Tadulako
Tadulako (ejaan Van Ophuijsen: Tadoelako)[1] adalah Seorang pemimpin dari laki-laki Suku Bare'e yang menunjukkan bagaimana cara pergi untuk mengambil roh (Tanoana) dari dunia lain dengan memenggal kepala manusia (mengayau) sebagai penolak bala, musibah, bencana alam, dan gagal panen.[2] Tadulako bagi Suku Bare'e terdiri dari kata Tadu yang artinya pemimpin, imam atau pemimpin ibadah Lamoa, dan lako artinya pergi. Jadi Tadulako adalah Seorang pemimpin yang menunjukkan bagaimana cara pergi. Orang-orang ini bukan pendukung, tetapi semacam imam bagi ibadah Lamoa bagi tuhannya Suku Bare'e yaitu Pue Mpalaburu yang ibadahnya disebut Molamoa yang gerakannya disebut Dero atau Modero.[3] Semua laki-laki yang telah merasa dewasa dari Suku Bare'e wajib menjadi Tadulako, hal tersebut agar wilayah dari Suku Bare'e bebas dari semua bencana alam dan gagal panen, dan seorang Tadulako harus bisa memimpin dan menjadi contoh bagi orang-orang disekitarnya baik dari Suku Bare'e maupun dari suku lain diluar Suku Bare'e, karena Tadulako adalah Suku Bare'e yang pernah menjadi nenek moyang, dan mencoba membentuk semua jenis nenek moyang di pulau Sulawesi.[4] Upacara Adat TadulakoBerbeda halnya dengan acara Pengayauan yang dilakukan karena dorongan kepercayaan jika ada musibah seperti panen gagal atau ada anggota masyarakat yang meninggal maka orang Bare'e harus menjadi Tadulako untuk mengambil roh (Tanoana) dari dunia lain dengan memenggal kepala manusia sebagai penolak bala, dan orang suku bare'e yang mengayau tersebut diwajibkan harus pulang dulu dari acara pengayauan sebelum pergi ke pertempuran (perang), dengan begitu setiap orang bare'e yang berangkat perang ini percaya bahwa ada Anitu ikut serta dalam perang mereka. Anitu[5] adalah roh-roh dari orang suku bare'e yang telah meninggal (gugur) dalam suatu pertempuran ataupun perang, dan anitu ini mereka percayai akan ikut serta dalam perang berikutnya. Jadi dalam hal ini Anitu adalah roh perang, dan anitu banyak didapati didalam semua kuil-kuil Lobo diwilayah-wilayah tempat tinggal suku bare'e. Selain Anitu, suku bare'e juga mempercayai adanya Tanoana, Tanoana adalah Roh-roh orang yang telah meninggal. Dan Tanoana biasa didapat dari upacara adat pengayauan (memenggal kepala manusia) melalui Tadulako, ataupun memenggal kepala dari keluarga Suku Bare'e sendiri (biasanya anak kandung), dan juga roh tanoana didapatkan melalui upacara adat Mongkariang yaitu menyimpan jasad manusia dari Suku Bare'e yang telah meninggal.[6] Bagi Tadulako jika berhubungan dengan hasil panen maka dikenal adanya TadulakoMpae. TadulakoMpae yaitu Tadulako yang bertugas menjaga semua hasil panen agar tidak dicuri. Hasil panen ini disimpan disuatu tempat yang bentuknya seperti rumah Tambi, tetapi tempat tesebut berbeda fungsi dan tujuannya yaitu hanya untuk menyimpan hasil-hasil panen, dan TadulakoMpae adalah yang bertugas menjaga semua hasil-hasil panen tersebut, karena rumah Tambi yang diwilayah Suku Bare'e fungsinya adalah hanya untuk rumah tempat tinggal. Dan jika berhubungan dengan hasil panen maka dikenal adanya Roh TanoanaMpae, Roh TanoanaMpae adalah Roh pemberi kehidupan yang didapatkan dari hasil olahan beras dengan cara tidak membanting beras ketika memanen tetapi dengan cara memotongnya secara teliti agar roh TanoanaMpae-nya tetap ada dengan menggunakan semacam pisau khusus.[7] Struktur Keluarga Suku Bare'eDalam Struktur keluarga di suatu keluarga Suku Bare'e memiliki ciri seperti terorganisasi, memiliki peran dan tanggung jawab masing-masing, serta menghargai ikatan dan budaya bare'e, yang mana wilayah dari Suku Bare'e tersebut telah ditetapkan dalam kondisi tertentu, seperti tunduk pada Kerajaan Tojo,dan Kerajaan Tojo dibentuk dari wilayah-wilayah Suku Bare'e yang patuh dan setia pada Raja Tojo, dan ada juga suatu wilayah yang bukan lagi Suku Bare'e, yaitu khususnya beberapa desa di wilayah Pakambia dan To Pada yang telah dikalahkan oleh kerajaan lain diluar Kerajaan Tojo harus menanggalkan sukunya dan diharuskan agar tidak lagi mempraktekkan budaya-budaya dari Suku Bare'e.[8] Seorang kepala keluarga dari Suku Bare'e disebut Tadulako[9], dan istri dari Tadulako disebut Tadumwurake atau kadang hanya disebut Wurake saja karena pengaruh pembagian kasta pada Suku Bare'e, dan Tadumwurake merupakan kasta tertinggi dari para Wurake (penyihir).[10] Dan anak-anak dari keluarga Suku Bare'e bertindak sebagai calon Tadulako (Bahasa Bare'e;Kede ;Ende;anak laki-laki), dan calon Tadumwurake atau Wurake (Bahasa Bare'e;Mea;Bea;anak perempuan).[11] Salu PongkoSebelum ditemukan biji besi, Pulau Sulawesi dulunya bernama Salu Pongko yang dalam Bahasa Belanda disebut Eiland Pongko.[12] Dan penghuni Salu Pongko tersebut atau dengan kata lain Manusia pertama penghuni Salu Pongko sebelum bernama Pulau Sulawesi bernama To Pongko.[13] Suku Bare'e[14] yang tahun 1770 mendirikan Kerajaan Tojo pada awalnya berasal dari orang-orang to pongko yang berasal dari suatu tempat yang bernama Salu Pongko (Bahasa Belanda; Eiland Pongko), dan orang to pongko bila ditinjau dari bahasanya terbagi dua yaitu orang to pongko berBahasa Tae' dan orang to pongko berbahasa Bare'e (campur), kedua bahasa inilah yaitu Bahasa Tae' dan Bahasa Bare'e adalah pembentuk bahasa-bahasa di Pulau Sulawesi.[15] Dalam Genealogy bahasa-bahasa Austronesia, bahasa campur ini disebut sebagai Bahasa Bare’e (di wilayah poso-tojo) yang dianggap sebagai Saudara kembar Bahasa Tae' (luwu) karena Kedua Bahasa tersebut berasal dari Suatu wilayah yang bernama Salu Pongko yang paling banyak dihuni oleh tadulako-tadulako dari Suku Bare'e.[16] Dari Salu Pongko, kedua To Pongko yang berbahasa tae' dan bare'e memilih untuk berpisah. To Pongko yang berBahasa Tae' berjalan ke selatan dari Salu Pongko dan kemudian mendirikan suatu kerajaan yang bernama Kerajaan Luwu, dan yang berbahasa Bare'e lebih memilih untuk hidup berkelompok-kelompok dan kemudian menamakan wilayah-wilayah itu dengan nama To Lage, To Tora'u, To Lalaeyo Nde'e (Onda'e), dan To Rato-Bongka sampai Pati-pati, dan menamakan diri mereka dengan suatu nama identitas yaitu Bare'e atau Suku Bare'e.[17] To LamusaDi Luwu terkenal dengan istilah Bumi Sawerigading, dan juga suku rongkong yang berpenampilan seperti seorang Tadulako dari Suku Bare'e, tetapi sebenarnya yang merupakan seorang Tadulako adalah orang yang berasal dari wilayah Suku Bare'e yaitu Suku Bare'e itu sendiri, karena seorang Tadulako dari Suku Bare'e harus memiliki Anitu yaitu Roh Perang, dan hanya Suku Bare'e yang tau apa itu Roh Anitu, dan Roh Anitu berasal dari Bahasa Bare'e. Adapun Suku Bare'e yang berpihak ke Kerajaan Luwu adalah Suku Bare'e yang tinggal di wilayah To Lamusa[18]. To Lamusa muncul sebagai akibat dari adanya efek Monangu Buaja yang dipraktekkan para Misionaris kristen asal Belanda, yaitu Toraja To Lamusa yang berpihak kepada Luwu.[19] Jadi dengan memperhatikan wilayah dari Suku Bare'e yang tahun 1770 membentuk Kerajaan Tojo di wilayah yang mereka huni, dengan munculnya suatu skema To Lamusa dari Kerajaan Luwu, tetapi sayangnya skema To Lamusa dari Kerajaan Luwu itu tidak terbukti yaitu dari pernyataan Walter Kaudern yang menyatakan "...adapun kalau ditempati, tanah tersebut sudah ditinggalkan dalam waktu yang lama sekali, karena tanahnya seperti jurang yang sangat sulit untuk dibuatkan semacam rumah tempat tinggal", karena berupa "jurang" sehingga pastilah orang akan beranggapan tanah yang dulunya merupakan hunian pemukiman penduduk setelah itu tempat hunian tersebut menjadi jurang, pastilah orang beranggapan bahwa hal tersebut bisa terjadi karena faktor bencana alam dan salah satunya adalah Gempa bumi, dan di zaman moderen pernyataan tersebut dibuktikan dengan tidak adanya garis patahan gempa yang melewati wilayah tempat yang dulu dinamakan Lamusa di TandongKasa (Tando Ngkasa), desa Lamoesa, dan Pantjawoe Enoe.[20] Lihat Pula
Referensi
|