropis bisa dikatakan hampir tidak ada, kecuali hutan heterogen yang sebagian besar berada di daerah pedalaman.[1]

Iklim

Iklim di Umalulu ditandai oleh musim kemarau yang panjang (Maret-Nopember) dan angka curah hujan yang relatif kecil (kurang dari 1500mm/tahun), dengan rata-rata hari hujan antara 35-55 hari per tahun, serta suhu udara antara 26°-34 °C. Dari data tersebut tampaklah bahwa daerah itu merupakan daerah yang panas dan kering. Hal yang menguntungkan ialah adanya sungai Umalulu yang mengalir di wilayah itu dan selalu berair walaupun pada musim kemarau. Di sekitar tepi sungai itu, penduduk Umalulu mendirikan tempat permukiman dan membuka ladang.[1]

Penduduk

Mata pencaharian

Sebagian besar penduduk Umalulu hidup dari bercocok tanam di ladang (jagung, padi, umbi-umbian, kacang-kacangan) dan beternak (babi, kuda, kerbau, ayam). Pertanian berupa sawah tadah hujan, kini sudah diusahakan secara intensif dengan pembuatan bendungan di desa Watuhadangu. Sumber penghasilan lain adalah membuat kain tenun yang lebih terkenal dengan sebutan “kain Sumba”. Selain itu ada pula dari pembuatan barang-barang kerajinan tangan, misalnya anyaman daun lontar dan pembuatan perhiasan mas-perak.[1]

Bahasa dan tulisan

Dalam berkomunikasi, masyarakat Umalulu menggunakan bahasa ibu mereka yaitu bahasa Sumba yang termasuk keluarga bahasa Bima-Sumba dan rumpun bahasa Austronesia. Dalam perkembangannya sebagai bahasa daerah, bahasa Sumba membentuk beberapa logat bahasa. Adapun logat bahasa yang dapat dipahami dan dimengerti oleh sebagian besar penduduk di wilayah Umalulu ialah logat Umalulu dan logat Kambera. Sejauh ini bahasa Sumba belum mengenal bentuk bahasa tulisan.[1]

Kalender adat

Berikut ini adalah pembagian waktu berdasarkan kalender adat masyarakat Umalulu:

1. Wulangu Mangata (Maret-April)

Bulan pertama ini merupakan bulan padira ura tana – padira wula mbaki, yaitu bulan batas tahun kepicikan dan kelaparan. Pada bulan inilah diiaksanakan pesta dan upacara Pamangu langu paraingu (pesta dan upacara tahun baru), sebagai suatu saat untuk menghabiskan hasil tahun yang lama dan menanti hasil pada tahun yang baru. Segala yang lama harus diganti dengan yang baru. Rumah-rumah, halaman, kubur-kubur dan kampung harus dibersihkan, demikian pula dengan alat-alat rumah tangga dan pakaian harus dibersihkan atau diganti dengan yang baru.
Pada perayaan ini, setiap keluarga saling mengunjungi dan saling memaafkan atas segala kesalahan yang telah dibuat. Di setiap kampung dilakukan upacara Na ruku aku marapu — lii marapu, yaitu upacara pengakuan dosa dan kebaktian kepada para marapu yang dilaksanakan di katuada paraingu dengan membawa persembahan pahapa, kawadaku dan mangejingu. Selain itu pada setiap malam diadakan tari-tarian dengan diiringi nyanyian Ludu langu paraingu yang dibawakan oleh pemuda-pemudi. Di kebun dilaksanakan pula upacara Huamba ihi wuaka (menyucikan isi kebun) yang dimaksudkan agar para marapu dan para arwah penjaga kebun memberi kesuburan serta kelimpahan hasil kebun itu. Upacara ini dilakukan di katuada wuaka.

2. Wulangu Paludu (April-Mei)

Pada bulan ini dilakukan upacara Habarangu papu wataru yaitu upacara memohon izin untuk memetik jagung. Setiap keluarga batih yang hendak panen jagung membawa persembahan pahapa, kawadaku dan mangejingu serta melaksanakan upacara pemujaan di katuada wuaka. Bagi pemuda dan pemudi yang handak menikah, mereka melakukan upacara Paihingu marapu ba papa yang dimaksudkan agar para marapu memberi izin mereka untuk melangsungkan pernikahan. Upacara ini dilaksanakan di rumah si pemuda atau si pemudi yang hendak menikah.
Pada malam hari, ketika membersihkan dan mengikat jagung, penduduk desa baik pria maupun wanita, tua dan muda mengadakan dekangu, pangiarangu yang disertai nyanyian-nyanyian pantun seperti panawa, padira analalu dan ludu hema.

3. Wulangu Ngura (Mei-Juni)

Hal-hal yang dilakukan pada bulan ketiga ini antara lain melaksanakan upacara Paihingu marapu ba muti, yaitu upacara meminta izin kepada para marapu untuk menuai padi. Upacara in dilaksanakan di uma bokulu dan di katuada paraingu dengan mempersembahkan pahapa, kawadaku dan mangejingu. Pada malam harinya dilakukan upacara yang sama di ladang atau di sawah. Kemudian dilanjutkan dengan resitasi lii marapu yang disertai oleh nyanyian-nyanyian. Keesokan harinya dilakukan upacara dan pesta potong padi yang disebut Haberangu muti atau Muti uhu. Pada waktu menuai diundang pula orang-orang dari kampung lain sehingga merupakan suatu keramaian. Malam harinya dilanjutkan dengan parina (injak padi) yang dilakukan sambil menari dan menyanyi sampai pagi hari.

4. Wulangu Tua Kudu (Juni – Juli)

Pada bulan ini di ladang dilakukan pesta dan upacara Kanduku wuaka, yaitu upacara tutup panen yang dilaksanakan untuk menyatakan rasa terima kasih kepada para marapu dan Mapadikangu Awangu Tana yang telah memberi hasil panen yang baik. Pasta tutup panen ini berlangsung beberapa malam yang diisi dengan nyanyi dan tari. Pada waktu penutupan dilakukan upacara paluhu kalamba dan upacara paluhu tada, yaitu upacara mengeluarkan sekam padi dan kulit jagung ke luar kampung dengan maksud agar para marapu menghilangkan segala hal yang buruk dari hasil-hasil yang diperoleh dan memohon agar pada waktu mendatang diberi hasil yang lebih baik.

5. Wula Tua Bokulu (Juli – Agustus)

Upacara-upacara yang dilakukan pada bulan kelima ini antara lain upacara Pamangu kawunga, Habarangu la katuada bungguru dan upacara-upacara yang berkaitan dengan siklus hidup manusia. Upacara Pamangu Kawunga ialah upacara permujaan untuk mernpersembahkan hulu hasil kepada para marapu terutama kepada Marapu Ratu yang dileksanakan setiap empat tahun sekali di rumah pemujaan Uma Ndapataungu. Upacara ini bertepatan pula dengan diperbaikmnya rumah pemujaan tersebut dan merupakan suatu pesta adat kaum keluarga yang mempunyai hubungan dengan marapu yang bersangkutan. Dalam upacara ini setiap kabihu diwajibkan mempersembahkan hulu hasil yang berupa hunggu maraku (persembahan yang berupa hasil pertanian, terutama padi, dan hasil peternakan), pahapa dan kawadaku Biasanya dalam masa-masa persiapan sudah diadakan tari-tarian, resitasi lii marapu yang disertai nyanyian-nyanyian hingga upacara selesai.
Upacara Habarangu la katuada bungguru ialah upacara yang dilaksanakan ketika akan membuka hutan untuk dijadikan ladang baru. Upacara ini dilaksanakan di katuada bungguru dengan maksud agar semua dewa-dewa dan arwah-arwah yang berada di seluruh peladangan dan hutan memberkati pekerjaan mereka. Adapun upacara-upacara siklus hidup yang dilakukan pada bulan keIima ini ialah upacara yang tidak berhubungan dengan kelahiran dan kematian, melainkan upacara yang berhubungan dengan inisiasi dan perkawinan. Upacara-upacara itu ialah upacara puru la wai (turun ke air, sunat) untuk pemuda, upacara nggutingu (gunting rambut) untuk pemudi, kemudian dilakukan pula upacara rondangu (potong gigi), kamiti (menghitamkan gigi ) dan katatu (rajah tubuh) yang dilakukan oleh pemuda dan pemudi. Selain itu pada bulan ini dilakukan pula upacara pamau papa (perkawinan).

6. Wulangu Kawuluru Kudu (Agustus – September)

Pada bulan ini dilakukan upacara Pamangu lii ndiawa – lii pahuamba atau disebut juga upacara Wunda lii hunggu — lii maraku, yaitu upacara persembahan dan pesta perjamuan para dewa. Pesta dan upacara ini memerlukan persiapan tujuh tahun lamanya dan baru pada tahun kedelapan dapat dilaksanakan. Pesta dan upacara ini sebenarnya bukan bersifat umum, melainkan khusus untuk satu atau dua kabihu yang bersangkutan. Akan tetapi setiap kabihu yang berada di bawah pengaruh kabihu yang mengadakan pesta diwajibkan membawa persembahan pula berupa pahapa, kalaja wingiru — kalaja bara (nasi kebuli kuning dan putih), wolu la pahiki — wolu la papanda (tuak dalam guci dan botol kuningan), kanata huluku — kanata kuluru (sirih pinang yang digulung), kawadaku marara — mabara (keratan mas dan perak) dan manu palunggu — karambua papawiringu ( ayam yang terbaik dan kerbau yang disucikan).
Upacara ini dilaksanakan di uma bokulu dan di rumah pemujaan Uma Ndapataungu sebagai tanda bakti kepada Marapu Ratu dan para marapu lainnya dengan harapan agar diberi kesuburan dan kemakmuran. Pada malam hari diadakan tari-tarian, nyanyian-nyanyian dan resitasi lii marapu.
Apabila sedang tidak melakukan upacara-upacara tersebut, orang Umalulu melakukan upacara lainnya, misalnya upacara wulu uma (upacara membuat rumah), atau upacara pamau papa.

7. Wulangu Kawuluru Bokulu (September – Oktober)

Pada bulan ini upacara-upacara yang biasa dilakukan ialah upacara wulu uma dan upacara pamau papa . Bagi keluarga-keluarga yang hendak menanam jagung, maka harus melakukan upacara Paihingu marapu ba tondungu wataru di katuada kawindu dengan membawa persembahan pahapa, kawadaku dan mangejingu. Kemudian dilakukan lagi upacara Habarangu tondungu wataru di katuada wuaka.

8. Wulangu Ringgi Manu (Oktober - Nopember)

Pada bulan ini dilakukan upacara Hiri paraingu — paluhu maranga, yaitu upacara membersihkan kampung dari bahaya penyakit dengan mempersembahkan pahapa, kawadaku dan mangejingu. Upacara-upacara lainnya yang dapat dilakukan pada bulan ini ialah upacara pamau papa dan upacara pataningu (penguburan).

9. Wulangu Tula Kawuru (Nopember—Desember)
Bulan kesembilan ini disebut pula bulan kahana (sepi), karena hampir tidak ada upacara-upacara yang dilakukan penduduk. Upacara yang dapat dilakukan pada bulan ini ialah upacara pataningu.

10. Wulangu Habu (Desember – Januari).

Pada bulan ini dibakukan upacara Paihingi marapu ba tondungu, yaitu upacara untuk meminta izin kepada para marapu agar diperbolehkan mulai menanam. Upacara ini dilakukan oleh setiap kepala keluarga di katuada kawindu dengan membawa persembahan pahapa, kawadaku dan mangejingu. Setelah itu diadakan pula upacara di ladang atau di sawah, yaitu upacara Habararangu tondungu yang dilaksanakan di katuada wuaka dan di katuada padira tana dengan maksud agar para marapu dan para arwah yang berada di ladang memberi kesuburan dan tidak mengganggu tanaman yang akan ditanam. Bagi keluarga-keluarga yang hendak memetik jagung siram diharuskan melakukan upacara Habarangu papu wataru.

11. Wulangu Wai Kamawa (Januari – Februari)

Seperti halnya bulan kesembilan, bulan kesebelas ini disebut pula bulan kahana (sepi). Pada bulan ini angin bertiup sangat keras disertai hujan deras sehingga adakalanya membawa bencana, karena itu bulan ini disebut wai kamawa.

12. Wulangu Mbuli Ana (Februari – Maret)

Pada bulan ini dilakukan upacara Hemi rau uhu - rau wataru, yaitu upacara yang dilakukan ketika jagung mulai berbuah dan padi mulai berbunga. Upacara di lakukan di ladang dan dimulai pada malam hari dengan menceritakan lii marapu semalam suntuk. Pagi harinya dilakukan upacara mengusap daun jagung dan daun padi dengan air santan yang telah diberkati oleh ratu. Bagi orang-orang yang hendak pergi berburu diwajibkan melakukan upacara Patamangu dengan mempersembahkan pahapa, kawadaku dan mangejingu di katuada bungguru.

Sosial budaya

Sistem kekerabatan

Prinsip keturunan masyarakat Umalulu berdasarkan prinsip patrilineal (patrilinel descent), yaitu prinsip keturunan yang menghitung hubungan kekerabatan melalui pihak laki-laki saja. Mereka mengenal empat macam kelompok kekerabatan:[1]

  1. Biliku atau keluarga inti, terdiri dari sepasang suami-istri dengan anak-anaknya yang belum kawin.
  2. Ukuruma atau rumah tangga, yang merupakan kelompok kekerabatan yang menjalankan ekonomi rumah tangga dan sebagai kesatuan yang melakukan usaha-usaha produktif.
  3. Uma, yaitu kelompok kekerabatan yang terdiri dari satu keluarga inti senior ditambah dengan keluarga-keluarga inti dari anak-anak laki-lakinya. Mereka berdiam di dalam satu rumah besar yang disebut uma juga. Berdiam dalam uma milik ayahnya adalah suatu hal yang sesuai dengan adat menetap sesudah kawin yang virilokal.
  4. Kabihu (keluarga luas, klan), yaitu terdiri dari beberapa uma yang merasa diri berasal dari seorang nenek moyang dan antara satu dengan lainnya terikat melalui garis keturunan laki-laki saja.

Paraingu dan kuataku

Paraingu adalah kehidupan masyarakat pedesaan di Umalulu berdasarkan kesatuan hidup setempat, yaitu suatu perkampungan besar yang dihuni oleh beberapa kabihu yang berhimpun di dalamnya. Setiap kabihu membangun rumah-rumah mereka pada suatu bagian paraingu yang disebut kuataku. Pengertian paraingu dapat disamakan dengan desa, sedangkan kuataku disamakan dengan kampung.[1]

Kedudukan sosial

Secara adat, penguasa tanah dalam suatu paraingu ialah kabihu yang diakui sebagai mangu tanangu (penguasa tanah) di wilayah itu, yaitu terdiri dari kabihu ratu (marga pendeta) dan kabihu maramba (marga bangsawan). Kedua kabihu tersebut merupakan kesatuan sebagai pemegang kekuasaan yang meliputi semua bidang kehidupan dalam masyarakat. Sedangkan kuataku dikepalai oleh seorang mangu kuatakungu (penguasa kampung, kepala kampung). Selain itu pada masyarakat Umalulu dikenal pula adanya sistem pelapisan sosial yang didasarkan pada dedi (keturunan), yaitu ratu (pendeta), maramba (raja, bangsawan), kabihu (orang bebas), dan ata (hamba).[1]

Umabara pada tahun 1917

Kedudukan dan peranan suatu kabihu dalam masyarakat Umalulu sangat besar pengaruhnya pada pola kekuasaan dalam masyarakat tersebut. Jabatan penting dalam pemerintahan adat selalu dipegang oleh orang-orang dari kabihu tertentu secara turun temurun. Setiap kabihu dalam suatu paraingu mempunyai hak dan kewajiban masing-masing tergantung pada tradisi serta sejarah leluhurnya. Walaupun kini wilayah Umalulu tidak lagi merupakan suatu wilayah yang berada di bawah satu pemerintahan adat, tetapi bila ada hal-hal yang bersangkutan dengan adat maka sistem pemerintahan secara adat masih tetap dijalankan. Pemerintahan adat itu kini berpusat di Umabara yang terletak di desa Watu Hadangu.[1]

Sistem religi

Pada masa sekarang bisa dikatakan hampir seluruh penduduk Umalulu masih menganut agama Sumba asli, karena hanya 1,1% saja (pada tahun 1982) dari seluruh penduduknya yang beragama Kristen Protestan. Mereka mempercayai adanya kekuasaan tertinggi yang disebut Na Mawulu Tau - Na Majii Tau (Pencipta Manusia) serta roh-roh leluhur yang disebut Marapu.[1]

Orang Umalulu menyadari bahwa ada suatu dunia yang tidak tampak yang berada di luar batas kemampuan pancaindra dan akalnya, yaitu dunia gaib. Dunia gaib ini dihuni oleh para dewa, makhluk-makhluk halus dan kekuatan-kekuatan sakti yang tidak dapat dikuasai oleh manusia secara biasa, karena itu sangat ditakuti. Agar segenap penghuni dunia gaib itu menjadi senang atau menaruh belas kasihan sehingga tidak membawa bencana kepada mereka dan bahkan melindungi serta membantu kehidupan mereka, maka dalam menghadapi penghuni dunia gaib orang Umalulu menyandarkan diri serta menyembahnya.[1]

Keterikatan masyarakat Umalulu oleh emosi kesatuan dalam masyarakatnya yang sangat dibutuhkan demi kelangsungan hidup mereka yang berdiam terpencar-pencar, sehingga upacara-upacara dan pesta-pesta adat yang mereka laksanakan sebenarnya disebabkan oleh adanya dorongan dan emosi kesatuan (solidaritas).[1]

Kelompok-kelompok keagamaan

Sejak lahir, masyarakat Umalulu dipersiapkan untuk melayani kepentingan marapunya. Anak-anak selalu dibawa untuk turut serta di dalam upacara pemujaan. Bahkan anak-anak itulah yang makan nasi sesaji yang sudah dipersembahkan dengan maksud agar mereka dikenal oleh marapu. Demikian pula ketika anak-anak itu mulai menginjak masa remaja atau masa dewasa. Mereka diwajibkan turut berpartisipasi dalam berbagai upacara, misalnya membantu orang tuanya mempersiapkan sesaji atau mewakili untuk menghadiri suatu upacara karena orang tuanya sedang berhalangan.[1]

Ketika hendak menjalani hidup berumah-tangga, seorang laki-laki mengambil istri dengan maksud utama ka napohu kalaja wingiru — kalaja bara (agar meramu sesaji kuning dan sesaji putih). Maksudnya agar ada yang membuat nasi kuning dan nasi putih yang menjadi persembahan utama kepada marapu, karena tujuan utama dari perkawinan ialah supaya tetap ada yang melayani kepentingan marapu, yang dalam ungkapan dikatakan mata ka ningu mapadukulu epi la au — mapakalibuku wai la mbalu ( agar ada yang menghidupkan api di dapur dan yang mengisi air ke tempayan). Suami istri yang masih muda adalah pengganti dan penerus tugas orang tua untuk melayani kepentingan marapu. Secara umum setiap orang wajib memuja marapu dengan memberi persembahan dan bersembahyang. Oleh karena itu dalam suatu biliku (keluarga batih), suami dan istri harus bekerja sama menyediakan bahan sajian untuk dipersembahkan kepada marapu.

Sebagai pemegang pimpinan utama dalam suatu biliku (keluarga batih), seorang ama (bapak, kepala keluarga) mempunyai hak dan kewajiban untuk memenuhi segala kebutuhan yang menyangkut kehidupan keluarganya. Dalam bidang keagamaan ama inilah yang mengambil prakarsa untuk mengadakan bahan sesaji dengan mengerjakan sawah ladang, memelihara ternak atau melakukan pekerjaan lainnya. Sedangkan istrinya yang mengolah bahan itu. Bila ada peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di dalam rumahnya, seperti kehamilan, kelahiran, perkawinan dan kematian, ama inilah yang memimpin dan mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan upacara pemujaan. Hak dan kewajiban ama tidak terbatas dalam bilikunya saja. Sebagai warga uma dia pun harus turut berpartisipasi dalam segala kegiatan yang dilakukan warga uma lainnya. Setelah dia menjadi boku (kakek) dari cucu-cucunya atau menjadi ama bokulu (bapak besar, sesepuh) dalam suatu uma maka hak dan kewajibannya akan bertambah pula. Segala urusan yang meliputi kepentingan seluruh warga uma berada di bawah tanggung jawabnya. Di dalam uma ia diwakili oleh anak laki-lakinya yang tertua.

Setiap kabihu mempunyai benda-benda pusaka tertentu yang dianggap keramat dan yang berhubungan dengan asal mula dari kabihu itu. Benda-benda yang dikeramatkan itu disebut tanggu marapu. Para warga kabihu wajib melakukan serangkaian upacara yang berhubungan dengan tanggu marapu itu atau yang berhubungan dengan pemujaan kepada arwah leluhurnya. Upacara-upacara biasanya dilakukan di rumah pusat (uma bokulu) dari kabihu yang bersangkutan, karena rumah bukan saja sebagai tempat tinggal manusia, tetapi yang paling utama adalah tempat melakukan kebaktian kepada marapu. Upacara terpenting yang dilakukan di uma ialah upacara Puru la wai dan upacara Nggutingu. Dalam upacara-upacara itu, anak-anak para warga kabihu yang telah mencapai usia tertentu diresmikan menjadi warga kabihu yang dewasa.

Setiap kabihu tidak pernah berdiri sendiri, dan selalu mempunyai hubungan dengan kabihu lain. Hubungan tersebut bisa terjadi karena di antara kabihu-kabihu itu mungkin berasal dan satu leluhur, ada hubungan kekerabatan atau karena ada sangkut paut dengan sejarah leluhurnya. Dengan melalui musyawarah, mangu tanangu sebagai pemimpin dan penganjur menghimpun semua kabihu yang ada di dalam wilayah kekuasaannya dalam suatu parkampungan besar yang disebut paraingu. Dalam suatu paraingu setiap kabihu diwajibkan untuk turut ambil bagian dalam upacara pemujaan terhadap satu marapu ratu. Di Umalulu, Marapu ratu dipuja dalam suatu rumah kecil yang tidak dihuni manusia yang disebut Uma Ndapataungu. Demikianlah, dapat dikatakan paraingu adalah tempat pemujaan, karena setiap upacara pemujaan yang penting harus dilakukan di paraingu, misalnya upacara Pamangu langu paraingu, Pamangu kawunga dan Pamangu lii ndiawa — lii pahuamba. Upacara-upacara tersebut dilakukan dengan maksud agar marapu ratu serta marapu lainnya memberi perlindungan, berkat, kesuburan dan kemakmuran. Pemujaan terhadap Uma Ndapataungu itulah yang menjadi pusat persekutuan kabihu-kabihu yang terdapat dalam paraingu . Adapun orang yang khusus melayani upacara pemujaan terhadap Uma Ndapataungu ialah para ratu dan paratu.

Perubahan Dewasa Ini

Dalam perkembangannya, masyarakat Sumba pernah mendapat pengaruh Hindu melalui kerajaan-kerajaan dari Jawa, yaitu Kediri, Singosari dan Majapahit.[2] Namun, pengaruh Hindu tersebut hampir tidak memberikan bekas di bidang keagamaan. Demikian pula halnya dengan pengaruh agama Islam yang penganutnya hanya terbatas dalam lingkungan penduduk non-Sumba saja. Penyebaran agama Kristen sudah dilakukan sejak tahun 1881, tetapi pengaruhnya hanya pada golongan atas saja (yaitu pada golongan Ratu dan Maramba) dan tidak begitu banyak jumlahnya. Mereka inilah yang diharapkan dapat memengaruhi masyarakat untuk beralih agama.[3] Sekolah-sekolah pekabaran Injil (Zending) didirikan pada tahun 1892 di Melolo (ibu kota kecamatan Rindi-Umalulu) berupa Volks school.[2] Namun, usaha-uasaha tersebut tidak mendapat hasil yang memuaskan.

Hingga tahun 1982, hanya 1,1% saja dari seluruh jumlah penduduk Umalulu yang beralih agama menjadi pemeluk agama Kristen, selebihnya masih memeluk agama asli mereka, yaitu Marapu.[4] Semejak tahun 1990-an, sebagian besar dari mereka (sekitar 80%) dengan berbagai alasan sudah beralih agama menjadi pemeluk agama Kristen. Masyarakat memilih agama Kristen karena tidak melarang mereka untuk makan daging babi dan mereka masih tetap dapat menjalankan upacara-upacara keagamaan mereka sendiri. Yehu Karetu (Yesus Kristus) bagi mereka Marapu juga, walaupun sebagai Marapu-nya orang Kristen. Selain itu dengan menjadi seorang Kristen, mereka mendapat jaminan bahwa anak-anak mereka dapat bersekolah.[1]

Pada umumnya, masyarakat Umalulu yang memiliki KTP Kristen, banyak yang tidak pernah atau belum tahu bagaimana menjalankan ibadat sesuai dengan ajaran agamanya itu. Sebenarnya sikap mereka tersebut merupakan tindakan mencari ‘aman’ dari tekanan-tekanan pihak pemerintah yang mengharuskan mereka agar “beragama”, daripada dituduh sebagai ateis, kafir, primitif, tidak mendukung program pembangunan, dapat mengakibatkan putra-putrinya tidak diterima masuk sekolah, dan sebagainya.[1]

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o Soeriadiredja, P. 2002. "MARAPU: AGAMA ASLI ORANG UMALULU di SUMBA TIMUR". Denpasar: LABANT – FS UNUD.
  2. ^ a b Widijatmika, Munandjar, "Sejarah Pendidikan Daerah Nusa Tenggara Timur", LP Undana, Kupang, 1980.
  3. ^ Kapita, Umbu Hina, Masyarakat Sumba dan Adat Istiadatnya, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1976.
  4. ^ Suriadiredja, P., Simbolisme dalam Desain Kain di Watu Puda, FS-Unpad, Bandung, 1983.

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya