Shinto Negara

Uang kertas 50 sen Kekaisaran Jepang dengan Kuil Yasukuni

Shintō negara (国家神道 atau 國家神道, Kokka Shintō) mendeskripsikan penerapan ideologi Shinto sebagai tradisi rakyat asli dalam kehidupan bernegara Kekaisaran Jepang.[1]:547 Negara sangat mendorong praktik-praktik Shinto untuk menjadikan Kaisar sebagai sosok ilahi,[2]:8 yang memegang kontrol keuangan kuil dan rezim terlatih untuk para pendeta.[3][4]:59[5]:120

Ideologi Shinto negara timbul pada permulaan era Meiji, setelah para pejabat pemerintah menolak kebebasan beragama dalam Konstitusi Meiji.[6]:115 Para cendekiawan kekaisaran meyakini bahwa Shinto merefleksikan fakta sejarah dari asal usul keilahian Kaisar ketimbang keyakinan agama, dan berpendapat bahwa ini harus meraih hubungan yang diutamakan dengan negara Jepang.[2]:8[4]:59 Pemerintah berpendapat bahwa Shinto adalah sebuah tradisi moral non-relijius dan praktik patriotik.[4]:59[5]:120 Meskipun upaya-upaya era Meiji awal untuk menyatukan Shinto dan negara mengalami kegagalan,[6]:51 konsep non-relijius dari ideologi Shinto dimasukkan ke dalam birokrasi negara.[7]:547[8] Kuil-kuil didefinisikan sebagai patriotik, bukan agama, institusi yang memegang keperluan negara seperti menghormati korban tewas pada masa perang.[6]:91

Negara tersebut juga mengintegrasikan kuil-kuil lokal ke dalam fungsi politik, terkadang menimbulkan penentangan dan penarikan lokal.[5]:120 Dengan sedikit kuil yang didanai oleh negara, nyaris 80.000 kuil ditutup atau digabung dengan wilayah tetangga.[6]:98[7]:118 Beberapa kuil dan organisasi kuil mulai secara sendiri-sendiri mendorong pengarahan negara, tanpa pendanaan.[7]:114 Pada 1940, para pendeta Shinto mengalami penganiayaan karena menampilkan upacara keagamaan Shinto tradisional.[6]:25[9]:699 Kekaisaran Jepang tak menggambarkan perbedaan antara ideologi Shinto dan Shinto tradisional.[7]:100

Para pemimpin militer AS memperkenalkan istilah "Shinto negara" untuk membedakan ideologi negara tersebut dari praktik-praktik Shinto tradisional[2]:38 dalam Pengarahan Shinto tahun 1945.[2]:38 Dekrit tersebut menganggap Shinto sebagai agama, dan melarang pemakaian ideologi lebih lanjut dari Shinto oleh negara.[9]:703 Kontroversi masih terjadi mengenai pemakaian simbol-simbol Shinto dalam fungsi-fungsi negara.[3]:428[9]:706[10]

Asal usul istilah

Shinto adalah perpaduan praktik foklor Jepang asli, kebiasaan istana, dan pemujaan roh yang bermula dari setidaknya 600 Masehi.[7]:99 Keyakinan tersebut disatukan sebagai "Shinto" pada era Meiji (1868-1912),[6]:4[11] meskipun Kronik Jepang (日本書紀, Nihon Shoki) mula-mula menyebut istilah tersebut pada abad kedelapan. Shinto tak memiliki doktrin atau pendiri, namun tergambar dari serangkaian mitos penciptaan yang dikisahkan dalam kitab-kitab seperti Kojiki.[12]:9

"Pengarahan Shinto" tahun 1945 dari Markas Besar Umum Amerika Serikat memperkenalkan sebutan "Shinto negara" saat mereka mulai memerintah Jepang setelah perang dunia kedua. Pengarahan Shinto, (nama resmi "Peniadaan Pensponsoran, Dukungan, Perpetuasi, Kontrol dan Desminasi Shinto negara") mendefinisikan Shinto negara sebagai "cabang Shinto (Kokka Shinto atau Jinja Shinto) yang, menurut undang-undang resmi pemerintah Jepang, dibedakan dari agama Sekte Shinto (Shuha Shinto atau Kyoha Shinto) dan diklasifikasikan menjadi kultus nasional non-relijius."[2]:41–42

Istilah "Shinto negara" kemudian dipakai untuk mengkategorisasikan dan meniadakan praktik-praktik Kekaisaran Jepang yang berkaitan dengan Shinto untuk mendukung ideologi nasionalistik.[6]:133[7]:97 Dengan menolak untuk melarang praktik-praktik Shinto sekaligus, konstitusi pasca-perang Jepang kemudian dapat memberikan Kebebasan Beragama penuh.[6]:133

Definisi

Engravir tahun 1878 karya Toyohara Chikanobu (1838–1912) yang secara visual mempersembahkan bagian utama dari Shinto negara (1871–1946). Ragam Shinto tersebut menyertai dan mempromosikan kepercayaan akan keilahian Kaisar, yang timbul dari silsilah keluarga yang bermula dari kaisar pertama dan para dewa paling berpengaruh dari mitologi Jepang.

Definisi Shinto negara mengharuskan pembedaan dari istilah "Shinto," yang merupakan satu aspek dari serangkaian simbol nasionalis yang terintegrasi dalam ideologi Shinto negara.[1]:547[13] Meskipun beberapa cendekiawan seperti Woodard dan Holtom,[13][14] dan Pengarahan Shinto itu sendiri memakai istilah "Kuil Shinto" dan "Shinto negara" secara bergantian, kebanyakan cendekiawan kontemporer memakai istilah "Kuil Shinto" untuk merujuk kepada mayoritas kuil Shinto yang berada di luar pengaruh Shinto negara, meninggalkan "Shinto negara" untuk merujuk kepada kuil dan praktik yang ditujukan untuk merefleksikan ideologi negara.[1]:547

Penafsiran

Kaisar Hirohito dan Jenderal MacArthur, di pertemuan pertama mereka di Kedubes AS, Tokyo, 27 September 1945

Secara umum, Shinto negara merujuk kepada pemakaian praktik Shinto yang terinkorporasi dalam ideologi nasional pada zaman Meiji yang bermula pada 1868.[7]:100 Ini sering kali dideskripsikan sebagai ideologi atau praktik yang terinspirasi Shinto dan didukung negara yang bertujuan untuk menginspirasi integrasi, persatuan, dan loyalitas nasional.[9]:700 Shinto negara juga dimengerti untuk merujuk kepada ritual dan ideologi negara dari pemujaan kaisar, yang tak menjadi tujuan tradisional dari Shinto[9]:699 — dari 124 kaisar Jepang, hanya 20 yang memiliki kuil terdedikasi.[12]:80

"Shinto negara" bukanlah perancangan resmi untuk praktik atau keyakinan apapun di Kekaisaran Jepang pada masa tersebut. Sebagai gantinya, ini berkembang pada akhir perang untuk mendeskripsikan perpaduan dukungan negara untuk kegiatan kuil non-relijius dan dukungan ideologi untuk kebijakan Kokutai dalam pendidikan, yang meliputi pelatihan seluruh pendeta kuil.[7]:100 Ini mengijinkan bentuk Shinto relijius tradisional untuk merefleksikan posisi Shinto negara tanpa kontrol langsung dari negara.[7]:100 Kepastian apakah pemujaan Kaisar didukung oleh masyarakat masih belum jelas, meskipun para cendekiawan seperti Ashizu Uzuhiko, Sakamoto Koremaru, dan Nitta Hitoshi berpendapat bahwa pendanaan dan kontrol kuil-kuil oleh pemerintah tak pernah mendorong untuk membenarkan sebuah klaim untuk keberadaan Shinto negara.[5]:118[7] Keberadaan dukungan masyarakat untuk tindakan-tindakan yang dikategorisasikan sebagai "Shinto negara" adalah bahan perdebatan.[7]:94

Beberapa otoritas Shinto kontemporer menolak konsep Shinto negara, dan berniat untuk merestorasi unsur-unsur dari praktik tersebut, seperti menamakan periode-periode waktu berdasarkan pada Kaisar.[2]:119 Pandangan tersebut sering kali memandang "Shinto negara" secara murni sebagai penemuan "Pengarahan Shinto" dari Amerika Serikat.[5]:119

Shinto sebagai ideologi politik

Dalam esensi Barat-nya, praktik "keagamaan" belum diketahui di Jepang sebelum restorasi Meiji.[15] "Agama" diartikan menjadi serangkaian kepercayaan tentang iman dan kehidupan setelah kematian, selain juga sangat diasosiasikan dengan kekuatan Barat.[4]:55–56 Restorasi Meiji menjadikan kembali Kaisar, seorang figur "keagamaan", sebagai kepala negara Jepang.[2]:8

Kebebasan beragama awalnya merupakan tanggapan untuk tuntutan-tuntutan pemerintah Barat.[6]:115 Jepang mengijinkan para misionaris Kristen di bawah tekanan dari pemerintah-pemerintah Barat, meskipun memandang Kristen sebagai ancaman asing.[4]:61–62 Negara tersebut berniat untuk mendirikan penafsiran suprarelijius dari Shinto yang menginkorporasikan dan mempromosikan garis keilahian Kaisar.[2]:8[4]:59 Dengan menjadikan Shinto sebagai bentuk unik dari praktik budaya "suprarelijius", ini akan terhindari dari hukum-hukum Meiji yang melindungi kebebasan beragama.[5]:120[6]:117

Ideologi "Shinto negara" menganggap Shinto sebagai suatu hal yang tak sekadar agama, "sebuah penyatuan pemerintah dan ajaran ... [yang] bukanlah sebuah agama."[6]:66 Alih-alih praktik agama, Shinto dimengerti sebagai bentuk pendidikan, yang "terdiri dari tradisi-tradisi wangsa kekaisaran, bermula pada zaman para dewa dan berlanjut sepanjang sejarah."[6]:66

Sebuah gerbang torii di kuil Yasukuni

Para cendekiawan seperti Sakamoto Koremaru, berpendapat bahwa sistem "Shinto negara" hanya berdiri antara 1900 dan 1945, selaras dengan pembentukan negara dari Biro Kuil-kuil. Biro tersebut membedakan Shinto dari agama-agama yang diurus oleh Biro Kuil dan Biara, yang menjadi Biro Agama.[7]:547 Dipisahkan melalui birokrasi negara tersebut, Shinto dibedakan dari kuil-kuil Buddha dan gereja-gereja Kristen, yang dirumuskan sebagai agama. Ini menandai permulaan penyebutan resmi negara terhadap kuil-kuil Shinto sebagai "suprarelijius" atau "non-relijius".[7]:547[8]

Shinto negara tak dianggap sebagai "agama negara" pada era Meiji.[16][17] Sebagai gantinya, Shinto negara dianggap merupakan penunjangan Shinto tradisional melalui dukungan keuangan negara untuk kuil-kuil yang bersekutu dalam hal ideologi.[5]:118[9]:700

Implementasi ideologi Shinto

Melalui inisiatif pendidikan dan hubungan keuangan khusus untuk kuil-kuil baru, Kekaisaran Jepang mendorong kemajuan praktik Shinto sebagai tradisi moral patriotik.[5]:120 Dari awal era Meiji, asal usul keilahian dari Kaisar adalah posisi resmi dari negara tersebut, dan diajarkan di ruang-ruang kelas tak sebagai mitos, namun sebagai fakta sejarah.[4]:64[5]:122 Para pendeta Shinto diundang untuk mengajar di sekolah-sekolah negeri, dan menanamkan ajaran tersebut, bersama dengan penghormatan untuk Kaisar dan kunjungan kelas dasar ke kuil-kuil.[5]:120 Para praktisioner Shinto negara juga mendorong aspek ritual sebagai praktik sipil nasional yang bukanlah panggilan eksplisit terhadap iman untuk berpartisipasi.[4]:59

Dengan menyeimbangkan pemahaman "suprarelijius" dari Shinto sebagai sumber keilahian untuk Jepang dan Kaisar, negara dapat mengadakan partisipasi dalam ritual-ritual untuk subyek-subyek Jepang sesambil mengklaim penghormatan mereka terhadap kebebasan beragama.[5]:120 Sehingga, negara dapat menempatkan tempatnya dalam masyarakat sipil tidak dalam cara keagamaan. Ini meliputi mengajarkan pendirian ideologinya terhadap Shinto di sekolah-sekolah negeri,[3] termasuk resitasi seremonial kepada Kaisar dan ritus-ritus yang melibatkan potret-potret Kaisar.[5]:120

Pada 1926, pemerintah membentuk Shūkyō Seido Chōsakai (宗教制度調査会, Komite Penyelidikan Sistem Keagamaan) dan kemudian Jinja Seido Chōsakai (神社制度調査会, Komite Penyelidikan Sistem Kuil), yang mekin mendirikan ideologi "Shintogaku" suprarelijius.[15]:147

Untuk melindungi sifat non-relijius tersebut, praktik-praktik yang tak sejalan dengan fungsi-fungsi negara makin ditekan. Ini meliputi kotbah di kuil dan mengadakan pemakaman. Pemakaian gerbang torii sinbolik dibatasi pada kuil-kuil yang didukung negara.[18] Saat ritual-ritual keagamaan tanpa fungsi-fungsi negara dibatasi, para praktisioner mengadakannya secara diam-diam dan kemudian ditangkap.[19]:16 Gerakan-gerakan Shinto alternatif, seperti Omotokyo, berakhir dengan penahanan pada pendetanya pada 1921.[6]:24 Status pemisahan kuil-kuil "Shinto negara" berubah pada 1931; dari masa itu, kuil-kuil didorong untuk berfokus pada keilahian Kaisar Hirohito atau para pendeta kuil dapat menghadapi penindasan.[6]:25[9]:699

Beberapa intelektual pada masa itu, seperti Yanagita Kunio, menjadi kritikus argumen Kekaisaran Jepang pada masa itu yang menyatakan bahwa Shinto bukanlah agama.[19]:15 Pada 1936, Badan Propaganda Gereja Katolik sepakat dengan definisi negara tersebut, dan mengumumkan bahwa kunjungan ke kuil-kuil "murni hanyalah bersifat sipil".[20]

Kontrol negara terhadap kuil-kuil

Table: Government spending on shrines[6]:24
Tahun Pembayaran kuil (Yen) % dari Biaya Tahunan
1902 1,071,727 0.43
1907 510,432 0.08
1912 358,012 0.06
1917 877,063 0.11
1922 4,191.000 0.29
1927 1,774.000 0.1
1932 1,373.000 0.07
1937 2,297.000 0.08
1942 2,081.000 0.02
1943 6,633.000 0.05
1944 1,331.000 0.01

Meskipun peminatan ideologi pemerintah terhadap Shinto sangat besar, terdapat perdebatan tentang bagaimana kontrol pemerintah atas kuil-kuil lokal, dan seberapa lamanya.[7] Keuangan kuil tidaklah murni dukungan negara.[7]:114[8] Para pendeta Shinto, bahkan saat didukung negara, berusaha menghindari kotbah tentang materi-materi ideologi sampai pendirian badan Kuil Masa Perang pada 1940.

Pada 1906, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk membatasi dukungan finansialnya menjadi satu kuil per desa.[6]:98 Kuil-kuil yang didukung negara mengikuti paduan spesifik tersebut dan mendorong kuil-kuil yang tak didanai untuk menjadi mitra dari kuil yang lebih besar. Akibat inisiatif untuk mengkonsolidasikan keyakinan Shinto dalam praktik yang disepakati negara, 200.000 kuil di Jepang berkurang menjadi 120.000 pada 1914,[7]:118 mengkonsolidasikan kontrol terhadap kuil-kuil selaras dengan penafsiran negara terhadap Shinto.[6]:98

Pada 1910, para angkatan sekolah-sekolah Shinto milik negara, seperti Universitas Kokugakuin dan Universitas Kougakkan, secara implisit diijinkan untuk menjadi guru sekolah negeri.[6]:23 Jumlah pendeta yang terlatih lebih baik yang lebih besar dengan pendidikan di sekolah yang didukung negara, dipadukan dengan kebangkitan jiwa patriotik, diyakini menanamkan sebuah lingkungan dimana akar-akar rumput penyembahan Kaisar menjadi memungkinkan, bahkan tanpa dukungan finansial untuk kuil-kuil lokal.[6]:113[7]

Pada 1913, aturan resmi untuk pendeta kuil — Kankokuheisha ika jinja shinshoku hömu kisoku (官国幣社以下神社神 職奉務規則) — secara spesifik menyerukan "tugas untuk mengamati perayaan yang sejalan dengan ritual negara."[7]:114 Beberapa kuil mengadopsi praktik negara Shinto secara independen dari dukungan keuangan dari pemerintah.[7]:114[8] Beberapa Asosiasi Kuil mengadvokasikan dukungan terhadap pengarahan "Shinto negara" secara independen, yang meliputi Organisasi Kepengurusan Kuil, Organisasi Kolaborasi Pendeta Kuil, dan Organisasi Pelatihan Pendeta Kuil.[7]:114

Pada 1940, negara membuat badan kuil masa perang, yang memperluas kontrol atas kuil-kuil negara dan meluaskan peran negara. Sampai masa tersebut, para pendeta individual telah dibatasi dalam peran-peran politik mereka, ditempatkan pada ritual tertentu dan kuil tak dijaga, dan jarang mendorong pemujaan Kaisar, atau aspek ideologi negara lain, secara independen.[7]:97[8] Tak ada pendeta kuil, atau anggota badan Kuil Masa Perang, yang sebelumnya masuk jawatan negeri, yang beberapa cendekiawan seperti Sakamoto nyatakan adalah bukti pemakaian Shinto dari negara menuju akhirannya sendiri, alih-alih upaya pendeta Shinto untuk meraih kekuasaan politik.[7]:97[8]

Asal usul ideologi

Potret Atsutane Hirata, gulungan gantung

Cendekiawan Katsurajima Nobuhiro menyatakan bahwa wadah "suprarelijius" pada praktik-praktik Shinto negara tergambar pada kegagalan sebelumnya dari negara tersebut untuk mengkonsolidasikan Shinto relijius untuk keperluan negara.[21]:126[22]

Kokugaku ("Pemahaman Nasional") adalah upaya awal untuk mengembangkan penafsiran ideologi dari Shinto, beberapa diantaranya kemudian membentuk dasar ideolofi "Shinto negara".[6]:66 Kokugaku adalah sebuah filsafat pendidikan zaman Edo yang mendorong bentuk "murni" dari Shinto Jepang, melucuti pengaruh-pengaruh asing — terutama Buddha.[6]:28

Pada era Meiji, cendekiawan Hirata Atsutane mengadvokasikan pengembalian "Pemahaman Nasional" sebagai cara untuk menyingkirkan pengaruh agama Buddha dan menghimpun bentuk nativis dari Shinto.[6]:16 Dari 1870 sampai 1884, Atsutane, bersama dengan para pendeta dan cendekiawan, memimpin "Kampanye Promulgasi Besar" yang megadvokasikan perpaduan nasionalisme dan Shinto melalui pemujaan Kaisar. Tak ada tradisi sebelumnya dari penyikapan absolut terhadap Kaisar dalam Shinto.[5]:119 Inisiatif tersebut gagal untuk meraih dukungan masyarakat,[5]:119[6]:42 dan para intelektual mencemooh gagasan tersebut.[6]:51 Pengarang Fukuzawa Yukichi mencemooh kampanye tersebut pada waktu itu sebagai "gerakan insignifikan."[5]:119

Meskipun gagal, penafsiran nativis Atsutane terhadap Shinto mendorong cendekiawan pada masa berikutnya, Okuni Takamasa. Takamasa mengadvokasikan kontrol dan standardisasi praktik Shinto melalui "Departemen Keilahian" pemerintah.[6]:18 Para penggiat mendorong para pemimpin untuk mengkonsolidasikan keberagaman, melokalisasikan praktik Shinto dalam praktik nasional terstandardisasi, yang mereka anggap akan menyatukan Jepang dalam dukungan Kaisar.[6]:17

Negara menanggapinya dengan mendirikan Departemen Keilahian ("jingikan") pada 1869.[6]:17[7]:112 Birokrasi pemerintahan tersebut mendorong pemisahan roh-roh Kami dari unsur-unsur Buddha, dan mencantumkan garis ilahi Kaisar dari Dewi Matahari, Amaterasu.[7]:112 Tindakan tersebut mendorong balasan terhadap apa yang telah menjadi perpaduan praktik-praktik Buddha dan Shinto di Jepang.[4]:59 Departemen tersebut mengalami kegagalan, dan diturunkan menjadi Kementerian.[7]:113 Pada 1872, kebijakan untuk kuil-kuil dan agama lain diambil alih oleh Kementerian Pendidikan.[7]:113 Kementerian tersebut berniat untuk menstandardisasi ritual-ritual di seluruh kuil, dan mengalami sedikit kesuksesan, namun berbanding jauh dari tujuan aslinya.[7]:113

Pengajaran Nasional

Dalam seruan untuk pengembalian Departemen Keilahian pada 1874, sekelompok pendeta Shinto mengeluarkan pernyatana kolektif yang menyerukan bahwa Shinto adalah "Pengajaran Nasional." Pernyataan tersebut mengadvokasikan bahwa pemahaman Shinto berbeda dari agama. Mereka berpendapat, Shinto adalah penyajian tradisi wangsa Kekaisaran dan sehingga mewakili bentuk termurni dari ritus-ritus kenegaraan Jepang.[6]:66 Para cendekiawan tersebut menulis,

Pengajaran Nasional mengajarkan kode-kode pemerintah nasional kepada masyarakat tanpa kesalahan. Jepang disebut tanah ilahi karena ini diatur oleh para keturunan dewa surgawi, yang mengkonsolidasikan karya para dewa. Cara konsolidasi semacam itu dan aturan oleh para keturunan ilahi disebut Shinto.

— Ditandatangani oleh sejumlah pemimpin Shinto, 1874, Bahan sumber[5]:122

Para penandatangan pernyataan tersebut meliputi para pemimpin, praktisioner dan cendekiawan Shinto seperti Tanaka Yoritsune, kepala pendeta kuil Ise; Motoori Toyokai, kepala kuil Kanda; dan Hirayama Seisai, kepala kuil tutelar besar di Tokyo.[6]:68–69 Meskipun demikian, konsep Shinto sebagai "Pengajaran Nasional" gagal meraih penerimaan paling populer dari Shinto.[6]:73

Kampanye Promulgasi Besar

Biro Urusan Shinto berniat untuk menstandardisasi pelatihan pendeta pada 1875.[4]:58[7] Ini membentuk sebuah divisi antara para aktor negara dan pendeta lokal, yang tak sepakat atas isi dari pelatihan terstandardisasi. Debat timbul terkait Kami atau roh yang dimasukkan dalam ritual-ritual—terutama, apakah kami negara harus dilibatkan.[7] Debat tersebut menandai kebangkitan sekte Ise, yang membuka keperadaan negara yang lebih kuat dalam Shinto, dan sekte Izumo, yang tidak demikian.[4]:58[7] Sekte Izumo mengadvokasikan pengakuan dewa Ōkuninushi disetarakan dengan Amaterasu, yang memiliki konsekuensi teologi untuk pemujaan kaisar. Perdebatan tersebut, "debat perkuilan," menimbulkan ancaman ideologi serius pada pemerintahan era Meiji.[4]:58

Hasil dari debat perkuilan adalah bahwa Kementerian Dalam Negeri berkonsentrasi pada pembedaan "agama" dan "doktrin", menyatakan bahwa "ritual-ritual Shinto (shinsai) dipegang oleh negara sementara doktrin-doktrin agama (kyōhō) dipegang oleh para individual dan keluarga."[4]:59 Disamping pemikiran tersebut, ritual-ritual Shinto menjadi tanggung jawab sipil yang seluruh subyek Jepang ditarik untuk ikut serta, sementara Shinto "relijius" menjadi materi kepercayaan personal dan subyek kebebasan beragama.[4]:59 Perdebatan tersebut menandai kegagalan awal dalam perancangan praktik Shinto nasional yang bersatu, dan berujung pada penurunan tajam dalam pemberian negara kepada kuil-kuil Shinto dan pelantikan para pendeta Shinto dalam jabatan-jabatan pemerintahan.[6]:98 Kementerian Urusan Dalam Negeri memegang tanggung jawab untuk kuil-kuil pada 1877, dan mulai memisahkan praktik-praktik keagamaan Shinto dari indoktrinasi.[4]:59 Pada 1887, Kementerian menghentikan dukungan finansial untuk sebagian besar kuil, selain dari kuil-kuil Kekaisaran terpilih yang terikat pada fungsi-fungsi negara.[7]:113

Kuil Yasukuni

Kuil Yasukuni

Pada 1879, Kuil Yasukuni dibangun untuk menghormati para korban tewas pada masa perang. Kaisar mengunjungi dan memimpin upacara untuk para korban tewas pada masa pernag di Yasukuni, penghormatan yang mungkin tertinggi dalam Shinto.[5]:119[6]:91 Sepanjang masa itu, negara mulai mendorong kuil-kuil untuk mengajarkan soal nasionalisme patriotik; termasuk jaringan kuil yang didedikasikan kepada para prajurit yang tewas dalam pertempuran. Kewajiban tersebut tak memiliki hubungan dengan sejarah kuil lokal tersebut, yang berujung pada penarikan.[5]:120

Pada zaman kontemporer, kuil tersebut menjadi simbol kontroversial untuk nasionalis Jepang.[10][23] Meskipun beberapa warga negara dari berbagai unsur politik mengunjungi situs tersebut untuk menghormati para keramat yang tewas dalam pertempuran, yang kami-nya (jiwa) bermukim disana, sehingga beberapa diantaranya adalah para penjahat perang kelas A. Para penjahat tersebut dikuilkan dalam sebuah upacara rahasia pada 1978, yang telah menjadi desas-desus yang berkembang di kalangan pasifis Jepang dan komunitas internasional.[23]

Tak ada Kaisar yang mengunjungi kuil tersebut sejak itu, dan kunjungan oleh perdana menteri dan pejabat pemerintah ke kuil tersebut menjadi bahan gugatan dan kontroversi media.[24]

Di wilayah-wilayah jajahan

kekaisaran Jepang pada puncak penjajahannya, pada 1942

Saat Jepang meluaskan wilayah jajahannya, kuil-kuil dibangun untuk keperluan mentuanrumahi kami Jepang di wilayah-wilayah yang diduduki. Praktik tersebut dimulai dengan Kuil Naminoue di Okinawa pada 1890.[25] Kuil-kuil besar yang dibangun di belahan Asia meliputi Kuil Karafuto di Sakhalin pada 1910 dan Kuil Chosen, Korea pada 1919; kuil-kuil tersebut dirancang di bawah Kuil Ise dalam kepentingan nasional.[26]:111 Kuil-kuil lain meliputi Kuil Shonan di Singapura, Kuil San'a di Pulau Hainan (Tiongkok), Kuil Okinawa di Shuri, Okinawa, Kuil Akatsuki di Saigon, dan Kuil Hokoku di Jawa.[26]:112

Jepang membangun setidaknya 400 kuil di Korea pada masa pendudukan, dan penyembahan diwajibkan untuk orang-orang Korea.[5]:125 Sebuah pernyataan dari kepala Jawatan Dalam Negeri di Korea menuliskan soal kuil-kuil tersebut dalam sebuah pengarahan: "...mereka memiliki keberadaan yang secara penuh berbeda dari agama, dan pemujaan di kuil-kuil adalah tindakan patriotisme dan loyalitas, nilai-nilai moral dasar dari negara kami."[5]:125[14]

Setelah perang

Pada 1 Januari 1946, Kaisar Shōwa mengeluarkan sebuah pernyataan, yang terkadang disebut sebagai Deklarasi Kemanusiaan, dimana ia mengutip Lima Sumpah Piagam Kaisar Meiji, mengumumkan bahwa ia bukanlah Akitsumikami (dewa dalam wujud manusia) dan bahwa Jepang tak dibangun pada mitos-mitos.[2]:39 Markas Besar Utama AS dengan cepat mendeginisikan dan melarang praktik yang diidentifikasikan sebagain "Shinto Negara", namun karena AS memandang kebebasan beragama sebagai aspek krusial dari Jepang pada masa setelah perang, mereka tak memberikan larangan bulat terhadap upacara-upacara keagamaan Jepang yang melibatkan Kaisar.[9]:702 Jenderal Douglas MacArthur dan Departemen Negara berniat untuk menghimpun otoritas Kaisar untuk menghindari "penarikan berkelanjutan" di kalangan rakyat Jepang pada masa pendudukan dan rekonstruksi Jepang.[3]:429[9]:702

Pengarahan Shinto menyatakan bahwa aturan tersebut memberikan "kebebasan rakyat Jepang dari campur tangan langsung atau tak langsung untuk percaya atau memegang kepercayaan dalam sebuah agama atau pemujaan yang secara resmi dirancang oleh negara" dan "menghindari kebangkitan perversi teori dan keyakinan Shinto dalam propaganda militeristik dan ultranasionalistik Shinto".[2]:39

Saat ini, meskipun Wangsa Kekaisaran masih mengadakan ritual-ritual Shinto sebagai "upacara-upacara pribadi", partisipasi dan keyakinan tak lagi diwajibkan bagi para warga negara Jepang, maupun didanai oleh negara.[9]:703

Aspek penegakan "suprarelijius" pemerintah lain dari praktik-praktik Shinto, seperti kunjungan sekolah ke kuil-kuil Shinto, telah dilarang.[3]:432 Beberapa inovasi dari Shinto era Meiji hadir dalam Shinto kontemporer, seperti keyakinan di kalangan pendeta bahwa Shinto adalah praktik kebudayaan non-relijius yang mendorong persatuan nasional.[6]:161

Kontroversi

Kontroversi timbul pada pemakaman dan perkawinan para anggota keluarga Kekaisaran Jepang, saat mereka menghadirkan penggabungan Shinto dan fungsi negara. Perbendaharaan Jepang tak membayar acara-acara tersebut, yang menyajikan kekhasan antara fungsi negara dan kuil.[9]:703

Asosiasi Kuil Shinto secara politik aktif dalam mendorong dukungan untuk Kaisar,[9]:706 termasuk kampanye-kampanye seperti menyebarkan jimat-jimat dari Kuil Ise.[27] Kuil Ise adalah salah satu kuil paling penting dalam Shinto negara, melambangkan keberadaan Amaterasu dan hubungan dengan Kaisar.[10] Sebaliknya, Kuil Yasukuni era Meiji kemudian menjadi target kontroversi Shinto negara, kebanyakan karena membiarakan para penjahat perang Jepang.[10]

Para politikus konservatif dan kelompok kepentingan nasionalis masih mengadvokasikan pengembalian Kaisar ke posisi keagamaan dan politik utama, yang mereka yakini akan merestorasi esensi nasional dari persatuan.[3]:428[21]

Referensi

  1. ^ a b c Fridell, Wilbur M. (1976). "A Fresh Look at State Shinto". Journal of the American Academy of Religion. XLIV (3): 547–561. doi:10.1093/jaarel/XLIV.3.547. ((Perlu berlangganan (help))berlangganan atau keanggotan Perpustakaan Umum Britania Raya diperlukan 
  2. ^ a b c d e f g h i j Earhart, H. Byron (1974). Religion in the Japanese experience: sources and interpretations (edisi ke-3rd). Encino, Calif.: Dickenson Pub. Co. ISBN 0822101041. 
  3. ^ a b c d e f Shibata, Masako (September 2004). "Religious education reform under the US military occupation: The interpretation of state Shinto in Japan and Nazism in Germany". Compare: A Journal of Comparative and International Education. 34 (4): 425–442. doi:10.1080/0305792042000294814. ISSN 0305-7925. Diakses tanggal 4 January 2016 – via EBSCO's Academic Search Complete (perlu berlangganan)  
  4. ^ a b c d e f g h i j k l m n o Zhong, Yijiang (March 2014). "Freedom, Religion and the Making of the Modern State in Japan, 1868–89". Asian Studies Review. 38 (1): 53–70. doi:10.1080/10357823.2013.872080. ISSN 1035-7823. Diakses tanggal 3 January 2016 – via EBSCO's Academic Search Complete (perlu berlangganan)  
  5. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t Keene, comp. by Ryusaku Tsunoda; Wm. Theodore de Bary; Donald (2006). Sources of Japanese tradition (edisi ke-2nd). New York: Columbia Univ. Press. ISBN 9780231139182. 
  6. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag Hardacre, Helen (1991). Shintō and the state, 1868–1988 (edisi ke-1st paperback print.). Princeton: Princeton University Press. ISBN 9780691020525. 
  7. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae Shimazono, Susumu (2005-12-01). "State Shinto in the Lives of the People: The Establishment of Emperor Worship, Modern Nationalism, and Shrine Shinto in Late Meiji". Journal of the American Academy of Religion. 73 (4): 1077–1098. doi:10.1093/jaarel/lfi115. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-02-20. Diakses tanggal 1 January 2016 – via HighBeam Research. ((Perlu berlangganan (help)). 
  8. ^ a b c d e f Sakamoto, Koremaru (1993). Kokka Shinto taisei no seiritsu to tenkai. Tokyo: Kobunda. hlm. 165–202. 
  9. ^ a b c d e f g h i j k l Beckford, edited by James A.; III, N.J. Demerath (2007). The SAGE handbook of the sociology of religion. London: SAGE Publications. ISBN 9781446206522. 
  10. ^ a b c d Loo, Tze M. (September 2010). "Escaping its past: recasting the Grand Shrine of Ise". Inter-Asia Cultural Studies. 11 (3): 375–392. doi:10.1080/14649373.2010.484175. ISSN 1469-8447. Diakses tanggal 4 January 2016 – via EBSCO's Academic Search Complete (perlu berlangganan)  
  11. ^ Nakai, Kate Wildman (1 January 2012). "A New History of Shinto, and: Rethinking Medieval Shintō. Special issue of Cahiers d'Extrême-Asie (16) (review)". Monumenta Nipponica. 67 (1): 159–164. doi:10.1353/mni.2012.0014. ISSN 1880-1390 – via Project MUSE (perlu berlangganan)  
  12. ^ a b Ono, Sokyo; Woodward, Walter (2003). Shinto, the Kami way (edisi ke-1.). Boston, Ma.: C.E. Tuttle. ISBN 9780804835572. 
  13. ^ a b Woodard, William (1972). The Allied Occupation of Japan, 1945–1952, and Japanese Religions. Leiden: EJ Brill. hlm. 11. 
  14. ^ a b Holtom, Daniel Clarence (1963). Modern Japan and Shinto Nationalism: A Study of Present-day Trends in Japanese Religions. Chicago: University of Chicago Press. hlm. 167. 
  15. ^ a b Isomae, Jun'ichi (2014). Religious Discourse in Modern Japan: Religion, State, and Shintō. BRILL. ISBN 9789004272682. 
  16. ^ Maxey, Trent E. (2014). The "greatest problem": religion and state formation in Meiji Japan. Cambridge, MA: Harvard University Asia Center. hlm. 19. ISBN 0674491998. 
  17. ^ Josephson, Jason Ānanda (2012). The Invention of Religion in Japan. University of Chicago Press. hlm. 133. ISBN 0226412342. 
  18. ^ Nitta, Hitoshi (2000). "Religion, Secularity, and the Articulation of the 'Indigenous' in Modernizing Japan". Dalam John Breen. Shintō in History: Ways of the Kami. Shintō as a 'Non-Religion': The Origins and Development of an Idea. hlm. 266. ISBN 0700711708. 
  19. ^ a b Teeuwen, Mark; Breen, John (2010). A new history of shinto. Chicester: Wiley-Blackwell (an imprint of John Wiley & Sons). ISBN 9781405155168. 
  20. ^ Nakai, Kate Wildman (2013). "Coming to Terms With 'Reverence at Shrines'". Dalam Bernhard Scheid. Kami Ways in Nationalist Territory. Verlag der Österreichischen Akademie der Wissenschaften. hlm. 109–154. ISBN 978-3-7001-7400-4. 
  21. ^ a b Okuyama, Michiaki (2011). ""State Shinto" in Recent Japanese Scholarship". Monumenta Nipponica. 66 (1): 123–145. doi:10.1353/mni.2011.0019 – via Project MUSE (perlu berlangganan)  
  22. ^ Nobuhiro, Katsurajima (1998). Iwanami tetsugaku, shisō jiten, s.vv. 国家神道. 
  23. ^ a b "How to solve a problem like Yasukuni". Foreign Affairs. 86 (2): 88–89. March 2007. Diakses tanggal 9 January 2016 – via EBSCO's Academic Search Complete (perlu berlangganan)  
  24. ^ Ravitch, Frank (2014). "THE JAPANESE PRIME MINISTER'S VISITS TO THE YASUKUNI SHRINE ANALYZED UNDER ARTICLES 20 AND 89 OF THE JAPANESE CONSTITUTION". Contemporary Readings in Law & Social Justice. 6 (1): 124–136. ISSN 1948-9137. Diakses tanggal 9 January 2016 – via EBSCO's Academic Search Complete (perlu berlangganan)  
  25. ^ List of Kankokuheisha (官国幣社), p. 3 Diarsipkan 2019-07-10 di Wayback Machine.; retrieved 2016-11-18.
  26. ^ a b Picken, Stuart D. B. (2004). Sourcebook in shinto : selected documents. Westport (conn.): Praeger. ISBN 9780313264320. 
  27. ^ Breen, John (1 July 2010). "Resurrecting the Sacred Land of Japan: The State of Shinto in the Twenty-First Century". Japanese Journal of Religious Studies. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-02-20. Diakses tanggal 3 January 2016.  – via HighBeam Research (perlu berlangganan)
Kembali kehalaman sebelumnya