Sudjinah

Sudjinah
Sudjinah
Sudjinah
Lahir(1928-07-20)20 Juli 1928
Solo Jawa Tengah
Meninggal6 September 2007
Jakarta
KebangsaanIndonesia Indonesia
PekerjaanJurnalis Freelance
Dikenal atasPejuang Kemerdekaan Indonesia dan Aktifis Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani)

Sudjinah (20 Juli 1928 – 16 September 2007) adalah seorang aktivis perempuan dan pejuang kemerdekaan Indonesia serta sebagai seorang jurnalis freelance di sejumlah surat kabar dan penerjemah untuk kantor berita Pravda milik Uni Soviet.[1]

Biografi

Wanita pejuang ini sebenarnya sangat layak mendapat penghargaan sebagai salah satu pahlawan perintis kemerdekaan. Di usianya yang masih muda 21 tahun, ia adalah sosok perempuan cantik dan dengan paras wajahnya yang sangat Indonesia. Wanita ini sangat berani dan turut aktif di garis depan pertempuran saat perang merebut kemerdekaan, Remaja Sudjinah adalah salah satu anggota Mobile Pelajar, juga Pemuda Putri Indonesia. Pada tahun 1949, ia menjadi kurir Batalyon Bramasta di selatan Bengawan Solo. Tahun 1950, Sudjinah kembali ke Solo, melanjutkan sekolah dan kemudian ke Yogyakarta untuk menyelesaikan SMA.[2]

Lulus dari SMA pada tahun 1952, Sudjinah mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gajah Mada (UGM). Sayang, ia tak menyelesaikan pendidikan sarjananya karena beasiswanya terhenti di tengah jalan. Namun di kampus biru inilah, Sudjinah semakin aktif terlibat di Pemuda Rakyat (PR) yang merupakan kelanjutan dari Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) dan juga berkecimpung di Gerakan Wanita Indonesia Sedar (Gerwis) yang merupakan cikal bakal terbentuk Gerakan Wanita Indonesia atau yang lebih dikenal dengan Gerwani.[3]

Di samping aktif sebagai kader Gerwani, ia juga seorang Jurnalis lepas di sejumlah surat kabar dan penerjemah untuk kantor berita Pravda milik Uni Soviet. Sudjinah juga banyak menulis cerita-cerita pendek, Di kemudian waktu, salah satu bukunya yang berjudul “Terempas Gelombang Pasang” yang diterbitkan Pustaka Utan Kayu tahun 2003, Sudjinah berkisah tentang “rumah setan”. Ini adalah sebuah bekas sekolah Tionghoa di ruas Jalan Gunung Sahari yang dipakai sebagai tempat penyiksaan para korban yang ditangkap karena keterkaitan mereka dengan G30S/1965. Penyiksaan luar biasa yang terjadi di rumah itu membuatnya layak disebut demikian.[4]

Terempas Gelombang Pasang

Buku Terempas Gelombang Pasang adalah bagian dari kisah Sudjinah yang pernah mengalami masa-masa pahit ketika Sudjinah dan kawan-kawan seperjuangan ditangkap pasca gestapu karena dituduh sebagai aktivis Gerwani yang difitnah terlibat dalam peristiwa lubang buaya. Sudjinah mulai ditangkap pada 17 Februari 1967 dan pada bulan Juni 1967, Sudjinah bersama teman seperjuangannya Sulami dipindahkan ke kamp tahanan lain yang membuat mereka kemudian bertemu dengan Sri Ambar dan Suharti Harsono yang ditangkap lebih dulu pada September 1966.[5]

Di rumah penyiksaan di jalan gunung sahari itulah, Sudjinah bersama Sulami ditempatkan di sel sempit yang penuh dengan bercak darah di tembok. Hampir tiap hari mereka mendengar jerit kesakitan dari ruang yang dipakai untuk tempat interogasi.

Dalam interogasi, Sudjinah dipaksa mengakui aktivitasnya dalam gerakan bawah tanah, Namun ia bungkam sehingga pukulan rotan serta bertubi-tubi siksaan yang dilakukan oleh delapan interogator di tubuh telanjangnya tetap tak mampu membuatnya bicara. Juga intimidasi psikologis saat ia dipaksa menyaksikan penyiksaan seorang kawan yang digigit telinganya hingga putus.

Alih-alih bicara, Sudjinah justru muntah di wajah interogatornya karena tak tahan menahan muak. Ia muntah persis saat wajah interogator tersebut mendekat dan nyaris menyentuh pipinya. Akibatnya, ia kembali dipukuli dengan rotan hingga pingsan.

Berikut ini pengakuan Sudjinah dan Sulami:

"Lihatlah, kamu akan di lempar ke lubang itu kalau tidak mau menceritakan siapa teman-temanmu, kau akan kami kubur hidup-hidup!" Saya hanya menutup mata. Mengapa saya harus menjadi pengkhianat dengan menceritakan kerja bawah tanah saya kalau akhirnya akan dibunuh? Itulah yang tersirat dalam benak saya. Mereka dapat memukuli saya sampai mati, namun saya tidak akan mengkhianati teman-teman (Sudjinah, tahanan Gerwani di Bukit duri)

Saya gosok-gosok wajah saya yang bengkak dan bibir meradang akibat pukulan bertubi-tubi. Betapapun saya masih hidup. Pada saat itu tidak ada perasaan lain kecuali mencoba agar tidak gugup selama pemeriksaan. Walaupun hati terasa terbakar dalam api, kepala harus tetap dingin & tidak kehilangan pikiran. Saya tidak ingin mati sekarang, meski saya harus melewati kehidupan penuh siksaan. (Sudjinah, tahanan Gerwani di Bukit duri)

Salah seorang pemimpin wanita menceritakan segalanya tentang kerja bawah tanah kelompok-kelompoknya, bahkan nama-namanya dengan jelas. Ah, betul dugaanku. Ada pengkhianat di dalam gerakan kami. Saya benar-benar terpukul, tiba-tiba saya tidak bisa menggerakkan lengan dan tangan kanan saya. Kekecewaan itu merupakan puncak dari semua kecewa yang saya alami. Namun di atas segalanya, kami tetap tak berputus asa. (Sudjinah, tahanan Gerwani di Bukit Duri)

Dua puluh tahun bukanlah waktu yang singkat, sepertiga kehidupan manusia yang sedang berkembang. Bayangkan, betapa orang-orang muda belia harus hidup di penjara, terpisah dari keluarga, anak, suami, kekasih, saudara, masyarakat, tertutup dari semua keindahan alam, sawah ladang, gunung, sungai, bulan bintang dan tangis bayi, rintihan keluarga yang menanggung beban, serta kicau burung tiap pagi. (Sulami, tahanan Gerwani di Bukit Duri)[6]

Saya terperanjat. Membuka mata karena mendengar gertakan, angin menyapu muka, sementara ujung pistol menodong dahi, Sebelum malam petaka itu, sudah saya dengar, bahwa siksa dan dera akan ditimpakan oleh tentara anggota ABRI. Saya mengerti, bahwa setumpuk soal organisasi telah ditimpakan pada saya. Banyak orang mencari bobot paling ringan untuk dirinya. Baik. Itu risiko perjuangan. (Sulami, tahanan Gerwani di LP Bukit Duri dan Tangerang)

Tak pernah kami mengajarkan hal-hal jahat. Pengurus Gerwani mengajar anggotanya berjuang meningkatkan martabat dan keterampilan, agar bisa mandiri. Juga mendorong anak-anak rajin belajar dan bekerja, menolong sesama, mencintai kehidupan dan kerja. Sejak 17 tahun saya telah ikut berjuang dalam revolusi kemerdekaan. Tidak mungkin saya mengajak dan menyuruh mereka berbuat jahat. (Sulami, tahanan Gerwani di LP Bukit Duri dan Tangerang)

Catatan sejarah

Dalam catatan sejarah, dari ribuan perempuan yang ditangkap pasca G30S/1965, hanya empat perempuan yang dibawa ke meja hijau. Sudjinah di jatuhi hukuman 18 tahun penjara, Sulami 20 tahun penjara dan Sri Ambar serta Suharti Harsono masing-masing 15 tahun penjara.[7]

Sudjinah menghirup udara bebas pada 17 Agustus 1983 setelah 16 tahun meringkuk dalam penjara. Namun ia masih berada dalam pengawasan ketat selama dua tahun lagi untuk menggenapi vonis hukumannya selama 18 tahun. Ia diwajibkan lapor ke Kodim setempat sekali dalam sepekan. Jika ia ketahuan melarikan diri dalam rentang waktu dua tahun tersebut, maka keluarga atau kerabat yang ia tinggali harus menjadi gantinya untuk ditahan.[8]

Setelah bebas, Sudjinah bekerja sebagai interpreter dan guru bahasa Inggris serta beberapa buku juga berhasil ditulisnya ketika masih di dalam penjara. Namun malang bagi Sudjinah, ketika ia bebas dari penjara, Sudjinah ditolak oleh keluarganya di Solo dan kemudian hidup dengan teman-temannya di panti jompo di Jakarta sampai akhir hayatnya menutup mata di Jakarta pada 6 September 2007.[9]

Sekarang Sudjinah memang sudah tiada, Dara Cantik selebriti kiri Indonesia itu memang wanita yang tangguh dan seorang pejuang perempuan sosialis yang menghabiskan seluruh hidupnya untuk menebus pembebasan Negara dan rakyat pekerja dari penjajahan Kolonialis-Fasis-Imperialis namun berujung pada penghancuran atas diri, organisasi dan gerakannya oleh tangan bangsanya sendiri.[10]

Orde Baru memang bisa memenjarakan tubuh Sudjinah dan kawan-kawan, tetapi Orde Baru ternyata telah gagal membunuh semangat, keberanian dan keyakinan Sudjinah dan para pejuang lainnya, Mereka semua yang telah tiada sangat yakin bahwa api dari generasi yang lahir setelah masa porak poranda itu akan terus hidup dan menginspirasi perjuangan generasi berikutnya, sebuah generasi yang sadar bahwa selama ini telah dipecundangi oleh kekuasaan yang membungkam suara rakyatnya.[11]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ 40 Hari Sudjinah Diperingati di Holland Diarsipkan 2014-06-17 di Wayback Machine. sastra-pembebasan.10929.n7.nabble.com, Diakses 25 Oktober 2007
  2. ^ Soedjinah, pimpinan Gerwani dan pendukung Bung Karno umarsaid.free.fr
  3. ^ Terempas Gelombang Pasang, Riwayat Wartawati dalam Penjara Orde Baru[pranala nonaktif permanen] kpad.gunungkidulkab.go.id
  4. ^ Yang Dibungkam, Yang Dikorbankan Diarsipkan 2014-06-16 di Wayback Machine. m.suaramerdeka.com, Diakses, 22 september 2010
  5. ^ Riwayat Wartawati Dalam Penjara Orde Baru books.google.co.id
  6. ^ Para Aktivis Wanita Dibui, Tanpa Proses Pengadilan Diarsipkan 2014-06-01 di Wayback Machine. indiependen.com
  7. ^ Menguak Tabir Peristiwa 1 Oktober 1965 - Mencari Keadilan wirantaprawira.de
  8. ^ Merajut Senja di Panti Jompo Diarsipkan 2014-06-17 di Wayback Machine. meekfoundation.org, Diakses 7 September 2007
  9. ^ Narasi Masa Lalu duniaesai.com
  10. ^ Soedjinah, Perempuan Pejuang Dan Pendukung Bung Karno Diarsipkan 2014-08-02 di Wayback Machine. berdikarionline.com, Diakses, 8 Oktober 2013
  11. ^ Misteri G30S PKI Diarsipkan 2014-06-20 di Wayback Machine. indogamers.com

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya