SemipelagianismeSemipelagianisme adalah suatu pemikiran teologis dan soteriologis Kristen mengenai keselamatan; sarana di mana manusia dan Allah dipulihkan kepada suatu hubungan yang benar. Pemikiran Semipelagianisme berlawanan dengan ajaran Pelagianisme sebelumnya, di mana manusia dipandang sebagai satu-satunya yang mempengaruhi keselamatan dirinya, yang telah ditolak dan dipandang sebagai bidaah. Semipelagianisme dalam bentuk aslinya dikembangkan sebagai suatu kompromi antara Pelagianisme dan ajaran para Bapa Gereja seperti Santo Agustinus, yang mengajarkan bahwa manusia tidak dapat datang kepada Allah tanpa anugerah atau rahmat dari Allah. Dalam pandangan Semipelagianisme, oleh karena itu perlu ada pembedaan antara tahapan awal iman dan perkembangan iman; di mana tahap paruh kedua — bertumbuh dalam iman — adalah karya Allah, sementara iman pada tahap awal adalah suatu tindakan berdasarkan kehendak bebas dan rahmat baru berperan setelahnya.[1] Gereja Katolik mengutuk semipelagianisme, tetapi menegaskan bahwa sejak tahapan awal iman sudah melibatkan suatu tindakan dari kehendak bebas; di mana inisiatif datang dari Allah tetapi membutuhkan kerja sama dari manusia melalui kehendak bebasnya.[2] Setelah kejatuhan manusia ke dalam dosa, (kodrat) manusia tidak sehat lagi, melainkan lemah; ia mengalami sakit, tetapi tidak mati.[3] Oleh karena itulah, manusia harus bertindak, supaya dirinya dapat menerima keselamatan.[3] Akan tetapi, manusia memiliki kelemahan dan keterbatasan, sehingga manusia membutuhkan pertolongan dari luar yaitu anugerah Allah.[3] Meskipun demikian, manusia harus menghendakinya dan barang siapa menghendaki hal itu akan memperoleh keselamatan.[3] Keselamatan yang dimaksud di sini merupakan suatu hasil kerja sama antara Allah dan manusia.[3] Istilah "Semipelagianisme", suatu istilah yang tercipta pada abad ke-16, telah digunakan sebagai sebuah tuduhan dalam perselisihan teologis atas keselamatan, rahmat ilahi, dan kehendak bebas. Para teolog juga menggunakannya secara retrospektif untuk merujuk pada rumusan aslinya, suatu penggunaan lama yang telah dianggap tidak pantas, ambigu dan tidak adil. Dalam konteks ini, sebuah istilah yang lebih akurat secara historis adalah Massilianisme - merujuk ke kota Marseilles - yang mana dikaitkan dengan beberapa pendukungnya.[4][5] Pelagianisme dan SemipelagianismePelagianisme adalah ajaran yang mengatakan bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mencari Tuhan dalam dan dari dirinya sendiri terlepas dari segala tindakan Tuhan atau Roh Kudus, dan karenanya keselamatan hanyalah merupakan usaha manusia semata. Doktrin ini diambil dari nama Pelagius, seorang rahib Inggris yang dituduh atas pengembangan doktrin ini (dalam surat-suratnya ia sendiri tampaknya mengklaim bahwa manusia tidak melakukan kebaikan terlepas dari anugerah atau rahmat, hanya, semua manusia mempunyai kehendak bebas atas pemberian dari Allah); ajarannya ditentang, khususnya, oleh Agustinus dari Hippo dan dinyatakan sebagai bidaah oleh Paus Zosimus pada tahun 418. Pelagianisme menyangkal adanya dosa asal, mengajarkan bahwa manusia dalam dirinya sendiri dan oleh kodratnya mampu untuk memilih apa yang baik.[6] Pemikiran Semipelagianisme mengajarkan bahwa manusia tidak memiliki suatu kemampuan tak terbatas, tetapi manusia dan Allah dapat bekerja sama untuk satu tingkatan tertentu dalam upaya keselamatan ini: manusia dapat (tanpa bantuan rahmat) mengambil langkah pertama untuk datang kepada Allah, kemudian Allah menambah dan menjaga iman tersebut, lalu menyelesaikan karya keselamatan-Nya.[7] Ajaran ini berbeda dengan doktrin patristik (zaman para Bapa Gereja) tradisional sinergisme (synergeia), di mana proses keselamatan adalah kerja sama antara Allah dan manusia dari awal sampai akhir. Zaman patristikIstilah "Semipelagianisme" tidaklah dikenal pada zaman dahulu, kemunculannya untuk pertama kali hanya dalam kuartal terakhir abad ke-16. Istilah ini digunakan sehubungan dengan doktrin anugerahnya Luis de Molina. Para penentang teolog ini meyakini bahwa mereka melihat suatu kemiripan yang mendekati pandangan yang dianjurkan oleh para rahib Galia Selatan di dan sekitar Marseille setelah tahun 428 (umumnya dikaitkan dengan St. Yohanes Kasianus). Setelah kebingungan antara ide-ide Molina dan para rahib dari Marseille tersebut diketahui sebagai suatu kesalahan, istilah baru "Semipelagianisme" dipertahankan dalam lingkup pembelajaran sebagai suatu sebutan yang tepat bagi pandangan para rahib tersebut, yang mana dikatakan sebagai suatu kompromi antara Pelagianisme dan Agustinisme, dan telah dikutuk sebagai bidaah dalam Konsili Orange tahun 529 setelah menjadi konflik selama lebih dari seratus tahun.[8] PerkembangannyaAwal mulaEpitome dari Formula of Concord-nya Lutheran (1577) menolak "dogma palsu Semi-Pelagian, yang mengajarkan bahwa manusia dengan kekuatannya sendiri dapat memulai pertobatannya tetapi tidak dapat menyelesaikan sepenuhnya tanpa anugerah Roh Kudus".[9] Antara tahun 1590 dan 1600 istilah "semipelagianisme" diterapkan pada doktrin keselamatannya Molina, yang mana saat itu dituduh sama dengan ajaran Massilianisme.[8] Ortodoks Timur dan KatolikSanto Yohanes Kasianus, yang dikenal terutama karena ajarannya mengenai theosis, dihormati sebagai seorang Santo baik di Gereja Timur maupun Gereja Katolik Roma. Pada umumnya ia dianggap sebagai pendukung awal semipelagianisme.[10][11][12][13] Tetapi beberapa kalangan terpelajar baru-baru ini menolak anggapan bahwa pandangannya merupakan semi-Pelagian. Lauren Pristas menuliskan: "Bagi Kasianus keselamatan adalah, dari awal sampai akhir, dampak dari rahmat Allah. Sepenuhnya ilahi."[14] Augustine Casiday menyatakan bahwa Kasianus "terang-terangan menegaskan bahwa itu rahmat Allah, bukan kehendak bebas manusia, yang bertanggung jawab atas 'semuanya yang berkaitan dengan keselamatan' —bahkan iman."[15] Lainnya berpendapat: "pandangan bahwa Kasianus merupakan biang keladi dari 'semi-Pelagianisme' bersandar pada suatu urutan waktu yang bersifat dugaan".[16] Calvinisme and ArminianismeDalam periode belakangan, istilah ini digunakan di kalangan Calvinis untuk merujuk siapa saja yang menyimpang dari apa yang mereka lihat sebagai doktrin kedaulatan Agustinus, dosa asal, dan anugerah —terutama kepada Protestan Arminian dan Katolik Roma. Meskipun teologi Calvinis dan Lutheran mengenai keselamatan berbeda cukup signifikan dalam hal seperti sifat predestinasi dan peran keselamatan dari sakramen, kedua denominasi ini menganggap teologi Agustinus sebagai suatu pengaruh utama. Banyak Arminian yang tidak setuju dengan generalisasi ini, meyakini hal tersebut adalah fitnah kepada Jacobus Arminius (yang darinya nama Arminianisme berasal) dan para Remonstran yang mempertahankan pandangan Arminius setelah meninggalnya. Demikian juga, sejak Konsili Orange (529), Gereja Katolik telah mengutuk pandangan Semipelagianisme dan tidak menerima penafsiran Calvinis atas Agustinus.[17] Jansenisme dan YesuitPada abad ke-18, para Yesuit menuduh Jansenis atas peneguhan doktrin Agustinian radikal versi Calvinis; Jansenis, sebaliknya, menuduh Yesuit atas Semipelagianisme.[18] Pada tahun 1713 Paus Klemens XI, melalui bulla kepausan Unigenitus, menyatakan Jansenisme sebagai ajaran sesat, menguatkan keberatan para Yesuit.[19] Referensi
Lihat pula
Pranala luar
|