Lamoa
Lamoa[1] adalah bentuk kepercayaan lama kepada tuhan PueMpalaburu (Pue Mpalaburu) yang dipraktikkan dan dianut oleh semua penduduk asli Suku Bare'e, di Sulawesi Tengah. Bentuk peribadatannya disebut "Molamoa" yaitu membentuk lingkaran dengan berpegangan tangan, ataupun tanpa berpegangan tangan, tetapi yang terbanyak dan yang umum dilakukan adalah Molamoa dengan berpegangan tangan, dan gerakan tersebut dinamakan Dero atau Modero, dan Modero dilakukan setelah melakukan pengayauan (pemenggalan kepala). Praktik sembahyang Molamoa dengan gerakan Dero-nya dilakukan ketika pasukan dari sebuah Kampung (Kampu; Lipu; Wawo) pulang dari perang; dan para Tadulako dari Suku Bare'e pulang mengayau, pengayauan (penggal kepala). Tadulako melakukan pengayauan karena dorongan kepercayaan mereka dimana diajarkan apabila ada musibah seperti panen gagal atau ada anggota masyarakat yang meninggal maka mereka harus mencari tengkorak kepala orang sebagai penolak bala. Demikian lalu tengkorak kepala yang didapatkan dari hasil pengayauan kemudian di letakan di tengah Lobo, lalu ditarikan oleh masyarakat suku bare'e secara melingkar dengan gaya yang sama seperti yang kita kenal sekarang dengan nama "Dero"[2], dan Modero adalah gerakan Tarian yang dilakukan oleh Suku Bare'e setelah pulang mengayau, dan tarian Dero atau Modero sudah menjadi istilah turun temurun. Kepercayaan Lamoa dijaman Kerajaan Tojo tahun 1770 tetap dipertahankan bentuk keasliannya karena merupakan ciri khas dari Suku Bare'e yang merupakan suku asli yang tinggal di wilayah Tananto Bare'e, hanya saja Pilewiti (Raja Pertama Kerajaan Tojo) yang bergelar Anreguru ri Tojo mengambil alih semua Adat istiadat dan Budaya Kepercayaan Lamoa, dan secara perlahan memasukkan semua Suku Bare'e ke Agama Islam, karena itu Suku Bare'e yang hidup di abad ke-20 mengatakan "Ohaio !, Orang Tojo kemana-mana selalu membawa Lobonya"[3]. Tetapi tidak demikian dengan Penjajah Hindia Belanda yang melarang semua bentuk kepercayaan Lamoa yang bertuhan kepada Pue Mpalaburu, dan membebaskan budaya dan adat yang tidak berhubungan dengan kepercayaan lamoa seperti Tari Moraego, Tari Mokayori, dll.[a] Lobo sebagai tempat penyembahan kepada Pue Mpalaburu tuhannya Suku Bare'e, sudah tercatat di museum provinsi Sulawesi Tengah sebagai Rumah adat yang dimiliki oleh Suku Bare'e.[4] SejarahRumah ibadah pagi penganut kepercayaan Lamoa disebut Lobo, dan Lobo juga biasa digunakan sebagai rumah adat oleh Suku Bare'e[5]. Tahun 1914 di wilayah Tojo, Lobo masih bisa didapati di beberapa desa, terutama di Taliboi dan Makoepa (makupa)[1]. Lobo menggunakan konstruksi berciri khas rumah adat dan rumah ibadah di Provinsi Sulawesi Tengah yang tidak ada di provinsi lain di Indonesia. Lobo terbuat dari kayu hitam eboni. Khusus di wilayah Sulawesi bagian tengah (midden celebes) yaitu Wilayah Grup Poso-Tojo Istilah Toraja diciptakan Belanda untuk menamakan Suku Bare'e (Alfouren) yang masih beragama Lamoa (Tuhan PueMpalaburu), dan semua Suku Bare'e (Bare'e-Stammen) yang masih beragama Lamoa harus mengakui dirinya adalah orang Toraja (Toradja) dan bukan lagi Bare'e, tetapi walaupun begitu masih sangat banyak juga Suku Bare'e yang beragama Lamoa yang ikut Suku Bare'e yang beragama Islam (Mohammadisme) karena Suku Bare'e tersebut tidak cocok dengan gaya hidup orang Belanda yang berkulit putih dan berambut kuning. Maka penduduk asli atau ALFOUREN di wilayah Grup Poso-Tojo dibagi 2 Kelompok yaitu : 1. Bare’e, atau Suku Bare'e[1] (Bare’e-Stammen) yang beragama Islam (Mohammadisme), dan Suku Bare'e yang masih beragama Lamoa (Bertuhan PueMpalaburu), dan 2. Toraja (Toradja)[1] yang Orang-orangnya diambil dari Suku Bare'e (Bare'e-Stammen) yang beragama Lamoa, dan Alfouren yang mau ikut Belanda inilah yang disebut Toraja, sehingga bagi pihak Belanda kemudian mengistilahkan “Van Heiden tot Christen”, yang semua Toraja tersebut berasal dari wilayah wotu, luwu, yang sekarang wilayah dari Kabupaten Luwu Timur, yang dijelaskan dalam buku "De Bare'e-Sprekende de Toradja van midden celebes" jilid 1 halaman 5, sub.bab Vairspriding Toradja poso-Todjo Groupen[1]. Tetapi perkembangannya Suku Bare'e yang beragama Lamoa lebih banyak yang ikut dengan Suku Bare'e yang beragama islam karena belum terbiasa dengan kebiasaan hidup Orang-orang Belanda yang berkulit putih dan bermata biru. PueMpalaburuPueMpalaburu (Pue Mpalaburu) (Ejaan Van Ophuijsen: PoeemPalaboeroe) adalah tuhan tertinggi dalam kepercayaan lama Lamoa, yang dianut oleh Suku Bare'e di Sulawesi Tengah. PueMpalaburu adalah penguasa langit dan bumi, serta seluruh umat manusia.[6] Ia berkuasa atas segalanya dan memberikan hukuman bagi mereka yang melanggar sumpahnya. Dalam kepercayaan Lamoa, Pue Mpalaburu merupakan anak dari pasangan dewa langit dan dewi bumi. Ayahnya adalah Lai to Wawo Yangi atau Lai, sedangkan ibunya ialah Indo i Ntaludidi atau Ndara. Dan pada akhirnya doa-doa dalam Molamoa Suku Bare'e yang ditujukan kepada Pue Mpalaburu (Poeem-Palaboeroe) kemudian melahirkan istilah "Kayori" atau "Poem" dalam dunia Sastra Bahasa Belanda, dan Bahasa Inggris, yang sejarahnya Puisi ialah termasuk dalam bahasa Inggris. Dan Bahasa Inggris ialah bahasa Jermanik Barat yang berasal daripada keluarga bahasa Indo-Eropa yang hampir dengan bahasa Belanda, Jerman, Frisian.[7] Poem artinya dalam Bahasa Indonesia adalah Sajak atau Puisi. Dalam dunia sastera Bahasa Belanda, dan Bahasa Inggris, Poem sangat dihormati di Kota Leiden, Belanda, sehingga Kota Leiden memiliki julukan "Leiden, The Dutch city of Poems"[8] Dewa-dewaDalam beberapa doa Suku Bare'e yang muncul dalam doa Molamoa, kita akan menemukan lebih banyak nama dewa dari suku bare'e. Tetapi hal itu akan memerlukan banyak waktu, sehingga akan dipersingkat saja, karena suku bare'e memiliki banyak sekali Dewa dan Roh bawahan dari PueMpalaburu, dan yang akan diterangkan disini adalah Dewa dan Roh milik khusus para dukun wanita wurake. Berikut nama Dewa dan Roh[1] dari suku bare'e : • Puedi Songi yang berarti "pria di dalam ruangan", Dewa Puedi Songi mungkin karena dia dibayangkan (bare'e: ponawa-nawa, arti melayunya dihayal-hayalkan) sebagai seorang pria, yang selalu tinggal di sebuah rumah. Saya kemudian membicarakan kasus ini dengan sesama dewa, dan kemudian dikomunikasikan kepada dukun wanita roh mana yang telah mengambil debu jiwa, sehingga dukun wanita mengetahui apa yang telah dia lakukan. • Ngkai mantande Songka yang namanya juga menunjukkan fungsinya: "kakek (tuan), yang menerima perintah", yaitu dari Pue MPalaburu, di bawahnya. jatuh ke bawah ini, seorang pria mati. Rambut dewa ini terdiri dari untaian manik-manik. Dalam beberapa doa Molamoa, yang muncul dalam kepercayaan Lamoa ini, kita akan menemukan lebih banyak nama dewa dan roh. Dari yang paling diatasnya para Dewa dari Suku Bare'e yaitu PueMPalaburu berarti "tuan adonan," dan ini menunjukkan aktivitasnya sebagai "pembuat manusia." Sementara Lai dan Dara yang membuat Dewa pertama yaitu PueMPalaburu melanjutkan pekerjaan ini. Roh-rohAnitu[1] adalah roh-roh dari orang suku bare'e yang telah meninggal (gugur) dalam suatu pertempuran ataupun perang, dan anitu ini mereka percayai akan ikut serta dalam perang berikutnya. Jadi dalam hal ini Anitu adalah roh perang, dan anitu banyak didapati didalam semua kuil-kuil Lobo diwilayah-wilayah tempat tinggal suku bare'e. Berbeda halnya dengan acara Pengayauan yang dilakukan karena dorongan kepercayaan jika ada musibah seperti panen gagal atau ada anggota masyarakat yang meninggal maka orang Bare'e harus menjadi Tadulako untuk mengambil roh (Tanoana) dari dunia lain dengan memenggal kepala manusia sebagai penolak bala, dan orang suku bare'e yang mengayau tersebut diwajibkan harus pulang dulu dari acara pengayauan sebelum pergi ke pertempuran (perang), dengan begitu setiap orang bare'e yang berangkat perang ini percaya bahwa ada Anitu ikut serta dalam perang mereka. Selain Anitu, suku bare'e juga mempercayai adanya Tanoana, Tanoana adalah Roh-roh orang yang telah meninggal. Dan Tanoana biasa didapat dari upacara adat pengayauan (memenggal kepala manusia) melalui Tadulako, ataupun memenggal kepala dari keluarga Suku Bare'e sendiri (biasanya anak kandung), dan juga roh tanoana didapatkan melalui upacara adat Mongkariang yaitu menyimpan jasad manusia dari Suku Bare'e yang telah meninggal. Dan jika berhubungan dengan hasil panen maka dikenal adanya Roh TanoanaMpae, Roh TanoanaMpae adalah Roh pemberi kehidupan yang didapatkan dari hasil olahan beras dengan cara tidak membanting beras ketika memanen tetapi dengan cara memotongnya secara teliti agar roh TanoanaMpae-nya tetap ada dengan menggunakan semacam pisau khusus.[1] Catatan
Referensi
|